“Mama kena sirosis hati, butuh donor. Dan kami sekeluarga nggak ada yang cocok.”
Saat ada sebuah chat dari nomor yang tidak dikenal, Bening segera membuka dan membacanya. Setelah itu, selagi pengirimnya masih mengetikkan sesuatu, dan ingin kembali mengirim chat pada Bening, ia langsung memblokir nomor tersebut.
Bening langsung berdecih kesal sendiri di detik yang sama. Ketika masih sehat, tidak ada satu pun yang mengingat Bening sebagai keluarga. Namun, ketika sudah sakit seperti sekarang, barulah Bening dicari-cari. Jelas mereka semua salah sasaran, ketika berharap Bening akan mau mendonorkan sebagian dari organ tubuhnya, meskipun kepada wanita yang telah melahirkannya.
Jika saja orang itu Sinta, walau nyawa sekali pun, Bening tidak akan ragu untuk memberikannya.
Se
Meskipun, sudah beberapa waktu ini Aga menghindari Bening dan menjaga jarak, ternyata aliran darahnya masih saja berdesir hebat ketika ia bertemu kembali dengan gadis itu. Aga kira, mungkin dengan sejalannya waktu, pikirannya akan terlupa dan hatinya pun sudah tidak lagi menyimpan nama gadis itu. Akan tetapi, Aga salah besar. Pertemuannya di lift beberapa waktu yang lalu, membuat Aga semakin hari semakin mengeraskan pijatan pada kepalanya. Aga sempat mengira, mungkin semua rasanya pada gadis itu adalah sebuah penasaran serta iba belaka. Namun, ternyata tidak seperti itu. Hanya saja, Aga memang harus menjauh untuk sementara waktu, sampai hakim memberi putusan dan ketuk palu pun akhirnya diikrarkan. Jika tidak, Aga khawatir kalau akal sehatnya sebagai seorang pria akan benar-benar hilang ketika ia selalu bersama dengan gadis itu. Sementara, Aga bukanlah pria ya
Aga masuk ke dalam kamar dengan membawa semangkuk bubur ayam yang diminta oleh Bening. Ditambah, satu strip obat penurun panas serta sakit kepala, yang baru saja diantar oleh salah satu karyawan yang bekerja di apartemen. Gadis itu kembali tertidur, sambil membungkus tubuhnya dengan selimut, hingga mau tidak mau, Aga harus membangunkan Bening kembali terlebih dahulu. Aga meletakkan semua barang yang dibawanya ke atas nakas, lalu membangungkan gadis itu sekali lagi. “Ning, sarapan dulu,” ujar Aga seraya menyentuh bahu Bening dan mengguncangnya dengan perlahan. “Bubur ayamnya sudah ada.” “Bening, bangun.” Gadis itu hanya menggumam dan semakin menarik selimut dan kembali menutup seluruh tubuhnya. “Ning—”
Aga meletakkan satu tangan di atas dahi Bening, dan menjauhkan kepala gadis yang tengah menempel di dadanya dengan perlahan. Meskipun hatinya kesal bercampur gusar, tapi Aga berusaha untuk tidak berbuat kasar pada gadis itu.“Lepas, Ning,” titah Aga masih sembari menahan kepala Bening.Bibir sensual yang pucat itu pun memberengut seraya menggeleng. “Hape dulu.”“Nggak akan.”“Sama dong,” sahut Bening dengan cepat, kendati rasa pusing di kepalanya masih tidak mau pergi. “Saya juga nggak akan lepasin Pak Aga.”“Jangan mancing-mancing kalau nggak mau diajak ke penghulu.”“Ish, kepala Bapak isinya cuma kawin
Setelah mengambil laptop yang berada di mobil dan kembali ke dalam unit Bening, Aga hanya duduk di ruang tamu, tanpa masuk ke dalam kamar. Aga khawatir, akan ada pemandangan yang seharusnya tidak dilihat, ketika Bening selesai mandi. Untuk itulah, Aga hanya menunggu gadis itu di ruang tamu. Jika Bening tidak keluar dalam kurun 15 menit, barulah Aga akan mengetuk pintu kamar terlebih dahulu, untuk memastikan gadis itu sudah selesai mandi atau belum.Ada beberapa hal yang harus dibicarakan Aga dengan Bening kali ini. Namun sebelum itu, Aga harus mengecek e-mail perusahaan terlebih dahulu terutama hasil dari rapat redaksi pagi ini.Aga meletakkan laptop di pangkuan, lalu mulai membaca beberapa e-mail yang masuk satu persatu dengan teliti. Begitu menemukan sesuatu yang harus dibenahi, maka Aga langsung membalas e-mail tersebut agar beberapa materi yang ada bisa dir
