Share

7

"Apakah kau siap berbagi suami?" tanya wanita berpostur tinggi semampai dan berkulit kuning langsat itu saat kami melakukan pengajuan pernikahan ke kesatuan Mas Adry. Dia istri komandan Mas Adry.

"Mohon ijin, tidak siap, Bu!" jawabku.

Ibu komandan menghela napas seraya tersenyum tipis.

"Menjadi istri tentara harus siap berbagi suami dengan negara. Karena istri pertama seorang prajurit adalah negaranya. Kamu siap dinomor duakan?" Wanita bermata sipit itu menjelaskan.

"Siap, Bu!"

"Yakin, kamu siap?" ulangnya.

"Siap yakin, Bu!" tegasku.

Sebelum ijab kabul terucap, aku memantapkan hati bahwa aku bukanlah prioritas. Seperti istri pada umumnya.

Aku telah siap hakku sebagai seorang istri tak sepenuhnya kudapatkan. Aku harus siap ditinggal tugas meski saat sekarat, harus siap ditinggal meskipun sedang hamil. 

Aku rela dinomor duakan, jika itu demi negara. Namun, tidak untuk wanita lain. Aku tak rela jika Mas Adry membagi hati juga jiwanya untuk Audi.

Akan kurebut hati yang memang menjadi hakku.

***

Sebulan sudah, aku tinggal di kota Barabai. Satu atap bersama Mas Adry. Walaupun tak tinggal di dalam markas, aku selalu mengikuti kegiatan persit (persatuan istri tentara). Entah itu olahraga main volly ketika sore hari, maupun acara posyandu di batalyon dan kegiatan lainnya.

Meskipun belum menjadi istri secara sempurna. Aku telah berusaha melayani lelaki itu selayaknya seorang istri. Kecuali yang satu itu. Mas Adry masih tak bisa melepaskan dirinya dari bayang Audi. Sehingga ia benar-benar tak ingin merugikanku terlalu banyak. Kami masih tidur secara terpisah di kamar masing-masing.

Di dinding kamar mas Adry masih terpampang fotonya dan Audi. Mereka memang tampak serasi. Mas Adry yang mengenakan seragam loreng tampak lebih berwibawa didampingi wanita mengenakan pakaian putih seragam bidan. 

Sungguh pasangan yang sempurna. Aku mengakui itu.

Aku yang hanya lulusan SMA merasa rendah diri saat berhadapan dengan foto Audi. Wanita berhidung mancung itu memang jauh lebih cantik dariku. Menatap foto mereka berdua selalu berhasil membuat dada ini sesak dan pelupuk mata berkabut.

"Apakah aku memang harus merelakan Mas Adry didampingi wanita yang lebih pantas dengannya?"

Kadang pikiran itu terlintas begitu saja. Yang membuatku ingin segera pergi menjauh dari lelaki yang masih sah berstatus sebagai suamiku.

"Ya Allah, beri hamba kekuatan agar kuat menghadapi rintangan ini!"

Aku teringat saat resepsi pernikahan kami, ketika prosesi sangkur pora. 

Derap langkahku maupun mas Adry selaras beriringan. Melewati barisan sangkur yang mengacung, seolah kami sedang berjalan tegak di tengah rintangan yang menghadang.

Aku tak akan menyerah!

***

"Mas, aku boleh gak pergi bekerja?" pintaku pada Mas Adry malam itu.

Tanpa sepengetahuan Mas Adry aku melamar pekerjaan di sebuah perusahaan distributor Consumer good. Kupikir dengan bekerja akan mengurangi rasa kesalku saat menatap kamar Mas Adry yang isinya hanya ada foto dia dan Audi.

Sedangkan foto resepsi kami hanya ada dalam album foto. Lagipula dengan menjadi wanita karir akan menaikkan sedikit kepercayaan diri.

"Kerja di mana?"

"Di perusahaan consumer good deket simpang empat Manjang, Mas."

"Apa kamu tak kecapean nanti?" tanyanya khawatir.

Ada rasa haru tatkala Mas Adry memamerkan rasa pedulinya kepadaku.

"Gak, kok Mas. Dulu, sebelum kita menikah aku bekerja jadi kasir di mall. Berdiri hampir selama 8 jam mengenakan sepatu hak tinggi pun aku dah biasa."

"Aku akan tetap masak buat, Mas, kok!" lanjutku. 

