Tangis Jingga pecah melihat kakinya yang berlumuran darah karena serpihan beling yang menancap, itu yang membuatnya langsung terjatuh.
“Ibu ….” Jingga berteriak memanggil ibunya seperti anak kecil sambil menangis tersedu-sedu.Dipta berjongkok di depan Jingga melihat kondisi kaki wanita itu dan berniat melihat lebih jelas serpihan belingnya namun Jingga dengan cepat menepis.“Jangan pegang-pegang!” sentaknya galak.Lelaki itu dengan cepat mengusap cairan merah yang keluar dari hidungnya akibat sundulan kepala Jingga tadi.Jingga berniat untuk kembali berdiri.“Sayang, aku bakalan biarin kamu pergi tapi seenggaknya obati dulu luka kamu.”Tidak memperdulikan Jingga yang protes dalam gendongannya, Dipta membawa wanita itu menuju apartemennya yang memang kebetulan berada di dekat sana. Hanya tinggal menyebrang, apartemen yang rencananya akan Dipta tempati setelah menikah dengan Jingga.“Tolong. Pak tolong saya, Pak. Saya mau diculik,” teriak Jingga dengan kakinya yang bergerak-gerak berharap Dipta melepaskannya. “Mas Dipta, lepas!” Ia beralih memukul dada bidang lelaki itu namun sama sekali tidak memberikan efek apapun pada Dipta.Orang-orang bukannya menolong mereka malah menertawakan tingkah Jingga. Mana mungkin ada orang yang menculik terang-terangan. Bahkan mereka berpikir Jingga dan Dipta itu pasangan yang sedang bertengkar meski nyatanya memang seperti itu.Jingga lelah sendiri karena tidak berhenti berteriak, ia merasa sangat lemas karena kini bisa merasakan sakit di kakinya semakin menyiksa bukan hanya yang tertancap beling saja namun kaki sebelah kirinya juga lecet dan luka-luka kecil karena ia berjalan tanpa alas kaki.Jantung Jingga seperti diremas kuat saat melihat di dalam apartemen yang sudah dihias sekian rupa. Bahkan jelas dalam ingatan jika Jingga sendiri yang menginginkan apartemen dihias seperti ini agar saat nanti ia menginjakkan kaki pertama kalinya sebagai istri Dipta menjadi sangat berkesan. Namun semua itu hanya sebuah angan yang tak mungkin terjadi, hanya tinggal kenangan.Mata Jingga kembali memanas, ia seolah dilempar kembali pada kenyataan jika lelaki yang dicintainya ternyata milik orang lain.“Duduk. Kalau kamu maksa buat jalan nanti menancap makin dalam dan makin sakit.” Dipta memperingati sebelum mengambil kotak obat untuk membersihkan luka Jingga.Jingga yang tidak suka dengan yang namanya rasa sakit hanya diam mematung meresapi getirnya takdir. Ia menelpon Awan meminta untuk dijemput dengan suara bergetar karena tangisnya. Belum sempat mengatakan lokasinya, Jingga dengan cepat memutuskan sambungan telepon karena Dipta keluar dari kamar.Jika sampai Dipta tahu maka Awan akan dihalangi nantinya, dan Jingga memilih untuk diam saja sampai nanti Awan datang.Dengan telaten Dipta membersihkan dan mengobati luka di kedua kaki Jingga. Wajar saja karena lelaki ini seorang dokter.Jingga memalingkan wajahnya enggan untuk melihat Dipta. Ia berharap Awan segera datang.“Aww, sakit!”“Tahan sebentar.”Kotak obat di lantai sudah berpindah ke meja menandakan jika Jingga sudah selesai diobati.“Sayang.” Dipta mencoba meraih tangan Jingga namun wanita itu dengan cepat menariknya.“Nggak usah manggil-manggil sayang. Kita itu cuman orang asing sekarang!” Jingga menegaskan dengan sorot matanya yang memancarkan luka yang begitu dalam.Sakit dan hancurnya Jingga berkali-kali lipat.“Jingga, tolong jangan bilang gitu. Maafin aku, aku akan minta maaf ke keluarga besar kamu soal kejadian ini. Aku juga minta maaf karena nggak jujur dari awal, aku takut kamu nggak akan menerima-”“Jelas aku nggak nerima, Mas. Aku nggak mau jadi duri dalam rumah tangga orang lain!”