로그인Malam hari, kediaman sebesar dan semegah ini namun bisa bisanya begitu sunyi. Bahkan lampu yang menyala saja sudah remang remang.
Lea berjalan mencari dimana Ardian, sejak kepulangannya mereka tadi bahkan dia tak melihat Ardian sama sekali. Sampai dia menemukan kepulan asap dari arah balkon kamarnya. Benar saja rupanya Ardian sedang bersandar di pagar balkon sembari menyesap sebatang rokok. Lea mendekat sembari mengibas asap rokok itu dengan tangannya. Ardian mengetahui kedatangan Lea, hanya saja dia tidak berkutik sedikitpun. "Ngapain disini? Nggak dingin?" Lea membuka percakapan. "Ada apa katakan!" Jawab Ardian ketus. Lea merasa jika Ardian memiliki kepribadian yang unik, terkadang bisa cukup baik. Namun tak jarang sangat dingin seperti saat ini. "Aku boleh kerja kan besok?" "Itu urusanmu" Santai Ardian menyesap kembali rokok di tangannya. Meniupkan asap ke atas sembari mendongak. Gleeekk... Lea menelan ludahnya melihat jakun Ardian yang sangat menggoda, naik turun seiring gerakan menelan air liur Ardian. Apalagi leher putih dan jenjang Ardian yang di padukan dengan rahang tegas dan hidung mancung. Siapa wanita tidak tergoda dengan pesona setampan itu? "Tutup mulutmu. Siapkan satu juta dollar jika ingin aku puaskan lagi" Ujar Ardian langsung membuyarkan lamunan Lea. "Si... Siapa yang berfikir itu?" Lea menyangkal, padahal dia sudah terbayang kembali bagaimana tampannya Ardian saat berada di atas tubuhnya, dengan perut yang sixpack dan pinggang ramping. "Mata dan mulutmu sudah menjelaskan" Ardian membuang putung rokok itu meski masih cukup panjang, menginjaknya dengan sandal rumahan yang ia pakai. Lea langsung menutup mulutnya sambil menggelengkan kepala, memang susah jika memiliki wajah ekpresif yang tidak bisa di kondisikan. Ardian berlalu, memasuki kamarnya dan melepas kemeja yang ia pakai, membuangnya asal di lantai. Lea menghela nafas, kelakuan pria kaya memang beda, batin Lea. Dia memungut kemeja Ardian dan memasukkan dalam kranjang kotor. Ardian berganti dengan pakaian tidur dan mengambil satu bantal, lantas ia membawanya ke sofa. "Kenapa tidak tidur di ranjang?" Tanya Lea heran. "Apa kau sanggup membayar satu juta dollar lagi? Kalo sanggup tidak masalah. Kamu bisa tanda tangan surat kontrak hutang denganku" 'Pria sialan! Maksud gue perhatian malah maksudnya mesum. Terserah deh lo tidur di sofa kek, di kamar mandi kek, di lorong juga terserah' batin Lea begitu kesal sekali. "Tidurlah di sofa" Lea menaiki ranjang dan masuk dalam selimut, menarik kembali ucapannya. Ardian melipat tangannya di dada, dan mulai merebahkan tubuh jakungnya di sofa dengan begitu tenang. Tok tok tok... Suara ketukan pintu dari luar kamar. "Siapa?" Heran Lea hendak beranjak. "Aku aja" Ardian sudah menduga siapa yang mencarinya tengah malam demikian. Ardian membuka pintu, benar saja kini Tamara yang saat ini menjadi ibu tirinya sedang berdiri di ambang pintu membawa segelas susu. "Ardian, aku bawain kamu susu" Senyum Tamara. "Bawa kembali. Selanjutnya tidak perlu membawakan apapun Namun Tamara mencekal lengan Ardian, kepalanya condong ke dalam untuk mengecek apa dugaanya benar. Melihat ada bantal di sofa yang membuat Tamara menyunggingkan senyum. "Sampai kapan kamu mau pura pura? Aku masih disini Ardian, yakin kamu nggak mau susu ini? Atau mau susu yang lain?" Goda Tamara sedikit membuka pakaian tidurnya menunjukkan dua benjolan kembar. Ardian langsung memalingkan wajahnya, jika dulu dia sempat tergoda bahkan ingin sekali memakan habis dua benjolan itu. Namun saat ini Ardian merasa benar benar jijik. "Kenakan kembali bajumu dengan benar, tubuhmu sudah penuh dengan aroma khas sugar daddy" Sindir Ardian. "Ardian.." Braaak.. Ardian menutup pintu dengan kencang membuat Lea terjingkat. "Buset. Galak banget!" Gumam Lea mengusap dadanya. "Jangan banyak tanya, cepat tidur" Tegas Ardian kala melihat Lea hendak membuka mulut, sudah jelas sekali dia hendak kepo. ~~**~~ Pagi hari.. Ardian memegang pinggangnya sembari berjalan dengan pelan. rasanya