Share

Bab 4

Aku cinta dan tak berarti lemah

Justru kamulah yang membuatku kuat

Untuk membalas dendam perasaan dari air kehidupan

Dan peluh dari teriakanmu tentang kulit jari yang mengelupas

            Pria itu Zamrud, berbadan kekar yang telah melewati fase membingungkan dalam hidupnya. Setelah perjalanan dari rumah sakit, ia kembali ke rumah. Sang istri telah menyambutnya dengan teh hangat di meja tamu, setelahnyya wanita itu sendiri sedang sibuk membuat sarapan. Zamrud duduk menatap langit-langit ruangan yang mulai menghitam. Rumah itu sudah tua, seumur dengan pernikahannya dengan Dewi. Diruang tamu inilah dia mengucapkan akad nikah dengan mas kawin bunga kamboja putih di teras rumah. Itu permintaan dari Dewi. Tidak seperti wanita pada umumnya, Dewi sangat menyukai bunga. terlebih lagi bunga berwarna putih. Karena pada masa itu harga bunga mawar putih mahal dan bunga melati Zamrud tak menyukai baunya. Pria itu memberikan bunga kamboja putih untuk Dewi.

            Ia tersenyum sendiri mengenang masa dia dulu menikahi Dewi. Bahkan alasan untuk menikahi wanita tersebut. Wanita yang tak sengaja ia temui, disaat Indonesia sedang krisis di tahun 1996. Orang tua Dewi memberikan anaknya untuk dinikahi. Entah apa yang difikirkan Zamrud hingga dia menerima tawaran tersebut. Dia tertawa. Mungkin ini menjadi salah satu kesalahan hidupnya.

            Tak beberapa lama Nyimas masuk dengan kertas yang ia bawa. Semalam ia menulis akhir yang cocok untuk diceritakan kepada Hasta ketika dia sudah sembuh. Dia berjalan tanpa melihat ayahnya yang duduk di ruang tamu. Menuju kamar dan berganti baju. Kebetulan hari ini minggu, sehingga dia punya waktu kosong untuk terus mencari cerita. Nyimas melihat kembali kertas-kertas yang telah ia tulis, diputar-putarnya urutan kertas untuk mencari yang pas. Dia kebingungan.

            Direbahkan badannya diatas kasur tipis. Sudah 5 tahun kasur busa itu tidak diganti ayahnya. Nyimas memejamkan mata dan menarik nafas dalam. Dilihat kembali kertas-kertas disebelahnya dan mendengus.

“ Ayah, kata Hasta cerita Putri dan Pangeran itu membosankan. Apa aku harus buat cerita sendiri ya ? ” Celoteh Nyimas sendiri

“ Aku tidak akan bisa merubah akhir cerita ini. Lebih baik aku membuat cerita baru. ”

“ Tapi siapa ya pemeran dongengnya ? ” Nyimas merubah posisi tidurnya

            Diraihnya pensil dalam tas kecil dan beberapa kertas kosong yang berada dalam kotak bawah tempat tidurnya. Nyimas menggigit pensilnya. Dia memutar berulangkali bola matanya dan terus mendengus. Putus asa, Nyimas meraih kembali kertas-kertas yang telah ia tulis tadi malam. Tulisan dalam kertas itu memang tidak beda jauh dengan kahir cerita dari dongeng ayahnya setiap sore. Hanya berubah pemeran yang akan menemani putri.

“ Benar kata Hasta, aku tak pandai mendongeng. Aku hanya suka mendengarkannya. ” Nyimas kesal.

            Kertas-kertas coretannya terhambur dikamar. Kertas kosong tetap kosong walau Nyimas telah berusaha keras mencari akhir cerita yang disukai Hasta. Bahkan dia sendiri tidak tahu cerita apa yang sebenarnya disukai Hasta. Mengingat kembali apa yang telah ia lakukan, Nyimas sadar bahwa dia tak bisa membuat cerita. Kesal dengan kelakuannya sendiri, Nyimas beranjak dari tempat tidur untuk membantu ibunya didapur.

            Ibu Nyimas barus saja menata piring diatas meja, Nyimas langsung mengambil bejana yang barus saja dicuci di ember besar. Bejana itu akan diisi air untuk cuci tangan. Air itu diambil Nyimas dengan memompanya dari pompa tangan. Hal ini sudah biasa dilakukan Nyimas walau sebenarnya pompa tangan cukup berat untuk anak kecil. Nyimas mewadahi dengan ember yang cukup besar, tidak sebesar ember tadi. setelah cukup, air itu diambil secukupnya didalam bejana jeci itu. sisanya akan digunakan ibunya untuk menyiram bunga kamboja.