“Aku dan Rahel akan berpisah.”Jingga menggeleng, “aku nggak mau dicap pelakor ya, nggak usah kamu pisah cuman karena aku. Aku juga nggak butuh kamu lagi.”Dipta masuk ke dalam kamar dan kembali membawa formulir perceraian yang bahkan sudah diisi dan ditandatangani.“Aku dan Rahel berpisah bukan karena kamu tapi karena memang kami tidak bisa bersama. Masalah kami ada, jauh sebelum kamu hadir di hidup aku.”***“Kenapa, Mas?”Awan melirik Welly, “aduh, gimana nih? Ditinggal sayang nggak ditinggal si Jingga juga tanggung jawab gue,” batinnya frustasi.“Ini … Jingga nelpon aku, dia minta tolong.” Awan mengatakan yang sebenarnya.Welly nampak kaget, “dia kenapa?”“Itu yang bikin aku khawatir, dia cuman ngomong gitu doang sambil nangis habis itu telponnya dimatiin.”“Ya udah, Mas. Cari Jingga, takutnya dia kenapa-napa.”“Hah? Tapi ini ….”“Bisa lain kali, sekarang yang penting Jingga.” Welly tidak egois dengan mementingkan apa yang bisa dilakukan di waktu lainnya.“Emang nggak salah pilih istri gue.” Awan bangga pada dirinya sendiri.“Mas, malah bengong. Ayo pakai baju!”Awan tersentak dari lamunannya dan secepat kilat memakai baju, ia akan segera membawa Jingga pulang agar bisa melanjutkan ritual malam pertamanya yang tertunda. Bahkan saat bertemu Jingga nanti Awan sudah berencana mengomeli wanita itu yang pergi tanpa bilang-bilang, sudah pasti membuat seluruh keluarganya khawatir. Meski sudah dewasa namun Jingga itu orangnya nekat dan kekanakan.Tidak sulit bagi Awan untuk melacak keberadaan Jingga saat ini, tanpa pikir panjang ia langsung meluncur, sepanjang jalan hanya sibuk mengumpat kesal karena Jingga.“Ngapain juga dia di apartemen? Apartemen siapa lagi?” gumam Awan saat sampai di basement apartemen.Mencoba menghubungi Jingga lagi namun tidak diangkat, ia langsung menuju lantai tempat di mana Jingga berada. Kini Awan berdiri di depan pintu apartemen itu menunggu sang pemilik membukanya setelah beberapa kali ia menekan bel.Awan terbelalak saat melihat Dipta yang membuka pintu, Dipta pun kaget dengan kedatangan Awan.Dipta yang akan menutup pintu kalah cepat dari Awan yang nyelonong masuk.“Awan!” Jingga begitu kegirangan saat melihat Awan.Berbeda dengan Awan yang emosi karena melihat bagaimana penampilan Jingga saat ini, belum lagi kakinya yang dibalut perban.“Keluar!” Dipta mengusir Awan.“Bangs*t!” Awan melangkah mendekat dan melayangkan bogem mentah membuat Dipta terdorong karena tidak siap dengan serangan itu.Dengan kaki dan tangannya Awan menyerang Dipta saking emosi karena apa yang sudah dilakukan lelaki itu pada Jingga.Tubuh Dipta kini sudah terkapar di lantai, wajahnya babak belur bahkan sudah tidak ada tenaga. Dipta sama sekali tidak ada niat untuk melawan membiarkan Awan melakukan apapun karena Dipta sadar Awan semarah ini karena Jingga disakiti.“Ayo, Wawan. Semangat!”Gerakan tangan Awan tertahan saat mendengar teriakan Jingga. Ia melirik Jingga yang memasang tampang polosnya.“Sint*ng emang nih bocah. Ngapain lo kasih semangat segala? Gue bukan lagi gelud.” Awan bangkit dari tubuh Dipta yang tak berdaya.Dipta tersenyum kecil menatap Jingga, “kalau kamu masih belum puas, suruh sahabat kamu itu pukulin aku lagi.”“Jangan pernah ganggu dia lagi, Jingga sekarang istri gue!”Bersambung ….Dipta terpaku mendengar penuturan Awan.“Becanda lo nggak lucu, Wan!”Awan terbahak, “ngapain juga bohong, kalau nggak percaya tanyain ke Bapak mertua gue sana. Sampai lo deketin istri gue lagi, gue pastiin lo lebih parah dari ini!”Awan menarik Jingga keluar dari apartemen itu, Awan bahkan sampai tidak memperhatikan Jingga yang jalannya terseok.Dipta masih berada di dalam tidak sanggup untuk berdiri karena tubuhnya terasa sangat remuk apalagi sakit di bagian ulu hatinya setelah mendapat hantaman tangan Awan.“Wan, pelan-pelan. Kaki gue sakit.” Jingga meringis merasakan kakinya berkedut nyeri.Beberapa langkah menuju lift, Awan menghentikan langkahnya. Terlalu emosi hingga tidak menyadari keadaan Jingga.“Gendong.”Meski tidak berhenti menggerutu, Awan tetap menuruti kemauan Jingga. Berjongkok di hadapan wanita manja itu yang kini sudah berada di punggung Awan.“Kebanyakan dosa kayaknya lo itu, badannya kurus kering macam ranting tapi beratnya nggak beda jauh sama gajah.”“Kayak pern
