“Bening!”
Kepala itu langsung terantuk pasrah, mendengar suara sang pemimpin redaksi -pemred- yang kini memanggilnya. Padahal, tinggal dua langkah lagi kakinya sudah menyentuh ujung tangga untuk segera berlalu dari ruang redaksi.
Jam pulang kerja sudah berakhir dari satu jam yang lalu. Namun, pekerjaan sebagai seorang sekretaris redaksi -sekred- di media, seolah tidak ada habisnya, terus saja meronta dan memanggilnya. Sementara itu, malam ini ada sebuah acara keluarga yang harus dihadirinya, dan Bening tidak ingin terlambat datang ke sana.
Kembali menegakkan kepala, Bening lantas memutar tubuh untuk menatap Aga yang sudah berdiri di ambang pintu kerjanya.
“Iyes, Pak?” Dengan langkah lunglai, Bening kembali berjalan menghampiri sang pemred dan berhenti tepat di samping meja kerjanya sendiri. “Yang Bapak minta sudah saya kerjakan semua, loh, Pak.”
“Hubungi Agus,” titah Aga mengabaikan ucapan Bening. “Saya belum terima berita wawancara dia dengan pihak jaksa agung terkait kasus mega korupsi di perusahaan BUMN.”
Ingin rasanya kaki Bening menghentak-hentak kesal, karena sang pemred yang baru menjabat selama satu minggu di Swara Media -SM- itu, memang sering seenaknya. Bening mengerti, jika bekerja di media butuh mobilitas tinggi dan jam kerja yang tidak terpatri.
Akan tetapi, jika hanya menelepon salah satu wartawan untuk bertanya, mengenai penugasan yang diberikan, Aga bisa langsung menghubunginya sendiri.
“Sama satu lagi, tolong buatkan SPJ buat Dika, besok pagi dia harus pergi ke Makasar gantiin, Firma yang mendadak kena cacar.
Belum juga satu tugas Bening kerjakan, sang pemred dengan semena-mena memberinya tugas lain.
“Sekarang bikinnya, Pak?” Bening melihat jam digital yang ada di meja kerjanya. Tampilan angka di sana sudah menunjukkan pukul 18.15. “Anak keuangan, kan, juga sudah pulang. Mana bisa nyairin duitnya sekarang.”
Aga tidak menjawab, pria berusia 37 tahun itu hanya bersedekap dan memberi tatapan mengintimidasi pada Bening.
Bukan tatapan amarah, tapi cukup mampu membuat Bening beringsut duduk di kursi kerja dan kembali menyalakan perangkat komputernya. Meraih gagang telepon di meja kerjanya dan langsung menghubungi Agus sembari menunggu semua perangkatnya menyala.
Melihat hal tersebut, Aga kembali masuk ke dalam ruangannya, yang terletak tepat di belakang meja kerja Bening.
Setelah tugas yang diberikan Aga selesai, Bening langsung memasuki ruang Aga yang tidak pernah pria itu tutup sama sekali. Hanya, jika pria itu pergi meninggalkan kantor, barulah pintu kaca itu tertutup dan terkunci rapat.
“Mas Agus lagi otw ke kantor, karena pak jaksa agung baru punya waktu sore tadi.” Bening menyodorkan tiga lembar kertas di atas meja Aga. Surat pertanggungjawaban untuk salah satu wartawan yang diminta pria itu beberapa saat yang lalu.
“Hm,” gumam Aga tanpa mengangkat wajah untuk melihat Bening sama sekali. Ia meraih pulpen, lalu membubuhkan tanda tangan pada surat yang diberikan oleh gadis itu. “Terima kasih.”
“Kembali, Pak,” balas Bening seraya meraih kembali ketiga surat tersebut. “Saya pulang, Pak, ya? Nggak butuh apa-apa lagi, kan?”
Kali ini, Aga mengangkat kepala untuk menatap Bening yang sedari tadi hanya berdiri di depannya. “Saya besok nggak ikut rapat pagi, karena langsung ke pemprov.”
