Tangan kecil Mila menarik Hamish yang baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia bahkan terpaksa neminta tolong Dani untuk membereskan bekas makan karena Mila tidak sabar untuk membawanya ke kamar gadis itu.
Sekali lagi Hamish melihat Dilara, memohon lewat tatapan mata agar Dilara menolongnya. Ia sungguh-sungguh tidak bisa melakukan ini. Ia tidak bisa membacakan dongeng dan tidak akan tahan bersama Mila lebih dari 10 menit.Ia tidak suka anak kecil!Bukan membantu, Dilara hanya mengedikkan pundak sambil memperhatikan Hamish menjauh dari ruang makan dan menghilang ke lantai dua."Mila. Mil — Mila." Hamish berusaha menghentikan siksaan yang akan diterima di balik pintu kamar Mila."Yang bacain dongeng biar mbak Lara aja, ya?" tawarnya. "Atau mas Dani?" ujarnya lagi mengingat Mila cukup dekat dengan Dani.Gadis kecil itu tidak menjawab tawaran Hamish. Tangan mungilnya masih menarik lengan kokoh Hamish masuk ke dalam kamar."Ayo masuk, Bang!" serunya sambil membuka pintu kamar yang sudah usang. Triplek depan yang menutupi rangka pintu pecah di bagian bawah.Gadis kecil itu tidur seorang diri dengan kasur singel di lantai beralaskan karpet tanpa dipan.Sebuah rak dari kardus yang disusun menggunakan isolasi dua sisi lalu ditutup dengan kertas kado diletakkan di sebelah kasur busa tipis berisi beberapa boneka yang sepertinya pemberian para donatur.Ternyata kondisi kamar Mila tidak terlalu jauh berbeda dengan kamarnya, namun yang membuat Hamish tersentuh adalah Mila sama sekali tidak pernah mengeluh."Abang duduk disini!" Mila menepuk lantai kamar. Setelah dilihatnya Hamish duduk di tengah ruangan, Mila menuju rak kardus dan mengambil salah satu buku yang tersusun rapi di sana."Ini!" serunya sambil memberikan sebuah buku cerita bergambar kancil kepada Hamish.Gadis itu merangkak naik ke atas ranjang. Berbaring lalu menutup tubuhnya hingga dada dengan selimut.Mila kembali menatap Hamish, tatapan penuh harap yang membuat Hamish tidak berkutik.Hamish menatap buku di tangannya dengan bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Rasanya sangat cangung dan ingin segera keluar dari situasi yang membuat dadanya sesak."Biar abang panggilin mbak Lara aja, ya? Abang gak bisa caranya." tawar Hamish sekali lagi. Baru saja Hamish hendak berdiri, namun melihat wajah kecewa Mila ia kembali duduk di tempatnya semula."Abang aja yang bacain. Ya? Ya? ya?" pinta Mila memelas.Hamish menghirup oksigen sebanyak mungkin. Mengisi paru-parunya yang tiba-tiba saja kosong karena permintaan bocah cilik dan anehnya lagi entah kenapa ia tidak bisa menolak.Padahal dengan ia selalu bisa menolak para keponakannya.Hamish membuka buku Si Kancil. Menatap halaman pertama yang penuh dengan warna sambil berpikir bagaimana ia harus membacakan cerita itu.Hanya membaca saja atau menggunakan ekspresi dan intonasi seperti para pendongeng?Gadis kecil yang berbaring di ranjang menunggu Hamish dengan sabar. Ia menatap pria dewasa itu penuh kagum. Besok ia akan bercerita dengan bangga kepada teman-teman sekolah kalau Mila juga mendengarkan dongeng sebelum tidur walau bukan ayahnya yang membacakan."Pada jaman dahulu…." Hamish mulai membacakan cerita Si Kancil. Melihat Mila yang mendengarkan penuh perhatian membuat Hamish bersemangat.Ia yang awalnya hanya membaca apa adanya lama kelamaan mulai terbawa alur cerita. Tidak lagi hanya sekedar membaca tetapi juga menggunakan emosi dan ekspresi.Kadang Hamish memperagakan apa yang ia baca. Suara gelak tawa mengisi kamar gadis kecil itu. Senyum Mila sejak tadi tidak luntur dari bibir mungilnya."Tamat!" seru Hamish sambil menutup bukunya setelah selesai membacakan satu untuk Mila."Sekarang Mila tidur." Hamish membetulkan selimut, menutup tubuh gadis itu dengan sempurna."Berdoa dulu, Bang!"Hamish