Share

Sangkur Pora
Sangkur Pora
Penulis: Junjung Buih

1

"Dek, menikahlah sama mas!"

Deg!

Aku terdiam sejenak. Sampai terdengar suara dari seberang sana.

"Dek, hallo! Kok suaranya gak ada?"

"Ehm ... Maksud Mas? Aku gak ngerti mas?" tanyaku ragu.

Aku masih bingung dengan apa yang dikatakan mas Adry. Apakah aku salah dengar atau memang benar ia sedang melamarku. Namun, aku tak pernah punya hubungan khusus dengannya. Kami hanya berteman lantaran mantanku adalah sahabatnya. 

"Mas serius, Dek. Mas udah tau Adek dah putus dengan temen mas." 

Dari intonasi suaranya, aku dapat menyimpulkan lelaki itu sedang tak main-main. Ia serius melamarku. Namun, aku masih tak mengerti. Mengapa tiba-tiba saja ia meminang wanita yang pernah jadi kekasih sahabatnya.

Sebelum mengakhiri sambungan telepon, aku menolaknya secara halus. Akan tetapi, dia tetap kekeh agar aku memikirkan tawarannya terlebih dahulu. Dan akupun terpaksa mengiyakannya.

Belakangan aku memang akrab dengan Mas Adry. Lantaran insiden yang menimpanya. 

Mas Adry mengalami kecelakaan yang menyebabkan satu kakinya divonis cacat permanen.

Saat itu, Mas Brian--mantan pacarku--begitu berduka akan tragedi yang menimpa sahabatnya itu. Lalu, kutawarkan agar mas Adry melakukan pengobatan alternatif.

Bapakku adalah seorang tukang pijat tradisional. Walaupun demikian, banyak orang yang patah tulang bisa sembuh melalui terapi pijat di tempat bapak. Tanpa operasi pemasangan pen.

Sejak saat itulah, aku dan mas Adry sering berkomunikasi. Walaupun demikian, hubungan kami hanya sebatas teman saja. Tak lebih dari itu.

***

Pagi itu hujan turun begitu deras. Aku duduk disofa sembari menikmati secangkir teh hangatdan biskuit bergambar kelapa muda.

Aku menatap kaca rumah yang berembun karena terjadi kondensasi. Akibat temperatur di luar lebih dingin dari dalam rumah.

Samar-samar, sebuah sedan berwarna merah memasuki halaman rumah.

"Siapa tamu pagi-pagi begini?" gumamku sambil terus memperhatikan mobil itu. 

Biasanya jika itu pasien bapak, mereka akan membuat janji terlebih dahulu melalui nomor teleponku. Karena bapak juga seorang petani. Maka tak jarang, pasien harus pulang dengan tangan hampa karena bapak tak ada di rumah.

Karena penasaran, aku mendekat ke kaca rumah dengan posisi badan masih tertutup gorden.

Aku terperanjat ketika mengetahui siapa pemilik mobil sedan itu.

Dia adalah Mas Adry. Mati aku, belum mandi, muka masih kucel seperti gembel. Andai ia tidak melamarku kemarin, mungkin aku tak akan segugup ini.

Aku segera berlari menuju kamar, meraih handuk secepat kilat menuju kamar mandi.

"Kenape Vi, lari-lari kek orang kesetanan?" Emak mengernyitkan keningnya, keheranan melihat tingkahku.

"Kebelet, Mak," jawabku singkat. Lalu segera ke kamar mandi. 

Saat cuaca dingin seperti ini, aku paling malas mandi pagi. Walaupun Emak sering memarahi, anak gadis tak baik seperti itu.

"Cuman seminggu sekali, Mak. Senin sampai Sabtu Devi mandi sebelum shalat subuh." 

Begitulah pembelaanku saat dinasehati Emak. Lalu, Emak akan memukul bokongku dan mengomel hingga ia menemukan topik baru untuk mengubah tema omelannya.

***

Setelah selesai mandi dan bersiap, aku berjalan menuju ruang tamu. 

Terdengar gelak tawa emak diselingi suara tepukan memukul-mukul. 

Emakku kalau tertawa selalu memukul siapapun yang ada di dekatnya. Pasti Mas Adry sedang menikmati setiap pukulan tangan Emak yang pedasnya seperti bon cabe level 5. Duh Gusti!

"Ehm!" Aku berdehem mengisyaratkan keberadaanku.

Emak dan Mas Adry langsung menoleh kearahku. Berbeda dengan ekspresi mas Adry yang tersenyum simpul, Emak malah menyipitkan mata.

