"Apa yang terjadi sama kamu, Vio?!" Dengan rasa terkejut, buru-buru Siska turun dari lantai atas dan mendekati Violetta dan Helios.Tatapan terkejut tak bisa dia sembunyikan saat melihat Helios ada di dalam rumahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?!" tanya Siska masih terkejut dan heran."Aku mengantar Violetta pulang. Kami tadi olahraga sama-sama lalu Violetta keseleo-""Ahh! Jadi ini ulah kamu?!" Makin naik nada suara Siska.Helios menarik napas dalam. Bagus sekali. Ibu dan anak ini sama saja. Mereka sama-sama tidak suka dengan Herman, terganggu dengan kedatangan Helios, dan tentu saja tidak akan menyukainya juga."Ini kecelakaan, Bu. Aku ga buat apa-apa sama Violetta," kilah Helios. Belum juga tahu duduk perkaranya, kenapa Siska langsung menuduh begitu? "Ga usah alasan," tukas Siska dengan mata menyala. Dia lalu menoleh pada pelayannya yang berdiri tidak jauh dari pintu ke arah dapur. Di belakang pria itu seorang pelayan wanita berdiri dengan wajah bingung. "Dadang, panggil dokt
"Oya? Bagaimana dia?" Benar, pertanyaan Herman berlanjut."Baik, ramah." Helios menjawab seraya mengambil sepotong roti tawar yang sudah lengkap dengan topingan untuk disantap."Benarkah?" Herman seperti tidak percaya dengan yang Helios katakan."Ya, kami berkeliling beberapa kali. Menyenangkan," kata Helios."Vio ... Gadis itu sudah dewasa." Kalimat Herman itu menyiratkan sesuatu. Tatapan matanya berubah. dia seolah-olah menerawang ke tempat lain atau ke masa lain."Berapa usia Violetta?" tanya Helios."Kalau aku ga salah ingat, tahun ini dua puluh dua. Tapi ya begitulah, masih manja. Hanya suka bersenang-senang. Tidak tahu apa yang dia ingin lakukan dalam hidupnya," jawab Herman dengan lengkap.Jika yang Herman katakan benar, sayang sekali. Kalau ada istilah 'sayang seribu sayang' mungkin lebih tepat lagi mengungkapnnya.Dengan hidup sebagai keluarga Hartawan yang bisa mendapatkan segala fasilitas, sangat mudah bagi Violetta meraih cita-cita. Lalu, dia hanya menghabiskan waktu begit
Helios masih berpikir bagaimana dia menjawab Donita. Wanita itu adalah mentornya dalam pendidikan yang dia tempuh. Apakah wajar jika dia punya kedekatan di luar kelas? Apalagi, kisah hidup Helios tidak wajar. Apakah bisa begitu saja Helios urai pada orang lain? Apa untungnya dan apa pula baiknya? Kalau justru jadi bahan cemooh?"Kamu tahu bukan, di sekolah-sekolah ada ruang BK? Kamu tahu itu fungsinya apa?" Donita bertanya lagi."Tentu aku tahu. Apa salah satu tugas Miss Doni menjadi guru BK buat peserta kelas?" Helios balik bertanya "Tugasku adalah memastikan menti yang aku tangani bisa belajar maksimal. Halangan apapun tidak boleh membuat dia mundur atau gagal. Memang, aku tidak menjamin semua akan berhasil. Tapi, tentu aku harus memperjuangkannya," jelas Donita.Helios paham bagian itu."Terserah kamu jika tidak bersedia terbuka. Yang pasti, aku tidak mau gangguan apapun terjadi dalam proses belajar. Kamu harus ingat itu, Helios." Donita menambahkan, terlihat gamblang dan dia sang
"Bagaimana, Helios? Kamu tidak tertarik melepas lelah?" Donita yang ada di samping Helios bicara sambil ikut memperhatikan area bermain yang ramai dan riuh."Oke. I am ready." Helios tersenyum lebar.Donita mengangkat kakinya dan berjalan masuk ke area bermain itu. Helios menguntit di belakangnya. Dia tidak sabar ingin mencoba permainan apa saja yang ada di sana. Setelah sekian lama, apakah dia masih cukup jago?Tidak sampai sepuluh menit, tampak Helios memulai petualangannya menjelajah area bermain yang lengkap dengan segala macam jenis permainan. Sebagian besar Helios pernah bermain waktu masih di Semarang. Donita mengikuti saja ke sisi mana Helios bergerak. Donita lumayan paham dengan permainan yang ada. Dia cukup mengimbangi semua model permainan yang Helios pilih."Hahaha!!! Aku menang lagi! Ini seru sekali!" Tawa lepas Helios menghiasi wajahnya.Kelesuan lenyap begitu saja dari pemuda itu. Galau yang tersembunyi dan muncul di sorot matanya hilang. Donita bisa melihat sisi lain
