Share

Bab 3 – Bumi, Langit, dan Udara

Hyunji pulang dengan sangat bahagia. Dia membawakan banyak makanan untuk adik – adiknya yang menunggu di rumah. Hyunji memang tidak tinggal di rumah yang layak. Tempatnya tinggal, hanya sebuah rumah kosong yang sudah hampir rubuh, pemberian dari mantan boss nya dulu saat dia bekerja di tempat laundry. Hyunji juga merasa di berkati karena selalu menemukan banyak boss yang menyayanginya bagai anak sendiri.

Di ruangan yang hanya seluas 5 meter x 3 meter itu, dia tinggal bersama dengan adik – adik angkatnya. Yang juga terusir dari panti asuhan.

Ya, Hyunji memang seorang anak yang tumbuh di panti asuhan sejak dia masih kecil. Namun, karena kendala biaya, beberapa kali panti asuhannya harus berindah tempat karena tak mendapat donatur, dan tak mampu membayar biaya kontrak untuk rumah yang mereka tempati. Hingga akhirnya, pengurus panti membawa mereka ke daerah pinggiran yang sangat jauh dari kota untuk melanjutkan hidup.

Hyunji pikir, setelah kepindahannya ke tempat itu, semuanya akan kembali seperti dulu. Atau setidaknya, dia bisa hidup dengan lebih tenang. Tapi permasalahan lain datang, saat istri dari pemilik panti itu mulai sakit – sakitan dan harus sering ke rumah sakit. Mereka tak punya biaya, dan akhirnya kembali harus menjual rumah terakhir yang sebenarnya adalah warisan milik istri dari pemilik panti asuhan itu. Dan karena itu, mereka akhirnya melepaskan Hyunji, juga beberapa anak lainnya untuk hidup di luar.

Hyunji bisa saja pergi sendirian. Tapi dia tak tega, tak sanggup jika harus meninggalkan anak – anak ini tinggal di jalanan sendirian. Dia adalah anak yang paling besar disana, jadi Hyunji merasa tanggung jawab kini berpindah ke bahunya.

Sampai akhirnya Hyunji memutuskan untuk membawa mereka pergi dan hidup berpindah – pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sampai akhirnya menemukan tempat ini sebagai tempat tinggal mereka bersama.

**

“Noona!” teriak Jungnam, salah satu dari adiknya.

Anak lelaki kecil yang juga merupakan anak tertua kedua setelah Hyunji di rumah itu, kini menghampiri Hyunji sambil berlari.

Sudah jadi kebiasaan untuknya menjemput Hyunji saat pulang dari bekerja di malam hari. Dia merasa harus melakukan itu untuk melindungi Hyunji dari kejahatan yang mungkin terjadi di malam hari.

“Ini, aku membawa banyak sekali ayam goreng untuk kalian!” kata Hyunji dengan senyum sumringahnya.

“Ayam goreng?” wajah Jungnam kini langsung bersinar bahagia.

Dengan kedua tangan kecilnya, anak itu menerima pemberian Hyunji dan segera merasakan kehangatan yang melingkupi tangannya saat membawa plastik berisi ayam tersebut. Dia yakin, ayam itu baru saja di goreng sebelum di bawa pulang oleh Hyunji.

“Jangan kalian makan semua ya. Sisakan untuk besok. Ada enak ekor, bagi untuk adik – adik yang lain juga,” kata Hyunji.

“Tentu Noona! Tapi… apa Noona baru menerima gaji?” tanya Jungnam penasaran.

Hyunji menggelengkan kepalanya, “ini bonus kerjaku hari ini.”

Jungnam hanya mengangguk kecil dan kembali tersenyum. “Ayo cepat pulang! Aku akan masak nasi juga. Mereka pasti senang karena bisa makan ayam goreng malam ini. hihihi…” kikikan Jungnam membuat Hyunji ikut terkekeh.