Hari itu, Aga sudah berusaha untuk pulang secepat mungkin. Walaupun, ketika sampai di apartemen, jarum jam dinding yang terpajang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kendati begitu, selama Aga berada di luar, ia tidak pernah absen untuk mengecek keadaan Bening setiap jamnya. Jika tidak sempat menelepon, Aga akan mengirimkan gadis itu sebuah chat untuk bertanya mengenai kondisi tubuhnya. Andai sampai besok suhu tubuh gadis itu masih saja sama, Aga akan langsung membawa Bening ke rumah sakit, meskipun gadis itu nantinya menolak untuk pergi.Sebelum Aga pergi siang tadi, ia sudah menyiapkan dua porsi bubur ayam, serta roti tawar untuk gadis itu. Aga juga sudah membuang semua stok mi instan, yang ternyata masih ada di salah satu lemari gantung di dapur. Aga juga sudah berpesan pada Bening, kalau menginginkan sesuatu, maka gadis itu bisa langsung menelepon resepsionis yang bertugas di bawah. Semua hal sudah
Semalaman, Aga tidak bisa tidur dengan tenang. Ucapan Bening selalu terngiang dan hal itu membuatnya sakit kepala.Bagaimana jika yang dikatakan gadis itu benar? Ada seorang pria di luar sana, yang bisa saja mengajak gadis itu untuk menjalin hubungan dan Bening pun menerimanya.Andai hal itu terjadi, maka Aga sudah tidak bisa mendekati gadis itu lagi. Sia-sialah semua yang sudah dilakukannya selama ini, dan itu tidak boleh terjadi. Memikirkan hal tersebut, Aga langsung pergi ke tempat Bening untuk berbicara serius dengan gadis itu.“Ning …” Aga membuka pintu kamar yang memang tidak tertutup sempurna. Ia melihat Bening sudah duduk di tepi ranjang dengan muka bantal dan surai ikal yang sudah tidak karuan. Namun, wajah polos yang sudah tidak terlihat pucat itu, tampak semakin manis saat bangun tidur
Walaupun pusing mendengar Bening memuntahkan persyaratannya satu per satu, tapi, Aga yakin sekali kalau ia bisa memenuhi semuanya. Karena Aga sudah mengatakan sanggup, dan berjanji akan melakukannya satu persatu, maka giliran Bening yang harus menyanggupi permintaan dari Aga.“Jadi, gimana? Bisa kita langsung nikah nanti malam?” buru Aga yang sedari tadi belum mendengar jawaban dari gadis itu sama sekali. Sampai ia mengantarkan Bening ke depan unitnya pun, Bening masih bungkam dan selalu mengalihkan pembicaraan mereka.Bening meringis lebar seraya melemparkan tawa garingnya. Satu tangannya sudah memegang handle pintu, tapi belum mengeluarkan access cardnya sama sekali.“Ngebet banget, sih, Pak. Pasti pengen enak-enak aja, kan?”Aga menggeleng, mes
Aga membuang napas panjang dengan rasa lega yang tidak terkira, setelah menutup pintu apartemen yang malam ini akan ditempatinya bersama Bening. Akhirnya, semua orang yang terlibat dalam momen pernikahan sederhananya dengan Bening beberapa saat yang lalu, sudah pergi dan hanya menyisakan Aga, dan istri barunya. Ternyata, membujuk Bening tidak sesulit yang Aga bayangkan. Cukup menuruti permintaan gadis itu saja, maka Bening akan bersikap jinak dan juga mau menuruti kemauan Aga. Setelah sekian lama berkutat dengan perdebatan yang selalu tercipta, Aga akhirnya bisa sedikit mengerti harus bagaimana jika berhadapan dengan gadis itu. Dengan kembali menghela napas, Aga melangkah perlahan menuju kamar utama sebuah apartemen, yang malam ini ia gunakan untuk melangsungkan pernikahannya. Masih dalam komplek apartemen yang sama, tapi di tower yang berbeda. Letaknya berse