MasukPov Ardian.
Di sela sela kesibukannya dia selalu memprioritaskan sang kekasih yang amat dia cintai, siapa lagi jika bukan Tamara. Ardian menaikkan tangannya sebagai tanda jeda sementara saat rapat, kenapa lagi jika bukan karna Tamara mengubunginya. "Kemana aja? Kok nggak angkat telpon?" Sela Tamara manja di ujung panggilan. "Aku masih ada rapat," Jelas Ardian berharap kekasihnya mengerti. "Aku lagi di mall, mau bayar tas tapi kamu malah nggak angkat. Aku malu ini" "Ya sudah, aku transfer sekarang' "Beneran ya, aku tungguin" Senang Tamara yang saat ini sedang di kasir salah satu store tas brand. "Iya" Ardian mematikan sambungan telpon, segera mengirim uang pada sang kekasih. Baginya uang bukan suatu masalah asalkan Tamara bisa mencintainya. Namun sayangnya Tamara yang rakus dan merasa kurang dengan Ardian selalu membandingkan dengan pria lain. "Lihat tuh, sugar daddy. Kartunya aja black card, kalo lo sama dia pasti terjamin" Bisik sang teman menunjuk seorang pria paruh baya dengan penampilan yang cukup rapi. "Suami orang bukan?" "Bukan, dia Pak Gama duda. Pemilik perusahaan Gama. "Perusahaan Gama? Bukannya itu tempat kerja cowok gue?". "Cowok lo cuma direktur, dia pemiliknya" Sang teman Tamara mulai memprovokasi Tamara. "Oke gue coba" Tamara mulai melenggang anggun, menggeolkan pinggangnya ke kanan dan ke kiri. Menggoda pak Gama dengan pesonanya. Sampai suatu saat Ardian yang sudah lama menetap di luar negeri memutuskan untuk pulang, demi memberikan kejutan sang kekasih. Dia pulang tanpa memberitahu Tamara, bahkan dia sudah menyiapkan segala surprise untuk melamar Tamara. Dia menggenggam cincin di tangannya dengan senyum mengembang, mendatangi Tamara di apartemen nya. "Ardian?" Syok Tamara langsung membereskan undangan yang berserakan. Sejenak Ardian tersenyum, berfikir jika Tamara sudah menyiapkan undangan pernikahan mereka bedua. "Aku sudah pulang" Ujar Ardian mendekat, berharap mendapat sambutan hangat dari Tamara. Sayangnya Tamara justru menghindar. "Maaf, kamu masih ngambek? Aku sudah pulang, dan kita.. Bisa segera menikah, lihatlah, apa kamu suka?" Ardian menunjukkan sepasang cincin di dalam kotak. "Kamu udah buat undangan kita?" Imbuh Ardian hendak mengambil undangan Tamara namun di cegah Tamara. "Bukan, ini undangan pernikahan ku dengan calon suamiku" Ujar Tamara. "Iya, aku kan calon suamimu. Tapi boleh aku lihat kan?" Ardian masih berfikir positif. Namun matanya tak sengaja melihat nama Gama di dalam undangan itu. Jantungnya bak di tusuk dengan anak panah yang beracun. "Gama? Apa maksudnya?" Pekik Ardian dengan wajah merah padam. "katakan padaku. Siapa Gama?" Bentak Ardian sudah hilang kendali. "Dia calon suamiku, dia bisa memberikanku hidup lebih baik. Kita sudahi hubungan kita" "Tamara! Aku beri kamu satu kesempatan, tarik kembali ucapanmu" "Tidak! Aku tidak akan menarik ucapanku" "Baiklah" Ardian berbalik, meninggalkan sang kekasih yang bahkan sudah ia gadang gadang. Tentu saja kepulangan nya bukan hanya sekedar tanpa tujuan, dia memilih mengelola bisnis di dalam negeri saja. Menjalani hidup di negeri sendiri juga menghadiri pernikahan sang papa. Tepat di hari pernikahan sang papa dia barulah menyadari jika ibu tirinya adalah sang kekasih. Bukan hanya bak di rajam panah, namun sudah seperti di sembelih hidup hidup. Benar benar Tamara sang kekasih. "Ardian, kenalkan ini mama baru kamu. Meski usianya lebih sedikit di banding kamu, tapi papa harap kamu bisa hormat sama dia" Senyum pak Gama. "Selamat MAMA" Jawab Ardian ketus. Tamara benar benar tak menyangka, pria yang di nikahinya adalah calon ayah mertuanya. Dengan artian sebenernya Ardian adalah pewaris satu satunya. "Te.. Terima kasih" Jawab Tamara membalas jabat tangan Ardian. "Mana pacar kamu? Bukannya kamu bilang mau kenalin ke papa?" "Dia sedang sibuk pa, mungkin