Share

Bab 5

Maafkan aku, yang tak bisa mengembalikan jejak kakimu

Untuk kemudian kau berikan pada lainnya

Atau tanah yang kau bisiski

Biarkan aku sebagai perawat untuknya

      Perpisahan, satu hal yang tak diinginkan. Walau begitu, kenangannya tentang seseorang membuat Zamrud harus pergi. Entah berapa langkah lagi dia akan benar-benar akan keluar atau tetap terjebak dalam permainannya sendiri. Zamrud meninggalkan Dewi dan Nyimas untuk pergi ke kota. Bohong, dia harus berbohong terus demi cintanya. Banyak yang bilang dia pria tak berlogika. Hanya mementingkan keberadaan dirinya tanpa tahu manusia lain juga mempunyai perasaan. Entah apa hubungannya, bagi Zamrud dia harus cepat menyelesaikan pelik diri sendiri baru meminta ma’af.

      Satu jam yang lalu, Nyimas telah pergi bersama Arka. Walau masih SMA, Zamrud percaya Arka lebih bisa menjaga Nyimas dibanding dirinya. Dia pria yang tak banyak menuntut dan suka memperhatikan orang. Terlebih Nyimas, sejak dia lahir Arka sudah menginginkan adik perempuan. Tapi ayahnya telah meninggal saat bertugas di daerah Timur Indonesia saat Arka berumur 9 tahun. Dibalik itu ayah Arka merupakan teman karib Zamrud, oleh karenanya dia merawat istri dan Arka. Selain itu untuk menjaga rahasianya sendiri, antara dia dan ayah Arka.

      Tak banyak yang dibawa Zamrud, hanya tas ransel yang berisi keperluannya, sejumlah uang juga dia siapkan. Dewi tak tahu dengan perlakuan khusus Zamrud pagi ini. Seperti yang dikatakan Nyimas, tak biasanya suaminya memeluk Nyimas. Ucapan yang berbanding terbalik dengan jawaban Zamrud untuk Dewi. Wanita itu mengerti jika Nyimas sangat suka bergerak, tapi dia tak susah untuk dipeluk. Setiap sore ketika akan berangkat ke masjid untuk mengaji, Dewi selalu memeluk Nyimas. Bahkan terkadang dia memeluk Nyimas dengan tiba-tiba saat Nyimas sedang berceloteh sendiri dengan bunga kamboja menunggu Hasta. 

      Zamrud keluar rumah seperti biasanya, dengan senyuman untuk istrinya. Tak ada ciuman atau pelukan. Angin pagi berhembus menebarkan bau embun, seakan memberikan salam perpisahan dengan Zamrud. Bersamaan dengan daun dari bunga kamboja yang jatuh dari ranting yang menuas.  Langkah kaki Zamrud besar dan tegas ketika meninggalkan rumah. Seakan menyuarakan kekuatan untuk bumi bahwa dirinya bukan manusia yang lemah. Dewi memperhatikan dari belakang. Hingga Zamrud benar-benar hilang di ujung gang.

      Jalur yang dilalui Zamrud juga sama. Menaiki angkot untuk sampai ke terminal. Hanya saja setelah itu dia akan menuju luar kota. Setelahnya dia akan mengambil bis antar provinsi. Itulah tujuan sebenarnya dia pergi di akhir pekan. Suasana hampa yang semakin merambah di akhir pekan menambah kesan bahwa dia harus segera pergi. Aroma pepohonan di pekarangan rumahnya juga tidak mampu untuk menetapkan kenangannya.

      Zein, teman SMAnya yang akan menemaninya untuk sampai ke Palembang. Sebenarnya mereka berdua bukan orang dekat. Hanya karena Zein mengenal orang yang akan Zamrud datangi. Permasalahan antara Zamrud dan orang itu juga Zein mengetahuinya. Dia akan bertemu Zein di terminal Bungarasih. Dimana dia akan menaiki bis antar provinsi. Butuh waktu satu setengah jam hingga Zamrud sampai ke terminal yang katanya paling sibuk se asia tenggara. Selama perjalanan meninggalkan Gresik, Zamrud hanya diam saja. Bukannya memikirkan tentang Dewi dan Nyimas yang pasti menunggu dia. Tapi tentang ukiran wajah seseorang di Palembang yang hampir saja membuatnya gila. 