“Makan dulu ya, dari pagi kamu belum makan apapun. Ibu nggak mau nanti maag kamu kambuh lagi.” Bu Sukma mencoba membujuk Jingga yang masih dalam posisinya dengan berbaring memeluk boneka raksasa yang dihadiahkan Dipta di tahun pertama mereka bersama.Saking kalutnya pikiran wanita itu sampai tidak menyadari barang pemberian Dipta. Mungkin jika sadar ia akan langsung membakar boneka itu.“Aku nggak lapar, Bu.”“Ibu taruh di sini ya. Harus kamu makan sebelum tidur.” Bu Sukma memutuskan untuk membiarkan putrinya itu sendiri.Jingga memang sudah tidak menangis lagi, mungkin air matanya sudah mengering. Lelah yang dirasanya sama sekali tidak digubris, pikiran Jingga melayang.“Kamu jahat, Mas.” Tiga kata itu lolos dari mulut Jingga bersamaan dengan bayangan momen kebersamaan mereka selama ini.Saat ini Jingga tidak ingin melakukan apapun hanya meresapi rasa sakit yang menghujam jantungnya begitu dalam.Jika tahu dari awal memang Jingga tidak akan menerima Dipta dan itu kenapa Dipta menyemb
“Salah aku apa, Mas? Kenapa kamu kayak gini.” Rahel sudah berkaca-kaca karena sikap suaminya tidak pernah berubah.“Kamu nanya salah kamu apa?” Pertanyaan Dipta itu seolah menyindir.“Mas, aku ‘kan udah minta maaf loh. Itu udah berlalu, nggak usah dibahas lagi.”Dipta tersenyum kecut. “Aku udah maafin kamu tapi bukan berarti kita masih bisa sama-sama.”Tidak ingin akhirnya menjadi keributan Dipta langsung keluar dari kamar itu. Ini sudah malam dan tidak pantas mereka ribut di hari berkabung seperti ini.“Aku nggak mau pisah, pokoknya nggak akan aku biarin Mas Dipta pergi!” Rahel menggeleng, tangan wanita itu terangkat menjambak rambutnya frustasi. “Argh! Si*lan!” jeritnya.Teriakan Rahel membuat Samudra tersentak dan menangis karena kaget.“Ma-ma.”Rahel juga ikut kaget, “iya, sayang. Maafin Mama.” Ia naik ke atas ranjang dan menenangkan Samudra.Rahel tidak pernah curiga bahkan tidak berpikir jika Dipta selingkuh karena di matanya lelaki itu adalah sosok setia. Bagi Rahel, Dipta adal
Awan memegangi pipinya dengan shock.“Mas, Mas Awan!”“Aku nggak mau, aku nggak mau.”Welly menepuk pundak suaminya itu. “Mas, kamu kenapa sih? Nggak mau apa?”Awan terhenyak. “Kamu nggak marah?”Wanita itu mengernyit heran. “Marah kenapa?”“Soal yang tadi aku bilang, kamu aja sampe nampar aku. Masa iya nggak marah.”“Nampar kamu? Kapan aku nampar kamu? Nggak beranilah aku nampar suami aku sendiri. Ayo lanjutin makannya, habis itu istirahat lagi kamu pasti masih capek makanya agak oleng.”Awan menyapukan pandangannya ke sisi kiri dan kanannya, ternyata ia masih ada di meja makan. Berarti tadi hanya lamunan Awan saja tidak benar-benar terjadi. Akhirnya ia bernafas lega, takut sekali tadi karena Welly mengatakan ingin pisah tapi ternyata itu bukan nyata.Ia malah jadi ragu untuk bicara karena lamunan yang dibuatnya tadi. Awan ingin segera menyelesaikan ini karena tugasnya sebenarnya hanya menggantikan Dipta untuk menjaga nama baik keluarga Jingga. Berarti tidak akan bertanggung jawab pa
