"Dek, menikahlah sama mas!"
Deg!
Aku terdiam sejenak. Sampai terdengar suara dari seberang sana.
"Dek, hallo! Kok suaranya gak ada?"
"Ehm ... Maksud Mas? Aku gak ngerti mas?" tanyaku ragu.
Aku masih bingung dengan apa yang dikatakan mas Adry. Apakah aku salah dengar atau memang benar ia sedang melamarku. Namun, aku tak pernah punya hubungan khusus dengannya. Kami hanya berteman lantaran mantanku adalah sahabatnya.
"Mas serius, Dek. Mas udah tau Adek dah putus dengan temen mas."
Dari intonasi suaranya, aku dapat menyimpulkan lelaki itu sedang tak main-main. Ia serius melamarku. Namun, aku masih tak mengerti. Mengapa tiba-tiba saja ia meminang wanita yang pernah jadi kekasih sahabatnya.
Sebelum mengakhiri sambungan telepon, aku menolaknya secara halus. Akan tetapi, dia tetap kekeh agar aku memikirkan tawarannya terlebih dahulu. Dan akupun terpaksa mengiyakannya.
Belakangan aku memang akrab dengan Mas Adry. Lantaran insiden yang menimpanya.
Mas Adry mengalami kecelakaan yang menyebabkan satu kakinya divonis cacat permanen.
Saat itu, Mas Brian--mantan pacarku--begitu berduka akan tragedi yang menimpa sahabatnya itu. Lalu, kutawarkan agar mas Adry melakukan pengobatan alternatif.
Bapakku adalah seorang tukang pijat tradisional. Walaupun demikian, banyak orang yang patah tulang bisa sembuh melalui terapi pijat di tempat bapak. Tanpa operasi pemasangan pen.
Sejak saat itulah, aku dan mas Adry sering berkomunikasi. Walaupun demikian, hubungan kami hanya sebatas teman saja. Tak lebih dari itu.
***
Pagi itu hujan turun begitu deras. Aku duduk disofa sembari menikmati secangkir teh hangatdan biskuit bergambar kelapa muda.
Aku menatap kaca rumah yang berembun karena terjadi kondensasi. Akibat temperatur di luar lebih dingin dari dalam rumah.
Samar-samar, sebuah sedan berwarna merah memasuki halaman rumah.
"Siapa tamu pagi-pagi begini?" gumamku sambil terus memperhatikan mobil itu.
Biasanya jika itu pasien bapak, mereka akan membuat janji terlebih dahulu melalui nomor teleponku. Karena bapak juga seorang petani. Maka tak jarang, pasien harus pulang dengan tangan hampa karena bapak tak ada di rumah.
Karena penasaran, aku mendekat ke kaca rumah dengan posisi badan masih tertutup gorden.
Aku terperanjat ketika mengetahui siapa pemilik mobil sedan itu.
Dia adalah Mas Adry. Mati aku, belum mandi, muka masih kucel seperti gembel. Andai ia tidak melamarku kemarin, mungkin aku tak akan segugup ini.
Aku segera berlari menuju kamar, meraih handuk secepat kilat menuju kamar mandi.
"Kenape Vi, lari-lari kek orang kesetanan?" Emak mengernyitkan keningnya, keheranan melihat tingkahku.
"Kebelet, Mak," jawabku singkat. Lalu segera ke kamar mandi.
Saat cuaca dingin seperti ini, aku paling malas mandi pagi. Walaupun Emak sering memarahi, anak gadis tak baik seperti itu.
"Cuman seminggu sekali, Mak. Senin sampai Sabtu Devi mandi sebelum shalat subuh."
Begitulah pembelaanku saat dinasehati Emak. Lalu, Emak akan memukul bokongku dan mengomel hingga ia menemukan topik baru untuk mengubah tema omelannya.
***
Setelah selesai mandi dan bersiap, aku berjalan menuju ruang tamu.
Terdengar gelak tawa emak diselingi suara tepukan memukul-mukul.
Emakku kalau tertawa selalu memukul siapapun yang ada di dekatnya. Pasti Mas Adry sedang menikmati setiap pukulan tangan Emak yang pedasnya seperti bon cabe level 5. Duh Gusti!
"Ehm!" Aku berdehem mengisyaratkan keberadaanku.
