Share

Satu Atap Dengan Gundik Ayahku
Satu Atap Dengan Gundik Ayahku
Penulis: Ina Qirana

Bab 1

Penulis: Ina Qirana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-12 15:58:53

 

"Zara, kamu mau ikut Ayah atau Bunda?" 

 

Aku menatap mereka dengan kecewa, terutama ayah, dialah lelaki yang sudah menyakiti hati bunda hingga berdarah-darah.

 

Ia selingkuh dengan sekretarisnya yang lebih muda dari bunda, dengan tatapan penuh benci aku pun menjawab.

 

"Aku pilih ikut Ayah."

 

Dari sudut mata kulihat bunda melirikku dengan pandangan kecewa, padahal aku memiliki tujuan saat memutuskan memilih tinggal dengan ayah.

 

Tujuanku adalah membuat rumah tangga ayah dan gundiknya itu berantakan, takkan kubiarkan mereka hidup bahagia.

 

"Kamu yakin?" tanya bunda dengan suara bergetar.

 

Jujur hatiku perih memutuskan hal ini. Namun, aku ingin keadilan untuk bunda, aku tak rela ayah dan gundiknya itu bahagia, sementara bundaku menahan pedihnya luka.

 

"Yakin, Bun." Aku mengangguk sementara bunda melirik ke ara lain, tak lama ia menengadah.

 

"Zara, cuma kamu yang Bunda punya, Bunda mohon." Bunda menatapku nelangsa.

 

Aku tetap diam menahan tangisan.

 

"Apa kamu takut kehilangan kemewahan kalau tinggal sama Bunda?"

 

Tak kuasa segera kupeluk erat wanita yang telah melahirkanku itu, lalu kubisikkan kata-kata ke telinganya.

 

"Aku tinggal sama Ayah untuk membalaskan dendam Bunda, aku mau keadilan untuk Bunda," bisikku, lalu melepas pelukannya yang hangat.

 

"Aku sayang Bunda kok," ucapku sambil menyeka air mata.

 

"Pilihan kamu sangat tepat, Zara. Ayah janji akan membahagiakanmu, dan apapun yang kamu mau Ayah akan turuti," sahut ayah sambil tersenyum penuh kemenangan.

 

Aku menyeringai sambil melihat wajah ayah, lagaknya bilang apapun yang kumau pasti akan dituruti, nyatanya aku pernah meminta ayah untuk tinggalkan gundiknya saja tak pernah didengar, aku benci lelaki itu.

 

"Kalau gitu aku mau agar Ayah jangan memberikan uang jajan sama anak tiri Ayah, bisa?" tanyaku dengan tatapan menantang.

 

Ayah terlihat diam menimbang-nimbang.

 

"Lagian, si Tiara itu 'kan anak tiri Ayah, ngapain repot-repot ngasih uang, keenakan bapak kandungnya," lanjutku memanas-manasi hati ayah.

 

Ayah masih diam, terpaksa kuberikan ia ancaman. 

 

"Ya udah kalau Ayah ga sanggup, aku milih tinggal sama Bunda aja, toh dia punya grosir besar, aku masih bisa hidup enak."

 

Ayah melirikku sambil geleng-geleng kepala.

 

"Iya, Nak, ok kalau itu maumu Ayah ga akan kasih uang ke Tiara, kamu benar keenakan bapak kandungnya kalau Ayah ngasih dia uang bulanan."

 

Aku menyeringai ketika mendengar jawaban Ayah, akan kubuat ia sayang padaku dan membenci gundik itu beserta anak gadisnya yang sombong dan angkuh.

 

"Gitu dong, Ayah jangan mau dimanfaatkan orang." Aku tersenyum.

 

"Ya sudah ayo kita pulang ke rumah, Sabtu dan Minggu kamu boleh nginap di rumah Bunda," ujar Ayah sambil melangkah ke luar.

 

Aku mengintip di jendela rupanya Ayah sedang menelpon di luar sana, pasti itu telpon dari gundiknya, biar saja akan kuberi dia kejutan.

 

"Zara, kamu ga boleh gitu, Nak, Bunda sama sekali ga dendam, mungkin ini udah takdir." Bunda menyentuh pundakku dari belakang.

 

Aku membalikkan badan sambil tersenyum.

 

"Gundik Ayah itu orang jahat, apalagi anaknya itu loh Bun, tamak banget, aku ga mau dia foya-foya ngabisin uang Ayah."

 

Bunda terdiam mendengar jawabanku.

 

"Alasan aku tinggal sama Ayah bukan takut hidup susah sama Bunda, aku mau keadilan untuk Bunda." Kupeluk erat tubuh kurusnya sekali lagi.