“Udah sebulan lebih ternyata.” Awan memperhatikan kalender di ponselnya.Memang waktu tidak terasa sampai Awan pun lupa statusnya yang memiliki dua istri. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai suami Welly tapi melupakan Jingga yang juga istrinya.“Mas, nanti pulangnya kalo bisa cepet ya.”Alis Awan berkerut. “Kenapa? Kamu nggak enak badan? Mau dianter ke dokter?”“Nggak kok. Ini 'kan malam minggu, kita jalan-jalan aku juga mau kasih hadiah buat kamu.”“Hadiah apa?”“Nggak seru kalau aku kasih tahu sekarang, Mas!”“Ya udah, aku nggak usah kerja aja biar kamu kasih tahu sekarang.” Awan memainkan alisnya.Welly tergelak melayangkan pukulan kecil di pundak suaminya. “Nggak boleh. Kamu harus kerja, jangan nakal.”“Aku nakal cuman ke kamu doang, sayang.” Awan menjawil gemas dagu istrinya itu.Kentara sekali mereka seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Meski hidup jauh dari kata mewah namun mereka begitu bahagia menjalaninya. Awan memang memilih untuk bersama dengan Welly menjalani k
FlashbackTangan Jingga ditarik membuat tubuh wanita itu menghantam dada kekar di depannya. Jingga menelan ludah dengan susah payah kala aroma maskulin itu menggelitik hidungnya. Ia begitu merindukan aromanya yang selalu menenangkan.“Lihat-lihat kalau jalan dong, Mas!” Protesnya, ia menarik Jingga agar tidak tersenggol pejalan kaki yang lain.“M-mas ….”Satu kata itu lolos dari mulut Jingga, ia bahkan tidak protes saat tangannya ditarik menuju taman yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi.“Kamu baik-baik aja 'kan?”Jingga menggeleng dengan matanya yang sudah berembun. “Semenjak kejadian itu aku nggak pernah baik-baik aja, Mas.”Tidak bisa disangkal jika Jingga sampai detik ini masih mencintai Dipta meski lelaki itu sudah menorehkan luka yang cukup dalam. Sedalam apapun luka jika cintanya lebih besar maka luka itu akan sembuh dengan sendirinya.“Maaf.” Tangan Dipta terangkat mengusap pipi pujaan hatinya yang kini sudah basah dialiri air mata.“Kamu jahat!” Jingga menghujani d
“Istri anda baik-baik saja.”Awan bernafas lega. Ia tidak tahu seperti apa jadinya jika Jingga mengalami hal buruk. Menyadari semua kesalahannya. Awan terbawa emosi saat tahu Jingga akan kembali pada Dipta yang sudah jelas-jelas membuat hidup Jingga hancur dan mempermalukan kelurganya. Awan hanya tidak ingin Jingga tersakiti lagi tapi malah ia sendiri yang menyakiti Jingga.Kemarahan memang menghancurkan segalanya.“Boleh saya masuk, Dok?”“Silahkan.”Dengan sedikit ragu Awan masuk ke dalam ruangan itu. Jingga terbaring dengan mata terpejam, wajahnya sudah tidak sepucat tadi. “Jingga, maafin gue,” gumam Awan dengan lirih.“Mas Dipta.”Awam tersentak mendengar Jingga malah menyebut nama Dipta.“Sebesar itu rasa cina lo ke si bangs*t itu, Ji? Dia udah nipu lo selama ini dan lo malah dengan tol*lnya malah balikan sama dia.” Awan mengepalkan tangannya. Ia benar-benar tidak bisa terima jika Jingga kembali pada Dipta, mungkin jika Jingga bersama lelaki lain Awan akan melepaskannya.Kelopa
Setelah kondisinya tenang, Jingga menceritakan semuanya pada Dipta.Emosi. Sudah jelas apalagi ia tahu Awan menikahi Jingga hanya untuk menutupi masalah kemarin saja, hanya ingin menjaga nama baik keluarga Jingga.“Kamu mau ninggalin aku setelah tahu aku nggak perawan lagi?”Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Jingga.Dipta menggeleng, menepis semua pemikiran kekasih hatinya itu. “Nggak, sayang. Mana mungkin Mas berpikir begitu.”“Aku takut kamu ninggalin aku, Mas.”Jelas saja Dipta tidak akan meninggalkan Jingga, ia sangat mencintai wanita itu. Seperti apapun kondisi Jingga akan diterimanya seperti Jingga yang juga menerima Dipta yang akan menyandang status duda beranak dua.“Mas akan bicara sama Ayah kamu nanti soal pernikahan kita. Setelah sidang perceraian Mas selesai dan kamu juga harus cerai dari Awan.”Mata Jingga langsung berembun. “Aku nggak mau ketemu Awan.”“Kita temuin dia sama-sama.” Dipta mengerti ketakutan Jingga apalagi pengalaman pertama didapatkan Jingga karena