terhenyak tetapi tak lama kepalanya mengangguk kaku.Tangan Mila terangkat, mata menatap langit-langit lalu melafalkan doa sebelum tidur, "Bismillahirrahmanirrahim. Bismika allahumma ahyaa wa bismika amuut."Hati Hamish tiba-tiba menghangat. Ia merasa sangat akrab dengan bacaan tadi tetapi tidak bisa mengingat setiap katanya dengan baik."Bang Hamish gak berdoa?" tanya Mila polos melihat Hamish tidak mengangkat tangannya.Hamish gelagapan tidak tahu menjawab apa. Menggaruk alis yang tidak gatal sambil memikirkan alasan untuk Mila. Alasan yang tentu saja tidak akan membuatnya malu."Kata mbak Lara biar gak mimpi buruk, sebelum tidur kita harus berdoa dulu." Mila mengambil tangan Hamish yang sebesar tiga kali tangannya.Meletakkan tangan Hamish di depan dada dengan telapak tangan menghadap keatas. Dengan perlahan Mila kembali membaca doa sebelum tidur agar Hamish mudah menirukannya."Amiin!" Mila mengarahkan tangan Hamish mengusap wajahnya sendiri. Gadis itu kembali berbaring. Mengucapkan selamat malam lalu memejamkan mata.Hamish mengembalikan buku cerita Mila kembali ke tempatnya. Yakin gadis itu sudah tertidur, Hamish mengendap-endap keluar dari kamar Mila. Mematikan lampu sebelum menutup pintunya.Suasana panti sudah sepi ketika Hamish selesai dengan Mila. Seluruh anggota panti sudah kembali ke kamarnya masing-masing dan pasti Dilara sudah berangkat bekerja.Sambil memijat tengkuknya yang tegang karena harus menghadapi Mila si bocah lima tahun, Hamish berjalan ke depan panti dan duduk di teras depan.Merasakan angin malam menyapu kulit wajahnya sambil menatap bintang. Tiba-tiba Hamish merindukan kehidupannya.Kepulan asap rokok, alkohol dan tentu saja wanita cantik dan seksi. Dentuman musik klub malam tiba-tiba terdengar di telinganya membuat Hamish semakin ingin pergi kesana.Biasanya ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke klub malam sepulang kerja. Sudah beberapa minggu ini ia tidak datang ke tempat itu.Andrenalin Hamish terpacu. Keinginan untuk pergi ke tempat pelepas penat itu semakin besar. Sesaat ia menimbang, apakah sebaiknya ia berpamitan dengan ibu Ida atau tidak.Namun kemudian ia menggeleng.Hamish segera mengganti pakaiannya. Memakai kemeja kotak kotak hitam merah dan celana jins juga sepatu.Ia menutup pintu dengan hati-hati tidak ingin diketahui oleh siapapun lalu ia berangkat.Tidak tahu klub malam di Sidoarjo, tidak membuat Hamish putus asa.Ia menyewa taksi dan meminta sopir mengantarnya ke klub eksklusif di Surabaya. Walaupun ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar argo taksi karena jarak yang di tempuh cukup jauh.Satu setengah jam perjalanan akhirnya taksi berhenti di lobi hotel bintang lima. Klub malam dan bar elit berada di dalam hotel di kawasan Mayjen Sungkono.Hamish membayar taksinya. Ia turun sambil merapikan penampilan yang jauh dari standarnya sebagai pebisnis muda berpengaruh.Ia tentu saja langsung menjadi pusat perhatian karena masuk ke hitel bintang lima dengan penampilan yang biasa saja.Hamish berusaha tidak mempedulikan tatapan orang-orang kepadanya dan langsung naik ke lantai dimana klub itu berada.Dengan kedua tangan masuk ke saku celana, Hamish berjalan keluar dari lift dengan kepala terangkat menuju pintu masuk klub."Anda mau kemana?" bodyguard yang berjaga di depan pi lntu masuk menghalangi Hamish masuk ke dalam klub."Apa maksudmu aku tidak bisa masuk ke dalam?" Hamish meninggikan suaranya kesal tidak ijinkan melewati pintu depan.Padahal ia sudah berpakaian layak mengenakan celana panjang dan sepatu. Ia fahu klub-klub elit tidak membiarkan pengunjung bercelana pendek dan tanpa sepatu masuk."Ini klub orang-orang kaya, Pak!" seru bodyguard itu mengejek Hamish. Ia tidak diijinkan masuk karena penampilannya terlihat seperti orang biasa yang sedang melakukan kampanye untuk pemilihan kepala desa."Kamu pikir aku gak bisa bayar masuk?" Hamish tersinggung. Keningnya berkerut bingung, menatap tajam bodyguard yang berdiri di depannya.Pria bertubuh kekar yang mengenakan kaos hitam masih bersedekap, memperhatikan penampilan Hamish seperti alat pindai. "Saya itu sudah sering ketemu sama orang kayak sampean ini. Sok kaya! Padahal baju beli di pasar Darmo!" ejeknya. Bodyguard itu menggeleng pelan menganggap Hamish sebagai lelucon."Sudah, sana pergi pergi! Aku sibuk! Pean itu cuman buang-buang waktu saya sa