**

Di kamarnya, Rachel terus saja memikirkan ucapan Daniel beberapa hari yang lalu. Tiap kali dia teringat hal ini, jantungnya selalu berdegup lebih keras. Pikirannya pun jadi tak tenang. Dan bahkan membuat mood nya jadi tak karuan. Dia sangat ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dalam hatinya juga, Rachel merasa yakin bahwa ini bukanlah soal kesetiaan Daniel padanya. Rachel juga tak ingin membuat tindakan yang terburu – buru, hingga membuat Daniel akhirnya menjadi membenci dirinya. Karena tak bisa sabar menunggu.

Rachel kini hanya bisa diam, menatap layar ponsel yang memperlihatkan fotonya bersama Daniel sebagai latar ponselnya.

Tok tok tok!

“Hai tuan putriku sayang, bagaimana kabarmu hari ini?” Hwang Min Jung—ibu dari Rachel masuk ke dalam kamar putrinya.

Dia kelihatannya sengaja pulang cepat malam ini, jika di perhatikan melalui baju yang di pakainya.

“Tumben ibu menanyakan kabarku,” jawab Rachel ketus.

“Ibu ingin tahu, apa yang tuan putri ibu alami hari ini. apa itu tidak boleh?” tanya sang ibu balik.

Sementara Rachel hanya mengangkat bahunya acuh, tak menjawab ucapan ibunya.

“Apa kau marah pada ibu?” tanya Minjung.

“Tidak. Aku tak marah pada ibu.” Rachel menyangkalnya, meski dari nada bicaranya sudah terlihat bagaimana kesalnya dia.

“Kau tahu kalau pekerjaan ibu kan memang banyak, sayang. Apalagi ini menjelang musim dingin. Banyak sekali klien yang ingin ibu menyiapkan desain untuk busana musim dingin mereka. Ibu mohon kau mengerti sayang…” ujar ibunya, membujuk Rachel.

Rachel kini berbalik. Menatap ibunya yang tengah duduk di pinggiran ranjang menghadap pada dirinya. sementara Rachel duduk di kursi kerjanya.

“Aku tahu ibu sibuk. Bukan hanya jelang musim dingin. Tapi bahkan, hampir di setiap musim ibu selalu sibuk. Menyiapkan baju yang akan klien penting ibu pakai. Memenuhi segala keinginan mereka dan bahkan sengaja meluangkan waktu ibu hanya untuk bisa bertemu dengan mereka.” Rachel mulai bicara, “Tapi… apa ibu pernah menyiapkan baju sekolahku? Makan pagi dan siangku? Atau setidaknya, meluangkan sedikit waktu ibu hanya untuk memeriksa pekerjaan rumah yang aku buat?” ujarnya.

Minjung terlihat sangat terkejut dengan ucapan putrinya.

“Ibu memang menyediakan semuanya. Bahkan uang saku ku, ibu memberikan dengan jumlah yang jauh di atas rata – rata. Tapi apa semua uang ibu bisa menggantikan ibu yang menyiapkan bajuku? Dari dulu, saat aku masih sekolah sampai detik ini, aku sudah ada di Universitas. Tidak pernah sekalipun ibu melakukan itu. Oh! Bahkan untuk bisa sarapan pagi bersama, seperti anak lainnya dengan ayah dan ibu juga, rasanya begitu sulit, Bu. Apa ibu sadar itu?” ungkap Rachel.

“Sayang… ibu---”

“Ibu datang malam ini ke kamarku, dan menyapaku seperti tadi, semua karena besok ibu harus pergi ke Perancis selama dua bulan penuh untuk acara fashion show itu kan?” kata Rachel. “Ibu bisa pergi. Ayah juga boleh pergi untuk urusan bisnisnya, lakukan saja apapun yang kalian mau. Aku tak akan protes atau keberatan.”

Rachel kemudian berbalik, kembali fokus pada komputernya sementara sang ibu hanya bisa diam dan menunjukkan wajah sedihnya di belakang Rachel.