      Jalanan menuju Bungarasih berbeda dengan perjalanannya dari Gresik. Semakin dekat dengan terminal, hiruk-pikuk kendaraan semakin padat. Banyak becak-becak bersileweran dengan barang belanjaan orang-orang Surabaya. Ada juga mobil pribadi dan angkot yang saling saut-menyaut dalam merebut alur jalanan. Zamrud tetap saja melamun walau suasana diluar semakin ramai, tidak seperti orang dalam bis lainnya yang lebih tertarik melihat keramaian kota lewat jendela bis. Lagu Inka Cristie dan Amy Search yang diputar kondektur bis menambah deretan kenangan memberatkan kepala Zamrud.  Punggungnya semakin tersengkur mendengarkannya. 

      Sudah dua kali lagu itu diputar, hingga terakhir Zamrud yang meminta kondektur untuk mengulang kembali. Hingga sampai di terminal, lagu itu juga selesai pada bait terakhir liriknya. Zamrud keluar bis mencari Zein, cuaca semakin terik. Banyak sekali calon penumpang atau orang yang telah melakukan perjalanan menambah bau pengap di terminal. Walau terminal ini terbuka, udara kota Surabaya tak sesegar seperti dulu saat dia masih SMA.

      Bau pesing di beberapa trotoar atau tembok kosong juga memberi warna bauan di terminal. Teriakan calo tiket menawarkan bisnisnya dengan logat Surabaya kasar menjadi lagu yang tak pernah diingikan. 

      Zamrud segera mempercepat langkahnya menemui Zein. Sebelumnya mereka akan bertemu di gerbang untuk bis antar provinsi Sungguh tak menyenangkan pergi ke terminal kota dengan situasi yang seperti ini. Baru pertama kali ini juga dia pergi ke terminal Bungarasih sendirian ataupun dengan seseorang. Selama ini dia hanya berputar pada kota Gresik setelah dia menikah. 

      Tak jauh dari tempat yang dimaksud, seorang pria muda berdiri tapi dia membelakangi Zamrud. Dengan jaket jeans didalamnya kaos putih dipadu celana jeans, dia tak berubah. Masih menyukai hal yang menjadi tren dimasanya. Zamrud menghela nafas mengingat dirinya masa SMA. Yang merengek ke ibunya minta dibelikan jaket jeans. 

Zamrud mulai melambat. Selain sudah lelah, orang yang dicarinya juga sudah didepan mata. 

“ Zein !” Teriak Zamrud

“ He ! Lo kukira kamu lewat depan ? ” Zein membalikkan badan

      Zamrud dan Zein saling memberi salam pelukan dan menepuk punggung. Tidak terlalu erat seperti seorang sahabat yang baru bertemu, mereka hanya saling kenal sesama satu sekolah dan angkatan. 

“Sudah tua makin ganteng saja kamu Zamrud. Masih suka main cewek nggak ?” 

“ Aku sudah nikah. ” balas Zamrud dengan senyum kecut

“ Terus kenapa ke Palembang ? ”

“ Aku ingin bertemu dengan temanmu. ”

Zein terdiam. Dia mengerti maksud Zamrud. Sebenarnya juga merasa bersalah harus berbasa-basi seperti itu. Ini awal pertemuan mereka yang buruk bagi Zein. 

“ Kita makan saja dulu. Istriku membawa nasi. ” Zein mengalihkan percakapan.

      Zamrud mengangguk tersenyum. Dia juga merasa lapar setelah perjalan yang lumayan jauhnya, bukan, bukan itu. Lebih tepatnya dia lapar karena terlalu lama mengenang kenangan yang tak pernah tamat.

      Kedua pria itu mencari tempat duduk yang lumayan nyaman, di bawah pohon tak berbuah akhirnya diputuskan mereka berdua untuk makan. Duduk di atas pavling yang tergeletak disana. Zein membuka tas ranselnya yang lumayan besar dan mengeluarkan dua bungkus nasi. Itu nasi krawu.