            Setelah selesai, ibunya meletakkan ikan goreng dan sambal matah. Segera Nyimas mengambil tempat duduk untuk segera menyantap makan pagi. Sambil memanggil ayahnya yang masih diruang tamu, Nyimas telah menyiapkan nasi untuk ayah dan ibunya. Sedangkan ibunya masih mencuci beberapa sayuran segar sebagai lalapan.  Zamrud yang tampak lelah berjalan. Kali ini wajahnya berubah setelah sebelumnya dia mengingat masa lalunya. Dipandangnya lesu Nyimas yang tak diam menata meja makan menunggu ibunya datang.  Harapan besar Zamrud lukis dimatanya untuk Nyimas. Tapi ia tak bisa menerangkan saat ini untuk Nyimas.

            Tak ingin berlarut, Zamrud mencubit pipi Nyimas yang kecil. Dia tersenyum tipis.

“ Nyimas, nanti kalau besar mau jadi apa ? ” tanya Zamrud

“ Nyimas mau jadi guru. Guru yang terus bercerita. ”

“ Tapi ayah, Nyimas nggak pandai bercerita seperti ayah. Nyimas nggak bisa membuat dongeng seperti ayah. ” keluh Nyimas

“ Kamu harus banyak membaca Nyimas. Biar imajinasimu berkembang. ”

“ Kita perlu imajinasi ya untuk mendongeng ? ”

“Dari imajinasi itu kamu bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang. Jadi orang akan tertarik mendengar dongengmu. ” jawab Zamrud sambil mengelus lembut rambut Nyimas

            Nyimas telah selesai dengan tataannya di meja makan. Kali ini menggeser kursi menghadap ayahnya.

“ Seperti cerita putri dan pangeran milik ayah ? ”

“ Ya, selain itu kamu harus menggunakan hatimu saat membuat dongeng. ”

“ Perasaan apa yang ayah gunakan di dongeng ?”

“ cinta ” Zamrud tersenyum

“ Cinta untuk Nyimas dan Ibu ya ?” Zamrud tak menjawab, dia langsung saja mengambil ketimun.

          Dewi terkejut melihat Zamrud seperti salah tingkah memakan lalapan yang baru dicucinya. Sedangkan Nyimas masih saja menunggu jawaban tanpa memahami tingkah laku dari ayahnya. Kali ini dia menajamkan pandangannya melihat Zamrud seolah tak peduli.

“ tentu cinta untuk gadis yang bernama Nyimas ” jawab Zamrud dengan memandang Nyimas sekilas.

          Nyimas berbunga-bunga, dia mencium pipi ayahnya dengan menaiki kursi. Karena terburu-buru, Nyimas terjatuh dari kursinya. Zamrud sigap menangkap putrinya. Nyimas yang sempat kaget tertawa melihat wajah ayahnya. Mereka berdua tertawa.

“ Kalian berdua sedang pertunjukan sirkus ? ” Dewi ikut tertawa sembari duduk

“ ayo cepat dimakan, nanti ikan gorengnya hidup. ”

“Memangnya ikan mati bisa hidup lagi ? kan paru-parunya sudah ibu buang, jadi ikan tidak bisa bernafas. ” bantah Nyimas dengan wajah protes

“ Dia hidup sebagai hantu” jawab Dewi tanpa mau kalah dengan anaknya.

            Zamrud kembali tertawa melihat Dewi dan Nyimas ribut dengan hal kecil seperti ini. Meski tak cukup untuk mengubur rasa bersalahnya terhadap kedua perempuan didepannya.

“ Hari ini ayah akan tetap kerja. Jadi mungkin kamu ke perpustakaannya minta diantar mas Arka ya ? ”

“ Memang hari ini kamu ingin melakukan apa ? ” Tanya Dewi

“ Pak Hari minta ditemani memperbaiki gubuk di kebun. Sekalian aku beli bibit ke kota. ” jawab Zamrud dengan tetap melanjutkan makannya.

“ Ayah sudah bilang mas Arka. Jadi kamu tinggal kerumahnya saja. ”

          Nyimas mengangguk. Dia masih fokus dengan duri dan daging hitam diikan. Baginya, daging ikan itu harus putih dan bersih dari duri. Baru dia akan memakannya.

