Share

Bab 4. Permintaan Maaf

Kotak merah dengan sebuah kalung emas yang sangat cantik ada di dalamnya. Rania hingga ternganga melihatnya.

"Cantik sekali kalung ini. Apakah Mas Amar sengaja ingin memberikan kejutan untukku? Ternyata aku salah menilainya. Mungkin dia menunggu waktu yang tepat."

Dengan sangat hati-hati Rania mengembalikan kotak merah itu ke dalam laci. Ia sampai lupa dengan niat awalnya yang ingin mencari ikat rambut.

Jantung Rania mendadak berdebar dengan hebat. Ia menantikan sang suami bersikap manis dan lembut kembali seperti dulu di saat awal-awal pernikahan mereka.

"Sebaiknya aku fokus bersih-bersih dan merapikan rumah saja."

Sepanjang hari seperti itulah pekerjaan Rania. Ia harus memastikan agar rumah tempat tinggalnya selalu bersih dan rapi. Apalagi rumah itu adalah rumah tumpangan dari Rafka.

"Ngomong-ngomong soal, Rafka. Kenapa dia mau kembali ke rumah ini, ya? Apa benar ia sedang putus cinta?"

Rania berceloteh seorang diri. Rupanya suasana rumah itu tak lagi sama setelah kemunculan adik iparnya. Terasa sunyi dan kosong saat Rafka pergi entah ke mana.

"Mengapa aku harus memikirkan Rafka? Ada-ada saja." Rania menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tidak ingin mengotori otaknya dengan memikirkan sang adik ipar.

Siang itu Rania makan seorang diri. Ia mencoba mengirimkan pesan kepada suaminya.

[Mas, sudah makan belum? Jangan lupa makan siangnya. Jangan sampai telat.]

Rania selalu berusaha menjadi istri yang pengertian. Ia selalu mengingatkan Amar agar tidak telat makan siang. Wanita itu takut jika penyakit typus suaminya kambuh lagi.

"Tidak dibalas. Hanya dibaca saja. Selalu seperti itu."

Namun sesaat kemudian ponsel Rania berdering. Ia pikir telepon dari suaminya.

"Iya, Mas Amar. Rania sudah makan, kok."

"Ini aku, Ran. Bukan Amar!" sahut seseorang dari balik telepon.

Rania segera mengecek nama kontak yang meneleponnya. Ternyata bukan Amar. Tetapi Rafka. Adik iparnya tersebut memang sudah memberikan nomor teleponnya sebelum pergi dari rumah. Untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada keperluan mendesak.

"Maaf, Rafka. Ada apa meneleponku?" Rania menjawab dengan sedikit ketus. Tak seperti saat menjawab panggilan Amar.

"Oh, aku ganggu ya, Ran. Ya sudah nggak jadi."

Tiba-tiba Rafka memutuskan sambungan teleponnya. Membuat Rania mendengus kesal.

"Apasih maksudnya Rafka? Dia marah?" tanya Rania kepada diri sendiri. Ia kemudian berdiri dan mencuci piring bekas makan siangnya.

Sudah kesekian kalinya Rania selalu diabaikan oleh suaminya. Sebenarnya ia merasa sakit hati diperlakukan seperti itu.

"Malam ini aku harus melakukannya. Aku ingin hamil anak Mas Amar. Sudah cukup lama aku menanti saat-saat seperti ini."

Rania sudah berniat untuk menggoda dan bertindak aktif kepada Amar. Ia ingin hubungannya dengan sang suami rapat kembali. Setidaknya dengan kehadiran seorang anak akan menepis berita buruk tentang dirinya.

Mertua Rania selalu menganggapnya mandul. Padahal Amar yang menunda kehamilan istrinya sebelum mereka memiliki rumah impian sendiri.

Malam hari pun telah tiba. Rania setia menanti kedatangan Amar. Ia duduk seorang diri di kursi ruang tamu rumah itu.

Terdengar bel pintu rumah berbunyi. Bergegas Rania membukanya. Namun yang ia lihat adalah Rafka. Bukan suaminya.

"Rafka? Kamu sudah pulang? Aku pikir kamu—"

"Mas Amar belum pulang lagi?" sahut Rafka cepat.

Rania mengangguk sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara Rafka menutup pintu kembali.

"Sepertinya kamu bahagia banget, Ka. Beneran sudah balikan sama Nina?" tanya Rania penuh selidik.

"Apaan sih, Ran. Nggak bakalan aku balikan sama dia. Aku justru akan balas dendam kepadanya."

Rania menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak sependapat dengan niat jahat adik iparnya.

"Dendam itu tidak baik, Rafka. Sebaiknya kamu memaafkannya saja dan mulai menjalani kehidupan baru kamu dengan wanita yang mencintaimu."