Emak dan Mas Adry langsung menoleh kearahku. Berbeda dengan ekspresi mas Adry yang tersenyum simpul, Emak malah menyipitkan mata.
Emak langsung berdiri dan menyeretku menuju dapur.
"Devi, ambilin kue putri salju gih didapur!" teriak Emak. Ia seperti sengaja menyaringkan suaranya agar didengar mas Adry.
Sampai di dapur, Emak malah ngomel-ngomel mengkritik penampilanku yang hanya menggunakan daster.
"Aduh Mak, mas Adry itu bukan pacar Devi. Kalo aku dandan berlebihan, yang ada ntar dia ngira aku cari perhatian sama dia." jawabku kesal.
"Lah? Beneran Vi, dia bukan pacar kamu?" tanya emak heran.
"Emang kenapa kalo dia bukan pacarku? Aku cuman temenan kok sama dia," selidikku.
Aku meraih teko, lalu memasukkan air ke dalam gelas. Kulihat wajah Emak seperti orang linglung.
Baru saja hendak meminum air dari gelas, Emak mengatakan hal yang tak terduga.
"Dia bilang mau melamar kamu Vi."
Air yang baru sampai di kerongkonganku tiba-tiba balik arah muncrat, setelah mendengar kata-kata dari Emak.
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, persis seperti setelah berlari 200meter.
"Aduh gimana ini Mak?" tanyaku gusar.
Emak meraih toples kaca berisi kue sisa lebaran dan mendorongku agar segera menyuguhkannya untuk Mas Adry.
Mata Emak langsung hijau, mendengar anaknya akan dipinang seorang prajurit abdi negara.
"Maaf ya, Mas. Lama ya nunggunya?"
Aku berusaha terlihat santai di depan mas Adry.
"Iya Dek, gak papa," sahut mas Adry seraya memamerkan lesung pipinya.
Aku menaruh toples berisi putri salju itu di meja. Kemudian, tanganku tak sengaja menyenggol gelas minum mas Adry. Semuanya tumpah. Sial!
Kini, aku makin salah tingkah di depan mas Adry. Aku tersenyum kecut padanya.
"Maaf ya Mas, kuambilin yang baru minumnya!"
"Gak usah repot-repot, Dek! Mas udah gak haus kok," cegah lelaki itu.
Tak kuhiraukan kata-kata mas Adry, aku kembali ke dapur untuk membuat minuman lagi untuknya.
Aku mengatur napas sebelum kembali menyediakan teh yang tadi telah kutumpahkan. Agar Mas Adry tak tahu, aku benar-benar merasakan malu ketika matanya yang teduh itu terus menatapku.
Emak menghilang entah kemana, karena di dapur tak terlihat batang hidungnya..
Aku kembali membawa nampan segelas teh ke ruang tamu.
Bukannya semakin tenang, kali ini aku tak bisa menyembunyikan kalau aku benar-benar gugup. Sampai terdengar bunyi seperti sedang terjadi gempa skala kecil. Karena tanganku gemetar.
Lelaki itu terus menatapku, aku bisa merasakan bola matanya mengikuti setiap gerak-gerikku.
Aku menelan ludah. Menahan rasa malu. Segera kubersihkan tumpahan minum tadi dilantai untuk mengalihkan perhatian mas Adry. Aku berusaha terlihat senatural mungkin.
Tiba-tiba, tangan kekarnya memegang erat tanganku yang sedang membersihkan ceceran teh dilantai. Ia menepuk bagian sofa yang kosong di sampingnya. Mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya.
"Dek, tujuan mas kesini ingin tahu jawaban Adek. Jadi, stop bikin dramanya dan mengulur waktu!" ucap lelaki berambut cepak itu.
Aku tertegun dan bergeming. Sedangkan mulutku terkatup rapat. Yang terdengar hanya detak jantungku. Kurasa mas Adry juga dapat mendengarnya.
"Kalo Adek menyetujui pinangan mas, Adek hanya perlu mengangguk!"
Sesaat terjadi pergolakan batin. Jika aku menerimanya, apakah aku sudah siap dengan konsekuensinya? Hatiku masih terpaut kepada Mas Brian. Dan aku belum sepenuhnya mencintai lelaki yang sedang menunggu jawabanku itu.
Jika aku menolaknya, mungkinkah akan kutemukan lagi pria sebaik Mas Adry?