***

            Nyimas memakaikan bedak bayi disekitar wajahnya. Dibiarkan terurai rambut lurusnya dengan disisir sedikit. Penjepit rambut berwarna hitam menjadi pemanis. Setelah siap dia mengambil beberapa kertas kosong dan pensil kedalam tak kecil. Zamrud menunggu Nyimas diteras bersama istrinya yang menyiram bunga kamboja. Pagi itu sangat sejuk, dengan sedikit cahaya matahari yang hangat. Beberapa burung bertengger di pohon mangga depan rumah. Berciut meramaikan suasana Zamrud dan Dewi yang saling diam sejak tadi.

“ Ayah, belum berangkat kerja ? ” Nyimas tiba-tiba membuka jendela kamarnya yang tepat disebelah Zamrud.

“ Ayah menunggumu berangkat duli. ” toleh Zamrud

          Nyimas berlari kecil untuk menemuinya. Dia merasa bahwa ayahnya telah menungguinya dan dia harus bergerak cepat jika ditunggu. Setelah Nyimas sampai diteras rumah, Zamrud berdiri dari tempat duduknya. Zamrud memeluk erat Nyimas yang tinggi sudah mencapai perutnya. Nyimas hanya terpaku melihat ayahnya yang tidak biasa.

“ Ayah terasa berat ya harus bekerja di hari libur ? ”

“ Tidak, Ayah hanya ingin memelukmu saja. Sudah jarang sekali ayah memelukmu sejak kamu sudah bisa berjalan. ”

“ Apa selama itu ayah ?” Jawab Nyimas sambil melepaskan pelukan ayahnya.

“Karena kamu susah sekali diam, jadi ayah tak mau capek mengejarmu. ” ejek Zamrud dengan  mencubit pipi Nyimas.

Nyimas hanya terdiam mengingat perkataan ayahnya.

“ ya sudah, cepat kamu berangkat. Mas Arka sudah menunggumu. Jangan buat mas Arka marah. ”

“ siap kapten ! Tapi ayah, Nyimas nggak pernah nakal kok sama mas Arka. Nakalnya cuman sama Hasta. ” Jawab Nyimas bersemangat.

          Nyimas melangkahkan kakinya meninggalkan teras rumah. Ditengoknya kembali ayah yang masih berdiri dan ibu bersama bunga Kamboja. Dia melambaikan tangan. Bukan menjadi kebiasaannya untuk melambaikan tangan ketika hendak berpisah, tapi entah apa yang ia rasakan. Dia ingin melambaikan tangan untuk siapa saja yang dia lihat saat itu.

“ Ayah, jangan lupa ya dongeng sorenya ya ? ”

          Zamrud mengangkat jari jempolnya yang besar dengan tersenyum lebar. Nyimas membuka pagar kayu, menatap kedepan tanpa melihat lagi kebelakang. Menuju rumah mas Arka yang hanya berjarak lima rumah. Berjalan kaki dengan lantang. Memegang erat tas kecilnya. Beberapa uang saku dia hitung kembali sembari berjalan.  Dan memisahkan antara uang saku untuk dirinya dan Mas Arka.

***

“ Pasti Mas Arka sudah sering ke kota ya ? ”

“ Iya. Sekolahku ada di kota. ” Jawab Arka dengan tatapan lurus

“ Nanti bantu Nyimas milih buku cerita yang bagus, kan Mas Arka sering ke perpustakaan kota. ”

“ Kata siapa aku sering ke sana ?”

“ Ayah bilang begitu. ”

          Suasana kembali diam, Nyimas mengalihkan sepi dengan melihat pemandangan diluar jendela angkot. Sudah setengah perjalanan ke kota, angkot masih terisi setengah. Karena hari ini minggu banyak orang lebih memilih untuk beristirahat di rumah.

          Nyimas menggigit bibirnya melirik mas Arka yang tampak kaku disampingnya. Tak biasanya mas Arka seperrti ini. Setiap Nyimas bermain dengan Hasta, mas Arka selalu menemani mereka dan bersikap hangat. Terkadang juga bercerita tentang kehidupan pelajar SMA.

