"Ran, kamu kenapa? Tidak suka dengan hadiahnya? Atau—"
Rafka hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi Rania segera menyahut ucapan itu."Ikat rambut itu hadiah dari Mas Amar. Tapi kamu malah menghilangkannya," sahut Rania cepat. Wanita itu selalu berusaha merawat barang-barang pemberian suaminya. Meskipun hanya sekedar ikat rambut sekalipun.Rafka terdiam. Ia berusaha meminta maaf kepada Rania berkali-kali sampai wanita itu mau memaafkannya."Aku benar-benar minta maaf, Ran. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih."Setelah memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, Rania menjawab ucapan Rafka dengan cepat."Aku bercanda, Rafka. Kamu tidak perlu meminta maaf." Terpaksa Rania harus berbohong. Ia tidak ingin membesar-besarkan masalah yang ada. Apalagi jika sudah berhadapan dengan Rafka yang tidak jarang bersikap keras kepala.Rafka pun tersenyum smirk. Sebenarnya ia tahu semuanya. Dan ia sengaja membuang ikat rambut Rania yang dibelikan oleh suaminya.Rafka berdiri dari tempat duduknya. Ia berada tepat di belakang Rania. "Mulai sekarang kamu harus memakai ikat rambut ini. Lihatlah, sangat cocok jika kamu yang memakainya."Dengan berani Rafka memakaikan tali rambut yang dibelinya kepada Rania. Membuat kakak iparnya tersebut sempat terkejut dengan segala tindakannya."Seharusnya kamu tidak perlu melakukan ini, Raf. Aku bisa memakainya sendiri."Rania merasa tidak enak hati. Ia segera berdiri dan pamit untuk masuk kamarnya. Ia tak nyaman terus-terusan berada di dekat Rafka, sang adik ipar.Rafka hanya menatap kepergian Rania dengan tatapan teduhnya. Lelaki tampan itu sejenak menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian ia pergi ke dapur membuat secangkir kopi untuk menemani malam sepinya.Dan setelah itu kembali duduk di tempat semula. Rafka mulai sibuk dengan ponselnya. Ia memandangi foto seorang perempuan yang berarti dalam hidupnya."Seandainya kamu tahu. Ini tak akan mudah."Rafka membelai foto itu dengan ibu jarinya. Ia menyesal tidak pernah memperjuangkan perasaannya sejak dulu. Hingga wanita itu menjadi milik orang lain.Setelah masuk ke dalam kamar, Rania hanya duduk di depan meja rias. Ia menanti kedatangan Amar dengan resah. Wanita itu berharap suaminya benar-benar pulang meskipun larut malam."Apa yang harus aku lakukan?" Rania keluar dari kamar dengan berjalan sangat pelan. Ia mengintip dari atas tangga. Terlihat Rafka masih serius memainkan handphonenya.Rania melirik pada gelas yang berada di atas meja. "Kopinya tinggal sedikit. Semoga setelah habis, Rafka masuk ke kamarnya. Aku ingin menanti kedatangan Mas Amar di dekat ruang tamu."Rania kembali ke kamar. Tepat pukul sebelas malam, wanita itu mulai mengganti pakaiannya. Ia sudah siap memakai baju dinas malam dan kali ini ia tidak mau salah orang lagi.Terdengar suara bel pintu rumah berbunyi. Secepat kilat Rania berlari untuk membukakan pintu."Mas Amar, akhirnya kamu pulang juga, Mas."Amar mengulurkan tangannya sambil memperhatikan penampilan istrinya dari atas sampai bawah. Sementara Rania mencium punggung tangan Amar sambil menunduk. Ia tidak sadar akan tatapan mata penuh curiga dari suaminya."Kamu kenapa berpakaian seperti ini? Bagaimana jika Rafka melihatnya?" tanya Amar tidak terima."Mas, cemburu ya?" balas Rania balik bertanya."Jawab pertanyaanku, Rania!" Amar mulai meninggikan nada bicaranya."Rafka sudah tidur, Mas. Sebaiknya kita segera masuk. Mas mau minum kopi dulu atau langsung mandi?""Rasanya gerah, Ran." Amar melonggarkan dasinya."Baiklah, Mas. Biar Rania siapkan air hangat dulu untuk Mas."Amar menarik tangan istrinya. "Tunggu, Ran!" Tanpa berbicara lagi Amar segera menyatukan bibirnya dengan bibir mungil milik Rania. Lelaki itu mulai terbawa hasrat karena melihat penampilan seksi istrinya dan aroma parfum yang menggoda.Rania