Share

Bab 6

Penulis: Benjamin
”Apakah kamu yakin tidak salah orang?” tanya Daffa dengan nada yang skeptis. Dia benar-benar kebingungan kenapa orang kaya sepertinya akan bersikap penuh hormat dan memanggilnya ‘Tuan Muda Halim.’

“Tentu saja tidak, Tuan Muda Halim.” Pria tersebut menjawab dengan nada yang meyakinkan. Dia telah mencari begitu lama dan akhirnya menemukan tuan muda itu di sini. Tidak mungkin dia salah orang.

Daffa menatap pria itu lagi. Awalnya, dia kira telepon tersebut adalah kasus penculikan, lalu mengira bahwa itu adalah telepon dari orang iseng. Namun, sepertinya kenyataannya jauh sekali dari yang dia kira. Ada pria kaya raya yang memanggilnya Tuan Muda Halim.

“Tolong ikut saya, Tuan Muda Halim. Tuan saya sudah menunggu untuk menemui Anda sejak lama sekali.”

Daffa menatap pria paruh baya itu lagi. Semua hal terjadi begitu cepat baginya. Belum sehari penuh sejak dia putus dengan Sarah dan sekarang seseorang yang belum pernah dia temui mengaku bahwa tuannya yang tidak dia kenal itu ingin menemuinya.

Daffa menghela nafas sebelum menganggukkan kepalanya.

“Baiklah, bawa aku ke tuanmu ini,” kata Daffa.

“Tentu saja, Tuan Muda Halim!” kata pria itu, membungkuk dengan dalam pada Daffa. Daffa tidak menggubris pria itu. Dia hanya penasaran siapa tuannya itu dan kenapa dia mengirim seseorang untuk menemuinya.

Pria itu menuntun Daffa ke mobil yang terlihat mahal itu. Pria yang mengenakan setelah jas hitam bergegas turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang untuk kedua orang tersebut.

Daffa tidak tahu banyak tentang mobil-mobil, tapi dari simbol pada mobil tersebut dia bisa tahu kalau mobil tersebut adalah mobil Rolls-Royce. Dia tahu bahwa mobil-mobil Rolls-Royce model ini sangat mahal, jauh lebih mahal dari Porsche milik Dilan Handoko. Dia bertanya-tanya siapa sebenarnya tuannya itu. Lagi pula, seseorang yang bisa membeli mobil seperti itu pasti adalah orang hebat.

Kedua orang tersebut menaiki mobil, dan pria dengan setelan jas itu menutup pintu mobil dan bergegas duduk di kursi pengemudi. Setelah beberapa detik, mobil itu beranjak pergi.

Perjalanan itu hening karena tidak ada yang angkat bicara. Pria paruh baya yang mengenalkan dirinya sebagai Bram sempat menanyakan Daffa beberapa pertanyaan, tapi memutuskan untuk diam saja ketika Daffa menolak menjawab sebagian besar pertanyaannya.

Setelah empat jam, mobil tersebut akhirnya berhenti di depan gerbang yang megah. Daffa mendapati dirinya menganga hanya dengan melihat gerbang itu sendiri. Dia tidak pernah melihat sesuatu yang begitu mewah dan megah seperti yang sedang dia lihat. Gerbang yang menjulang tinggi itu terlihat seperti terbuat dari emas murni karena mereka memancarkan cahaya keemasan yang bersinar cemerlang. Ada nama ‘HALIM’ yang tertulis dengan indah di gerbang tersebut.

Daffa mendapati dirinya terpesona oleh kemewahan gerbang itu sendiri. Dia bertanya-tanya apa yang berada di dalam gerbang yang mewah itu.

Setelah runtutan pemeriksaan keamanan yang teliti, Rolls-Royce itu memasuki gerbang tersebut. Pada saat ini, Daffa mendapati dirinya kehabisan kata-kata. Dia tidak bisa merangkai kata-kata dan lidahnya seperti sedang terikat.

Yang terpampang di balik gerbang yang mewah itu adalah rumah besar yang terlihat seperti di film-film. Keseluruhan rumah besar itu menandakan kemewahan. Ada taman-taman dengan bunga-bunga langka yang indah. Beberapa bunga bahkan menyala dengan terang di bawah cahaya rembulan!

Ada juga air mancur indah di tengah-tengah rumah besar itu dan sebuah patung indah terpasang di atas air mancur itu. Air yang menyembul dari air mancur itu berbinar-binar di bawah cahaya rembulan dan Daffa mendapati dirinya terpesona.

Daffa begitu terhanyut dalam keterkejutannya sampai tidak menyadari perintah Bram pada supir untuk mengurangi kecepatannya. Rolls-Royce itu berjalan dengan pelan, mengelilingi keseluruhan rumah besar itu, membuat Daffa bisa melihat dengan jelas semua yang ingin dia lihat.

Akhirnya, Rolls-Royce itu berhenti di depan pintu masuk rumah besar itu. Si supir turun dan membukakan pintu untuk kedua orang itu sebelum kembali menaiki mobil dan beranjak pergi. Daffa memandangi Rolls-Royce itu lekat-lekat. Bram menyadarinya dan menepuk pundaknya.