lain kali" "Kalo gitu alian bisa ngobrol dulu agar lebih akrab, papa temui tamu dulu" Pamit pak Gama. Tamara mendekati Ardian dengan wajah menyesal. "Ardian, aku bisa jelasin semuanya" "Cukup, bukankah kemarin aku sudah memberimu kesempatan? Aku tak masalah jika kamu memilih pria lain. Tapi kenapa? Kenapa harus papaku sendiri?" Tak terima Ardian. "Aku beneran nggak tahu, pak Gama itu papa kamu. Salah kamu karna tidak pernah mengenalkanku" "Cukup Tamara, mohon jaga jarak" Ardian melangkah mundur kala Tamara hendak menyentuhnya. "Kita bisa menjalin hubungan di belakang papamu, aku.. Aku masih sayang sama kamu" "Gila! Bener bener wanita Gila" Umpat Ardian semakin muak. Barulah dia tahu sisi asli wanita yang selama ini ia banggakan. Ardian pergi begitu saja, membuang cincin berlapis berlian yang dia pesan khusus dengan ukiran nama mereka berdua di tong sampah. Sungguh beruntung sekali siapa saja nanti yang akan menemukan cincin itu. Sampai Ardian tiba di sebuah club malam, tujuannya memang tak lain ingin menghilangkan Tamara dalam fikirannya. Dengan menyesap benda berisi nikotin dan mengeluarkan asap di temani segelas minuman beralkohol. Dia terhanyut dalam dentuman irama musik bar. "Berapa harga mu tuan?" Suara gadis cantik dan mungil mendekatinya. "Satu juta" Jawab Ardian menjeda ucapan. "Dollar" "Oke aku bayar kamu untuk malam ini" Ujar gadis itu. 'Wanita Gila darimana ini? Dia menganggap ku pria bayaran untuk menghangatkan ranjang nya?' Dalam hati Ardian merasa begitu heran. Namun melihat wajah polos gadis itu rasanya tidak tega untuk menolak, atau membayangkan gadis itu akan di puaskan pria bayaran lain yang sudah menjajakkan burungnya di semua lubang.Lea membuka mata karna sinar matahari yang memasuki sela sela kamar lewat jendela, membuat silau mata Lea. "Emmmpphhh..." Lenguh Lea sambil menggeliat. "Sudah bangun!" Suara besar nan serak membuat Lea terjingkat sejenak sampai mengusap dadanya. "Bisa pelan aja panggilnya" Protes Lea. Ardian tak menggubris, dia berlalu ke lemari, mengambil satu setel pakaian untuknya bekerja. Dengan wajah bantal Lea merapikan rambutnya asal dengan penjepit, memperhatikan Ardian yang bersiap bekerja. "Mau kemana?" Kepo Lea. "Kerja" Singkat Ardian menjawab sambil merapikan dasinya. "Eeemm..." Lea mengangguk, benar saja hari ini adalah cuti menikah terakhirnya. "Aku boleh keluar?" Pamit Lea. "Terserah" "Oke.. Aku anggap jawabannya boleh" Lea bangkit dengan semangat empat lima yang tidak gentar oleh penjajah. Ardian tak mempermasalahkan sama sekali jika Lea hendak pergi bermain ataupun kemana. Asalkan masih dalam hal yang wajar. Mereka sama sama sudah bersiap dengan aktivi
Pov Ardian. Di sela sela kesibukannya dia selalu memprioritaskan sang kekasih yang amat dia cintai, siapa lagi jika bukan Tamara. Ardian menaikkan tangannya sebagai tanda jeda sementara saat rapat, kenapa lagi jika bukan karna Tamara mengubunginya. "Kemana aja? Kok nggak angkat telpon?" Sela Tamara manja di ujung panggilan. "Aku masih ada rapat," Jelas Ardian berharap kekasihnya mengerti. "Aku lagi di mall, mau bayar tas tapi kamu malah nggak angkat. Aku malu ini" "Ya sudah, aku transfer sekarang' "Beneran ya, aku tungguin" Senang Tamara yang saat ini sedang di kasir salah satu store tas brand. "Iya" Ardian mematikan sambungan telpon, segera mengirim uang pada sang kekasih. Baginya uang bukan suatu masalah asalkan Tamara bisa mencintainya. Namun sayangnya Tamara yang rakus dan merasa kurang dengan Ardian selalu membandingkan dengan pria lain. "Lihat tuh, sugar daddy. Kartunya aja black card, kalo lo sama dia pasti terjamin" Bisik sang teman menunjuk seorang p
