Share

Bab 2

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2022-08-12 15:59:39

 

 

Ayah menghampiri lalu membantuku berdiri, sedangkan Tiara terlihat ketakutan melihat emosi ayah.

 

"Zara yang mulai duluan, Yah," ucap Tante Miranda membela anaknya.

 

Tiara mangut-mangut kaya orang b3g0. "Iya iya bener, Kak Zara tadi ngusir aku dari kamar, dia nyeret tangan aku keras-keras, sakit tahu," sahut Tiara dengan gaya manja.

 

Ayah nampak diam melirik kami bergantian.

 

"Ayah ga suka ya lihat kamu kasar sama Kak Zara, Ayah minta kamu hormati Kak Zara karena dia sudah jadi kakakmu." Ayah menatap anak tirinya penuh emosi.

 

"Gimana mau hormat, Yah, Zara nya aja kasar begitu," sahut Tante Miranda.

 

Ternyata mereka ular yang berbisa, pantas saja bisa merebut ayah dengan mudah, berbanding terbalik dengan bunda yang kalem dan polos.

 

"Mama ini apa-apaan sih, barusan Ayah lihat sendiri loh Tiara yang kasar sama Zara, Mama ga boleh gitu kalau anak salah harus ditegur jangan dibela," balas ayah.

 

Aku menyeringai melihat tampang Tante Miranda yang kesal, lihat saja akan kubuat hari-harinya menjadi kelam karena pertengkaran.

 

"Ya tapi 'kan Zara duluan yang mulai, Yah, Tiara cuma bela diri aja." Siluman ular betina itu belum menyerah juga membela anak kesayangannya.

 

"Ya tapi ga gitu juga kali, masa iya anakku diperlakukan begitu di rumahnya sendiri, ingat Zara itu anak kandungku." Ayah membusungkan dada.

 

"Dan kamu Tiara, Ayah harap kamu bisa menghormati Zara sebagai kakak." Ayah menunjuk wajah anak tengil itu.

 

"Aduh sakit." Aku pura-pura meringis.

 

Ayah melirikku dengan cepat dan khawatir.

 

"Apanya yang sakit, Ra?"

 

"Ini pipi, Yah, soalnya kuku Tiara tajam-tajam, pantat aku juga sakit karena kebanting keras, didorong tadi sama dia." Aku menunjuk wajah Tiara yang kini menganga.

 

Ayah nampak menghirup napas lalu memandangi anak tirinya dengan tajam.

 

"Ga tahu diri kamu ya! Dia itu anak kandung saya! Lah kamu siapa hah?! Kalau kamu ga mau pindah kamar, sana ikut bapak kandungmu!" teriak ayah sambil berkacak pinggang 

 

Dari belakang ayah aku menyeringai licik, sementara wajah si anak tengil itu memerah, matanya juga mulai berembun.

 

"Yah!" Si gundik berteriak, mungkin tak terima anaknya digituin, aku benar-benar menikmati pertunjukan sirkus ini.

 

"Ayah ngmongnya kok gitu banget sih? kalau Ayah mau sama Mama ya harus nganggap Tiara kaya anak sendiri, harus adil dong." Si gundik bicara lagi.

 

"Ayah tuh lagi bersikap adil, Ma. Bersikap adil buat Zara, anakku sendiri, ajarin tuh anakmu biar punya sopan santun, sudah untung juga kubiayai sekolahnya." Ayah mendengus lalu mengajakku pergi.

 

Sayang sekali padahal aku belum puas melihat mereka bertengkar, sepertinya di lain kesempatan aku harus membuat konflik yang lebih panas lagi.

 

Ayah mengajakku ke taman depan teras di mana bunga-bunga milik bunda masih bermekaran, melihat bunga-bunga itu hatiku sedikit nyelekit.

 

Dahulu aku sering melihat bunda merawat tanaman-tanaman itu dengan baik, menyiraminya sore dan pagi, sekarang bunga-bunga itu tak terawat, daun-daunnya kotor terkena percikan air hujan.

 

"Sini coba lihat pipimu, Ra." Ucap ayah sambil memegang pipiku.

 

"Ga apa-apa, sakitnya pipiku ini ga sebanding sama sakitnya hati Bunda saat ayah memilih gundik itu." Aku berkata dengan geram.

 

Ayah diam tak bisa berkata, begitulah lelaki yang diperbudak nafsu, mending kalau perempuan itu lebih cantik dan berpendidikan seperti bunda.

 

"Kenapa sih Tiara harus tidur di kamar aku?" Aku menatap wajah ayah.

 

"Mereka udah rebut ayah dari bunda, sekarang mau rebut kamar aku juga." Kutatap wajah ayah kecewa.

 

"Mulai sekarang kamar itu jadi milikmu lagi ya." Ayah mengusap jilbabku.

 

Aku pura-pura tersenyum sambil menatapnya.

 

"Aku boleh minta sesuatu lagi ga, Yah?" tanyaku dengan gaya manja.

 

"Boleh dong."

 

"Aku mau mobil baru, abisnya kalau ke kampus naik motor suka kehujanan, boleh ga?" Aku memasang tampang imut-imut.

 

Ayah terlihat diam sambil mikir.

 

"Emm, boleh. Tapi mobilnya Ayah yang pilihin ya."

 

Aku tersenyum penuh kemenangan.

 

'Lihat saja nanti gundik, aku akan membuat dadamu terbakar kepanasan' gumamku dalam hati.

 

***

 

Satu Minggu kemudian 

 

Sore ini aku baru pulang dari kampus, di balik jendela bibirku menganga saat melihat mobil Toyota rush putih terparkir di carport rumah yang baru datang diantar pihak dealer.

 

"Hah, mobil. Mama! Ayah beli mobil baru." Si anak tengil itu berteriak.

 

"Apa! Mobil baru." Kuntilanak itu pun berlari kecil menghampiri, lalu mereka berlari ke luar dengan wajah semringah

 

Aku pun ikutan keluar lalu berdiri di depan pintu, terlihat ayah keluar dari mobilnya, menghampiri kami dengan senyum mengembang.

 

"Ya ampun, Ayah, terima kasih ya udah beliin Mama mobil baru, tahu aja apa yang Mama mau," ucap si gundik sambil nyamperin ayah lalu bergelayut di tangannya.

 

Ingin sekali aku terbahak-bahak. Namun, kutahan karena bukan saatnya, ayah pun terlihat risih dengan sikap Tante Miranda yang terkesan nora.

 

"Zara, sini, Nak." Ayah melambaikan tangan padaku.

 

Aku maju beberapa langkah sambil melihat Tante Miranda dan Tiara yang keheranan.

 

"Iya, Yah."

 

"Ini mobilnya, Ayah ga bohong 'kan?" Ayah tersenyum sambil memberikan kunci mobil padaku.

 

"Ja-jadi, mobil ini buat ... Zara." Tante Miranda menganga, begitu pula dengan Tiara ia melongo saat ayah menyerahkan kunci mobil itu ke tanganku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tu baru cerdas zara. jgn kasih kendor pelakor itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   TAMAT

    Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   46.B

    Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 46.A

    (POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 45

    (POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 44

    (POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 43

    "Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status