tubuhnya seperti usai menangkap maling. "Siaal.. Kenapa gue rasanya di jajah di rumah sendiri, dia malah tidur nyenyak" Kesalnya pada Lea yang masih tidur dengan pulas. Dia memilih untuk segera turun ke dapur, sejak kemarin bahkan dia melupakan makan. Belum ada satupun makanan yang masuk di lambungnya, justru semalam dia merokok. Perutnya kini sudah keroncongan. "Kamu kenapa?" Tegur pak Gama melihat anaknya seperti sakit pinggang. "Sakit pinggang pah" Jawabnya singkat berlalu menuju kulkas, mengambil air minum dan menegurnya hingga tandas. "Kalo main pelan pelan, kalo nggak sanggup bisa minum jamu dulu. Papa faham kalian pengantin baru, masih muda masa kalah sama papa" Senyum pak Gama menepuk bahu anaknya. Deeeg.. Jantung Tamara seakan melompat keluar. 'Benarkah mereka semalam melakukan?' Batinnya sambil memotong sayuran dengan kasar. Ardian mengangguk pelan, mulutnya masih sibuk mengunyah makanan seadanya di kulkas. Barulah dia duduk di meja makan dengan camilan di tangannya. "Pagi pagi jangan makan camilan, bisa makan buah dulu" Perhatian Tamara membawakan buah untuk Ardian. "Dimana Lea? Bukannya dia seharusnya urusin kamu" Sindir Tamara bermaksud menjelekan dan membandingkan Lea dengannya. "Masih tidur" Jawab Ardian singkat bahkan tak menoleh ke arah Tamara, apalagi mengambil buah yang di siapkan Tamara. "Seharusnya dia bangun pagi, urusin kamu" Tutur Tamara sok bijak. "Biarkan sayang, Lea mungkin lelah mengimbangi Ardian" Sela pak Gama mengusap tangan Tamara. "Aku kembali dulu. Jangan ganggu Lea kalo papa pengen cepet punya cucu" Ardian muak sekali melihat pemandangan di depannya. 'Nggak mungkin, aku yakin kamu masih suka aku. Tenang aja Ardian, aku bakal ambil kamu kembali, kamu akan bertekuk lutut di hadapanku kelak' batin Tamara menyusun rencana. "Sayang, gimana kalo kita... " Pak Gama membisikkan di telinga Tamara. 'Sial aki aki ini. Coba aja lo nggak banyak duit, ogah banget sama aki aki bau tanah' batin Tamara hanya berpura-pura memasang wajah suka. Padahal dalam pandangannya dia membayangkan wajah Ardian yang sedang mencumbunya.Lea membuka mata karna sinar matahari yang memasuki sela sela kamar lewat jendela, membuat silau mata Lea. "Emmmpphhh..." Lenguh Lea sambil menggeliat. "Sudah bangun!" Suara besar nan serak membuat Lea terjingkat sejenak sampai mengusap dadanya. "Bisa pelan aja panggilnya" Protes Lea. Ardian tak menggubris, dia berlalu ke lemari, mengambil satu setel pakaian untuknya bekerja. Dengan wajah bantal Lea merapikan rambutnya asal dengan penjepit, memperhatikan Ardian yang bersiap bekerja. "Mau kemana?" Kepo Lea. "Kerja" Singkat Ardian menjawab sambil merapikan dasinya. "Eeemm..." Lea mengangguk, benar saja hari ini adalah cuti menikah terakhirnya. "Aku boleh keluar?" Pamit Lea. "Terserah" "Oke.. Aku anggap jawabannya boleh" Lea bangkit dengan semangat empat lima yang tidak gentar oleh penjajah. Ardian tak mempermasalahkan sama sekali jika Lea hendak pergi bermain ataupun kemana. Asalkan masih dalam hal yang wajar. Mereka sama sama sudah bersiap dengan aktivi
Pov Ardian. Di sela sela kesibukannya dia selalu memprioritaskan sang kekasih yang amat dia cintai, siapa lagi jika bukan Tamara. Ardian menaikkan tangannya sebagai tanda jeda sementara saat rapat, kenapa lagi jika bukan karna Tamara mengubunginya. "Kemana aja? Kok nggak angkat telpon?" Sela Tamara manja di ujung panggilan. "Aku masih ada rapat," Jelas Ardian berharap kekasihnya mengerti. "Aku lagi di mall, mau bayar tas tapi kamu malah nggak angkat. Aku malu ini" "Ya sudah, aku transfer sekarang' "Beneran ya, aku tungguin" Senang Tamara yang saat ini sedang di kasir salah satu store tas brand. "Iya" Ardian mematikan sambungan telpon, segera mengirim uang pada sang kekasih. Baginya uang bukan suatu masalah asalkan Tamara bisa mencintainya. Namun sayangnya Tamara yang rakus dan merasa kurang dengan Ardian selalu membandingkan dengan pria lain. "Lihat tuh, sugar daddy. Kartunya aja black card, kalo lo sama dia pasti terjamin" Bisik sang teman menunjuk seorang p
