Share

Sang Sekretaris
Sang Sekretaris
Penulis: Kanietha

SP 1

“Bening!”

Kepala itu langsung terantuk pasrah, mendengar suara sang pemimpin redaksi -pemred-  yang kini memanggilnya. Padahal, tinggal dua langkah lagi kakinya sudah menyentuh ujung tangga untuk segera berlalu dari ruang redaksi. 

Jam pulang kerja sudah berakhir dari satu jam yang lalu. Namun, pekerjaan sebagai seorang sekretaris redaksi -sekred- di media, seolah tidak ada habisnya, terus saja meronta dan memanggilnya. Sementara itu, malam ini ada sebuah acara keluarga yang harus dihadirinya, dan Bening tidak ingin terlambat datang ke sana.

Kembali menegakkan kepala, Bening lantas memutar tubuh untuk menatap Aga yang sudah berdiri di ambang pintu kerjanya. 

“Iyes, Pak?” Dengan langkah lunglai, Bening kembali berjalan menghampiri sang pemred dan berhenti tepat di samping meja kerjanya sendiri. “Yang Bapak minta sudah saya kerjakan semua, loh, Pak.”

“Hubungi Agus,” titah Aga mengabaikan ucapan Bening. “Saya belum terima berita wawancara dia dengan pihak jaksa agung terkait kasus mega korupsi di perusahaan BUMN.”

Ingin rasanya kaki Bening menghentak-hentak kesal, karena sang pemred yang baru menjabat selama satu minggu di Swara Media -SM- itu, memang sering seenaknya. Bening mengerti, jika bekerja di media butuh mobilitas tinggi dan jam kerja yang tidak terpatri. 

Akan tetapi, jika hanya menelepon salah satu wartawan untuk bertanya, mengenai penugasan yang diberikan, Aga bisa langsung menghubunginya sendiri. 

“Sama satu lagi, tolong buatkan SPJ buat Dika, besok pagi dia harus pergi ke Makasar gantiin, Firma yang mendadak kena cacar.

Belum juga satu tugas Bening kerjakan, sang pemred dengan semena-mena memberinya tugas lain.

“Sekarang bikinnya, Pak?” Bening melihat jam digital yang ada di meja kerjanya. Tampilan angka di sana sudah menunjukkan pukul 18.15. “Anak keuangan, kan, juga sudah pulang. Mana bisa nyairin duitnya sekarang.”

Aga tidak menjawab, pria berusia 37 tahun itu hanya bersedekap dan memberi tatapan mengintimidasi pada Bening. 

Bukan tatapan amarah, tapi cukup mampu membuat Bening beringsut duduk di kursi kerja dan kembali menyalakan perangkat komputernya. Meraih gagang telepon di meja kerjanya dan langsung menghubungi Agus sembari menunggu semua perangkatnya menyala.

Melihat hal tersebut, Aga kembali masuk ke dalam ruangannya, yang terletak tepat di belakang meja kerja Bening.

Setelah tugas yang diberikan Aga selesai, Bening langsung memasuki ruang Aga yang tidak pernah pria itu tutup sama sekali. Hanya, jika pria itu pergi meninggalkan kantor, barulah pintu kaca itu tertutup dan terkunci rapat.

“Mas Agus lagi otw ke kantor, karena pak jaksa agung baru punya waktu sore tadi.” Bening menyodorkan tiga lembar kertas di atas meja Aga. Surat pertanggungjawaban untuk salah satu wartawan yang diminta pria itu beberapa saat yang lalu. 

“Hm,” gumam Aga tanpa mengangkat wajah untuk melihat Bening sama sekali. Ia meraih pulpen, lalu membubuhkan tanda tangan pada surat yang diberikan oleh gadis itu. “Terima kasih.”

“Kembali, Pak,” balas Bening seraya meraih kembali ketiga surat tersebut. “Saya pulang, Pak, ya? Nggak butuh apa-apa lagi, kan?”

Kali ini, Aga mengangkat kepala untuk menatap Bening yang sedari tadi hanya berdiri di depannya. “Saya besok nggak ikut rapat pagi, karena langsung ke pemprov.”

Bening hanya terdiam dan menunggu instruksi selanjutnya. 

“Kunjungan mahasiswa besok, tolong handle sama pak Salim. Dan longgarkan sedikit pakaianmu. Kalau bisa jangan pakai rok, tapi pakai celana.”

