Si Ninja yang masih samar wujudnya itu berusaha bertahan melawan serangkaian tebasan yang Wira lancarkan dengan sebelah tangan. Dengan sabitnya ia mati-matian membendung silih berganti tebasan Murakumo yang menyergap dalam kegelapan, sebelum akhirnya terpaksa mundur oleh keadaan. Kalah taktik.
Si Ninja sadar senjatanya bukan dimaksudkan untuk bertarung dengan cara demikian. Ia melenting dan bersalto ke belakang sekaligus melepaskan serangkaian shuriken lagi untuk memutus langkah pengejarnya.
Wira cukup mengibaskan sekali saja pedangnya dan sekumpulan senjata lempar itu kembali bergemerincing tumpah di aspal. Namun, ia tidak bermaksud membiarkan lawannya bernapas lega, atau kembali menyusun siasat.
Segera setelah menyarungkan Murakumo, ia merunduk serendahnya, lalu menerjang dengan derap langkah bermandi petir kebiruan yang meminjaminya kecepatan dewa. Matanya berkilatan.
Sang Ninja sontak terkejut merasakan ledakan energi Simulakrum dari arah Wira meski b
Matahari sudah mulai menukik tajam ketika Wira akhirnya bisa meregangkan bahunya yang kaku. Printer yang merengek-rengek minta dikasihani seringkali kalah riuh dengan kelutukan lusinan papan ketik yang saling menyahut. Kebisingan harian itu kembali menyusup ke telinga Wira setelah lama dipinggirkannya dari benak.Ia melirik tumpukan kertas di meja Syarifah yang semenjak kemarin masih menggunung timpang. Sisi yang berisi formulir yang telah diverifikasi masih terlalu kerdil jika disejajarkan dengan tumpukan yang menunggu giliran.Serupa menyedihkannya dengan kondisi pada mejanya sendiri, sang kuncen gunung formulir order bulan kemarin.Ketika OB menggotong kardus-kardus berisi bundelan kertas itu dari gudang arsip, lalu menumpahkan sebagian isinya pada meja dan lantai di sisi mejanya. Wira hampir menyumpahi gunungan kertas yang mesti direkapnya itu sekasar Sun Go Kong memaki-maki seisi nirwana oleh karena digencet gunung akibat kelancangannya.Jelas sekali
Prit … …! Prit … …!Tukang Parkir ceking itu sigap memberi aba-aba, gayanya tak kalah canggih bak kru landasan pesawat terbang yang tengah memandu Jet Komersil merayap dari Hangar menuju landasan pacu. Bedanya hanya pada sekedar rompi yang dikenakan, bukan berlogo Angkasa Pura, melainkan Dishub yang itupun sudah pudar mengelupas di banyak tempat.Wira mengikuti arahannya hingga parkir sempurna di pelataran Pasar Jatinegara. “Udah lama banget lo nggak keliatan, Bang Wira. Sudah jadi bos lu ye?” tegur si Juru Parkir.Wira menyampirkan helm-nya dan menyambut jabat erat yang terulur.“Bisa aje lo. Yang ada sekarang gue di kantor, bikin kopi buat bos,” balasnya.Pasar yang umurnya lebih dari seratus tahun itu masih tetap ramai kendati hari sudah beranjak sore. Masih ramai komplek pertokoan yang buka, terutama toko-toko besar dan toko Obat Tradisional Cina yang terwariskan banyak generasi.
“Mereka berasal dari Klan Manji, berdasarkan penulusuran terhadap foto yang kau kirimkan, shuriken dan topeng Oni yang bermotif tak lazim itu milik mereka,” ungkap lelaki di seberang telepon dengan logat Kansai yang tebal. “Aku tahu ini terdengar tak lazim, tetapi seperti halnya Mafioso, Triad, atau Yakuza yang tidak lekang oleh jaman, begitu pula Klan Manji.” Suara yang jernih serta penuh warna nada itu melanjutkan cerita. “Dan?” Wira menagih sisanya. “Dan semenjak jaman Sengoku, klan Manji dikenal sebagai keluarga Ninja seklusif yang jasanya biasa disewa untuk melakukan apapun, termasuk membunuh. Sehingga tak aneh kalau mereka tidak populer, hanya beberapa orang sepanjang sejarah sepak terjang yang pernah menceritakan tentang keberadaan Klan Manji, dari situlah informasi ini bersumber. ” “Karena kebanyakan yang berjumpa dengan mereka pasti — sebentar, biar kutebak. Ehm, mati?” “Tepat sekali.” “Wah-wah, senang mengetahui kalau aku seb
