Zara benar aku memang bod*h, kebejatan perempuan itu tak membuat rasa ini terkikis walau sedikit.Burhan menepuk pundakku. "Aku tahu ga mudah buat lepasin dia, tapi pikirkan masa depanmu, dia bukan perempuan baik, yang mau setia dalam keadaan susah, buktinya dulu waktu aku bangkrut dia malah pergi dan cari lelaki lain."****(POV Bunda Naima)"Berani-beraninya kamu bongkar ini semua di hadapan Mas Damar hah! Lihat saja karena kamu sudah buat aku hancur maka aku tak akan diam, tunggu saja balasanku!" Miranda berteriak seperti orang gila.Bahkan para tetangga berbondong-bondong melihat keributan di halaman rumahku, mereka saling berbisik ada juga yang melirik sinis."Heh lont*! Kapan sih lu mau tobat hah?! bukannya mikir malah nyalahin orang!" sahut Zara dengan berteriak."Zara, ayo masuk." Aku menarik tangan Zara karena malu dengan tetangga."Lepas, Bun!""Elu itu pelakor, bukan hanya ngerebut ayah gue tapi juga ngerebut suami Tante gue, masih juga lu ga ngerasa bersalah, lu manusia ap
Amarah yang membuncah juga kecewa yang meraja semua bercampur dalam dada, air mata mengalir deras hingga pandanganku sedikit buram ketika melihat jalanan.Aku menepi di pinggir jalan meluapkan seluruh tangisan, tak mungkin pulang ke rumah ayah dalam keadaan seperti ini.Bagaimana pun juga aku tak boleh terlihat lemah di depan para musuh, mereka harus tahu betapa garang dan kerasnya aku hingga tak mudah ditaklukkan."Zara! Zara!" Aku melirik ke samping, seorang lelaki muda mengetuk pintu mobil, dengan cepat aku mengusap air mata yang tersisa, Arvin tak boleh tahu aku sedang menangis sendirian di sini.Kubuka kaca mobil sambil berusaha tersenyum menatap lelaki berwajah blasteran timur tengah itu."Ngapain di sini? mobil lu mogok?" tanyanya dengan tatapan heran."Ah engga kok, barusan ... nerima telpon dulu."Tapi sepertinya ia menangkap sinyal kebohongan di mataku."Turun dulu gih, kita ngobrol di sana, kayaknya lu ada masalah," titah Arvin."Semua yang hidup pasti punya masalah, Vin."
(POV Bunda Naima)"Bu, bangun, Bu!" Suara-suara itu dan sebuah tepukan di pipi membuatku tersadar.Saat membuka mata aku terkejut karena berada di tempat asing."Bu, minum dulu ya," ucap seorang wanita, dari suara dan wajah sepertinya aku pernah mengenal dia.Aku lantas bangkit dan meminum air yang disodorkan wanita itu."Ibu ga apa-apa? kalau kepalanya masih pusing kita ke IGD ya, saya anterin, itu kepala Ibu berdarah untungnya ga banyak," ucap wanita itu.Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kepalaku tak terlalu sakit, hanya rasa perih di pelipis, setelah kuraba ternyata kepalaku sudah terbungkus perban."Engga kok ga pusing, motor saya mana?" tanyaku sambil celingukan.Aku sepertinya berada di rumah seseorang entah rumah siapa."Ibu lagi di rumah majikan saya, kebetulan majikan saya bidan tadi yang ngobatin kepala Ibu," jawab wanita itu.Aku masih berusaha mengingat-ingat siapa dia."Eh udah bangun ibunya?" tanya seorang perempuan muda dengan wajah bersih dan mata sipit.Aku mengan
(POV MIRANDA)Aku pulang ke rumah dengan hati yang hancur berkeping-keping, mobil Mas Damar tak terparkir di luar, entah di mana ia kali ini.Air mata tak berhenti mengalir saat memasuki rumah, ditambah dengan penampilanku yang kusut berantakan, membuat tanda tanya orang-orang rumah khususnya Mbak Sita.ART-ku itu tak henti menatapku dengan pandangan aneh. Namun, sepertinya ia tak memiliki keberanian untuk bertanya."Mama kenapa?" tanya putriku Tiara.Dari ambang pintu ia berlari menghampiri. "Mama abis dirampok?"Aku menggeleng lemah sambil menyeka ingus dan air mata."Ya terus kenapa? kok kusut gitu mukanya? pake nangis lagi," ujarnya lagi nampak khawatir.Aku hanya bisa menggelengkan kepala karena tak bisa bicara."Mama berantem lagi sama Ayah?" Lagi-lagi putriku bertanya."Mama mau istirahat dulu ya," ucapku dengan suara parau.Aku melanjutkan langkah menuju kamar sedangkan Tiara tak henti menatapku sampai pintu kamar tertutup."Sial! Ga aktif lagi!" Aku membanting ponsel saat pon