          Sedangkan dalam diri Arka, dia merasa tak nyaman menemani Nyimas berdua ke kota. Fikiran Arka tak menentu, jika saja dia tak bisa menjaga Nyimas. Selain itu dia terlalu canggung dengan perasaannya saat ini. Entah kata apa yang bisa menjelaskannya. Arka menutupinya dengan diam saja walau pada dirinya sebenarnya hatinya benar-benar kedinginan dengan Nyimas.

           Satu jam berlalu, mereka berdua akan segera sampai di perpustakaan kota. Tiba-tiba saja Arka menghentikan angkot dan memegang tangan Nyimas untuk segera turun. Hal yang mengenjutkan, Nyimas sempat menarik tangannya menolak ajakan Arka untuk turun ke p***r.

“ Biar aku saja yang membayar angkot , aku mau beli sesuatu di p***r. ” ujar Arka yang berdiri didepan pintu.

            Karena jalanan yang ramai dan banyak kendaraan dibelakang angkot menunggu, Nyimas turun dengan cepat. Tapi tetap saja dia tak mengerti dengan Arka, kenapa tak sejak tadi dia bilang untuk mampir terlebih dahulu ke p***r. Kenapa Arka diam saja dengan Nyimas.

Arka berjalan dengan tetap memegang tangan Nyimas. Banyaknya orang di p***r membuat Arka merasa tertekan untuk segera menuju tempat tertentu. Mengikuti alur jalan kaki Arka dengan kaki yang panjang, Nyimas merasa kesulitan. Hingga diujung p***r, terdapat perempatan, disinilah Arka mulai memperlambat langkah kakinya. Keringat mengucur didahi Nyimas, rambut berantakan tertiup kesana-kesini dan bau asap melekat dibadannya. Itulah alasan Nyimas menolak untuk pergi ke p***r kota.

          Arka melihat Nyimas yang kelelahan. Merasa bersalah, akhirnya Arka mengajak Nyimas ke gerobak es campur.

            Mereka berdua duduk dikursi plastik, walau masih dipinggir jalan setidaknya Nyimas bisa beristirahat. Arka menatap Nyimas yang melihat pedagang es campur meracik dagangannya. Tangannya mengelus rambut Nyimas. Merapikan dan membenarkan jepit rambut Nyimas yang miring. Tapi Nyimas masih saja sibuk dengan tontonannya tanpa memperdulikan Arka. Bukan itu yang diharapkan Arka, dia hanya tak ingin Nyimas berantakan karenanya. Dia juga menyeka keringat yang masih tersisa di dahi Nyimas.

Setelah meminum es campur, suasana dalam wajah Nyimas kembali segar. Arka kembali memegang tangan Nyimas untuk melanjutkan tujuannya. Setelah mengambil belokan kanan dari perempatan tadi, Nyimas dan Arka memasuki gang perkampungan warga. Jalanannya terlihat lebar dengan air selokan yang jernih mengalir disebelah kanannya. Beberapa toko besar dan toko emas masih terjejer di pinggir jalan. Tidak seperti daerah p***r, disini hanya terdapat sedikit pengunjung. Asap kendaraan juga tak terlalu terlihat, karena kebanyakan orang berjalan kaki atau menggunakan becak untuk sampai di gang ini. Tiba di jembata kecil, seorang nenek duduk dibawah seng sebagai atapnya dengan beberapa lukisan yang kanvasnya berbentuk persegi empat.

“ Ini namanya Damar Kurung, Nyimas ”

“ wah, aku pertama kali melihatnya ! ” Nyimas menjawab dengan mata berbinar.

            Nenek itu tersenyum ramah menyambut Arka dan Nyimas. Dia sedikit berdiri dengan merapikan dagangannya.

mbah, aku mau beli damar kurung yang belum dilukis. Ada tidak ? ” tanya Arka

“ oh ada nak, sampeyan mau beli berapa ? ”

“ tiga ”

“ Biasanya ini aku sediakan kalau ada pembeli yang mau dilukis sesuai dengan keinginannya. Jadi sampeyan pintar lukis ta ? ” jawab nenek penjual sambil membungkus damar kurung.

“ hehehe, lagi belajar, mbah. ” Arka membalas dengan menggaruk rambutnya yang sebenarnya tak gatal

            Nyimas tetap selalu sibuk dengan dunia yang menarik perhatiannya. Kali ini matanya membulat melihat lukisan damar kurung. Walau setiap minggu dia pergi ke kota, hal ini menjadi pengalaman pertamanya. Warna-warni mengintai setiap sudut kanvas damar kurung dan setiap sisinya mempunyai cerita yang berurut. Terkadang warna terang bertabrak dengan lembut sesama warna terang, atau warna gelap memberi kesan netral bagi warna terang.