“ Istrimu bisa masak nasi krawu ? Apa dia orang asli sini ? ”

“ Bukan, tetanggaku penjual nasi krawu. Istriku beli disana. ” Balas Zein sambil tertawa

“ Dia tak sempat memasak untukku. Tanganya terbakar waktu mau menyalakan kompor. Dia bilang waktu mau menyalakan sumbu kompor, apinya tiba-tiba besar. Yah sudah, api itu membakar tangan istriku. ” Zein berbicara sambil sibuk membuka bungkusan nasi.

“ Oh ya bagaimana istrimu ? Kita baru pertama bertemu kembali setelah kelulusan. ”  

***

      Baru berusia 29 tahun, Zamrud harus membawa istrinya untuk pindah ke Surabaya. Situasi yang tidak mendukung baginya membuat dia lari dari ibu kota Jawa Timur. Pada masa itu, beberapa daerah di Indonesia sangat sensitif dengan orang cina. Zamrud memiliki mata sipit dan kulit putih kemerahan. Dia keturunan jawa, hanya di kakek buyutnya merupakan pedagang cina yang suka menepi di pesisir Gresik. 

Karena kakek buyutnya pernah tinggal di Gresik, Zamrud memilih untuk tinggal bersama keluarganya di tempat itu.

      Disana masih ada saudaranya yang masih mempertahankan rasnya. Hidup di pesisir menjadi seorang nelayan, seperti kakek buyutnya yang hidup sebagai pelaut.  Berbeda dengan Zamrud, saudara jauhnya tidak pernah dicurigai karena mempunyai kulit yang gelap. Mata mereka juga tak terlalu sipit seperti Zamrud. 

      Berangkat dari pelarian membuat Zamrud harus pergi disaat sebelum subuh. Menaiki sepeda motor vespa hasil dagangannya selama setahun, Zamrud dan istrinya yang hamil muda membawa beberapa pakaian.

      Perjalanan yang ditempuh 2 jam. Ketika sampai di Gresik, mereka harus melewati persawahan dan ternak ikan dipinggir jalan. Pencahayaan jalan juga kurang memadai, karena sangat jarang sekali penduduk Gresik pergi ke daerah ini sebelum shubuh. Hal itu membuat Zamrud sedikit was-was membawa istrinya. 

      Tak berapa lama, dia sampai di kampung pesisir. Pantai putih bersih dengan beberapa pohon palem menjulang tinggi. Udara juga lebih segar dibanding Surabaya yang sudah mulai padat penduduk dan tranportasi mesin. Ketika baru memasuki kampung pesisir, aroma air dan daun-daun yang basah oleh embun menyambut pendatang baru. Terlihat rumah warga didekat bibir laut, beberapa berada jauh dari pantai tapi masih bisa dilihat dari pantai. Rumah kayu panggung mendominasi kampung ini, dengan tinggi tiang sekitar satu setengah meter. 1 Masjid juga dibangun berdekatan dengan pantai. Suara pria yang sedang mengaji terdengar bergema ke laut. Sebentar lagi akan adzan shubuh. Beberapa orang sudah berangkat ke masjid untuk sholat tahajjud.

      Kampung pesisir ini terbilang aman untuk ukuran daerah yang dekat dengan laut dan suasananya nyaman. Dia akan menginap sementara di rumah keponakannya yang berjarak 7 meter dari gerbang kampung. Di pesisir ini, Zamrud berencana akan ikut keponakannya dengan melaut mencari ikan. Sementara istrinya yang sedang hamil muda ikut membantu mencari kerang saat laut surut. Hingga Zamrud bisa membeli rumah sendiri.

      Hingga tiba di rumah keponaknnya, ternyata pemilik rumah sudah menunggu Zamrud bersama istrinya. Saudaranya menyambut dengan ramah membukakan pintu. Diantarnya Zamrud langsung ke kamar tamu, istrinya mengikuti dibelakang. Ternyata rumahnya belum dialiri listrik, keponaknnya menjelaskan bahwa listrik belum merata di Gresik. Mereka masih menggunakan lampu tempel untuk penerangan depan rumah. Sedangkan di dalam rumah lampu minyak diletakkan di kamar tidur dan ruang tamu. Berjalan dalam kegelapan membuat istri Zamrud kurang nyaman. Matanya masih belum terbiasa dengan bias cahaya yang sedikit. Berbeda dengan rumah Zamrud dulu sudah dialiri listrik.