Emak langsung berdiri dan menyeretku menuju dapur.

"Devi, ambilin kue putri salju gih didapur!" teriak Emak. Ia seperti sengaja menyaringkan suaranya agar didengar mas Adry.

Sampai di dapur, Emak malah ngomel-ngomel mengkritik penampilanku yang hanya menggunakan daster.

"Aduh Mak, mas Adry itu bukan pacar Devi. Kalo aku dandan berlebihan, yang ada ntar dia ngira aku cari perhatian sama dia." jawabku kesal.

"Lah? Beneran Vi, dia bukan pacar kamu?" tanya emak heran.

"Emang kenapa kalo dia bukan pacarku? Aku cuman temenan kok sama dia," selidikku.

Aku meraih teko, lalu memasukkan air ke dalam gelas. Kulihat wajah Emak seperti orang linglung.

Baru saja hendak meminum air dari gelas, Emak mengatakan hal yang tak terduga.

"Dia bilang mau melamar kamu Vi."

Air yang baru sampai di kerongkonganku tiba-tiba balik arah muncrat, setelah mendengar kata-kata dari Emak.

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, persis seperti setelah berlari 200meter.

"Aduh gimana ini Mak?" tanyaku gusar.

Emak meraih toples kaca berisi kue sisa lebaran dan mendorongku agar segera menyuguhkannya untuk Mas Adry.

Mata Emak langsung hijau, mendengar anaknya akan dipinang seorang prajurit abdi negara.

"Maaf ya, Mas. Lama ya nunggunya?" 

Aku berusaha terlihat santai di depan mas Adry.

"Iya Dek, gak papa," sahut mas Adry seraya memamerkan lesung pipinya.

Aku menaruh toples berisi putri salju itu di meja. Kemudian, tanganku tak sengaja menyenggol gelas minum mas Adry. Semuanya tumpah. Sial!

Kini, aku makin salah tingkah di depan mas Adry. Aku tersenyum kecut padanya.

"Maaf ya Mas, kuambilin yang baru minumnya!" 

"Gak usah repot-repot, Dek! Mas udah gak haus kok," cegah lelaki itu.

Tak kuhiraukan kata-kata mas Adry, aku kembali ke dapur untuk membuat minuman lagi untuknya.

Aku mengatur napas sebelum kembali menyediakan teh yang tadi telah kutumpahkan. Agar Mas Adry tak tahu, aku benar-benar merasakan malu ketika matanya yang teduh itu terus menatapku. 

Emak menghilang entah kemana, karena di dapur tak terlihat batang hidungnya..

Aku kembali membawa nampan segelas teh ke ruang tamu.

Bukannya semakin tenang, kali ini aku tak bisa menyembunyikan kalau aku benar-benar gugup. Sampai terdengar bunyi seperti sedang terjadi gempa skala kecil. Karena tanganku gemetar.

Lelaki itu terus menatapku, aku bisa merasakan bola matanya mengikuti setiap gerak-gerikku.

Aku menelan ludah. Menahan rasa malu. Segera kubersihkan tumpahan minum tadi dilantai untuk mengalihkan perhatian mas Adry. Aku berusaha terlihat senatural mungkin.

Tiba-tiba, tangan kekarnya memegang erat tanganku yang sedang membersihkan ceceran teh dilantai. Ia menepuk bagian sofa yang kosong di sampingnya. Mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya. 

"Dek, tujuan mas kesini ingin tahu jawaban Adek. Jadi, stop bikin dramanya dan mengulur waktu!" ucap lelaki berambut cepak itu.

Aku tertegun dan bergeming. Sedangkan mulutku terkatup rapat. Yang terdengar hanya detak jantungku. Kurasa mas Adry juga dapat mendengarnya.

"Kalo Adek menyetujui pinangan mas, Adek hanya perlu mengangguk!"

Sesaat terjadi pergolakan batin. Jika aku menerimanya, apakah aku sudah siap dengan konsekuensinya? Hatiku masih terpaut kepada Mas Brian. Dan aku belum sepenuhnya mencintai lelaki yang sedang menunggu jawabanku itu.

Jika aku menolaknya, mungkinkah akan kutemukan lagi pria sebaik Mas Adry? 

Akhirnya, dengan segala pergolakan batin itu, mengucapkan Bismillah dalam hati, aku menganggukkan kepala.

Lelaki yang mengenakan polo shirt berwarna hitam itu merogoh sesuatu dari kantongnya. Ia memberikan sebuah cincin untukku.

"Besok mas balik lagi dengan keluarga Mas untuk ketemu keluarga Adek."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status