“Ga.” Vira mencekal siku Aga yang baru saja berdiri dan sepertinya hendak pergi menyusul Sisil. “Jangan seperti anak kecil, kita bicarakan lagi semuanya dan ayo mediasi.”
Aga menarik tangannya hingga terlepas lebih dulu dari Vira. “Vira … aku, capek! Bertahun-tahun aku diam dan berusaha bicara baik-baik, tapi nggak juga kamu anggap. Dan sekarang, rasaku sudah hilang, Vir. Karena itu aku nggak mau mediasi dan aku kabulkan apapun yang kamu minta di pengadilan. Please, ayo berdamai dan jalani hidup masing-masing.”
“Tapi, Ga—”
“Aku harus pergi,” putus Aga kemudian berlalu tanpa ingin lagi mendengar ocehan Vira. Bukan karena ia ingin menyusul Sisil, tapi Aga tidak ingin berlama-lama berada bersama Vira. Ia tidak ingin berdebat, dan memilih pergi dem
Setelah Aga mengirim nomor rekeningnya seperti yang Bening minta, pria itu benar-benar kembali menghilang dari jangkauan Bening. Sejak saat itu pula, Bening tidak lagi pernah melihat, bertemu, ataupun berhubungan dengan mantan atasannya itu. Aga benar-benar melakukan apa yang sudah dikatakannya, dengan tidak akan mengatur dan mengurusi hidup Bening lagi. Sementara Bening, setelah mendapat nomor rekening dari Aga, keesokan harinya ia langsung pergi ke bank untuk mentransfer sejumlah nominal yang sama persis, seperti harga yang sempat dikatakan oleh marketing apartemen tersebut. Yang semakin membuat Bening kesal ialah, setelah Bening mentransfer dan mengabarkan hal tersebut pada pria itu, Aga sama sekali tidak meresponsnya. Bahkan, untuk mengetikkan kata terima kasih pun, Aga tidak melakukannya. Deretan pesan yang dikirimkan oleh Bening, hanya dibaca dan sama s
“Mama kena sirosis hati, butuh donor. Dan kami sekeluarga nggak ada yang cocok.” Saat ada sebuah chat dari nomor yang tidak dikenal, Bening segera membuka dan membacanya. Setelah itu, selagi pengirimnya masih mengetikkan sesuatu, dan ingin kembali mengirim chat pada Bening, ia langsung memblokir nomor tersebut. Bening langsung berdecih kesal sendiri di detik yang sama. Ketika masih sehat, tidak ada satu pun yang mengingat Bening sebagai keluarga. Namun, ketika sudah sakit seperti sekarang, barulah Bening dicari-cari. Jelas mereka semua salah sasaran, ketika berharap Bening akan mau mendonorkan sebagian dari organ tubuhnya, meskipun kepada wanita yang telah melahirkannya. Jika saja orang itu Sinta, walau nyawa sekali pun, Bening tidak akan ragu untuk memberikannya. Se
Meskipun, sudah beberapa waktu ini Aga menghindari Bening dan menjaga jarak, ternyata aliran darahnya masih saja berdesir hebat ketika ia bertemu kembali dengan gadis itu. Aga kira, mungkin dengan sejalannya waktu, pikirannya akan terlupa dan hatinya pun sudah tidak lagi menyimpan nama gadis itu. Akan tetapi, Aga salah besar. Pertemuannya di lift beberapa waktu yang lalu, membuat Aga semakin hari semakin mengeraskan pijatan pada kepalanya. Aga sempat mengira, mungkin semua rasanya pada gadis itu adalah sebuah penasaran serta iba belaka. Namun, ternyata tidak seperti itu. Hanya saja, Aga memang harus menjauh untuk sementara waktu, sampai hakim memberi putusan dan ketuk palu pun akhirnya diikrarkan. Jika tidak, Aga khawatir kalau akal sehatnya sebagai seorang pria akan benar-benar hilang ketika ia selalu bersama dengan gadis itu. Sementara, Aga bukanlah pria ya