"Tidak ada yang benar-benar tulus mau mencintaiku. Semua mendekatiku karena harta. Aku sudah menduga tentang semua ini sebelumnya. Tetapi aku berusaha percaya kepadanya."

"Aku yakin suatu saat nanti akan ada yang mencintaimu dengan tulus. Yang kamu juga sangat mencintainya."

"Kamu salah, Ran. Wanita yang aku cintai sejak dulu sudah menemukan pasangannya. Ia sudah menjadi milik orang lain."

Seketika suasana berubah menjadi tegang. Rania terdiam. Ia tidak pernah tahu jika Rafka pernah mencintai seseorang sedalam itu.

"Jadi kamu tidak serius dengan Nina?" tanya Rania semakin kepo.

"Ya. Dia hanya pelarian saja. Aku pikir dengan kehadiran Nina bisa membuatku move on. Tetapi aku salah."

"Kalau begitu aku ke belakang dulu. Mau dibuatkan sesuatu?" tawar Rania berusaha menjadi ipar yang baik. Namun sebenarnya ia merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan mereka malam itu.

"Tidak perlu, Ran. Ini aku bawakan makanan untukmu," ungkap Rafka seraya memperlihatkan kantong plastik yang dipegangnya.

"Itu apaan? Ini sudah malam, Rafka. Nanti aku bisa gemuk."

"Ayolah!" Rafka meminta Rania membuka makanan yang dibawanya. Rupanya sekotak martabak manis kesukaan Rania.

"Astaga, Rafka! Ini terlihat sangat lezat. Bagaimana aku bisa menolaknya? Kamu masih ingat makanan kesukaanku?" tanya Rania antusias.

"Tidak. Kebetulan saja."

Jawaban Rafka membuat Rania sedikit kecewa. Ia pikir lelaki di dekatnya itu memang mengingat makanan favoritnya.

"Hei, aku bercanda, Ran. Nggak usah cemberut gitu mukanya. Bahkan aku juga ingat minuman kesukaan kamu."

Rafka menunjukkan satu kantong plastik lagi berisi minuman dingin kesukaan mereka berdua.

Rania tersenyum canggung. Ia merasa salah tingkah karena telah salah menilai Rafka.

"Jadi kamu beneran masih ingat?" Rania merendahkan suaranya.

"Tentu saja." Rafka merebut kotak martabak itu. Ia mengambil satu potongan kue itu dan memasukkannya ke dalam mulut Rania. "Ayo, buka mulutnya."

"Rafka, aku bisa sendiri."

"Tidak boleh ada penolakan." Rafka tetap memaksa dan ia berhasil membuat Rania kekenyangan malam itu. Ia telah menggagalkan niat Rania untuk pergi ke belakang.

Setelah beberapa menit berlalu. Rania benar-benar merasa kenyang. Ia memilih untuk pamit naik ke atas karena Amar tak kunjung pulang.

"Aku sangat kenyang, Ka. Aku ke kamar duluan, ya?" Rania berdiri dari duduknya. Namun tiba-tiba Rafka menahan pergelangan tangannya.

"Tunggu, Ran!" ucapnya cepat.

"Ada apalagi, Rafka?" Rania melirik ke arah tangan Rafka. Sehingga membuat adik iparnya tersebut segera melepaskan genggaman tangannya.

Rafka tampak merasa bersalah. Ia kemudian mencari sesuatu dari dalam saku celananya.

"Sebenarnya aku ada hadiah kecil untukmu." Rafka memberikan sebuah kotak hadiah kepada Rania.

"Apa ini? Aku tidak sedang berulang tahun." Rania terlihat acuh. Tetapi sebenarnya ia penasaran. Baginya sikap Rafka menjadi aneh dan misterius.

"Buka saja, Kakak iparku," goda Rafka kemudian.

"Ih, apaan sih, Raf! Jadi lucu rasanya."

"Nah itu kamu memanggilku, Raf. Biasanya Ka," protes Rafka bernada manja.

Rania bergidik ngeri. Tubuhnya meremang gara-gara berpikir yang aneh-aneh terhadap adik iparnya.

Dengan cepat Rania membuka hadiah pemberian Rafka. Ternyata sebuah ikat rambut yang unik.

"Ini lucu sekali, Raf. Aku suka."

"Aku mau minta maaf. Ikat rambut yang tadi hilang. Jadi aku sengaja membelikan yang baru untukmu."

Setelah mendengar permintaan maaf dari Rafka, tiba-tiba raut wajah Rania berubah seketika. Wanita itu justru terlihat sedih.

Rich Mama

Eh, kenapa nih Rania? Bukannya seneng dibeliin ikat rambut yang baru. Kok malah sedih ya??? 🤔

| 1
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fatmawati Paseng
huuu Rania,,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status