Akhirnya, dengan segala pergolakan batin itu, mengucapkan Bismillah dalam hati, aku menganggukkan kepala.
Lelaki yang mengenakan polo shirt berwarna hitam itu merogoh sesuatu dari kantongnya. Ia memberikan sebuah cincin untukku.
"Besok mas balik lagi dengan keluarga Mas untuk ketemu keluarga Adek."
Bersambung
Proses pertemuan dua keluarga berjalan lancar. Keduanya sepakat acara resepsi dilaksanakan hanya di tempat mempelai pria."Daripada uangnya dihambur-hamburkan untuk resepsi. Lebih baik digunakan untuk kehidupan rumah tangga anak-anak nantinya!" Begitulah usul Bapak saat acara lamaran.Tibalah hari yang ditunggu, akad nikah sekaligus resepsi.Lelaki yang tengah duduk berhadapan dengan Bapak. Tak sedikitpun kubayangkan akan menjadi kekasih halalku.Sedangkan, Mas Brian. Lelaki yang sering disebut namanya dalam do'a, memutuskan hubungan dengan tiba-tiba. Ia hanya memberikan alasan absurd. Absurd menurutku, karena seingatku, aku tak pernah menggaggu pekerjaannya saat dia naik piket atau saat dia patwal. Ingin fokus bekerja ujarnya kala itu."Saya terima nikah dan kawinnya Devi Nirmala binti Jaelani dengan mas kawin emas lima gram dan seperangkat alat shalat,
Sebelum pindah ke tempat tinggal baru, di desa Pagat, tak jauh dari ibukota kabupaten yang terkenal dengan kue apemnya, Barabai. Aku dan Mas Adry menginap di rumah orang tua Mas Adry yang ada di kota Pelaihari.Mas Adry hanya dua bersaudara, ia anak tertua. Sedangkan adiknya bernama Dara. Ia baru kelas tiga di sekolah menengah atas.Bapak mertua adalah guru SD negeri, sedangkan ibu mertua bekerja sebagai staf tata usaha di SMP. Walaupun kedua mertuaku berstatus PNS, mereka tak mempermasalahkan aku yang hanya lulusan SMA saja."Bukan pangkat maupun harta yang membedakan manusia, tetapi akhlak," ujar ibu mertua membesarkan hatiku.Malam itu, malam terakhir kami berada di rumah orang tua Mas Adry. Keluarga ini begitu hangat, walaupun baru saja menjadi bagian keluarga ini, aku tak merasa canggung. Ayah, Ibu dan memperlakukanku seperti anak mereka sendiri. Juga Dara, ia seperti
Sebuah mobil hatchback telah terparkir di halaman rumah."Itu buat menantu kesayangan Ayah," ujar lelaki paruh baya itu.Ayah memberikan kunci mobil padaku."Terimakasih ya, Yah. Devi jadi gak enak karena belum bisa jadi mantu yang berbakti, tapi udah dikasih hadiah," ujarku sungkan."Katanya hadiah pernikahan, kok cuman mantu ayah yang dapat. Buatku mana?" gerutu Mas Adry."Ada dalam mobil!"Mas Adry bergegas menuju mobil, mengambil hadiahnya."Buka di kamar saja!" perintah Ayah mertua.Aku mengikuti Mas Adry ke kamar. Penasaran dengan hadiah yang diberikan Ayah.Mas Adry segera membuka kado yang terbungkus rapi itu. Setelah merobek kertas kadonya dan kardus pembungkus, rupanya masih ada lagi pembungkusnya. Sudah mirip beli barang di applikasi belanja online."Ayah jualan onlin
"Mas, tolong putar balik mobilnya!" pintaku pada Mas Adry."Kenapa?""Aku tak mau tinggal bersama laki-laki yang masih mencintai wanita lain!""Terus?""Aku akan tinggal di rumah orang tuaku.""Kamu akan tinggal bersama Mas!" tegasnya."Mas!""Pernikahan kita bahkan belum genap seminggu, kamu sudah ingin menunjukkan pada dunia bahwa pernikahan kita sudah bermasalah?""Mas yang menciptakan masalahnya."Mas Adry diam. Ada jeda beberapa saat sebelum ia kembali bersuara."Mas hanya jujur.""Lalu mengapa Mas menikahiku?""Karena kau wanita yang baik.""Tapi kau tak mencintaiku, Mas."Mas Adry menghentikan mobil. Ia memandangiku dengan raut wajah yang sukar dijelaskan. Tatapannya