Wira paling gerah jikalau Watari memanggil demikian. Obocchama, atau Bocchama sejatinya adalah panggilan untuk tuan muda keluarga aristokratik berkiblat kebaratan yang tajir melintir dalam bahasa Jepang. Umumnya digunakan oleh pelayan rumah atau Butler mereka, semacam Watari. Hanya saja di telinga Wira lebih terdengar sebagai ‘Bocah’ ketimbang makna lainnya. Utamanya karena dahulu Watari sering memanggilnya demikian jika Wira dirasanya terlalu kekanakan, atau lembek ketika berlatih dengan gurunya, semacam sindiran sekaligus teguran. Sepeninggal gurunya mangkat, panggilan itu menjadi resmi karena statusnya sebagai ahli waris di mata hukum. Kepala keluarga Iskandar sejatinya hanya ada seorang saja, yaitu gurunya. Sebagaimana dirinya kini. Acapkali perkara ini mencuat, baginya seolah mengingatkan kepada segala hal yang ia enggan maklumi mengenai kehidupan sang guru. Soal takdir sebagai Aeternum. Soal pertarungan konyol yang ia mesti jalani, meski sejauh ini berh
Dinding bangunan yang urung rampung itu kian bopeng serupa hamparan wajah rembulan acapkali pecah diletup batang-batang kunai — pisau lempar bergagang silindris yang terbang menancap lalu meletus bak granat muncrat, lantang kendati luput menggapai sasaran utama, seorang lelaki bermandikan riak petir membiru yang ringan berlari mempecundangi.Lelaki berkemeja setengah kusut mengedarkan kerlingan kepada musuhnya, lalu kepada ancaman yang dilepas kepadanya, senyum miring tercetak teriring detap langkah sedang lanskap di balik punggung seperti bertih dirundung mercon, dunia baginya tengah berkisar dalam kala yang lambat.Sepasang yang terakhir meledak lebih lantap ketimbang yang lain, meski percuma saja, lagi-lagi Wira sudah minggat menumpang petir kebiruan. Akan tetapi seolah memiliki kantong tak berdasar, sosok Ninja yang trengginas melontarkan kunai granat itu sekarang ganti menghamburkan setangkupan shuriken —senjata lempar berbentuk bintang dalam tiap tari
Jakarta. 15 Jam sebelumnya.“Kurasi form ordernya sudah selesai? Kok, saya sudah nggak lihat kamu dan Syarifah mengerjakannya lagi?” Vina bertanya, sedangkan Wira belum selesai menutup pintu ruangan.“Hampir, Bu. Berjalan 65 persen, kurang lebih.” Wira menyodorkan flash disk kantor berisi rekapan laporan mingguannya kepada Vina.“Dan … kamu kerjakan di mana?”“Saya bawa pulang ke rumah. Kosan maksudnya, supaya nggak repot pulang terlalu malam karena lembur.”“Tetapi masih kamu kerjakan, kan?”“Iya. Tetap saya kerjakan.”Dari sorot matanya Vina terlihat tidak teryakinkan oleh jawaban yang didapatnya, meski tetap diraihnya flashdisk yang Wira sodorkan, diselotkan ke laptopnya, sedangkan tangan yang lain lincah memijit tombol di pesawat telepon yang gagangnya ia jepit dengan bahu dan pipi kanan.“Halo Ci Julie, jangan lupa kita ada janji mem
Sebelum minggat, disempatkan Wira memencet tombol steker sehingga mesin fotokopi sontak mati di tengah jalan. Budi yang telat menepis ulahnya hanya bisa mendesis, terpaksa membongkar kap mesin demi mencabut kertas yang menyangkut.Wira acuh mengacuhkan seloroh Budi dan bergegas menuruni tangga, sekedar menitip jari tengah ketika kawan sebelah mejanya itu berkelakar, “Makanya, ajak-ajak gue coy kalau punya circle tongkrongan yang model begitu. Kualat lu!”“Sotoy lu!”Namun, ketika Wira selesai menuruni tangga menuju meja resepsionis di pintu utama, didapatinya jika ucapan Budi memang benar. Perempuan yang menunggunya itu memang tergolong menarik. Kulit putih bersih seperti kebanyakan orang Asia Timur, dengan rambut hitam lurus sebahu. Usianya jika ditaksir mungkin jauh lebih muda dari Vina atau Audrey.Gadis itu segera bangkit dari sofanya ketika mendapati Wira mendekat, mengulas senyum ramah, dan memberi salam membungkuk selayaknya
Wira terhenyak, sekonyong-konyong Oichi bangkit berdiri dari duduk. Membungkuk dalam-dalam di hadapannya dan melontarkan permintaan yang tidak ia kira sama sekali. Otaknya berkomputansi membaca variabel dan probabilitas yang bersilangan, “Ah,” ucapnya lirih ketika hasil pemrosesan keluar.Satpam yang berjaga di posnya sampai melongok penasaran melalui lubang jendela, ini menarik baginya. Akibat rutin menonton drama asia di televisi pos jaga setiap sore, dipikirnya Oichi sedang menyatakan perasaan kepada karyawana senior di kantor itu.Sopir mobil boks yang hendak mengisi buku izin keluar juga terpana menanti kelanjutan adegan di belakang pos satpam. Wira nyengir kuda. Sadar mereka sekarang jadi tontonan.“He-Hei, bangunlah. Jangan seperti itu.” Wira buru-buru meminta gadis belia itu untuk menghentikan aksinya. Mengusap-usap cepat tengkuknya yang tidak gatal, matanya berkeliling, ia melanjutkan “Kalau orang kantorku lihat, mereka nan