“Ibu bisa keluar, aku mau mengerjakan tugas kuliahku.”

Minjung akhirnya menuruti Rachel dan segera keluar dari kamar putrinya. Meski dengan hati sakit dan sedih, dia tahu bahwa dirinya tak berhak untuk memarahi Rachel. Karena semua ucapan Rachel pada Minjung memang benar.

**

Kata – kata Rachel sepertinya sangat mengganggu pikiran Minjung. Hingga wanita paruh baya tersebut sulit memejamkan mata dan memilih untuk meminum minuman keras di kamarnya sambil menatap langit malam dari balik jendela kamarnya.

“Kau belum tidur, sayang?” suara Seok Joon membuat Minjung berbalik.

“Hmm… mataku sulit menutup,” jawabnya.

“Ada apa? Bukannya besok adalah acara fashion show yang kamu impikan?” kata sang suami.

Pria itu kemudian ikut mengambil gelas sloki di atas meja, menuangkan minuman keras ke dalam gelasnya dan meminumnya dalam sekali teguk. Lalu berjalan melangkah mendekati sang istri dan memeluk Minjung dari belakang.

Bayangan mereka berdua kini terpatul samar dari kaca jendela besar yang ada di hadapan Minjung. Dia menutup matanya merasakan kehangatan pelukan sang suami yang cukup membuatnya tenang.

“Rachel marah karena kita terlalu sibuk akhir – akhir ini.” minjung akhirnya buka mulut.

Seok Joon kemudian mengeratkan pelukannya pada sang istri, “bukankah dia memang selalu begitu? Melayangkan protes tanpa henti pada kita karena pekerjaan?” ucap Seok Joon.

“Yah… tapi aku merasa… kali ini dia benar – benar marah padaku, Sayang… aku seperti sedang di marahi oleh anakku sendiri tadi.” Minjung berkata.

“Jangan terlalu kau pikirkan. Wajar kalau Rachel melakukan itu. Tapi pasti tak akan lama, suatu hari nanti… kalau dia sudah dewasa dan mengenal dunia kerja. Dia akan mengerti kenapa orangtuanya selalu sibuk seperti ini. kita hanya perlu bersabar menghadapinya, sayang…” tukas Seok Joon.

“Yah… aku harap kau benar soal itu. Aku tak ingin anakku terlalu lama marah seperti tadi. Membuatku tak bisa tenang rasanya.”

Minjung lalu berbalik dan memeluk suaminya yang di balas dengan pelukan hangat pula oleh Seok Joon. Dia berusaha menenangkan istrinya dengan mengusap punggung Minjung dan membiarkan Minjung bersandar di bahunya beberapa waktu.

**

Sementara itu di kamarnya, Rachel yang mendapat penolakan dari Daniel untuk bisa menemaninya sekarang karena urusan kerja juga, akhirnya mengajak teman – teman dekatnya untuk pergi ke klub tepat tengah malam ini. Rachel merasa kesepian, dan hanya berada di kamar dengan di temani gadget dan berbagai fasilitas mewah di dalam rumahnya tak bisa membuat hati dan pikirannya tenang ataupun terhibur. Dia butuh melampiaskan rasa kesal, kecewa, dan lelah pada kedua orangtuanya dan keadaan. Dan pergi ke klub untuk bersenang – senang adalah solusi paling tepat, saat Daniel pun sama sekali tak bisa di andalkan saat ini.

Setelah menghubungi mereka dan memilih klub mana yang menjadi tempat tujuan mereka. Rachel kini mulai memilih baju ‘Out Of The Day’ nya serta beberapa barang yang di anggap penting untuk di bawa. Ponsel, kartu kredit, dan beberapa kartu member dari klub yang biasa dia kunjungi. Dengan kartu ini, Rachel bisa mendapat pelayanan dan fasilitas VIP dari klub yang bersangkutan.

“Oke Rachel! Lupakan semua kegilaan ini dan kita cari kegilaan baru malam ini!”

