Lisa merapatkan jaket ketika Ares mengajaknya mengambil uang di ATM. AC-nya dingin sekali, serius. Apa lagi sejak tadi ia sudah diterpa angin malam.
Waktu menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Mereka sudah membeli tiket bus malam. Keberangkatannya seperempat jam lagi. Tujuannya acak. Sebuah kota di sebelah utara yang berjarak sekitar 130 KM dari kotanya sekarang.
Lisa tidak tahu mengapa Ares memilih naik bus. Mungkin karena susah terlacak oleh orang-orang. Terlebih itu angkutan biasa, seolah tidak mungkin dipilih oleh manusia superkaya seperti Ares. Tidak seperti pesawat yang penerbangannya bisa dengan mudah dicari tahu dengan menghubungi pihak bandara.
Selagi menunggu, Ares langsung mengambil uang di ATM dekat terminal, membawa beberapa kartu. Yang pasti ada satu kartu Oma yang diberi wanita sepuh itu sebelum Ares dan Lisa pergi. Kata Oma untuk kebutuhan saat mereka berdua melarikan diri dan bersembunyi nanti.
Suara alunan lembut musik terdengar dari speaker dalam bus. Diselingi suara klakson yang dibunyikan oleh supir beberapa kali.Lisa bangun dari tidurnya, menyipitkan mata ketika sinar terang dari luar bus menembus jendela kaca. Ia mengangkat kepala, baru sadar jika sedari tadi tidur bersandar di pundak pemuda di sebelahnya. Lisa melirik jam digital bus yang nampak di atas supir. Waktu menunjukkan pukul enam kurang seperempat menit. Masih pagi rupanya.Ares masih terlelap. Tidak terganggu dengan suara apa pun di sekitarnya. Pemuda itu masih menggenggam tangannya, membuat Lisa sangsi menarik tangannya karena takut membangunkan pemida tersebut.Bus yang Lisa tumpangi berhenti sejenak karena lampu merah. Lisa menghela napas, tersenyum sedih menatap dari jendela bus seorang siswi berseragam yang sedang menunggu bus di sebuah halte. Ia harusnya bersiap-siap sekolah sekarang, membantu Bi Inah menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini hal itu hanya
Warung soto dekat terminal yang Ares dan Lisa kunjungi sepi. Hanya ada beberapa orang yang makan. Ares dan Lisa duduk di kursi meja paling pojok, menjauh dari keramaian.Ares menghabiskan teh hangatnya setelah selesai makan. Ia melap bibir dengan tisu, merasa dirinya lebih baik sekarang. Perutnya sudah terisi. Mual dan pusing yang ia tahan sejak beberapa jam yag lalu mulai menghilang.Ares pikir mabuk itu sugesti. Jadi ia tetap naik bus. Ia mensugesti dirinya agar tidak mabuk, tapi tetap saja. Bangun dari tidur kepalanya langsung pening dan perutnya bergejolak parah. Mati-matian Ares menahan diri agar tidak muntah sampai akhirnya setelah turun bus, ia benar-benar tidak kuat hingga mengeluarkan semua isi perut ke selokan."Nggak nambah?" Area bertanya pada gadis di depannya.Lisa menggeleng. "Belum habis, Res. Masa suruh nambah," jawabnya.Ares terkekeh. Ia tidak tahu Lisa yang lama saat makan atau d
"Kasih tas yang kamu bawa sekarang.""Wow, santai, Pak.""Res."Lisa menelan saliva.Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Ia tersentak ketika Ares memberikan serangan ke pria di depannya dengan tiba-tiba. Pemuda itu menendang alat vital si perampok, membuat pria itu mengaduh dan kehilangan fokus sebentar. Sepersekian detik kemudian, Ares mengambil pisau yang ditodongkan padanya secepat kilat, lalu menendang perut perampok hingga tersungkur ke tanah.Lisa yang melihatnya menahan napas. Sebenarnya itu gerakan ofensif biasa ketika menghadapi penjahat pria. Menyakiti alat vital milik mereka, untuk kemudian kabur atau gantian menyerang ketika mereka lengah. Yang membuat Lisa benar-benar tidak menyangka adalah, pemuda Reigara itu cepat sekali melakukannya. Hanya beberapa detik untuk membuat keadaan berbalik 180 derajat.Ares ganti menodongk
"Berhenti di sini aja, Pak." Ares berkata pada sopir taksi di depannya.Mobil yang mereka tumpangi berhenti. Lisa yang duduk di sebelah Ares segera turun dari mobil, menunggu pemuda Reigara itu membayar ongkos. Selagi itu ia mengecek bawaan. Hanya paperbag, sih. Isinya dompet, uang lima juta, kartu ATM-beberapa barang yang tidak diambil oleh perampok gila yang menggasak uang 25 juta mereka. Baju Ares sendiri pemuda itu bawa di tangan.Mereka baru saja pergi 3 kilometer dari terminal dengan tujuan acak menggunakan taksi. Lisa mendadak parno jika harus mencari tempat tinggal dekat dengan terminal. Tanpa insiden perampokan saja terminal terasa mengerikan, lebih-lebih setelah itu. Alhasil, ia memilih menjauh dari sana. Pergi naik taksi terserah ke mana saja.Mobil taksi berlalu beberapa detik kemudian. Ares berjalan mendekat. "Mau cari kontrakan di daerah sini beneran?"Lisa mengangguk. "Iya. Lagian udah lumayan jauh ju