Malam hari, kediaman sebesar dan semegah ini namun bisa bisanya begitu sunyi. Bahkan lampu yang menyala saja sudah remang remang. Lea berjalan mencari dimana Ardian, sejak kepulangannya mereka tadi bahkan dia tak melihat Ardian sama sekali. Sampai dia menemukan kepulan asap dari arah balkon kamarnya. Benar saja rupanya Ardian sedang bersandar di pagar balkon sembari menyesap sebatang rokok. Lea mendekat sembari mengibas asap rokok itu dengan tangannya. Ardian mengetahui kedatangan Lea, hanya saja dia tidak berkutik sedikitpun. "Ngapain disini? Nggak dingin?" Lea membuka percakapan."Ada apa katakan!" Jawab Ardian ketus. Lea merasa jika Ardian memiliki kepribadian yang unik, terkadang bisa cukup baik. Namun tak jarang sangat dingin seperti saat ini. "Aku boleh kerja kan besok?" "Itu urusanmu" Santai Ardian menyesap kembali rokok di tangannya. Meniupkan asap ke atas sembari mendongak. Gleeekk... Lea menelan ludahnya melihat jakun Ardian yang sangat menggoda, naik turu
"Jadi... pria seperti itu yang dulu mau kamu nikahi" sindir Ardian pada Lea. Belum tahu saja jika dia sedang mengusik wanita yang sedang patah hati. "Tutup mulutmu jika hanya ingin membahas pria brengsek itu" Lea mencengkram botol minum di tangannya sampai ringsek. "Ardian meringis, rupanya dia menikahi wanita yang bukan menye menye, cukup menarik batinnya. "Ayo aku antar pulang, segera kemasi barangmu""Piulang?" Lea baru sadar jika dia akan berpindah tempat tinggal. Sesampainya di depan kontrakan Lea. "Kembali Ardian mengedarkan pandangan, barulah dia sadari secara detail kamar yang berisi lemari plastik juga hanya ada sebuah selimut yang di gunakan tidur, juga beberapa peralatan dapur meski hanya beberapa bijirmu tidur hanya memakai ini?" tanya Ardian memicingkan mata seakan tak percaya di dunia ini ada orang yang tidur tanpa alas kasur yang empuk. "Baru semalam, kasur dan bantalku aku bakar!" jawab Lea berapi api. "Bakar?"Lea menghentikan sejenak kegiatannya mengemas ba
Sesampainya di kontrakan yang hanya beberapa meter itu dia sudah membayangkannya hendak merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Namun sepertinya Lea melupakan jika dia sudah membakar habis kasur miliknya. "Sial... gue jadi nggak ada kasur. Kenapa gue bakar kasur gue? Haiissshh.. harusnya gue bakar mereka hidup hidup di atas kasur" Lea mencengkram tangannya, mengepalkan kesal. Harusnya hari ini dia sudah bersiap untuk pernikahannya esok hari. Tangannya bermain dengan lincah di layar pipih itu, mengirim pesan satu persatu mulai dari decoration, catering, MUA, bahkan semua vendor dia batalkan. Tak peduli dengan segala DP yang sudah dia berikan, atau berapa banyak dana yang dia keluarkan. "Tabungan gue udah habis-habisan buat bantu kerjaan si musang! Sekarang habis juga buat beli burung premium.. Aaahhhh Lea, dosa apa yang udah gue perbuat""Ya Tuhan, maafkan hambamu ini. Sudah berbuat nikmat nan dosa" Gumam Lea mendongak dengan tangan menengadah ke atas meski dia sendiri bukan insan
Di sebuah bar salah satu kota Jogjakarta, dentuman musik yang mengusik telinga, saling bersinambung dengan lampu lampu yang gemerlap. Bau alkohol di segala sisi, bunyi gelas yang bersentuhan sudah menjadi hal wajar disana. Wanita dan pria menari nari mengikuti alunan musik, melenggak lenggokkan tubuh seakan melepas beban.Demikian juga dengan Lea yang ikut menari nari di bawah lampu gemerlap, hanya mengikuti alunan musik tak ada gerakan khusus. "Mau?" Tawar seorang pria menyodorkan minuman beralkohol dalam gelas."Gue nggak minum" Tolak Lea menggelengkan kepala. "Coba dikit aja" Pria itu masih mencoba untuk memaksa Lea. "Sorry" Lea akhirnya memilih undur diri, duduk di sebuah meja bar. "Bagi minuman yang non Alkohol" Ujarnya pada bartender. "Kenapa nggak ke cafe mbak? lagi galau ya?" tebak bartender melihat wajah muram Lea. "Ya gitu" Lea mengangguk. "Have fun aja mbak, pria itu harus di imbangi" Bartender itu memberikan minuman pada Lea yang tidak memiliki kadar alkohol. "Ben