mendorong dada bidang milik Amar. Ia takut jika Rafka ternyata belum tidur dan menyaksikan perbuatan mereka."Jangan di sini, Mas!" lirih Rania manja."Kenapa? Kamu takut jika Rafka melihat kita?" Amar tersenyum sinis. Ia bisa menyaksikan raut wajah istrinya yang penuh ketegangan."Sebaiknya Mas mandi, dulu."Rania berlari menaiki tangga. Ia segera menyiapkan air hangat untuk mandi suaminya. Entah mengapa wanita itu terlihat serba salah. Ia justru kepikiran dengan kata-kata Amar baru saja.'Apa aku memang takut jika Rafka tahu? Atau mungkin aku—'"Sayang ... sudah siap belum airnya?" Tiba-tiba lengan kekar milik Amar sudah memeluk pinggang Rania dari belakang. Bibirnya juga merayap menelusuri tengkuk leher milik istrinya.Rania memutar tubuhnya. Hembusan nafas Amar menyapu wajahnya. Begitu dekat posisi lelaki itu di hadapannya."Rania, Mas minta maaf karena kemarin telah berlaku kasar kepadamu. Mas benar-benar capek." Amar menyelipkan beberapa helai rambut milik sang istri ke telinganya."Rania juga minta maaf, Mas." Wanita itu membelai dada bidang milik Amar. "Mas, Rania ingin berbicara sesuatu kepada Mas Amar. Tapi Mas jangan marah ya?""Katakan saja, Sayang." Amar mulai menurunkan tali pada bahu istrinya. Kemudian jemarinya membelai kulit mulus dan bersih milik Rania."Sebaiknya Mas mandi dulu." Dan lagi Rania tersipu malu. Ia berlalu keluar dari kamar mandi. Menunggu sang suami menyelesaikan mandinya.Rania memilih duduk di tepi ranjang. Ia merasa resah. Antara ingin mengatakan permintaannya terlebih dahulu atau melayani sang suami.Ceklek !Rania masih menimbang-nimbang pilihannya, tetapi Amar telah selesai mandi. Lelaki itu mengenakan handuk kecil yang hanya menutupi bagian aset berharganya.Amar mulai mendekat ke arah istrinya. Ia mulai melakukan pemanasan terlebih dahulu.Rania semakin tak kuasa menahan rasa dahaga yang ada. Ia menginginkan lebih dan lebih. Sudah sangat lama Amar tidak menyentuh dan memberikan kenikmatan untuknya."Mas, kenapa berhenti?" tanya Rania dengan nafas yang memburu. Ia menunggu Amar melanjutkan aksinya."Aku lupa menggunakan pengaman." Amar turun dari ranjang berusaha mencari sesuatu di dalam laci.Rania berdiri dan menyusul kepergian suaminya. Ia memeluk mesra Amar dari belakang."Aku mohon, Mas. Kali ini saja. Aku ingin segera hamil."Seketika Amar membalikkan tubuhnya. Tatapan matanya kembali dingin dan tidak berhasrat lagi."Itu tidak mungkin, Ran. Kita belum memiliki rumah sendiri. Kita sudah berjanji sejak awal. Tidak akan memiliki keturunan sebelum Mas bisa membeli rumah dengan tabungan Mas sendiri.""Tapi, Mas?" Rania terlihat kecewa."Sudahlah. Mas sudah tidak bernafsu lagi. Sebaiknya kamu segera tidur."Amar menyambar pakaian dari almari. Kemudian berlalu meninggalkan Rania seorang diri."Mas Amar mau ke mana? Jangan pergi, Mas!" teriak Rania kesal. Tubuhnya merosot perlahan hingga terduduk di lantai. Kedua matanya basah. Hatinya begitu sakit dan terasa perih.Namun detik kemudian terdengar pintu kamar dibuka dari luar. Seketika Rania menghapus air matanya. Wanita itu berharap Amar kembali dan berubah pikiran. Ia yakin jika sang suami juga menginginkan hal yang sama sepertinya."Mas Amar, itu pasti kamu." Rania segera berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya. Ia menampilkan senyuman di bibirnya.Siapa tuh yang membuka pintu, gaesss???? Benarkah Amar kembali untuk menuntaskan hasratnya yang sempat tertunda???? 🤔