"Kalian boleh lihat-lihat dulu kontrakannya. Disini ada dua kamar sama satu kamar mandi. Untuk jemuran, bisa pakai lantai atas yang kebuka." Bu Tika membuka pintu kontrakan yang dikunci. Suhu luar yang awalnya panas berubah menjadi dingin ketika Lisa memasuki kontrakan tersebut. Rupanya salah satu pintu selain pintu rumah wanita paruh baya itu adalah pintu kontrakan.Setelah bercerita marathon sejak kejadian orang tua Lisa meninggal sampai dirampok penjahat barusan, Bu Tika pemilik kos akhirnya iba hingga membolehkan mereka berdua tinggal. Awalnya wanita itu masih tidak percaya jika Lisa dan Ares telah menikah karena dijodohkan. Lebih-lebih buktinya hanya dengan cincin yang orang pacaran saja bisa punya. Tapi dengan bantuan buku nikah yang sempat pemuda Reigara itu bawa dari rumah Oma, semua jadi terasa mudah. Ares itu keren sekali. Mana Lisa kepikiran membawa buku kecil itu."Setiap sepekan sekali, Ibu pasti bersih-bersih tempat ini, Mba Lisa. Jadi
Sebelumnya Lisa pernah membayangkan bagaimana jika ia hidup susah, tetapi tidak menyangka akan benar-benar mengalaminya. Bayangkan saja. Ia terbiasa mencuci pakaian menggunakan mesin cuci, sekarang? Ia terbiasa dimasakkan Bi Inah dan mengerjakan pekerjaan rumah dibantu, sekarang?Yah, hidup itu berputar seperti roda yang sedang berjalan. Lisa sungguh tahu dirinya tidak akan selalu di posisi itu sepanjang hidup. Seperti saat ini, waktunya ia merasakan hidup yang lain. Hidup seperti orang susah.Tapi meskipun begitu, hidup semacam orang susah itu tidak sesusah itu. Hidup seperti orang kaya juga tidak semudah yang orang-orang pikirkan. Bisa lihat Lisa? Keluarganya nyaris hancur. Ayah Bunda dibunuh entah oleh siapa. Ia dan kakaknya dikejar seperti buronan yang telah melakukan kejahatan.Harta memang tidak bisa menjadi patokan kebahagiaan seseorang. Di luar sana, banyak yang hidup sederhana bahkan kekurangan tetapi merasa tenteram dan am
Suasana hutan ricuh.Batu melayang terlihat dimana-mana. Teriakan beberapa orang terdengar, kebanyakan mengumpat. Keadaan menjadi tegang, memacu adrenalin siapa pun yang terlibat di dalamnya.Arvin bersembunyi di balik batu besar, menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Di titik temu sana pasukan-Lisa menaruh handphone yang baru saja dibeli beberapa hari yang lalu di atas ranjang, menghela napas panjang. Cerita di aplikasi literasi yang barusan ia baca membosankan sekali. Ceritanya mirip seperti hidup Arvin yang suka tawuran. Lebih kerennya, nama tokohnya juga Arvin. Lisa jadi curiga dengan author yang menulis cerita daring itu. Teman Arvin? Atau pacarnya? Atau dirinya sendiri? Tetapi sejak kapan Arvin punya pacar?Mengambil handphone, Lisa kembali mengaktifkan lockscreen. Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit di layar. Ini hari Senin. Jika keadaannya baik-baik saja, Lisa pasti sedang sekolah dan berbaris
Tidak ada rutinitas yang lebih menyebalkan dari minum obat pereda nyeri saat datang bulan. Rasanya hidup Lisa seolah tergantung pada obat-obatan itu. Karena jika tidak diminum, nyeri yang ia rasakan jadi sangat mengganggu. Bahkan bisa membuatnya rebahan di kasur sepanjang hari. Beruntung hal itu tidak berlanjut lama. Hanya hari pertama dan hari kedua, lalu hilang dengan sendirinya.Ares tadi sudah membelikannya obat antinyeri, juga jamu kunir asem. Tetapi perutnya masih tidak enak, membuatnya malas melakukan apa-apa. Masalahnya ia sudah berencana makan malam dengan nasi goreng, jadi harus tetap memasak. Lagi pula anggapan jika nyeri haid harus istirahat total di atas tempat tidur itu salah. Justru yang paling bagus adalah bergerak. Bahkan dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan."Kamu mau ngapain, Sa?" Ares yang melihat Lisa keluar kamar segera bertanya dari kamarnya. Pemuda itu sedang rebahan kasur. Apa lagi jika bukan bermain game.