“Jangan khawatir, Tuan Muda Halim. Mobil itu tidak pantas mendapatkan perhatian Anda.”

Daffa mengangguk dan tetap terdiam, tapi dia menggerutu di dalam hati. Apakah orang-orang kaya berpikir dan bersikap seperti itu?

‘Tidak pantas mendapat perhatianku? Enak saja, kenyataan bahwa aku berada di tempat semewah ini saja sudah seperti mimpi!’

Bram tidak melihat ada yang salah dari respons Daffa dan tersenyum. Dia membungkukkan kepalanya sebelum mengacungkan tangannya ke depan, seperti yang akan seorang pelayan lakukan pada tuannya.

“Lewat sini, Tuan Muda Halim.”

Daffa mengangguk dan mulai berjalan melewati lorong yang mewah, diikuti oleh Bram dari dekat. Tidak seperti sebelumnya, ketika dia masih menaiki Rolls-Royce itu, dia tidak menganga melihat lorong yang mewah dan lukisan abstrak yang terpampang di dinding. Dia terlalu gugup untuk melakukannya.

Sebagai seseorang yang miskin seumur hidupnya, ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah bayangkan.

Walaupun Daffa sangat gugup, dia masih sesekali memperhatikan lukisan-lukisan di dinding. Dia kemudian tertarik pada sebuah foto di dinding.

Foto itu menampilkan dua orang dewasa yang berusia akhir 20-an dan terlihat sangat mirip dengan Daffa. Daffa tidak tahu kenapa, tapi melihat foto mereka memenuhi dirinya dengan perasaan kehilangan yang dalam. Dia memandangi foto itu selama satu menit sebelum mengalihkan pandangannya dan kembali menyusuri lorong mewah itu.

Mereka berjalan selama beberapa menit, melewati beberapa lukisan dan barang-barang mewah sebelum berhenti di depan sebuah pintu.

Bram melangkah maju dan mengetuk pintu dua kali. Ada keheningan selama beberapa saat sebelum sebuah suara yang terdengar lelah menjawab ketukan itu.

“Masuklah.”

Bram melangkah mundur dan kembali membungkuk.

“Setelah Anda, Tuan Muda Halim.”

Daffa tidak begitu menghiraukan perilaku Bram. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang ketika berdiri di sana. Dia tidak perlu menjadi seorang genius untuk tahu bahwa orang di balik pintu itu adalah tuan yang terus Bram bicarakan. Dia adalah tuan yang mengirimkan Bram untuk menemukannya dan membawanya jauh-jauh ke sini.

Daffa menarik nafas dalam dan menghela nafas dengan keras sebelum menetapkan hatinya. Dia membuka pintu itu dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Itu adalah waktunya dia bertemu tuan itu.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suherman Syah
mau critanya smpai selesai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 665

    Wanita itu menjelaskan, “Aku kehabisan uang dan mereka bilang mereka akan membayarku dengan bayaran yang tinggi untuk melakukan ini. Yang perlu kulakukan hanyalah membawa kamera ketika datang kemari.”Daffa mengernyit. “Bagaimana caranya kamu masuk kemari?” Nada bicaranya dingin. Penjelasan wanita itu tidak berarti apa-apa baginya.Wanita itu menelan ludah. “Aku tidak tahu. Mereka menyuruhku untuk meminum ramuan, setelah itu aku kehilangan kesadaranku. Ketika aku terbangun, aku sudah ada di sini.”Daffa mengernyit mendengarnya. Wanita itu berseru, “Tunggu! Aku bersumpah aku mengatakan yang sebenarnya!”Dia tahu Daffa tidak puas dengan jawabannya, tapi hanya itu yang dia ketahui. Dia menatap Daffa sambil menangis saat Daffa berkata, “Apakah kamu perlu berteriak padaku seperti itu?”Dia berkata dengan gemetar, “Maaf, a … aku tidak bermaksud.”Mata Daffa masih dingin, tapi dia melepaskan wanita itu. Akan tetapi, ini tidak membuat wanita itu tenang. Sebaliknya, wanita itu menegang da

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 664

    Bram menatap dia dengan tenang. “Mungkin kamu akan mempertimbangkan untuk memberitahuku kenapa kamu ada di sini jika kamu tidak ingin mati.”Pria itu tertawa terbahak-bahak. Daffa mengernyit dan berkata, “Bram, bawa dia pergi supaya kamu bisa menginterogasinya nanti.”Bram langsung mengulurkan tangannya untuk memegang pria itu—kecepatannya membuat mata Daffa berbinar. Seperti yang dia duga, Bram adalah ahli bela diri yang tampaknya lebih cakap dibandingkan semua orang yang ada di sana, termasuk Daffa. Ini membuat Daffa ingin bertarung dengannya, tapi ini tentunya bukan waktu yang tepat untuk itu. Dia berusaha sekeras mungkin untuk menahan keinginannya untuk menerkam Bram.Pada saat ini, Edward dan Briana muncul. Dari langkah kaki dan napas mereka, Daffa tahu mereka telah berlari sampai ke sini, membuatnya mengangkat sebelah alisnya. Dia menoleh untuk melihat ke arah pintu dan berkata, “Bram, tunggu sebentar.”Bram tidak tahu kenapa Daffa tiba-tiba menghentikannya, tapi dia melakuka