"Rania, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rafka yang khawatir kepada kakak iparnya. Ia sempat mendengar pintu kamar Rania ditutup secara kasar oleh Amar.Tentu saja Rafka tidak ingin terjadi perkalihan lagi di antara mereka. Ia juga takut jika Amar berbuat kekerasan dalam rumah tangga."Rafka?" lirih Rania lemah. Ia begitu kecewa karena yang datang adalah adik iparnya. "Aku pikir Mas Amar yang kembali. Kenapa kamu ke sini?" Sungguh, selain kesal Rania juga merasa malu. Ia menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan saling menyilang. Wanita itu memang hanya mengenakan pakaian yang sangat tipis dan tanpa penghalang di dalamnya.Rafka tersadar akan sikap Rania. Ia menjadi tidak enak hati dan segera memalingkan wajahnya. Bukan niat Rafka untuk mencuri-curi kesempatan kepada kakak iparnya."Oh, maaf, Ran. Aku pikir—" Belum sempat Rafka melanjutkan kalimatnya, Rania sudah menyahut ucapan lelaki itu."Sudahlah, Raf. Sebaiknya kamu tidak usah memikirkan aku." Rania sudah hafal betul
Rania tersenyum tipis. "Terima kasih, ya? Kamu sangat baik."Rafka menghembuskan nafas panjangnya. Kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali."Tidak adakah hal lagi selain kata terima kasih?" goda Rafka kemudian."Memangnya kamu mau apa? Mau dimasakin lagi?" tanya Rania penasaran."Sebuah ciuman mungkin." Rafka menjawab dengan entengnya."Rafkaaa!!!!!" teriak Rania kesal. Ia segera mencubit pinggang Rafka tanpa permisi lagi."Ampun, Ran! Aku bercanda. Sakit!" rintih Rafka. Ia kesakitan karena cubitan Rania terlalu kuat.Lelaki tampan itu bergerak-gerak berusaha melepaskan diri dari cubitan Rania. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Tubuhnya menimpa tubuh mungil milik Rania hingga bibir mereka saling bertemu.Kedua mata Rania melotot seketika. Namun Rafka justru menikmati dan memasukkan lidahnya saat wanita itu membuka mulut hendak berteriak."Kamu apa-apaan, Raf!" Rania mendorong tubuh Rafka ke samping. Dadanya naik turun membayangkan apa yang baru saja ia lak
Rafka terlihat gelagapan. Ia menelan salivanya dengan susah payah."A—aku melakukan itu ... karena ... aku—" Lelaki tampan itu sangat kesulitan menjelaskan semuanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.Dering ponsel Rania mengejutkan keduanya. Wanita itu segera mengecek siapa yang telah menghubunginya.Diam-diam Rafka merasa lega. Ia terbebas dari jebakan pertanyaan yang dibuat oleh kakak iparnya."Ada apa, Sa?" Rania mengangkat telepon dari sahabatnya. Dia adalah Tisa yang waktu itu merekomendasikan pakaian seksi kepada Rania."Aku mau ketemu sama kamu hari ini? Bisa?" tanya Tisa dari balik teleponnya."Em ... nanti aku kabari lewat chat, ya? Aku belum tahu soalnya."Rania memutuskan sambungan teleponnya. Padahal sahabatnya tersebut masih rindu kepadanya.Sebenarnya Rania takut jika Tisa menanyakan tentang yang terjadi malam itu. Bukannya Amar yang tidur bersamanya, tetapi justru Rafka sang adik ipar.Seketika Rania teringat akan Rafka. Ia mencoba mencari kembali keberadaan lelaki itu.
Rafka berbicara seolah cemburu dengan Rania yang masih saja mencari suaminya. Padahal ia hanya seorang adik ipar yang tidak penting sama sekali.Akhirnya Rania pun mengangguk. "Iya, aku ingin cepat sembuh dan segera pergi dari sini."Rafka pun merasa lega. Diam-diam ia ingin mencari tahu tentang perselingkuhan kakaknya. Apakah benar selama ini Amar menjalin hubungan dengan janda itu atau tidak. Lelaki tampan itu tidak segan-segan untuk mengusir Amar dari rumahnya jika memang kakak kandungnya tersebut telah mengkhianati Rania.Rafka menyuapi Rania dengan sabar. "Walau makanan ini tidak selezat masakanmu, kamu wajib menghabiskannya.""Kamu curang, Raf! Aku belum bilang apa-apa, tetapi kamu sudah mengatakan kalimat itu.""Aku benar 'kan?" Rafka tergelak. Ia berusaha menghibur kakak iparnya meski tahu jika hati Rania sedang tidak baik-baik saja.Batin Rania terlihat resah. Entah mengapa ia tidak bisa membenci adik iparnya. Padahal wanita itu sempat kecewa dengan sifat Rafka yang berani men