 

"Ya sudah, hati-hati ya." Bunda akhirnya menyerah.

 

Tiga puluh menit kemudian aku sudah sampai di depan rumah ayah, di depan pintu Tante Miranda menyambut dengan senyuman.

 

Wajahnya berubah tengil saat melihat tubuhku keluar dari mobil ayah. Namun, beberapa detik kemudian wanita yang lebih muda dari bunda itu berhasil menyembunyikan ketidak sukaannya padaku.

 

"Yah, kok ada Zara?" tanya wanita menor itu sambil mencium tangan ayah.

 

"Iya, dia akan tinggal di sini. Yu, Nak." Ayah pun menggandeng tanganku lalu masuk ke dalam.

 

Aku melirik ke belakang, wanita itu nampak cemberut dan mematung, sudah pasti kesenangannya akan terusik karena kedatanganku.

 

Aku terkejut saat memasuki kamar, ruangan favoritku itu kini sudah dipakai oleh Tiara anak gundik ayah, padahal baru satu bulan aku meninggalkan rumah ini.

 

"Za ra." Wanita itu terbata melihatku membuka pintu.

 

"Hai, ngapain di kamar gue?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

 

"Sekarang ini kamar gue, lo tempati kamar yang lain aja," jawabnya angkuh sambil makan kuaci.

 

Aku berdecak, jijik melihat cangkang kuaci berserakan di lantai, dasar jorok!

 

"Lo yang keluar, enak aja, gue tuh anak kandung Ayah jadi berhak penuh atas rumah ini, lah lo siapa?" Aku maju satu langkah dengan pandangan menantang.

 

Tiara bangkit lalu membanting toples yang berisi kuaci ke ke kasur hingga isinya tumpah  dan berhamburan.

 

"Gue emang cuma anak tiri ya, tapi Mama gue udah nikah sama Ayah lo, jadi gue juga sama posisinya sama lo di rumah ini, cepet keluar."  Gadis SMA itu mendorong tubuhku secara kasar.

 

"Elo yang keluar bukan gue!" tegasku tak mau kalah.

 

Tiba-tiba Tante Miranda alias gundik ayah datang ke kamar.

 

"Ada apa ini?" tanya Tante Miranda dengan muka tengil.

 

"Ma, masa Zara mau tidur di kamar ini, sekarang 'kan udah jadi kamar aku," rengek Tiara.

 

Ia memang tak sopan, di depan ayah memanggilku kakak, sedangkan di belakang menyebut nama, padahal umurku lebih tua di atasnya.

 

"Apa sih susahnya ngalah? kamu 'kan lebih gede dari Tiara, dewasa dong," celetuk Tante Miranda sambil monyong-monyong.

 

"Sebelum ada kalian di sini, gue lebih dulu menempati kamar ini ya, jadi please suruh anak Tante yang pergi," balasku jutek.

 

"Tapi sekarang udah jadi kamar Tiara, ngerti ga sih kamu tuh!" Tante Miranda makin nyolot.

 

"Engga! Ini kamar gue, lo keluar sekarang!" tegasku sambil nunjuk pintu.

 

Dengan wajah garang Tiara maju beberapa langkah mendekatiku sambil membusungkan dada.

 

"Kalau gue ga mau gimana?" tanya Tiara angkuh sambil mendorong dadaku hingga terhuyung ke belakang.

 

"Ok, kalau gitu jangan salahin gue kalau main kasar," balasaku lalu menyeret tubuh gadis itu keluar.

 

"E-eh, lepasin!" Tante Miranda berteriak sedangkan Tiara berontak.

 

"Gue ga mau b@ngs@t!" Tiara menepis cekalanku lalu mendorong tubuhku dengan keras hingga terhuyung ke lantai.

 

Aku terduduk di lantai sambil menahan bokong yang terasa nyeri dan panas, dan aku semakin emosi dibuatnya.

 

"Denger! Ga hanya lo yang berhak atas rumah ini, gue juga berhak karena Mama udah nikah sama Ayah!" tegas Tiara sambil mencengkram pipiku keras, hingga kuku-kukunya terasa menusuk ke pipi.

 

"Tiara! Apa-apaan kamu hah!" 

 

Aku melirik ke samping rupanya ayah yang datang dan ia melihatku seolah-olah sedang dianiaya anak tirinya, mampus kau!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Tiara apa apaan kamu!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   TAMAT

    Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   46.B

    Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 46.A

    (POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 45

    (POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 44

    (POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 43

    "Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status