            Damar kurung telah dibungkus sempurna sang nenek, sembari menunggu uang yang dihitung Arka. Nenek melihat Nyimas yang sedari tadi terlihat sangat senang melihat damar kurung. Mungkin gadis ini pertama kali melihatnya, maklum seniman damar kurung sangat sedikit dan hanya tersebar di pusat kota. Selain itu perayaan damar kurung hanya dilakukan bulan Ramadhan, tempat pelaksanaannya juga disekitar taman kota. Banyak sekali daerah desa yang kurang mendapat sentuhan keindahan damar kurung. Termasuk Nyimas yang banyak menghabiskan hari di desa.

            Nenek berbalik kebelakang, mengambil damar kurung dengan ukuran kecil. Jika dilihat tak lebih besar dari jam beker. Gambarnya tentang orang yang berbeda saling bergandengan tangan disetiap sisi kanvasnya. Diberikan damar kecil mungil itu untuk Nyimas yang masih terpaku melihat damar kurung jajahannya.

nduk, ini ada damar kurung buatan anak ibu. Mungkin tak ada yang mau membelinya. Jadi ini buat kamu saja. ” Nenek menyerahkan damar kurung tersebut dengan sedikit membungkuk.

“ wah, matur nuwun mbah. ” jawab Nyimas yang masih terduduk.

            Arka menyadari kebaikan nenek segera mengangkat badan Nyimas untuk berdiri dan berterimakasih kedua kalinya. Mereka berpamitan untuk pergi ke perpustakaan sebelum siang menjelang. Berjalan menuju ujung gang untuk menunggu becak, karena angkot diwaktu ini sangat sibuk mengangkut barang dari pedagang kecil-kecilan. Tak berapa lama mereka mendapatkan becak, dan baru pertama kali ini juga Nyimas menaiki becak di kota.  

            Lebih lambat dibanding angkot, Nyimas tetap menikmatinya. Banyak hal baru yang ia dapatkan bersama Arka. Angin menyegarkan wajahnya yang sebelumnya panas oleh suasana p***r. Jari telunjuknya menggantung damar kurung kecil yang diberikan mbah. Dia membiarkan angin juga menggoyang-goyangkan. Arka disampingnya sedikit keropatan membawa 3 damar kurung yang besar, ditambah tempat duduk becak yang lumayan sempit. Tapi Arka tetap menikmatinya, pergi bersama Nyimas bukan hal menyulitkan. Dia bisa sepuasnya melihat wajah ceria Nyimas dan dirinya yang tak pernah mengeluh. Satu hal lagi, Nyimas tak secerewet sebelumnya, entah apa yang membuat Nyimas sedikit pendiam. Arka masih terus berfikir menemukan jawabannya.

***

            25 menit lebih lama perjalanannya, Nyimas dan Arka tiba di halaman perpustakaan kota. Angin beringin masih kokoh tumbuh disamping kanan gerbangnya, entah kapan dia akan mati. Nyimas selalu melihat batangnya yang menghitam karena jamur, menurutnya umur beringin ini sudah tua dan akan mati. Mungkin rambut-rambutnya yang panjang akan rontok seperti rambutnya yang rontok setiap pagi. Lalu daun-daunnya juga akan gugur hingga tinggal batangnya. Kemudian batangnya akan keriput dan mengecil seperti kakek dan neneknya di kampung.

            Didalam perpustakaan sudah banyak orang-orang. Lebih dari satu jam Nyimas terlambat tiba ke perpustakaan dari waktu biasanya dia pergi bersama ayahnya. Ketika melakukan perndaftaran, Nyimas segera menuju rak buku cerita. Arka mengikutinya dibelakang dengan tetap membawa damar kurung.

“ Nyimas, kamu tahu buku yang bagus selain buku cerita ? ” bisik Arka ditelinga kanannya.

“ Apa mas ? ” balas Nyimas dengan berbisik juga.

            Arka membawa Nyimas ke rak buku komik yang berbeda 3 rak buku dari buku cerita. Diambil beberapa komik biografi tokoh dunia, diantaranya Cristopher Colombus, Marie Currie dan masih banyak lagi. selain itu Arka juga memberikan komik tentang sejarah dunia. Nyimas membulatkan matanya sekian kali untuk kejutan Arka hari ini. Dia tertawa senang melihat komik. Arka yang berdiri disampingnya tersenyum bahagia juga.