Aga masuk ke dalam kamar dengan membawa semangkuk bubur ayam yang diminta oleh Bening. Ditambah, satu strip obat penurun panas serta sakit kepala, yang baru saja diantar oleh salah satu karyawan yang bekerja di apartemen. Gadis itu kembali tertidur, sambil membungkus tubuhnya dengan selimut, hingga mau tidak mau, Aga harus membangunkan Bening kembali terlebih dahulu. Aga meletakkan semua barang yang dibawanya ke atas nakas, lalu membangungkan gadis itu sekali lagi. “Ning, sarapan dulu,” ujar Aga seraya menyentuh bahu Bening dan mengguncangnya dengan perlahan. “Bubur ayamnya sudah ada.” “Bening, bangun.” Gadis itu hanya menggumam dan semakin menarik selimut dan kembali menutup seluruh tubuhnya. “Ning—”
Aga meletakkan satu tangan di atas dahi Bening, dan menjauhkan kepala gadis yang tengah menempel di dadanya dengan perlahan. Meskipun hatinya kesal bercampur gusar, tapi Aga berusaha untuk tidak berbuat kasar pada gadis itu.“Lepas, Ning,” titah Aga masih sembari menahan kepala Bening.Bibir sensual yang pucat itu pun memberengut seraya menggeleng. “Hape dulu.”“Nggak akan.”“Sama dong,” sahut Bening dengan cepat, kendati rasa pusing di kepalanya masih tidak mau pergi. “Saya juga nggak akan lepasin Pak Aga.”“Jangan mancing-mancing kalau nggak mau diajak ke penghulu.”“Ish, kepala Bapak isinya cuma kawin
Setelah mengambil laptop yang berada di mobil dan kembali ke dalam unit Bening, Aga hanya duduk di ruang tamu, tanpa masuk ke dalam kamar. Aga khawatir, akan ada pemandangan yang seharusnya tidak dilihat, ketika Bening selesai mandi. Untuk itulah, Aga hanya menunggu gadis itu di ruang tamu. Jika Bening tidak keluar dalam kurun 15 menit, barulah Aga akan mengetuk pintu kamar terlebih dahulu, untuk memastikan gadis itu sudah selesai mandi atau belum.Ada beberapa hal yang harus dibicarakan Aga dengan Bening kali ini. Namun sebelum itu, Aga harus mengecek e-mail perusahaan terlebih dahulu terutama hasil dari rapat redaksi pagi ini.Aga meletakkan laptop di pangkuan, lalu mulai membaca beberapa e-mail yang masuk satu persatu dengan teliti. Begitu menemukan sesuatu yang harus dibenahi, maka Aga langsung membalas e-mail tersebut agar beberapa materi yang ada bisa dir
Hari itu, Aga sudah berusaha untuk pulang secepat mungkin. Walaupun, ketika sampai di apartemen, jarum jam dinding yang terpajang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kendati begitu, selama Aga berada di luar, ia tidak pernah absen untuk mengecek keadaan Bening setiap jamnya. Jika tidak sempat menelepon, Aga akan mengirimkan gadis itu sebuah chat untuk bertanya mengenai kondisi tubuhnya. Andai sampai besok suhu tubuh gadis itu masih saja sama, Aga akan langsung membawa Bening ke rumah sakit, meskipun gadis itu nantinya menolak untuk pergi.Sebelum Aga pergi siang tadi, ia sudah menyiapkan dua porsi bubur ayam, serta roti tawar untuk gadis itu. Aga juga sudah membuang semua stok mi instan, yang ternyata masih ada di salah satu lemari gantung di dapur. Aga juga sudah berpesan pada Bening, kalau menginginkan sesuatu, maka gadis itu bisa langsung menelepon resepsionis yang bertugas di bawah. Semua hal sudah
Semalaman, Aga tidak bisa tidur dengan tenang. Ucapan Bening selalu terngiang dan hal itu membuatnya sakit kepala.Bagaimana jika yang dikatakan gadis itu benar? Ada seorang pria di luar sana, yang bisa saja mengajak gadis itu untuk menjalin hubungan dan Bening pun menerimanya.Andai hal itu terjadi, maka Aga sudah tidak bisa mendekati gadis itu lagi. Sia-sialah semua yang sudah dilakukannya selama ini, dan itu tidak boleh terjadi. Memikirkan hal tersebut, Aga langsung pergi ke tempat Bening untuk berbicara serius dengan gadis itu.“Ning …” Aga membuka pintu kamar yang memang tidak tertutup sempurna. Ia melihat Bening sudah duduk di tepi ranjang dengan muka bantal dan surai ikal yang sudah tidak karuan. Namun, wajah polos yang sudah tidak terlihat pucat itu, tampak semakin manis saat bangun tidur