Bening hanya terdiam dan menunggu instruksi selanjutnya.
“Kunjungan mahasiswa besok, tolong handle sama pak Salim. Dan longgarkan sedikit pakaianmu. Kalau bisa jangan pakai rok, tapi pakai celana.”
Bening reflek menarik jaket yang sudah dikenakannya untuk pulang, semakin rapat. Menatap datar tanpa senyum, karena sudah ditegur sedemikian rupa oleh atasannya. Sudah dua tahun ia bekerja di Swara Media sebagai seorang sekred, tapi, baru kali ini ada yang komplain mengenai baju yang dikenakannya.
“Kan, sudah tertutup, Pak,” kata Bening untuk membela diri.
“Benar pakaianmu tertutup.” Aga setuju untuk satu hal itu. “Tapi lekukakannya masih tercetak jelas dan itu sangat mengganggu konsentrasi kerja saya selama seminggu ini.”
Eh, gimana, gimana? Bening sedikit menganga sejenak untuk mencerna sederet kalimat yang dimuntahkan Aga.
“Kenapa bisa terganggu, Pak?” tanya Bening dengan wajah polosnya. “Dua tahun saya kerja di sini, yang lain biasa-biasa aja. Pikiran Bapak aja—“
“Siapa atasanmu di sini?” putus Aga yang sudah tahu ke mana arah ucapan yang akan dilontarkan Bening kepadanya.
“Bapak …” lirihnya dengan bibir mengerucut kecil.
“Kalau begitu, ganti cara berpakaianmu mulai besok,” titah Aga dengan tegas lalu mengalihkan tatapannya pada layar komputer. “Kamu sudah boleh pulang.”
“Gajian masih dua minggu lagi, Pak,” protes Bening. “Dan baju kerja saya, ya, modelnya begini semua. Kalau beli baru, saya mau makan apa dua minggu ke depan?”
“Hei, kerja di redaksi itu nggak perlu pakaian yang formal, yang penting sopan,” Aga kembali mengangkat wajahnya untuk menatap sekretarisnya yang ternyata keras kepala. “Masa’ kamu nggak punya blouse, atau pakaian longgar yang lain.”
“Nggak punya,” aku Bening tanpa ragu. “Baju kantor saya ini sudah yang paling tertutup, Pak. Yang lainnya kurang bahan semua. Hotpants, rok mini, crop top, yang begitu-gitulah, Pak.”
Aga langsung menumpu dahinya dengan kedua tangan dan siku yang berada di atas meja. Sejurus kemudian, ia meraup wajah tanpa melepaskan tatapannya pada Bening.
“Kamu sering dugem?” tanya Aga lalu berdiri untuk mengambil dompet yang terselip di saku celana bagian belakang.
“Dulu, iya,” jawabnya jujur. “Tapi semenjak kerja udah berhenti, kok, Pak.”
“Hm, anggaplah saya percaya.” Aga mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, dan memberikannya kepada Bening. “Beli baju kerja yang pantas, kamu bayar setelah gajian.”
Tanpa ragu Bening meraih kartu tersebut dari tangan Aga dan membolak baliknya karena iseng. “Kenapa harus dibayar pas gajian, Pak? Kalau ngasih itu jangan setengah-setengah.”
Astaga, baru kali ini Aga bertemu dengan sekretaris seperti Bening. Kenapa gadis itu tidak ada rasa sungkan sama sekali, ketika berdebat dengan atasan seperti ini?
“Saya nggak ngasih, saya minjami kamu.”
“Nggak, ah,” tolak Bening meletakkan kartu tersebut di atas meja. Kedua bahunya pun terlihat terangkat sekilas. “Saya nggak suka ngutang.”
“Saya nggak mau tahu, mulai besok, kamu nggak boleh pakai pakaian seperti … itu!” telunjuk Aga mengarah tegas pada tubuh Bening. “AH! Harusnya kamu punya seragam kantor, kan? Pake itu sementara.”
“Tapi kebesaran, Bapak!” protes Bening mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Yang benar saja, dirinya harus memakai seragam longgar untuk pergi ke kantor mulai besok.