Di malam yang cukup sepi, Rafka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah apartemen. Ya, dia ingin menemui Nina yang sampai saat itu masih berani menempati apartemen milik Rafka."Kamu tidak akan selamat, Nina. Lihat saja. Apa yang akan aku lakukan kepadamu!"Rafka sudah tidak sabar untuk mempermalukan mantan kekasihnya. Ia berharap wanita itu mendapatkan sangsi sosial.Setelah sampai di tempat yang dituju, lelaki tampan itu menutup pintu mobilnya dengan sangat keras. Ia melangkah cepat menuju lift dan memencet angka 20.Rafka memang memilih sebuah apartemen yang berada di lantai atas. Ia menyukai suasana yang terpampang nyata di depannya. Sebuah pemandangan ibu kota yang tampak indah meski tidak ramah lingkungan karena asap maupun kotoran dari banyaknya gedung tinggi di sana.Ting !Tidak butuh waktu lama, pintu lift telah terbuka. Rafka semakin mempercepat langkahnya. Ia membuka pintu apartemennya menggunakan password. Sedangkan card lock masih berada di tangan Nina.R
"Iya, Mas. Kalung. Kemarin aku menemukan kotak berwarna merah dengan sebuah kalung di dalamnya. Pasti itu untuk aku 'kan, Mas?" tanya Rania mencoba meyakinkan.Amar terdiam sejenak. Ia mencari alasan yang tepat agar Rania percaya kepadanya."Aku minta maaf, Ran. Kalung itu untuk Mama. Sudah lama aku tidak memberikan hadiah untuknya. Kamu tidak marah 'kan?" Amar membelai pipi istrinya.Raut wajah Rania berubah datar. "Oh, jadi untuk Mama." Wanita itu berusaha percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amar.Rania kembali memasang wajah bahagia. "Tentu saja aku tidak marah. Aku senang Mas Amar begitu peduli kepada Mama.""Terima kasih, Sayang. Aku capek banget hari ini. Mas tidur dulu, ya? Sebaiknya kamu juga tidur."Amar mengecup kening Rania. Kemudian membaringkan tubuh dan menarik selimut hingga sebatas dada.Rania menatap tubuh Amar dengan penuh rasa kekecewaan. Lagi-lagi ia harus terabaikan oleh suaminya sendiri.'Sampai kapan Mas akan terus seperti ini?' Rania berlalu pergi keluar dari
Tin ! Tin !Terdengar suara bunyi klakson. Mobil Rafka menghalangi jalan. Terpaksa ia harus menjalankan mobilnya untuk parkir di tempat yang lebih aman.Setelah memposisikan mobilnya dengan benar, Rafka segera turun ke luar. Berusaha mencari lelaki yang ia curigai tadi. Tetapi sayangnya Rafka sudah kehilangan jejak."Sial! Ke mana dia? Aku yakin jika lelaki itu adalah Mas Amar. Tetapi bukankah Rania tidak sedang berulang tahun?" Rafka berdecak kesal. Ia belum berhasil membuktikan jika Amar memang selingkuh."Ini semua gara-gara mobil tadi. Aku tidak memperhatikan suasana dan tempat dengan baik." Rafka terlihat kecewa. Ia masih penasaran dengan lelaki yang diyakininya adalah Amar.Sesaat kemudian, seorang pria paruh baya datang menghampiri Rafka. Dia adalah tukang parkir di tempat itu."Mohon maaf, Pak. Tadi saya sakit perut," ucapnya menyesal karena melihat Rafka yang menahan emosi gara-gara mobilnya salah tempat parkir.Rafka merasa tidak enak hati. Padahal ia tidak menyalahkan tukang
Rafka sedikit terkejut saat menyadari siapa yang datang. Bahkan ia tidak pernah berpikir sedikit pun akan peristiwa kebetulan yang sedang terjadi."Rania?""Rafka?" Rania pun tak kalah terkejut. Ia tidak menduga jika akan bertemu dengan Rafka di tempat itu."Horeee! Ada Kak Rania di sini.""Em, sebentar ya? Kakak harus menelepon seseorang." Rafka mengusap lembut kepada Julio lalu berjalan ke luar rumah saat Rania sudah masuk.Wanita itu terlihat kecewa. Melihat Rafka yang seolah sengaja menghindarinya.Mendengar teriakan Julio, membuat Rosita penasaran dan menghampirinya."Ada apa sih, teriak-teriak?" ungkap sang mama. Raut wajahnya seketika berubah saat menyadari sang menantu berkunjung ke rumah."Sore, Ma," sapa Rania seraya mengulurkan tangannya. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya."Kamu sendiri saja, Ran? Amar mana?" Bersamaan dengan pertanyaan itu, Rafka masuk kembali ke rumah dan bergabung bersama mereka. Rania memberikan bingkisan yang ia bawa. Ia membawakan makanan kesuka