Share

Segepok Uang Merah

"Apa maksudmu aku tidak bisa masuk ke dalam?" Hamish meninggikan suaranya kesal tidak ijinkan melewati pintu depan.

Padahal ia sudah berpakaian layak mengenakan celana panjang dan sepatu. Ia fahu klub-klub elit tidak membiarkan pengunjung bercelana pendek dan tanpa sepatu masuk.

"Ini klub orang-orang kaya, Pak!" seru bodyguard itu mengejek Hamish. 

Ia tidak diijinkan masuk karena penampilannya terlihat seperti orang biasa yang sedang melakukan kampanye untuk pemilihan kepala desa.

"Kamu pikir aku gak bisa bayar masuk?" Hamish tersinggung. Keningnya berkerut bingung, menatap tajam bodyguard yang berdiri di depannya.

Pria bertubuh kekar yang mengenakan kaos hitam masih bersedekap, memperhatikan penampilan Hamish seperti alat pindai. 

"Saya itu sudah sering ketemu sama orang kayak sampean ini. Sok kaya! Padahal baju beli di pasar Darmo!" ejeknya. Bodyguard itu menggeleng pelan menganggap Hamish sebagai lelucon.

"Sudah, sana pergi pergi! Aku sibuk! Pean itu cuman buang-buang waktu saya saja!" Pria wajah sangar itu mengibaskan tangan, mengusir Hamish kemudian mempersilahkan orang yang  berdiri di belakang Hamish untuk maju.

Geram dengan bodyguard songong, Hamish yang sudah keluar dari antrian menerobos maju dan mengeluarkan segepok uang 100 ribuan dari saku celananya. 

Pria tinggi besar yang sejak tadi mengejeknya itu terperangah kaget melihat tumpukan uang merah di meja.

"Aku mau buka meja!" seru Hamish sambil mengetuk-ngetuk uangnya yang ada diatas meja dengan menggunakan jari.

Bodyguard yang tadinya ketus seketika berubah menjadi ramah. Tidak peduli berapa jumlahnya yang pasti cukup untuk bersenang-senang.

Pria itu membukakan pintu dengan ramah, mengarahkan Hamish menuju ke resepsionis untuk membayar masuk ke dalam.

Hamish mendapat meja di bagian pinggir dimana ia bisa bebas melihat orang yang sedang berjoget di lantai dansa.

Matanya mengedar memperhatikan sekeliling. Ada satu meja yang berisi satu pria dengan beberapa wanita. Ada juga meja yang dengan pasangan yang tidak malu untuk bercumbu. 

Lantai dansa tidak kalah panasnya dari meja pengunjung. Mereka yang berada di bawah bergoyang seperti melepaskan penat namun ada juga yang mengambil kesempatan.

Hamish kembali mengedarkan pandangannya. Matanya memicing, memperhatikan meja yang berada tidak jauh dari mejanya.

Suasana remang klub malam membuat Hamish harus bekerja keras mengenali siluet tubuh gadis yang berjarak lima meja dari tempatnya duduk.

Keningnya berkerut, sejenak ia memperhatikan gadis yang sedang menulis pesanan. Mata yang tadinya memicing, memnola seketika begitu ia mengenali gadis itu.

DILARA! Dia bekerja disini?

Ia sudah lama penasaran dengan pekerjaan Dilara, tapi benar-benar tidak menyangka jika gadis itu bekerja di klub malam seperti ini.

Hamish memperhatikan penampilan Dilara dengan seksama. Pakaiannya sangat berbeda tidak ada lagi baju longgar dan panjang.

Yang Dilara kenakan kaos sedikit ketat berlengan pendek dan potongan leher sedikit rendah. Bawahan Dilara berupa rok pendek, walaupun tidak sependek pelayan yang lain tetap saja paha gadis itu terlihat. Ditambah dengan sepatu high heels, Hamish bisa melihat Dilara mempunya kaki yang indah.

Sungguh Dilara terlihat seperti dua orang yang berbeda. 

Hamish tidak mau memikirkan itu lebih lama. Ia kembali fokus pada tujuannya datang kesini. Untuk bersenang-senang!

"Hei, aku mau pesan minuman!" serunya saat melihat pelayan lewat di depan meja.

Pelayan wanita itu berhenti sesaat, memperhatikan penampilan Hamish lalu menggeleng.

"Cari pelayan yang lain saja! Kamu gak akan bisa bayar tips ku!" ejek wanita itu sambil berlalu.

Hamish menggeram kesal. Rasanya sangat menyebalkan harus bersembunyi dibalik penampilannya. Tetapi jika ia terlalu mencolok rencananya dengan Adam bisa berantakan.