Malam hari, kediaman sebesar dan semegah ini namun bisa bisanya begitu sunyi. Bahkan lampu yang menyala saja sudah remang remang. Lea berjalan mencari dimana Ardian, sejak kepulangannya mereka tadi bahkan dia tak melihat Ardian sama sekali. Sampai dia menemukan kepulan asap dari arah balkon kamarnya. Benar saja rupanya Ardian sedang bersandar di pagar balkon sembari menyesap sebatang rokok. Lea mendekat sembari mengibas asap rokok itu dengan tangannya. Ardian mengetahui kedatangan Lea, hanya saja dia tidak berkutik sedikitpun. "Ngapain disini? Nggak dingin?" Lea membuka percakapan."Ada apa katakan!" Jawab Ardian ketus. Lea merasa jika Ardian memiliki kepribadian yang unik, terkadang bisa cukup baik. Namun tak jarang sangat dingin seperti saat ini. "Aku boleh kerja kan besok?" "Itu urusanmu" Santai Ardian menyesap kembali rokok di tangannya. Meniupkan asap ke atas sembari mendongak. Gleeekk... Lea menelan ludahnya melihat jakun Ardian yang sangat menggoda, naik turu
"Jadi... pria seperti itu yang dulu mau kamu nikahi" sindir Ardian pada Lea. Belum tahu saja jika dia sedang mengusik wanita yang sedang patah hati. "Tutup mulutmu jika hanya ingin membahas pria brengsek itu" Lea mencengkram botol minum di tangannya sampai ringsek. "Ardian meringis, rupanya dia menikahi wanita yang bukan menye menye, cukup menarik batinnya. "Ayo aku antar pulang, segera kemasi barangmu""Piulang?" Lea baru sadar jika dia akan berpindah tempat tinggal. Sesampainya di depan kontrakan Lea. "Kembali Ardian mengedarkan pandangan, barulah dia sadari secara detail kamar yang berisi lemari plastik juga hanya ada sebuah selimut yang di gunakan tidur, juga beberapa peralatan dapur meski hanya beberapa bijirmu tidur hanya memakai ini?" tanya Ardian memicingkan mata seakan tak percaya di dunia ini ada orang yang tidur tanpa alas kasur yang empuk. "Baru semalam, kasur dan bantalku aku bakar!" jawab Lea berapi api. "Bakar?"Lea menghentikan sejenak kegiatannya mengemas ba
Sesampainya di kontrakan yang hanya beberapa meter itu dia sudah membayangkannya hendak merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Namun sepertinya Lea melupakan jika dia sudah membakar habis kasur miliknya. "Sial... gue jadi nggak ada kasur. Kenapa gue bakar kasur gue? Haiissshh.. harusnya gue bakar mereka hidup hidup di atas kasur" Lea mencengkram tangannya, mengepalkan kesal. Harusnya hari ini dia sudah bersiap untuk pernikahannya esok hari. Tangannya bermain dengan lincah di layar pipih itu, mengirim pesan satu persatu mulai dari decoration, catering, MUA, bahkan semua vendor dia batalkan. Tak peduli dengan segala DP yang sudah dia berikan, atau berapa banyak dana yang dia keluarkan. "Tabungan gue udah habis-habisan buat bantu kerjaan si musang! Sekarang habis juga buat beli burung premium.. Aaahhhh Lea, dosa apa yang udah gue perbuat""Ya Tuhan, maafkan hambamu ini. Sudah berbuat nikmat nan dosa" Gumam Lea mendongak dengan tangan menengadah ke atas meski dia sendiri bukan insan
Di sebuah bar salah satu kota Jogjakarta, dentuman musik yang mengusik telinga, saling bersinambung dengan lampu lampu yang gemerlap. Bau alkohol di segala sisi, bunyi gelas yang bersentuhan sudah menjadi hal wajar disana. Wanita dan pria menari nari mengikuti alunan musik, melenggak lenggokkan tubuh seakan melepas beban.Demikian juga dengan Lea yang ikut menari nari di bawah lampu gemerlap, hanya mengikuti alunan musik tak ada gerakan khusus. "Mau?" Tawar seorang pria menyodorkan minuman beralkohol dalam gelas."Gue nggak minum" Tolak Lea menggelengkan kepala. "Coba dikit aja" Pria itu masih mencoba untuk memaksa Lea. "Sorry" Lea akhirnya memilih undur diri, duduk di sebuah meja bar. "Bagi minuman yang non Alkohol" Ujarnya pada bartender. "Kenapa nggak ke cafe mbak? lagi galau ya?" tebak bartender melihat wajah muram Lea. "Ya gitu" Lea mengangguk. "Have fun aja mbak, pria itu harus di imbangi" Bartender itu memberikan minuman pada Lea yang tidak memiliki kadar alkohol. "Ben