Walaupun dilahirkan dari keluarga kekurangan, tak terpandang juga tak disegani banyak orang. Emak dan bapak tak pernah mendidikku menjadi orang yang senang menadahkan tangan di bawah.Apa yang ada dalam benak mas Adry akan memberikan kompensasi atas status janda yang nanti akan kuterima. Pasca bercerai dengannya nanti. Bukan karena hartanya yang membuatku menerima pinangannya. Aku tahu dia kaya, banyak uang. Walaupun ia memulai karir sebagai prajurit strata paling rendah, hanya berpangkat prada, prajurit dua. Ia menghasilkan banyak uang dari menjual ketrampilannya membuat font juga desain logo. Hobi yang menghasilkan pundi-pundi itu ia kerjakan disela kesibukannya sebagai prajurit."Mas, walaupun Mas Brian jauh lebih tampan dibanding Mas. Sejak mas melamarku, aku telah mengubur kenangan bersama Mas Brian dan menyerahkan hatiku hanya untuk Mas."Aku menyeka air mata yang terus mengalir.&n
"Apakah kau siap berbagi suami?" tanya wanita berpostur tinggi semampai dan berkulit kuning langsat itu saat kami melakukan pengajuan pernikahan ke kesatuan Mas Adry. Dia istri komandan Mas Adry."Mohon ijin, tidak siap, Bu!" jawabku.Ibu komandan menghela napas seraya tersenyum tipis."Menjadi istri tentara harus siap berbagi suami dengan negara. Karena istri pertama seorang prajurit adalah negaranya. Kamu siap dinomor duakan?" Wanita bermata sipit itu menjelaskan."Siap, Bu!""Yakin, kamu siap?" ulangnya."Siap yakin, Bu!" tegasku.Sebelum ijab kabul terucap, aku memantapkan hati bahwa aku bukanlah prioritas. Seperti istri pada umumnya.Aku telah siap hakku sebagai seorang istri tak sepenuhnya kudapatkan. Aku harus siap ditinggal tugas meski saat sekarat, harus siap ditinggal meskipun sedang hamil.&nbs
"Bagaimana kronologinya, Bu?" tanya bripka Dirgantara Pratama."Awalnya ada seorang pelaku yang mengecoh perhatian saya dengan pura-pura menyeberang mendadak. Kemudian datang komplotan lainnya menodongkan senjata."Aku memberikan informasi kepada polisi ganteng mirip kapten Yo di drama Descendant of the Sun itu. Dia polisi yang sedang menangani kasus perampokan uang yang menimpaku.Saat tengah memberikan keterangan, Mas Adry datang."Dek, gimana keadaanmu? Katanya rampoknya pakai sajam. Apa kamu terluka?" tanya mas Adry cemas."Aku tak apa-apa kok, Mas.""Tapi uangnya berhasil di bawa kabur," lanjutku. Aku menitikkan air mata mengingat banyaknya uang yang menjadi tanggung jawabku itu."Dek, yang penting kamu selamat. Uang bisa kita cari, nyawamu jauh lebih berharga.""Suami ibu tentar
Sekitar jam dua siang, aku selesai menyetor uang ke bank. Lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Biasanya aku selesai sebelum jam istirahat para karyawan bank.Mas Brian masih menunggu di mobil."Maaf, ya mas. Tadi antriannya panjang. Lama ya?" ujarku setelah memasuki mobil."Tak masalah," balasnya santai. "Kamu belum makan siang, kan. Kita cari rumah makan dulu. Nanti magh kamu kambuh kalo telat makan."Walau tanpa persetujuanku, Mas Brian langsung melajukan mobil mencari tempat yang nyaman untuk mengisi perut. Ia memang seringkali melakukan hal demikian kala kami masih menjalin hubungan.Yang menggelitik hatiku ketika ia masih mengingat penyakit maghku. Aku bahkan pernah diopname seminggu di rumah sakit karena magh akut.Aku menatap wajah lelaki yang memang kuakui lebih tampan dari suamiku. Sejenak aku terlena dengan perhatiannya.