Share

Mengulang Masa Depan

Mataku terbuka perlahan, aku merasakan sentuhan lembut berputar di atas tanganku. Aku menatap Merri yang tersenyum bebas untuk beberapa saat. Aku bersyukur.

“Merri, aku senang melihatmu lagi…”

‘Tapi babyku tidak ada di sini… babyku tidak ada.’ air mata mengalir dari sudut mataku. Alirannya cukup deras dan cukup membuat Merri kelimpungan.

Aku dengar sepotong demi sepotong ucapan Merri yang bermuka sedih. Kemudian beberapa orang masuk ke dalam kamarku. Seorang dokter meraih pergelangan tanganku dengan hati-hati. Ia memeriksa suhu tubuhku. Dia mengatakan kalau aku terkena demam.

Merri dan beberapa pelayan lainnya semakin gusar.

Aku sempat terduduk di atas kasur untuk meminum obat, sambil melihat seisi ruang kamarku. Tidak  berubah dari yang terakhir aku ingat. Mungkin kehadiran pohon putih arklik mengilap di tengah ruangan memberiku petunjuk tentang garis waktuku kembali. Aku ingat betul kapan pohon itu ada di sana.

Pohon itu merupakan bentuk sambutan hangat dari Keluarga Royal untuk menyambut anggota baru keluarga. Artinya, aku kembali pada masa saat aku baru menjadi pengantin baru. Istri seorang Putra Mahkota.

“Yang Mulia, apa kau begitu sedih karena Yang Mulia Putra Mahkota harus segera pergi membasmi monster di perbatasan setelah pesta pernikahan?” tanya salah seorang nona dayang. Kalau ingatanku benar, namanya adalah Sophie von Blester dari keluarga Count.

“Oh Yang Mulia, janganlah cemas. Putra Mahkota adalah ksatria yang tangguh, jadi beliau pasti akan kembali dengan selamat.” yang barusan menyahuti adalah nona dayang lain, namanya Laura Kil Lanchester dari keluarga Count juga.

Ha, benar juga. Di awal pernikahan, Hayden meninggalkanku untuk segera bertugas ke perbatasan. Aku ingat aku sempat bersedih karena hal itu. Aku mendengar beberapa nona menggunjingku dibalik kipasnya. Menertawaiku yang ditinggal sendiri di pesta pernikahan tanpa kehadiran suami. Waktu itu aku mengabaikan sindiran mereka. Dengan dalih bahwa suamiku tengah bertugas demi Kerajaan. Dan aku adalah istri yang mendukung penuh tugas suaminya. Sanggahanku membuat mereka malu, sedang aku mendapat kepercayaan diri.

Tapi kalau dipikir ulang, mungkin Hayden sengaja melakukannya demi mempermalukanku. Bagaimanapun keadaannya, Kerajaan Drachentia memiliki prajurit handal yang bisa menakhlukan monster tanpa harus membuat Putra Mahkota turun tangan langsung. Ha, kenapa dulu aku tidak  terbesit akan hal itu?

Bodoh.

Dan kemungkinan besarnya, dua nona dayang ini adalah pesuruh Hayden. Mereka ditugaskan untuk mengawasiku. Aku ingat betul bagaimana mereka menjebakku dengan tuduhan konyol di pengadilan. Memutarbalikkan fakta hingga aku dijebloskan ke penjara bawah tanah yang kumuh.

“Keluar. Selain Merri, keluar.”

“Tapi Yang Mulia, kami adal-”

“Beraninya kalian menentangku, seorang Putri Mahkota?”

Mereka terkesiap. Mata mengerjap-ngerjap. Mungkin ini kali pertama mereka mendengar nada bicaraku yang angkuh dan dingin. Sebab sebelum menjadi nona dayang, mereka kuanggap sebagai teman. Meskipun bukan teman dekat, tapi kami lumayan sering bercengkerama di beberapa pesta teh. Makanya, ketika Hayden mengajukan nama mereka sebagai nona dayangku, aku menyetujuinya.

Aku yang dulu amat bodoh.

‘Kenapa? Kenapa aku balik jadi Fuschia? Kalau ingin mengulang waktu, kembalikan aku ke kehidupan pertamaku. Sial! Atau setidaknya, kembalikan aku ke masa sebelum aku menjadi istri bajingan itu!’ aku mengutuk siapapun yang mengembalikanku ke dalam plot mengerikan ini.

Aku terjebak dalam buku yang semuanya tampaknya telah diselesaikan. Dengan Hayden di atas tahta sebagai pangeran berhati mulia, sedang aku sebagai penjahat bengis yang melukai pangeran itu. Peran Fuschia mungkin hanya tertulis di beberapa baris dalam satu bab dalam buku itu. Namun aku sudah kelelahan. Sekarang aku tahu alur ceritanya tidak  dapat diubah.

‘Baby.. baby.. apa kau kesepian sayang?’ Lagi-lagi air mata membasahi pipiku. Dan setiap kali itu terjadi, Merri akan duduk di sisiku.

Sudah tiga hari aku tidak keluar kamar karena demam. Walaupun demamnya telah turun, tapi aku tetap rebahan di ranjang. Aku lelah.

Aku tahu setiap manusia pasti akan mati. Tapi aku tidak  ingin kematian yang mengenaskan lagi. Apa boleh aku mati dalam keadaan damai? Atau paling tidak , aku mati karena pilihanku sendiri. Bukan karena ditusuk atau dipenggal dengan mengenaskan.

“Merri, temani aku ke danau hijau.”

“Dengan senang hati, Yang Mulia Putri Mahkota.”  Merri tampak bahagia, aku melihatnya berjalan sambil loncat-loncat ringan. Lucu.

“Merri, panggil aku dengan namaku.”

“Ba-bagaimana bisa saya-”

“Setidaknya saat hanya ada kita berdua, panggil aku dengan namaku.”

“Tapi Yang Mulia-”

“Merri, apa kau ingin aku memohon kepadamu?”

“Apa?! Tentu saja tidak . Bagaimana bisa saya selancang itu?”

“Kalau begitu, tolong Merri, panggil aku Nona Fuschia seperti saat kita di rumah Duke.”

‘Karena aku tidak ingin kau memanggilku dengan sebutan menjijikkan itu.’

Merri mengangguk malu. Dia sungguh gadis muda yang baik dan pekerja keras. Dia adalah satu-satunya pelayan yang ingin menjaga babyku. Di saat pelayan lain mengabaikan kami.

Kami berjalan lumayan jauh. Hingga tiba di sebuah danau. Di mana airnya tidak  pernah surut saat kemarau, serta tidak pernah beku saat musim dingin. Tidak  ada yang tahu sedalam apa danau ini, karena siapapun yang terjebur di dalamnya, tidak pernah kembali ke permukaan untuk menceritakannya. Cukup aneh memang untuk mengunjungi danau ini, karena ada danau lain yang lebih indah dan terkenal untuk dikunjungi seorang nona bangsawan.

‘Hmpf. Tidak ada jaminan aku bisa bertemu babyku lagi. Dan kalaupun bisa, aku tetap tidak bisa mengubah alur cerita ini. Babyku akan tetap dibunuh oleh mereka.’

Saat Merri dan dua prajurit pengawal kuperintah mengambil peralatan teh di kereta kuda, aku mengantongi sejumlah batu di saku gaunku.

BYUR!

‘Baby, tunggu mama. Kali ini mama sungguhan datang ke tempatmu.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status