“ Kamu akan lebih pandai mendongeng jika buku yang kamu baca tidak hanya buku cerita. ”

Nyimas langsung berlari meninggalkan Arka menuju petugas perpustakaan. Dia segera mengeluarkan kartu anggota dan kartu peminjaman. Ada 7 buah komik yang dipinjam Nyimas untuk dibaca minggu ini. Sedangkan Arka masih berkutat di rak buku n***l diseberang rak komik untuk dibacanya. Dia membiarkan Nyimas mengurus peminjamannya sendiri. Pasti dia mengerti karena hampir setiap minggu dia pergi kesini. Setelah memilih beberapa n***l, baru dia menyusul Nyimas ke petugas perpustakaan.

            Tak butuh lama berada di perpustakaan, mereka berdua langsung pulang ketika selesai mengurus peminjaman buku. Arka dan Nyimas menunggu angkoy didepan gerbang perpustakaan. Sebelumnya, Arka sempat membeli es krim dari pedagang keliling untuk Nyimas dan dirinya. Hari semakin panas, kota Gresik memang terkenal panas walau sebenarnya saat ini masih pukul 10 pagi. Beberapa menit kemudian angkot datang dengan sedikit orang didalamnya. Hal ini sedikit melegakan, karena Arka tak pelu memangku damar kurung yang besar diatas pahanya.

            Nyimas masih tetap menggantung damar kurungnya di jari. Dilihat lagi gambar yang terlukis, masih bagus seperti pertama kali diberikan kepadanya. Dia menitipkannya pada Arka bersama dengan damar kurung yang besar lainnya. Nyimas ingin menulis kali ini. Diambil beberapa kertas kosong dalam tasnya. Arka menoleh meilhat Nyimas yang hendak menulis, tapi Nyimas justru membelakangi Arka tanpa berkata apapun. Setelah menulis dilipat kertas tersebut dan dimasukkan kedalam damar kurungnya yang kecil. Nyimas masih tetap diam hingga tiba di gang kampungnya.

Kedua orang itu tampak lelah, apalagi Arka yang harus membawa damar kurung dan beberapa buku n***l yang cukup tebal di tas punggungnya. Arka tak memegang tangan Nyimas seperti ketika di p***r tadi, tangan kirinya juga penuh dengan buku komik yang dipinjam oleh Nyimas tadi. Sedangkan Nyimas berjalan dibelakang Arka dengan melihat punggungnya yang lebar dan keringatnya yang tembus hingga ke kaos Arka. Rumah mereka tak jauh dari gerbang gang kampung. Setelah sepuluh menit, mereka sampai di rumah Nyimas. Tampak lenggang karena ibu Nyimas juga sedang sibuk didapur saat jam seperti ini untuk menyiapkan makan siangnya.

            Arka memberikan buku komik yang dipinjam Nyimas dan damar kurungnya yang kecil.

“ Nyimas, nanti setelah Hasta pulang ke rumah. Kita bertiga melukis damar kurung ini. Aku akan menyimpannya di rumah. Ku dengar kalian berdua tak bisa mengikuti lomba lukis di sekolah. Jadi sebagai gantinya damar kurung ini. ” ucap Arka sebelum pergi meninggalkan Nyimas.

Nyimas tersenyum, dia masih berdiri didepan pagar rumah melihat Arka pulang.

“ Mas Arka ! ” teriak Nyimas dengan belari kecil mengejar Arka.

           Ditariknya kaos Arka untuk sejajar dengannya. Nyimas memeluk Arka yang sedikit jongkok dan mencium pipinya.

“ Nyimas sayang Mas Arka seperti Nyimas sayang ayah ”

           Pipi Arka memerah seketika. Dia segera berdiri setelah perlakuan Nyimas. Arka mencoba untuk segera berfikir jernih dengan tersenyum. Nyimas juga tersenyum melihat Arka. Setelah itu dia berbalik kebelakang. Arka juga berbalik untuk pulang. Dalam hati, pada waktu itu. Arka berjanji dalam hati untuk menjaga Nyimas. Walau dia tahu, mungkin Nyimas akan berubah ketika dia dewasa setelah mengetahui segala rahasianya.​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status