**

“Woaaahhh!” wajah berseri dari masing – masing adik Hyunji kini terpancar.

Mulai dari si sulung hingga yang paling bungsu, mereka melihat potongan ayam goreng di hadapannya seperti tengah melihat harta karun.

“Nasinya sudah siap!” Hyunji mengeluarkan beberapa kotak nasi panas yang baru saja matang.

Nasi itu adalah nasi instan yang di belinya dari minimarket dekat rumah mereka. Karena jika menunggu si sulung menanak nasi di rumah, maka semua adik – adiknya akan keburu kelaparan di buatnya. Lagipula, uang Hyunji masih sangat cukup kalau hanya untuk membeli beberapa kotak nasi instan.

 “Aku senang Noona membawa ayam!” pekik si bungsu—Myungsoo.

“Benarkah? Kalau begitu kalian harus makan yang banyak! Noona sudah menyisihkan beberapa untuk kalian makan besok. Jadi semua yang ada di sini, kalian bisa habiskan sekarang juga!” balas Hyunji dengan nada bahagia.

“Assiiikkk! Beberapa hari ini kita akan makan enak!” ucapnya Myungsoo lagi.

Dengan gaya khasnya yang anak kecil, Myungsoo kemudian segera mengambil ayam dengan potongan paling besar, lalu memakannya dengan sangat lahap. Di ikuti oleh saudaranya yang lain, dan Hyunji yang bahkan sudah merasa kenyang hanya dengan melihat semua adiknya bisa makan enak dan lahap seperti ini.

Hyunji berharap, dia bisa terus membuat adik – adiknya bahagia. Meskipun dengan cara yang sangat sederhana.

**

David mengulas senyum setengah tertawa, ketika dia melihat Daniel sekali lagi menghela nafas berat dan menunjukkan ekspresi sebal setelah menerima telepon dari Rachel—kekasihnya. Dalam hatinya, David merasa sedikit bersyukur. Karena dia tak perlu merasakan yang Daniel rasakan karena memiliki kekasih. Terlebih di situasi macam ini.

“Kenapa? Ada yang lucu di wajahku?” sembur Daniel pada David.

“Tidak… hanya saja, sudah hampir sepuluh kali anda menghela nafas setelah menerima telepon dari nona Rachel. Hanya merasa aneh saja,” kata David.

“Kau tahu bagaimana perempuan, kan?” kata Daniel.

“Itu sebabnya saya tidak ingin berurusan dengan mereka sebelum semua pekerjaan saya selesai.” David menegaskan.

“Jangan membuatku ingin menendangmu dari ruangan ini David. Lebih baik lanjutkan pekerjaanmu, ini sudah larut!” perintah Daniel sambil berdecak.

Daniel akhirnya diam dan melanjutkan pekerjaannya. Sementara Daniel sendiri terpaku melihat ke luar jendela. Pikirannya melambung ke banyak hal yang mungkin akan terjadi beberapa hari ke depan. Dia berharap semuanya sesuai dengan yang di rencanakan olehnya dan David.

“Tuan Muda, sepertinya anda harus melihat bagian ini.” Davud kemudian menyingkir dari kursi dan membiarkan Daniel duduk di hadapan komputer untuk melihat laporan yang dia temukan.

“Orang – orang ini… bukannya yang kemarin kita temui di kantor?” tanya Daniel meyakinkan.

“Benar Tuan Muda, ini adalah orang yang kemarin sempat anda temui. Yang di sebut sebagai salah satu investor penting untuk perusahaan kita,” timpal David.

“Kalau isi laporan ini benar, artinya mereka jelas terlibat dalam kejahatan ini.”

“Jadi… apa yang harus kita lakukan Tuan Muda?” tanya David.

“Apalagi? Jelas membereskan ini semua! Tidak akan ada ampun lagi untuk mereka semua yang terlibat di dalamnya, siapapun itu!” tegas Daniel.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status