***

“ Bagaimana tinggal disini ? Kamu harus menghitamkan kulitmu setidaknya agar dari jauh tidak terlihat orang asing. ” 

“ yah. ” Zamrud menghela nafas

“ Oh ya, mungkin hari ini kita tidak bisa melaut. Istriku dan istrimu juga tidak bisa berburu. Laut sedang pasang, ombaknya juga sangat besar. ”

“ Tapi kita bisa meminjam uang dari Pak Khus. Dia pelaut handal disini. Seburuk apapun keadaan laut, dia bisa melaut dan membawa banyak ikan. Aku percaya kalau saat dia pergi melaut air yang tak tenangpun, ikan tetap akan muncul di permukaan. Itu teoriku saja. ”

“ Mungkin saja. Tapi kenapa namanya bukan orang Jawa ? ” Tanya Zamrud

      Angin berderu dengan keras, asap rokok Zamrud terbelah dan hilang. Saudaranya disebelah Zamrud meringis karena bau rokok mengenainya. Dia bukan perokok seperti Zamrud. Seorang nelayan pantang untuk merokok karena akan berpengaruh pada daya tahan tubuh.   Merasa tak enak, Zamrud berdehem dan membenarkan posisi duduk. 

“ Dia orang Kalimantan, sudah setahun disini. Cerita orang, dia kabur dari konflik berdarah disana. ”

“ Kenapa harus kabur ?” penasaran Zamrud bertanya

“ Dia terlalu tertutup orangnya, jadi para tetangganya hanya menebak-nebak sebab keluarganya ke Jawa. Tapi dia dihormati karena kemampuan melautnya. Dia bisa sampai ke laut lepas sendirian menggunakan perahu motor kecil. Kami yang lahir dan hidup disini saja tak berani sejauh itu. ”

Zamrud mendengarkan dengan seksama. Matanya menatap lekat wajah saudaranya. 

“ Bagaimanapun latar belakang dia, aku salut denganya.”

“ Mereka hanya memiliki satu putri. ”

      Kali ini Zamrud melihat ke laut lepas. Teras rumah saudaranya bisa dibilang startegis dengan menghadap laut. Selain melihat matahari terbit dan tenggelam, banyak anak kecil yang bermain bola di depan halaman rumanhnya. Bisa dibilang, lingkungannya ramai untuk mengusir sepi. 

“ Yang aku salutkan dari Pak Khus putrinya kuliah di Surabaya dengan biaya pemerintah. Dia orangnya aktif, karena dia juga, sebagian rumah disini bisa menikmati listrik. Putrinya juga selalu membawa beberapa temannya untuk mengajar di kampung setiap liburan. Benar-benar orang tua yang sukses. Jika saja nanti istriku hamil, apapun jenis kelaminnya. Aku akan mendidiknya agar jadi orang seperti anak pak Khus” Jelas panjang lebas saudaranya

      Zamrud tersenyum mendengar harapan saudaranya itu.

“ Putrinya hendak dilamar orang, katanya dia anak kepala kampung sebelah. Sudah membujang 30 tahun. Kalau aku jadi bapaknya, sudah kujodohkan anak itu. Tapi, Pak Khus menolak. Yah, bayangkan saja. Jika mereka menikah, bibit seperti dia ini akan sia-sia di kampung. ”

“ Siapa nama putrinya ? ”

“ Dewi.”

Angin sudah tak lagi berhembus kencang, tapi rokok di jarinya sudah hampir habis. Dihisapnya sekali dan dibuang seenaknya di pasir pantai.

“ Namanya bagus. ” senyum Zamrud sambil melirik

“ Setiap sabtu akhir bulan dia pulang ke rumah. Kebetulan hari itu aku akan berhutang ke pak Khus, kalau kamu mau ikut, tunggu aku dari kebun. Dewi suka dengan buah mangga. ”

Zamrud berdiri dan berjalan. Diambil kembali putung rokok dan mematikan apinya.

