Share

Harta Warisan

Bening terlambat setengah jam dari jadwal acara yang sudah ditentukan. Untuk satu hal ini, ia merutuk kepada Aga yang sudah memberinya banyak pekerjaan, sejak sang pemred itu menjabat di Swara Media. 

Sebenarnya, Aga bisa saja merepotkan wakilnya atau beberapa redaktur lain ketika jam kerja Bening sudah selesai. Namun, pria itu seolah senang sekali menumpuk berbagai pekerjaan yang tidak terduga pada Bening.

Langkahnya lalu terhenti di ruang tengah. Melihat keluarga sang ayah yang sepertinya sudah berkumpul sedari tadi. Wajah keempat orang yang duduk di sofa secara terpisah itu, langsung tertekuk masam ketika melihat Bening.

“Jangan berlagak seperti orang penting, Ning. Kamu harusnya bisa mikir, kalau kami di sini masih punya kesibukan lain di luar sana.”

Bening menahan napas melihat sang papa. Kemudian, tatapannya beralih pada ibu dan dua saudara perempuan tirinya sebentar.

“Uti di kamar?” tanya Bening tidak ingin mengacuhkan ucapan sang papa, yang memang akan selalu berkata pedas kepadanya.

Sejauh ingatan Bening berlayar ke belakang, pria yang menjadi papa kandungnya itu, tidak pernah sekali pun bersikap manis kepadanya. Bukan cuma sang papa yang bersikap seperti itu kepada Bening, tapi, mama kandungnya pun juga bersikap demikian.

Setelah Bening mencari tahu, ternyata dirinya adalah anak yang tidak pernah diinginkan oleh kedua orang tuanya. Papa dan mamanya, terlibat one night stand di masa lalu dan karena hal itulah, Bening akhirnya terlahir ke dunia.

Mereka menikah dengan terpaksa, untuk menutup semua aib keluarga. Tanpa cinta, dan semua berjalan seperti di neraka. Usia dini dan emosi yang masih terlalu labil itulah, yang menyebabkan semua ego menyeruak tanpa ada yang ingin mengalah. Lantas, satu-satunya jalan keluar yang ditempuh adalah dengan perceraian. 

Berpisah, tanpa ada satu pun yang ingin mengambil tanggung jawab atas diri Bening, yang saat itu bahkan belum berusia dua tahun.

Sejak saat itulah, Bening dirawat oleh sang nenek dan kakek dari keluarga sang papa. Berikut dengan semua biaya keperluan Bening, sampai hal yang terkecil sekalipun.

“Uti di kamar, capek nungguin kamu.” Kali ini, suara yang terdengar sinis itu berasal dari ibu tirinya. Bening tidak mengerti, mengapa ibu tiri beserta kedua adiknya juga bersikap sama sinisnya kepada Bening. Padahal, dirinya tidak pernah mencampuri hidup mereka sama sekali.

Tanpa ingin mengucapkan terima kasih, Bening langsung menuju kamar sang uti. Di dalam sana, Bening langsung disambut dengan senyum hangat, yang selalu menyapanya ketika ia pulang ke rumah.

“Lembur lagi?” tanya Sinta merentangkan tangannya dengan lebar untuk memeluk Bening yang tengah berjalan ke arahnya.

Bening mengangguk dalam pelukan wanita tua. Menumpahkan semua rasa sayang yang tidak akan mungkin bisa Bening balas seumur hidupnya. 

“Maaf, ya, Ti,” ujar Bening lalu menarik diri. “Tapi udah makan, kan?” tanyanya memastikan. 

“Ya belum,” ungkap Sinta lalu bangkit perlahan dari kursi pijatnya. “Uti nunggu kamu dulu, baru kita mulai acara makan malamnya.”

Bening berdecak berkali-kali dengan gelengan. “Harusnya, dimulai aja acaranya. Yang ulang tahun, kan, Uti. Bukan aku.”

Sinta menanggapi Bening dengan kekehan. Bagaimana ia bisa memulai acara ulang tahun yang ke-70 tahun, jika cucu kesayangannya belum berada di rumah. Sedangkan, suami tercintanya sudah berpulang lebih dahulu satu tahun yang lalu.

Sinta selalu merasa asing jika berada bersama keluarga baru Ilham, yakni satu-satunya putra yang dimilikinya. Tidak pernah merasa cocok, karena Sinta menganggap istri dan kedua putri Ilham itu hanya mendekat padanya,  jika ada maunya saja.