“Baguslah, sekarang keluar dari ruangan saya, sebelum saya buatkan kamu SP 1.” Wajah Aga langsung berpaling dan kembali menatap komputer. Mau tidak mau, ia harus memberi sedikit ancaman agar sekretarisnya itu bisa menuruti permintaannya.
“Tapi, Pak Aga—“
“SP 1?” putus Aga tanpa menoleh sedikit pun. “Saya tinggal cari filenya dan langsung print sekarang juga.”
“Ck, permisi!”
Bening terlambat setengah jam dari jadwal acara yang sudah ditentukan. Untuk satu hal ini, ia merutuk kepada Aga yang sudah memberinya banyak pekerjaan, sejak sang pemred itu menjabat di Swara Media.Sebenarnya, Aga bisa saja merepotkan wakilnya atau beberapa redaktur lain ketika jam kerja Bening sudah selesai. Namun, pria itu seolah senang sekali menumpuk berbagai pekerjaan yang tidak terduga pada Bening.Langkahnya lalu terhenti di ruang tengah. Melihat keluarga sang ayah yang sepertinya sudah berkumpul sedari tadi. Wajah keempat orang yang duduk di sofa secara terpisah itu, langsung tertekuk masam ketika melihat Bening.“Jangan berlagak seperti orang penting, Ning. Kamu harusnya bisa mikir, kalau kami di sini masih punya kesibukan lain di luar sana.”
Aga yang baru datang ke kantor tepat ketika jam pulang kerja karyawan, berhenti sejenak di sisi meja sekred yang kosong. Perangkat komputer yang masih menyala dan ponsel yang tergeletak begitu saja di samping mouse, menandakan si empunya tidak berada jauh dari ruang redaksi. Bening, masih berada di kantor dan belum pulang ke rumah.Benar saja, saat kaki Aga hendak melangkah masuk ke dalam ruangannya, gadis itu muncul dari koridor yang mengarah ke toilet.“Sore Pak Aga,” sapa Bening dengan sopan. “Daftar kepala daerah dan kepala dinas yang Bapak minta tadi pagi, sudah saya emaìl.”“Makasih,” ucap Aga kemudian melihat penampilan Bening dari ujung rambut hingga kaki, kemudian menghela. “Ini seragam yang kamu bilang kebesaran?” tunjuknya tanpa sungkan pada tub
“Hati-hati pulangnya,” kata Bening setelah melepas sabuk pengaman. “Jangan lupa kabari kalau sudah sampai apartemen.”“Siap, Nya!” jawab Christ lalu dengan cepat meraih tengkuk Bening dan memagut bibir manis itu tanpa rasa puas. “Aku jemput besok pagi dan salam buat uti.”“Hmm.” Bening mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya yang terasa kebas, setelah Christ melepaskan pagutan mereka. “Jemput pake motor apa mobil?”“Pake rok!” Kedua alis tebal Christ itu naik turun dengan tatapan jahil. "Biar cepat bukanya."Keduanya lantas tergelak bersamaan, sudah saling mengerti akan semua hal. Itu berarti, Christ akan menjemput Bening dengan mem
“Kamu kenapa, sih? Dari tadi banyak diamnya?” tanya Christ sebelum mobil yang dikemudikannya berbelok di halaman gedung Swara Media.“Mau dapet kayaknya, moodku nggak enak banget,” ujar Bening beralasan.Pagi tadi, sebelum Christ datang untuk sarapan sekaligus mengantarkan Bening ke kantor, Sinta kembali mengingatkan Bening tentang hubungannya dengan pria itu.Bening pun meminta waktu kepada Sinta untuk membicarakannya semuanya dengan Chris sekali lagi. Jika kali ini, mereka tidak mendapatkan titik temu, maka Bening berjanji akan mengakhiri semuanya dengan pria itu.Untuk itu, Sinta pagi tadi tetap bersikap ramah seperti biasanya. Wanita tua itu mengurungkan niatnya untuk membicarakan hubungan yang ada di antara cucunya dan