“ Ya ”

      Angin pantai berhembus kali ini. Sedikit lebih besar dari sebelumnya. Baju kemejanya hingga terbuka kancingnya, yang paling bawah. Dia menghadap ke pantai, dengan putung rokok yang masih di tangannya. 

***

      Zein mengantuk disamping Zamrud. Sudah hampir enam puluh menit Zamrud bercerita. Seingat Zamrud, Zein memang mudah mengantuk jika dalam kendaraan. Walau perutnya sudah terisi, justru semakin membuat Zein cepat mengantuk. 

“ Berapa umur anakmu ? ” Zamrud bertanya dengan menggaruk kepalanya.

“ Sekarang sudah jadi mahasiswa. ” Balas Zein dengan wajah geli melihat Zamrud.

“ Dulu, mau jadi kerja kantoran lulusan SMA sudah bisa, sekarang levelnya makin naik. Jadi sarjana dulu baru bisa kerja. ”

“ Untung saja bukan generasi zaman sekarang, sudah pusing aku dengan pelajaran SMA, harus kuliah lagi. Apalagi mereka yang hidup di masa depan. Ku pikir gelar doktor sudah seperti lulusan SMP zaman kita.” Lanjut Zein sambil tertawa receh

      Zamrud semakin geli melihat tingkah laku Zein. Dia sedikit kaget dengan karakter Zein yang terlihat sebagai murid pendiam waktu dulu. Selain itu dia selalu menempel dengan sepupu jauhnya itu dan sulit bergaul.

“ Apa kamu memang seperti ini sejak SMA ? ”

“ Memangnya aku terlihat berbeda, ya ? ”

      Zamrud salah, dia salah harus bertanya seperti itu. Hanya Zamrud saja yang tidak mengenal jauh temannya. 

“ Zein, kenapa kamu selalu menempel dengan saudara jauhmu itu ? ”

“ Siapa ? Perempuan itu ? ”

“ Dia baru pindah sejak kita masuk SMA. La terus, budaya rumah aslinya beda sama budaya kita. Jadi dia yang nempel sama aku. Bilangnya kalau susah berbaur dan itu memang sudah karakternya. Ya sudah, tapi aku risih juga. Itulah kenapa aku nggak semangat sekolah, tak ada gairah lah istilahnya.  ” Jelas Zein

“ Pantesan kamu pendiam dulu SMA. ”

“ Kalau didalam kelas tidak. Pasti dia nggak bisa nempel ke aku. ” Zein membela dengan sedikit bermain tangan.

      Kedua pria itu saling tertawa. Berbeda dengan situasi saat Zamrud bercerita sendiri.

“ Oh ya, Zamrud. Aku harus turun ke Lampung. Salamkan saja ya ke dia, dari kakak ganteng. ”

“ Seharusnya kamu bilang waktu kita mau pisah saja. Nanti aku lupa. Maklum sudah tua. ”

“ Kapan juga kamu punya ingatan kuat, SMA saja selalu peringkat bawah. ”

“ Aku tahu kamu yang dari kelas unggul. Tapi lihat siapa yang paling kaya sekarang ? ” Ejek Zamrud

“ Ya kamu, kaya akan masalah. ” Zein tertawa sendiri.

      Bis yang ditumpangi berhenti karena lampu merah. Suasana canggung mulai dirasakan Zein. Dia tahu sepertinya salah bicara. Zamrud hanya menatap lurus didepannya, kaca besar bisa yang menampakkan antrian kendaraan yang lumayan panjang.

“ Kamu tahu tidak, ada satu cerita yang tidak pernah diceritakan, tentang keluarganya. ” Zein mengalihkan pembicaraan.

      Sekarang berbeda lagi situasinya. Zamrud menatap tegang Zein. Tangannya mulai berkeringat. Tapi matanya terlihat sayu kemudian. Zein disebelahnya juga ikut tegang. Dia takut akan salah bicara lagi. Takut kalau ceritanya kali ini membuat Zamrud semakin jauh melangkah. Pergi dari keluarganya yang tak akan pernah tahu kemana langkahnya. Dan tak akan pernah pulang hingga dia menemukan titik dari benang yang selama ini Zamrud pendam sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status