"Baiklah jika Adek mau bekerja. Mas hanya berpesan selama Adek masih jadi istri Mas, Adek harus selalu menjaga nama baik kesatuan juga nama baik persit."

Aku mengangguk setuju.

***

Esok paginya, setelah melalui serangkaian tes. Akhirnya aku diterima bekerja sebagai kasir di perusahaan distributor barang kebutuhan pokok hingga alat elektronik. Walaupun hanya lulusan SMA, aku diterima karena memiliki pengalaman dua tahun sebagai kasir.

"Bu Devi dapat mulai bekerja hari ini!" ucap lelaki berkacamata yang menjabat sebagai kepala bagian personalia.

Aku berkenalan dengan beberapa karyawan.

"Mohon bimbingan kalian semua!" ujarku setelah menyapa mereka.

Hari pertama bekerja, semuanya berjalan mulus. Walaupun di perusahaan sebelumnya aku juga bekerja sebagai kasir. Ternyata pekerjaannya jauh berbeda. 

Mulai dari jumlah uang yang kuhitung jauh lebih banyak, aku juga harus menyetor uang yang jumlahnya ratusan juta, ke bank hanya dengan menggunakan motor sendirian.

Konon, itulah yang menyebabkan kasir terdahulu mengundurkan diri. Ia terlalu takut membawa uang ratusan juta tanpa pengamanan. Ia selalu merasa terancam.

Walaupun sudah mengusulkan agar diberi pengamanan. Pimpinan perusahaan tetap enggan mengeluarkan anggaran untuk pengamanan. Alasannya karena selama ini tak pernah terjadi hal yang tidak diinginkan.

***

Pagi itu aku bangun kesiangan. Tergesa-gesa, setelah shalat subuh yang juga kesiangan. Aku segera bersiap ke kantor. 

"Duh, aku gak sempat masak buat Mas Adry!"

Bukankah Mas Adry sebelumnya juga terbiasa tanpa masakanku? 

"Lagipula setelah sebulan lebih memasak untuknya, menyiapkan pakaiannya, aku masih di anggap hanya sebatas sahabat saja," pikirku.

Akupun berangkat bekerja tanpa sempat pamit kepada Mas Adry yang masih berada di markas. Biasanya jika ia ada di rumah, aku izin pamit sebelum berangkat. Dan mengirimkan pesan saat ia tak ada di rumah.

"Cil Inah, di kulkas ada ayam sama bumbu bali. Nanti Acil Inah masak buat Mas Adry ya!" titahku kepada Acil Inah sebelum meninggalkan rumah.

Aku tiba di kantor tepat jam delapan kurang dua menit. Lega rasanya, walaupun hampir telat.

Aku segera menuju ruanganku membuat laporan keuangan serta menghitung uang yang masih kulakukan secara manual. Merapikan uang yang tadinya masih terlipat, agar nantinya terbaca mesin penghitung uang di bank.

Setelah selesai, aku segera menuju bank untuk penyetoran. 

Mengendarai motor, aku melaju membawa uang senilai lima ratus juta. Seluruh uang kuletakkan dalam ransel berwarna hitam yang berada di antara dua kaki.

Kata pimpinan cabang, hal itu agar kita tampak biasa. Tak akan ada yang mengira kita sedang membawa uang ratusan juta

Di tengah jalan yang lumayan lengang, seorang pejalan kaki menyeberang dengan tiba-tiba.

Aku segera mengerem sekuat tenaga, kemudian membanting setir motor karena jarak yang terlalu dekat. Jika setir tak kubelokkan, niscaya motor yang kukendarai mengenai lelaki itu. Beruntung aku masih bisa mengendalikan motor agar tak terjatuh.

Saat posisi motorku tengah berhenti. Dua orang pria mengenakan pakaian serba hitam serta penutup wajah menodongkan senjata tajam.

Aku menarik lengan pria yang tengah mengarahkan belati itu hingga ia jatuh terjerembab. Lalu senjata itu sukses terlempar jauh. Tak sia-sia beladiri shorinji kempo yang selama ini kutekuni.

Sebelum laki-laki yang jatuh itu bangkit, aku segera meringkusnya lalu berteriak minta tolong kepada warga.

Beberapa warga yang berdatangan membantu mengamankan salah satu rampok yang berhasil dilumpuhkan.

Sedangkan yang lainnya berusaha mengejar rampok yang berhasil mengambil ransel. Namun, lelaki itu bak raib ditelan bumi. Kami kehilangan jejak.

Sial!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status