Ia membuang nafas kasar, menyandarkan punggung ke sofa, menengadah sambil menunggu pelayan lain lewat.

"Selamat malam, Tuan? Tuan mau pesan sesuatu?"

Mata Hamish yang tadi terpejam, terbuka ketika mendengar suara yang sangat ia kenal.

Hamish menegakkan kepalanya, ingin memastikan tebakannya.

"Ba —bang Hamish?!" Mata Dilara membesar terkejut melihat pria yang ia tampung di panti miliknya selama beberapa minggu ini kini duduk di hadapannya, di tempat kerja yang ia sembunyikan dari semua orang.

"A —abang ngapain disini?" Wajah cerah Dilara dengan cepat berubah pucat. Ia mundur beberapa langkah menjauhi meja Hamish.

"Abang juga mau tanya itu. Kamu Ngapain disini?" Dari jarak dekat seperti ini, Hanish bisa lebih jelas melihat penampilan Dilara.

Risih dengan tatapan Hamish yang seperti sedang mengulitinya, Dilara menarik-narik rok agar bisa lebih banyak menutupi paha, namun percuma karena paha mulus itu sudah menjadi pusat perhatian Hamish.

"Hem!" Hamish berdehem canggung menyadarkan dirinya yang sedang tidak sopan karena menatap Dilara seperti singa kelaparan.

"Abang ngikutin saya?" Dilara menatap Hamish tajam, menuntut jawaban segera.

Hamish tidak langsung menjawab. Ia menimbang jawaban apa yang harus ia berikan kepada Dilara. 

"Beli sate!” seru Hamish. Ia tidak ingin mengakui niatnya yang sesungguhnya mendatangi tempat hiburan malam ini.

“Kamu pulang jam berapa?" Ia mengalihkan pembicaraan sambil membaca menu yang sejak tadi sudah ada di atas meja.

Hamish tidak terkejut mendengar jam kerja Dilara baru berakhir menjelang pagi. Ia yang sudah terbiasa dengan tempat seperti ini tahu benar, klub malam buka hingga pukul tiga pagi.

Ia yang tadinya ingin memesan alkohol akhirnya hanya memesan minuman lain yang bebas dari zat memabukkan itu karena Dilara yang mengambil orderannya.

Niat hati ingin bersenang-senang seperti yang biasa ia lakukan di Jakarta, Hamish malah Dilara hingga gadis itu menyelesaikan shiftnya.

Ia boleh berencana, tetapi Allah yang memutuskan.

Sudah tiga gelas mocktail Hamish habiskan sambil menunggu Dilara. Berkali-kali ia keluar masuk klub untuk menghirup udara malam agar mengurangi bosannya. Rasanya waktu berjalan sangat lambat saat menunggu.

"Bang, ayo!" Dilara akhirnya keluar dari tempat kerja pukul tiga. Ia keluar dengan rok plisket panjang dan baju kaos longgar berlengan panjang. Sangat berbeda dengan penampilan saat menjadi pelayan tadi.

Hamish melongo melihat Dilara yang terlihat sangat berbeda. Keningnya berkerut menebak mana Dilara yang sebenarnya, yang tadi berpakaian seksi atau atau gadis yang terlihat alim ini.

"Jangan gitu, Bang ngeliatinnya. Saya malu!" Dilara menunduk. "Abang pasti mikir saya cewek gak bener karena kerja di tempat begini. Tempat yang dekat dengan maksiat." Suara Dilara berubah sendu. Ia menatap ke depan tidak ingin melihat wajah Hamish.

Hamish membukakan pintu taksi online yang sudah ia pesan sebelumnya. Membiarkan Dilara masuk lebih dulu tanpa banyak tanya.

Keheningan menjeda keduanya selama perjalanan menuju ke panti asuhan. Hamish merasa tidak enak karena ia memang berpikir Dilara gadis munafik yang menutupi kehidupan malamnya dengan pakaian panjangnya.

30 menit perjalanan, taksi akhirnya berhenti di depan panti asuhan. Dilara turun dan masuk lebih dulu ke dalam rumah.

Hamish segera menyusul ke dalam, melihat wajah cemberut Dilara ia berniat menyelesaikan kesalahpahaman ini.

Bagaimanapun Dilara sudah menyelamatkan nyawanya, ia tidak ingin membuat gadis itu marah.

Hamish menyusul Dilara ke kamarnya. Ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. 

Baru saja Hamsih ingin memulai percakapan, suara ribut-ribut datang dari arah depan. Tak lama beberapa lelaki berdiri di depan pintu kamar Dilara sambil berteriak, "Tuh kan bener! Mereka pasti pasangan zina!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status