Bening reflek menarik jaket yang sudah dikenakannya untuk pulang, semakin rapat. Menatap datar tanpa senyum, karena sudah ditegur sedemikian rupa oleh atasannya. Sudah dua tahun ia bekerja di Swara Media sebagai seorang sekred, tapi, baru kali ini ada yang komplain mengenai baju yang dikenakannya.

“Kan, sudah tertutup, Pak,” kata Bening untuk membela diri.

“Benar pakaianmu tertutup.” Aga setuju untuk satu hal itu. “Tapi lekukakannya masih tercetak jelas dan itu sangat mengganggu konsentrasi kerja saya selama seminggu ini.”

Eh, gimana, gimana? Bening sedikit menganga sejenak untuk mencerna sederet kalimat yang dimuntahkan Aga. 

“Kenapa bisa terganggu, Pak?” tanya Bening dengan wajah polosnya. “Dua tahun saya kerja di sini, yang lain biasa-biasa aja. Pikiran Bapak aja—“

“Siapa atasanmu di sini?” putus Aga yang sudah tahu ke mana arah ucapan yang akan dilontarkan Bening kepadanya.

“Bapak …” lirihnya dengan bibir mengerucut kecil.

“Kalau begitu, ganti cara berpakaianmu mulai besok,” titah Aga dengan tegas lalu mengalihkan tatapannya pada layar komputer. “Kamu sudah boleh pulang.”

“Gajian masih dua minggu lagi, Pak,” protes Bening. “Dan baju kerja saya, ya, modelnya begini semua. Kalau beli baru, saya mau makan apa dua minggu ke depan?”

“Hei, kerja di redaksi itu nggak perlu pakaian yang formal, yang penting sopan,” Aga kembali mengangkat wajahnya untuk menatap sekretarisnya yang ternyata keras kepala. “Masa’ kamu nggak punya blouse, atau pakaian longgar yang lain.”

“Nggak punya,” aku Bening tanpa ragu. “Baju kantor saya ini sudah yang paling tertutup, Pak. Yang lainnya kurang bahan semua. Hotpants, rok mini, crop top, yang begitu-gitulah, Pak.”

Aga langsung menumpu dahinya dengan kedua tangan dan siku yang berada di atas meja. Sejurus kemudian, ia meraup wajah tanpa melepaskan tatapannya pada Bening.

“Kamu sering dugem?” tanya Aga lalu berdiri untuk mengambil dompet yang terselip di saku celana bagian belakang. 

“Dulu, iya,” jawabnya jujur. “Tapi semenjak kerja udah berhenti, kok, Pak.”

“Hm, anggaplah saya percaya.” Aga mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, dan memberikannya kepada Bening. “Beli baju kerja yang pantas, kamu bayar setelah gajian.”

Tanpa ragu Bening meraih kartu tersebut dari tangan Aga dan membolak baliknya karena iseng. “Kenapa harus dibayar pas gajian, Pak? Kalau ngasih itu jangan setengah-setengah.”

Astaga, baru kali ini Aga bertemu dengan sekretaris seperti Bening. Kenapa gadis itu tidak ada rasa sungkan sama sekali, ketika berdebat dengan atasan seperti ini?

“Saya nggak ngasih, saya minjami kamu.”

“Nggak, ah,” tolak Bening meletakkan kartu tersebut di atas meja. Kedua bahunya pun terlihat terangkat sekilas. “Saya nggak suka ngutang.”

“Saya nggak mau tahu, mulai besok, kamu nggak boleh pakai pakaian seperti … itu!” telunjuk Aga mengarah tegas pada tubuh Bening. “AH! Harusnya kamu punya seragam kantor, kan? Pake itu sementara.”

“Tapi kebesaran, Bapak!” protes Bening mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Yang benar saja, dirinya harus memakai seragam longgar untuk pergi ke kantor mulai besok.

“Baguslah, sekarang keluar dari ruangan saya, sebelum saya buatkan kamu SP 1.” Wajah Aga langsung berpaling dan kembali menatap komputer. Mau tidak mau, ia harus memberi sedikit ancaman agar sekretarisnya itu bisa menuruti permintaannya. 

“Tapi, Pak Aga—“

“SP 1?” putus Aga tanpa menoleh sedikit pun. “Saya tinggal cari filenya dan langsung print sekarang juga.”

“Ck, permisi!”

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
baru seminggu ufah pusing sama pakaian Bening... penasaran visualnya Bening gimana nih kak
goodnovel comment avatar
skyvo Mangkey
mantap ...
goodnovel comment avatar
Nurul Shuhada Chad
Selalu terbaik kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status