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 663

    Daffa menunjuk ke arah kamar mandi saat dia berbicara. “Kamu bisa periksa kamar mandinya jika kamu mau. Itu sama saja seperti kamar mandi lainnya. Tidak ada apa pun yang memungkinkan aku untuk mengunggah apa pun di internet.” Dia menatap Bram yang masih terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Sebagai ahli bela diri terbangkit, Daffa langsung tahu apa yang Bram pikirkan dan bibirnya pun berkedut. Daffa menatap Bram dengan tatapan tidak berdaya dan berkata, “Dengar, kamera-kamera itu tidak ada hubungannya denganku.”Bram langsung menghela napas lega. Daffa menahan keinginannya untuk memutar bola matanya dan berbalik untuk melihat wanita tadi sambil mengetukkan jari-jarinya di sandaran tangan sofa. Suasananya menjadi sangat tegang hingga Bram menundukkan kepalanya lagi, memandang lantai.Setelah beberapa detik, Daffa berujar, “Bram.” Itu membuat Bram merinding dan menundukkan kepalanya makin dalam. Bram tidak dapat membayangkan apa yang hendak Daffa katakan dan keringat membasahi ken

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 662

    Daffa mengangkat sebelah alisnya. Dia memegang leher wanita itu dan melemparkannya ke dalam bak mandi, membuatnya megap-megap karena dia berusaha bernapas. Daffa mengabaikannya, memakai celananya, dan meletakkan tangannya di kenop pintu. Di dalam benaknya, vila Keluarga Halim adalah tempat baginya untuk bersantai dan menjalani waktu yang damai, tapi tampaknya dia keliru. Dia membuka pintu untuk melihat Erin berdiri di sana dan bibirnya berkedut. “Kukira kamu akan menunggu di luar.” Dia tidak memakai atasan karena lemari pakaiannya ada di luar.Tentunya, Erin tidak menduga akan melihat Daffa seperti ini. Dia merona dan memalingkan diri dari Daffa, tapi tidak dapat berjalan pergi—rasanya seakan-akan kakinya dilem ke lantai. Namun, mungkin otaknya berhenti berfungsi dan tidak dapat menyuruh kakinya untuk bergerak. Bagaimanapun, Erin tidak pergi.Daffa tampak terkejut oleh itu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Alih-alih, dia berjalan melewati Erin dan memasuki ruang gantinya, muncul ke

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 661

    Wanita itu tetap terdiam di tempatnya, terlihat terkejut. Daffa berniat untuk ikut berpura-pura seolah dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia sangat ingin menertawai akting wanita itu yang sangat buruk. Lagi pula, tidak ada pelayan Keluarga Halim yang akan mengenakan stoking setinggi paha saat bekerja. Namun, Daffa tahu dia harus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Dia memasang ekspresi marah dan menggeram, “Aku jijik oleh keberadaanmu, jadi sebaiknya kamu menjauh dariku!”Mendengarnya, wajah wanita itu menjadi pucat. Daffa mengetukkan jemarinya ke tepi bak mandi, bertanya-tanya apakah dia terlalu kasar. Apakah wanita itu akan bisa melanjutkan aktingnya? Bibir Daffa berkedut saat dia memejamkan matanya dan berkata, “Ingat, jangan pakai apa pun selain seragam yang benar lain kali kamu bekerja … tidak peduli sebagus apa itu terlihat padamu.”Daffa merasakan kekejutan dan kesenangan wanita itu mendengar perkataan Daffa dan mendengar langkah kaki menghampirinya. Daffa m

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 660

    Teivel membutuhkan tempat yang sunyi supaya tidak akan ada yang mengganggunya. Daffa menunggu hingga dia tidak dapat mendeteksi Teivel sebelum mendarat di tanah. Ketika dia melakukannya, orang-orang berjubah hitam itu perlahan membuka mata mereka dan tersadar kembali. Beberapa dari mereka mulai muntah-muntah ketika mereka melihat darah tikus dan potongan-potongan yang tersebar di sekitar mereka, tapi ini tidak memengaruhi Daffa.Dia bilang, “Maaf tidak sengaja mengetahui rahasia kalian seperti ini.” Orang-orang itu kembali tenang dan menatap Daffa. Daffa tersenyum dan berkata, “Kurasa ini adalah permasalahan yang perlu diselesaikan.”Pemimpin dari mereka melangkah maju untuk menghalangi yang lain dari pandangan Daffa dan berkata dengan pelan, “Semuanya bisa didiskusikan selama kamu tidak membiarkan Pak Teivel tahu tentang ini.”Daffa mengangkat sebelah alisnya. “Sayangnya, dia sudah tahu.”Si pemimpin menjadi pucat mendengarnya, tapi amarah mulai menggelora di matanya. Namun, beber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status