Wajah Herman datar memandang Helios. Mereka akan memulai sarapan pagi itu. Dan Herman menanyakan malam sebelumnya Helios tidak pulang tepat waktu tanpa tidak memberi kabar. "Ada papa kamu di rumah, menunggu kamu pulang. Tidak terpikir sedikitpun kamu ingin mengirim pesan?" ucap Herman. Tenang, tidak ada nada marah, tapi Helios tahu, Herman kecewa. "Pa, aku minta maaf. Itu mendadak dan aku tidak bisa menolak. Karena Miss Donita mengajak begitu saja. Dia tidak menjelaskan akan ke mana dan bagaimana, jadi aku tidak bisa menolaknya." Helios mencoba menjelaskan yang terjadi. Herman menatap lurus pada Helios. Ekspresinya tidak berubah. "Papa, aku minta maaf. Aku sama sekali tidak terpikir. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Helios bicara dengan sungguh-sungguh. Rasanya aneh sekali. Herman marah. Dia bertindak seperti seorang ayah yang mendapati anaknya tidak taat dengan aturan rumah. Apa memang Herman melihat Helios benar-benar sebagai anak? Helios masih melihat Herman sebagai o
Senyum lebar menghiasi bibir Violetta. Dia masih berdiri di balkon memperhatikan Herman dan Helios. Kemudian dia berbalik melangkah masuk lagi ke dalam kamar Siska."Kenapa kamu senyum sendiri? Apa yang lucu?" tanya Siska heran."Om Herman." Violetta menjawab sambil terus berjalan keluar kamar itu. "Aneh. Apanya yang lucu? Menyebalkan yang iya." Siska bicara seakan-akan Violetta masih bisa mendengar.Sedangkan Violetta terus ke lantai bawah, meninggalkan rumah besar itu dan mengarahkan langkah kakinya menuju ke taman di mana Herman dan Helios berada."Hai! Slamat pagi!" Dengan suara ceria Violetta menyapa.Herman dan Helios menoleh ke arah dari mana Violetta datang."Hai, Vio! Pagi!" Herman membalas sapaan itu. "Dari rumah aku lihat Om gembira sekali pagi ini." kata Violetta. Dia menghentikan langkah di depan meja di antara Herman dan Helios duduk."Helios yang punya ide. Dia mengajak sarapan di luar rumah. Seru juga ternyata," ujar Herman.Helios memperhatikan Violetta. Gadis itu m
"Kamu mungkin yang salah, Erma. Nyonya minta beli bukan tiga, tapi lebih." Vemy menenangkan Erma."Nggak mungkin, Bu. Jelas sekali dia bilang tiga kotak." Erma memastikan dia tidak mendengar jumlah yang salah."Ya sudah. Kamu belikan tiga sisa uangnya kamu kembalikan." Dengan tenang Vemy menjawab."Aku sih, merasa ada yang aneh, Bu." Erma mengerutkan kening.Wanita muda itu membawa ingatan pada perbincangannya dengan Siska."Nyonya nanya soal Tuan Besar, juga nanya Tuan Muda," kata Erma."Nanya apa?" Vemy jadi ingin tahu.Singkat, Erma menuturkan apa saja yang Siska tanyakan."Aneh ga aneh, menurutku. Cuma, mengingat mereka selalu saja ribut ... ya pantas kamu merasa gimana, gitu." Vemy mengangkat kedua bahunya."Jadi ini gumana, Bu? Uangnya?" Erma bertanya lagi."Pergi saja sana, sesuai pesanan. Lalu antar dan kembalikan sisa uangnya. Daripada jadi pikiran, lebih baik kamu urus segera saja." Vemy memberi saran."Iya, Bu." Erma manut.Dia pun pamitan keluar untuk mengurus pesanan Siska
Helios masuk ke dapur. Dia ingin membuat jus jambu. Di dapur ada Erma, sendirian."Tuan Muda? Ada yang bisa saya bantu? Kenapa tidak panggil saja?" Erma kaget melihat Helios ke dapur."Aku mau buat jus. Jambu masih ada, kan?" tanya Helios."Biar saya siapkan, Tuan Muda. Silakan kembali ke kamar, nanti saya antar." Erma bicara seraya bergerak menuju kulkas."Ga apa-apa, Mbak. Buat jus itu gampang. Aku buat sendiri aja. Mbak Erma bisa lanjutkan pekerjaan." Helios mendekati Erma dan meminta jambu yang ada di tangan wanita itu."Tuan Muda, tidak boleh begitu. Tugas saya-""Sini. Mana jambunya?" Helios memaksa.Erma tidak berani menolak lagi. Dia berikan dua jambu yang lumayan besar di tangannya pada Helios. Lalu Erma menunjukkan di mana blender dan gelas, juga beberapa barang lain yang mungkin Helios butuhkan, Erma memberitahu di mana posisinya.Helios benar-benar membuat jus sendiri. Sesekali Erma menoleh memperhatikan jika Helios butuh bantuan."Mbak Erma mau?" tanya Helios."Ya, Tuan?"