“Kamu, sudah dari tadi pagi, kayak gini, loh, Beb.”Akhirnya, setelah sepanjang jalan menuju apartemen keduanya terdiam, Christ membuka mulut. Menutup pintu unit, lalu menyusul Bening yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar. Gadis itu terlihat baru saja bertelungkup lelah di atas ranjang.“Ada masalah sama, Uti?” tanya Christ ikut merebahkan tubuhnya di samping Bening. Menyatukan kedua telapak tangannya di belakang kepala sebagai bantal. “Karena kemarin malam, kamu itu baik-baik aja.”“Uti …” Bening menolehkan kepala pada Christ, Mebiarkan surai ikal sebahu itu jatuh terhambur di sisi wajah. “Minta aku berhenti ketemu sama kamu.”“Kenap ….” Seketika, Christ membungkam mulutnya sendir
“Pak Agaa … pelan-pelan jalannya,” rengek Bening yang kewalahan untuk menyamakan langkahnya dengan pria itu.Andai saja, Bening tidak berlama-lama di ballroom hotel untuk menghibur diri karena masalahnya dengan Christ, saat ini ia pasti sudah ada di rumah. Sayangnya, Bening masih betah duduk untuk melihat persiapan malam penghargaan yang akan dihelat besok malam.Sampai, Aga datang dan meminta Bening untuk mengikutinya. Entah mengikuti ke mana. Yang jelas, mereka kini sudah menuju lobi dan langkah Aga berhenti di depan meja resepsionis.“Bapak, iih!” Bening menghentak high heelsnya satu kali untuk menumpahkan rasa kesal yang ada di hati. “Kalau kaki saya keseleo, bisa gak ikut nampang saya besok, Pak.”Aga membuang napas d
Dengan menahan semua sesak di dalam dada, Bening terus saja berjalan melewati Mike menuju lobi. Kali ini, Bening hanya ingin segera pulang dan tidak mau terlibat dalam hal apapun lagi. Semua drama yang ada malam ini, sudah cukup membuat hatinya teriris pilu.Christ, satu-satunya pria yang selama ini ada di dalam hidup Bening, ternyata sudah berkhianat di depan mata. Bening juga tidak bisa meraba, sejak kapan pria itu berhubungan dengan wanita yang bernama Chika tersebut. Karena selama ini, tidak ada sedikit pun sikap Christ yang menunjukkan bahwa pria itu telah memiliki wanita lain di luar sana.“Bening!” Christ yang akhirnya menyusul gadis itu langsung meraih tangan Bening. Mencekal dan menarik tangan dingin itu, ketika Bening sudah berjalan di area parkir di depan pintu utama hotel. Gadis itu terlihat berjalan tergesa ingin keluar dari area hotel.Bening yang seketika berbalik, langsung menghempas tangan Christ dengan kasar. “Ngapain nyusul?&
Aga berdecak kesal mendengar isakan Bening yang tidak berhenti sedari tadi. Hingga pada akhirnya, ia menepikan mobil di bahu jalan untuk berbicara sejenak dengan gadis itu.Harusnya, Aga tidak perlu ikut campur dengan masalah pribadi sekretaris yang selalu berani membantahnya itu. Namun, Aga tidak suka melihat perlakuan yang ditunjukkan Christ, pada Bening ketika berada di parkiran hotel. Oleh sebab itulah, Aga akhirnya ikut berceletuk dan melibatkan diri dalam perdebatan keduanya.Lantas, sikap ikut campurnya beberapa saat yang lalu ternyata membuahkah hal yang sangat mengejutkan. Aga sampai tidak habis pikir, kalau Bening akan berani menyatukan bibir mereka berdua di depan umum seperti tadi. Beruntung, parkiran hotel kala itu tidak terlalu ramai, meskipun ada beberapa orang lewat yang akhirnya melihat aksi mereka berdua.Aga merutuk sejadi-jadinya setelah itu, karena tidak sanggup mengelak ciuman yang begitu terasa manis dan memabukkan itu.“Bisa