"Arak saja mereka! Biar orang-orang tahu mereka berzina" seru seorang warga penuh emosi. Hamish berusaha menenangkan warga berubah panik mendengar permintaan warga. Mereka tidak melakukan apa-apa! Bahkan ia belum bicara sepatah kata dengan Dilara.Dilara?Gadis itu berdiri di belakang punggung Hamish dengan tubuh gemetar, ketakutan."Jangan-jangan panti ini emang sudah jadi tempat zina kalian berdua? Saya sudah sering liat laki-laki ini, Pak RT! Sudah lama saya curiga!" tuduh warga yang lain.Ribut-ribut membuat penghuni panti yang lain terbangun termasuk ibu Ida. Mereka semua berdatangan ke sumber suara, berdesakan mencoba menerobos, melewati warga yang berdiri di depan pintu kamar Dilara.Anak-anak berhambur menghampiri Dilara yang sedang menangis. Beberapa di antara mereka juga ikut menangis, ketakutan melihat warga berkumpul dengan wajah marah."Ada apa ini? tanya Ibu Ida bingung melihat banyak orang berkumpul di rumah ini. Ia menatap para warga, Hamish dan Dilara bergantian men
"Apa? Ni — nikah?" Hamish mengulangi ucapan ketua RT yang disambut anggukan kepala oleh pimpinan warga itu.Ia menoleh melihat Dilara yang masih menunduk kemudian tertawa kaku. Berkali-kali menggeleng untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.Menikah?Ia belum siap untuk berkomitmen, belum mau terikat dengan siapapun!"Pak RT serius?" tanya Hamish masih tidak percaya walau ia tidak yakin pria itu sedang bercanda.Tubuh Hamish mendadak lemas melihat anggukan Pak RT dan ustadz Imam. Pun begitu dengan Dilara yang nyaris melorot dari tempat duduknya.Hamish memijat pelipis, memikirkan jalan lain yang lebih baik dari menikah. Ia bisa pergi dari sini, kan? Namun, Hamish lantas menggeleng. Tidak, ia harus mengesampingkan pilihan itu. Ia harus tetap disini, menyembunyikan identitasnya sampai musuh keluarga Akbar terungkap. Hamish menoleh mendengar isakan samar Dilara. Tangannya sibuk mengusap air mata yang sejak tadi tidak berhenti mengalir membasahi pipinya.Entah kenapa ia merasa kasihan
"Sudah kamu tanda tangani surat jual belinya?" Salah satu dari tiga pria berteriak kepada Dilara.Ketiga preman membubarkan paksa acara pernikahan Hamish dan Dilara hingga hanya menyisakan Pak RT, ustadz Imam dan para penghuni panti asuhan.Anak-anak yang ketakutan berhambur memeluk Dilara. Gadis yang masih mengenakan kebaya putih dan riasan wajah sederhana membawa Mila ke dalam pelukannya. Sedang tangan yang masih bebas ia gunakan untuk memeluk anak-anak lain yang juga ketakutan."Lara, bawa anak-anak masuk!" perintah Hamish. Ia mengusap pucuk kepala Mila yang sedang memeluk Dilara dengan erat.Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya di pundak Dilara, tubuhnya gemetar memunggungi para preman.Dilara mengangguk. Ia menuntun anak-anak untuk masuk ke kamarnya. Meyakinkan mereka jika semua akan baik-baik saja. Ia kemudian menitipkan anak-anak kepada Dani dan anak yang lebih besar sebelum kembali ke ruang tamu."Pean gak usah ikut campur, Mas!" Salah satu pria dengan rambut panjang diikat