“Sudahlah, ayo kita keluar. Biar cepat selesai dan mereka juga cepat pulang.”

Keduanya lantas terkekeh sembari keluar kamar, dan langsung menuju ke ruang makan. Semua makanan yang tersaji memang sudah tidak lagi hangat, tapi Sinta tidak mempermasalahkannya.

Acara sederhana yang memang diadakan tiap tahun, selalu berlangsung sama. Yakni sekadar makan malam keluarga dan juga berucap doa. Setelahnya, keluarga Ilham akan pulang ke rumah begitu saja.

Namun, malam ini, Sinta meminta Ilham dan keluarganya untuk bertahan, karena ada yang ingin disampaikan terlebih dahulu.

“Ada yang mau saya sampaikan ke kalian semua.” Tatapan Sinta kini tertuju tegas pada putranya. “Setelah saya nanti sudah nggak ada—“

“Uti—“

Tangan kanan Sinta terangkat ke arah Bening untuk menyela gadis itu berbicara. “Tanah dan rumah ini beserta isinya akan jadi milik Bening.”

“Mama,” Ilham langsung berdiri, protes tidak terima. “Cucu mama semuanya ada tiga, kenapa rumah sebesar ini cuma diwariskan sama Bening?”

Gigi Bening mengatup rapat memandang sang papa. Meskipun pria itu adalah papa kandungnya, tapi Bening tidak pernah memiliki ikatan emosional sama sekali dengan Ilham. Baginya, Ilham tidak lebih dari sekadar orang lain yang terkadang mampir untuk menjenguk Sinta.

Sinta membuang tawa mirisnya seraya memalingkan wajah sejenak. “Sekarang, Mama tanya sama kamu. Kapan Erna dan Elvira pernah datang ke sini cuma untuk sekadar main atau jenguk Utinya?”

Ilham melempar tatapannya pada kedua putri yang kini hanya bisa menunduk. “Erna sama Elvira sibuk sekolah dan kuliah, Ma. Jadi—“

“Sekolah tujuh hari selama seminggu? Nggak ada hari libur?” Sungguh, Sinta sudah muak jika mendengar alasan yang selalu sama dari waktu ke waktu. “Bening, yang dulu juga sekolah dan kuliah, masih bisa jenguk oma sama opanya, meskipun mereka itu macam SETAN semuanya!”

Tidak ada lagi yang ingin melayangkan protes perihal kunjungan tersebut. Karena semua fakta yang dimuntahkan oleh Sinta semuanya benar.

Dahulu kala, Bening sesekali menjenguk untuk menyambung silaturahmi dengan kakek dan nenek dari pihak sang mama. Namun, Bening tidak pernah menerima respon yang baik dari sana, termasuk mamanya sekali pun.

“Dan, kamu, Ham,” tunjuk Sinta pada putranya. “Apa masih kurang rumah yang kamu tempati sekarang? Ditambah showroom mobil keluarga juga sudah kamu yang pegang semuanya?”

“Ini bukan masalah aku, Ma,” sanggah Ilham. “Ini masalah Mama yang nggak adil sama Erna dan Elvira.”

Kalau sudah berdebat seperti ini, Riva, istri Ilham tersebut tidak akan mau ikut campur sama sekali. Bisa-bisa, dirinya kena semprot oleh Sinta habis-habisan.

“Orang tua Erna sama Elvira itu masih lengkap. Ada kamu dan Riva. Sedangkan Bening, dia sudah ‘yatim piatu’ dari bayi!” sindir Sinta dengan telak. “Kadang, Mama nggak habis pikir, bisa punya anak … ck, sudahlah.”

Sinta tidak ingin berbicara lebih kasar lagi, karena ada ketiga cucunya di sana. Walaupun, mulutnya masih ingin membeo panjang lebar untuk menceramahi putranya itu.

“Jadi, saya rasa, ini semua cukup adil.” Sinta mengalihkan tatapannya pada sang menantu dan kedua cucunya yang duduk berjajar di sofa panjang. “Dan kamu Riva, jaga sikapmu dan juga kedua anakmu itu. Jangan lagi mengganggu Bening karena bagaimanapun juga, pembagian harta untuk kalian sudah cukup besar. Jadi jangan serakah!

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Frisilia Atas Pakasi
kasihan beningnya
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
belum belum koq udah mewek aku bacanya Thor ...
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
kasian Bening nenek sinta sayang banget ke Bening
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status