Wanita tua dan putrinya yang tengil itu melabrakku di kantor di hadapan karyawan yang lain, aku masih ingat waktu itu Zara dengan bar-barnya menjambak rambut juga menampar wajahku hingga kemerahan."Lont*! Ga tahu malu! Hei semuanya lihat wanita ini dia sudah merebut ayahku meski tahu sudah beristri, lihatlah wajahnya yang cantik seperti ondel-ondel ini!" teriak Zara mengalihkan perhatian karyawan lain.Sambil menangis aku duduk sambil menutupi wajah, aku tak bisa melawan karena takut ada yang merekam.Suara bisikan-bisikan yang berisi makian dan hujatan dari rekan kerjaku ramai terdengar di telinga, hingga akhirnya Mas Damar keluar dan melerai."Zara, Naima, tolong jangan buat keributan kita bisa selesaikan masalah ini di rumah," ucap Mas DamarAku kesal sekali padanya karena terkesan tak tegas pada Zara yang sudah kasar dan mempermalukanku di hadapan umum."Baik, kalau gitu kamu juga pulang sekarang, dan selesaikan ini secepatnya. Zara ayok pergi," ucap Mbak Naima membuatku lega.Se
(POV ZARA)Derap langkah kaki ayah terdengar mendekat, dapat kulihat ketegangan di wajah Tante Miranda begitu kentara."M-mas ... baru pulang? kamu dari mana?" tanya Tante Miranda sok akrab.Padahal sudah jelas ayah seperti enggan disapa olehnya. Wanita itu mendekat beberapa langkah hendak mencium tangan ayah."Cukup, Miranda, apa kamu sudah minta maaf sama adikku?" tanya Ayah, sambil menolak uluran tangan gundiknya.Si gundik tercenung sejenak. "Belum," jawabnya lesu.Aku menyeringai, mana mungkin mau ia minta maaf pada Om Burhan, dosanya itu terlalu banyak dan kata maaf saja tak cukup untuk menghapuskan dosanya."Aku harap kamu minta maaf sama dia, dan aku harap kamu sadar dan menyesali semua perbuatanmu itu," ucap Ayah lalu naik ke lantai atas."Iya, Mas, iya! Aku akan minta maaf sama Burhan kalau perlu sujud di kakinya demi kamu!" tegas Tante Miranda dengan sedikit berteriakUsai menengok sebentar ke arah Tante Miranda, ayah melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga, sementara ma
"Zara, tolong jangan beri Ayah pilihan itu," ucap Ayah sambil menggenggam erat jemariku."Aku udah males tinggal satu atap dengan gundik Ayah, berharap Ayah balikan lagi sama bunda, sekarang udah jelas-jelas ada bukti kalau Tante Miranda itu bukan perempuan baik, Ayah masih aja tetep mempertahankannya."Aku lantas berdiri."Sekarang tinggal pilih aja, pilih aku anak Ayah, atau Tante Miranda.""Kalau pun Ayah ga bisa kembali sama Bunda, seenggaknya cari pendamping yang lebih baik dari Bunda."Aku segera melangkah ke luar meski ayah terus memanggilku beberapa kali. Saat membuka pintu aku terkejut ternyata ada Tante Miranda yang sedang menguping pembicaraanku sejak tadi."Minggir!" tegasku sambil mendorong tubuhnya."Eh eh tunggu kamu!" Tante Miranda mengikuti sambil berusaha mencekal lenganku."Apaan sih!" Kutepis kasar cekalannya."Ternyata bener ya, selama ini kamu berusaha memisahkan aku dan Mas Damar. Dengar ya, lebih baik kamu pulang ke rumah ibumu itu, karena usahamu hanya akan s
(POV MIRANDA)Tubuhku bergetar hebat saat mendengar Zara memprovokasi ayahnya untuk menceraikanku, ternyata prasangka ini tak pernah salah, ia memang tak menyukai pernikahanku dan Mas Damar.Ia tak tahu saja aku bisa melakukan apapun di luar pemikirannya, bila perlu akan kubuat ia dibenci oleh ayahnya sendiri, ia fikir aku tak bisa lakukan itu."Minggir!" tegas Zara sambil mendorong tubuhku dengan kasar"Eh eh tunggu kamu!" Aku mengikutinya sambil mencekal lengan anak songong itu"Apaan sih!" Ia menepis cekalanku, memang tak punya sopan santun."Ternyata bener ya, selama ini kamu berusaha memisahkan aku dan Mas Damar. Dengar ya, lebih baik kamu pulang ke rumah ibumu itu, karena usahamu hanya akan sia-sia!" tegasku penuh amarah.Tapi bukannya takut dengan gertakanku, ia malah memamerkan senyum mengerikan, seolah tak pernah takut dengan apapun yang kuperbuat."Takut banget sih, santai aja kali, kita lihat aja nanti keputusan Ayah kayak gimana, lagian nih ya kalau lu dicerein sama Ayah m