“Kamu berhenti saja dari tempat kerjamu itu!” Hamish tiba-tiba masuk ke kamar saat Dilara sedang bersiap.Dilara segera mengambil handuk, menggulung tubuhnya yang belum berpakaian lengkap. “Bang Hamish! Ngagetin aja!” serunya sambil mengusap dada yang nyaris melompat keluar karena Hamish tiba-tiba masuk."Mana bisa, Bang! Kalau saya berhenti siapa yang akan biayain panti ini dan bayar hutang?" Katanya lagi sambil berusaha menutupi bagian tubuh yang terlihat."Balik badan!" serunya lagi dengan bibir mengerucut sebal dan pipi merona merah. Hamish menurut. Ia berbalik dan menunduk malu karena sudah tidak sopan masuk ke kamar Dilara tanpa permisi.Ia berbalik menatap gadis yang baru beberapa jam ini menjadi istrinya. Gadis itu mengenakan celana panjang model palazo yang longgar dengan baju lengan panjang. "Gak usah berangkat kerja. Kamu berhenti aja." Hamish memberi perintah. Ia tidak rela Dilara bekerja di tempat itu dan menjadi subjek fantasi lelaki hidung belang.Namun ia segera mengg
"I —ini uang apa, Bang?" Amar yang duduk di bangku sekolah menengah menatap lembaran uang merah yang ada di tangannya."Uang SPP dan uang buku. Hari ini jangan ada yang bolos, paham?" seru Hamish tegas.Amar masih mencoba mencerna ucapan Hamish. Ia masih bingung dengan uang yang ada di tangannya."Ta —tapi ini uang siapa, Bang?" tanya Amar lagi. Dilara melarang keras menerima uang dari siapapun apalagi tidak jelas apakah itu yang halal atau uang haram."Haish! Masih pake tanya segala!" Hamish berubah kesal. Beberapa menit yang lalu ia iba karena anak-anak belum membayar uang sekolah, sekarang anak-anak ini malah membuatnya kesal dengan mempertanyakan asal usul uang itu."Uang abang, lah! Kamu pikir uang siapa?" Ia menjawab dengan kesal. "Uang halal, kan Bang? Amar gak berani terima kalau ternyata ini uang curian."Hamish mendelik? Uang curian? Ini penghinaan!Gigi pria itu bergemerak, tangannya mengepal lalu membuang nafas panjang untuk menurunkan emosinya. Sadar yang ia hadapi saat
Uhuk uhuk!!Adam dan Pak Mulyadi tersedak kopi ketika mendengar Hamish mengatakan ia sudah menikah."Tu —tuan muda menikah? Tuan muda serius? Apa tuan habis terbentur sesuatu? Mau saya bawa ke rumah sakit?" Adam tiba-tiba khawatir dengan perubahan Hamish.Ia sudah lama bekerja dengan CEO muda ini, jadi Adam sangat mengerti prinsip hidup Hamish."Memangnya aku kelihatan lagi gak sadar, hah?" balasnya ketus.Dengan cepat Hamish menjelaskan alasannya menikah dengan Dilara. Ia terpaksa melakukannya demi menjaga nama baik gadis itu. Jangan sampai orang berpikiran yang tidak-tidak tentang Dilara."Ada perkembangan tentang Om Syahril?" Hamish masuk pada pokok pembicaraan dan alasan ia meminta Adam segera datang ke Sidoarjo.Ia duduk di sofa single dengan satu kaki menyilang di atas kaki, tangannya bertumpu di atas paha menunggu penjelasan Adam.“Tuan Syahril sedang mengusahakan mengangkat Irvan untuk menggantikan anda, Tuan Muda. Saya juga mendapat informasi tuan Syahril bertemu dengan beber
"Ke — kenapa berdandan untuk ku?" Hamish berubah gugup seperti anak SMA. Tidak pernah ia mendapat perlakukan istimewa seperti ini. "Biar gak bikin malu abang. Terus dapat pahala juga karena menyenangkan suami." Dilara menjawab dengan malu-malu. Dilara akui Hamish adalah pria tampan dengan sejuta pesona. Hidung mancung, rahang persegi. Apalagi saat rambut tipis mulai menutupi rahang Hamish, ketampanan pria itu bertambah berkali lipat.Hamish mengangguk paham. Ia mengeluarkan ponsel yang baru saja ia beli lalu memesan taksi online. Ia tidak mau naik angkot. Tidak lagi!"Bang, itu hape siapa?" Dilara membeliak kaget melihat ponsel mahal yang Hamish gunakan. Ia tahu ponsel dengan merek itu harga di atas 15 juta. Semakin baru, semakin mahal harga."Hape abang, lah!" Hamish menunjukkan ponsel berwarna hitam yang ia beli pagi tadi."A —abang beli?" Dilara melihat ponsel itu penuh kekaguman. Sangat berbeda dengan ponsel miliknya yang kuno yang hanya bisa menerima panggilan telepon."Iya, l