Share

Bab 5. Lupa Menggunakan Pengaman

"Ran, kamu kenapa? Tidak suka dengan hadiahnya? Atau—"

Rafka hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi Rania segera menyahut ucapan itu.

"Ikat rambut itu hadiah dari Mas Amar. Tapi kamu malah menghilangkannya," sahut Rania cepat. Wanita itu selalu berusaha merawat barang-barang pemberian suaminya. Meskipun hanya sekedar ikat rambut sekalipun.

Rafka terdiam. Ia berusaha meminta maaf kepada Rania berkali-kali sampai wanita itu mau memaafkannya.

"Aku benar-benar minta maaf, Ran. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih."

Setelah memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, Rania menjawab ucapan Rafka dengan cepat.

"Aku bercanda, Rafka. Kamu tidak perlu meminta maaf." Terpaksa Rania harus berbohong. Ia tidak ingin membesar-besarkan masalah yang ada. Apalagi jika sudah berhadapan dengan Rafka yang tidak jarang bersikap keras kepala.

Rafka pun tersenyum smirk. Sebenarnya ia tahu semuanya. Dan ia sengaja membuang ikat rambut Rania yang dibelikan oleh suaminya.

Rafka berdiri dari tempat duduknya. Ia berada tepat di belakang Rania. "Mulai sekarang kamu harus memakai ikat rambut ini. Lihatlah, sangat cocok jika kamu yang memakainya."

Dengan berani Rafka memakaikan tali rambut yang dibelinya kepada Rania. Membuat kakak iparnya tersebut sempat terkejut dengan segala tindakannya.

"Seharusnya kamu tidak perlu melakukan ini, Raf. Aku bisa memakainya sendiri."

Rania merasa tidak enak hati. Ia segera berdiri dan pamit untuk masuk kamarnya. Ia tak nyaman terus-terusan berada di dekat Rafka, sang adik ipar.

Rafka hanya menatap kepergian Rania dengan tatapan teduhnya. Lelaki tampan itu sejenak menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian ia pergi ke dapur membuat secangkir kopi untuk menemani malam sepinya.

Dan setelah itu kembali duduk di tempat semula. Rafka mulai sibuk dengan ponselnya. Ia memandangi foto seorang perempuan yang berarti dalam hidupnya.

"Seandainya kamu tahu. Ini tak akan mudah."

Rafka membelai foto itu dengan ibu jarinya. Ia menyesal tidak pernah memperjuangkan perasaannya sejak dulu. Hingga wanita itu menjadi milik orang lain.

Setelah masuk ke dalam kamar, Rania hanya duduk di depan meja rias. Ia menanti kedatangan Amar dengan resah. Wanita itu berharap suaminya benar-benar pulang meskipun larut malam.

"Apa yang harus aku lakukan?" Rania keluar dari kamar dengan berjalan sangat pelan. Ia mengintip dari atas tangga. Terlihat Rafka masih serius memainkan handphonenya.

Rania melirik pada gelas yang berada di atas meja. "Kopinya tinggal sedikit. Semoga setelah habis, Rafka masuk ke kamarnya. Aku ingin menanti kedatangan Mas Amar di dekat ruang tamu."

Rania kembali ke kamar. Tepat pukul sebelas malam, wanita itu mulai mengganti pakaiannya. Ia sudah siap memakai baju dinas malam dan kali ini ia tidak mau salah orang lagi.

Terdengar suara bel pintu rumah berbunyi. Secepat kilat Rania berlari untuk membukakan pintu.

"Mas Amar, akhirnya kamu pulang juga, Mas."

Amar mengulurkan tangannya sambil memperhatikan penampilan istrinya dari atas sampai bawah. Sementara Rania mencium punggung tangan Amar sambil menunduk. Ia tidak sadar akan tatapan mata penuh curiga dari suaminya.

"Kamu kenapa berpakaian seperti ini? Bagaimana jika Rafka melihatnya?" tanya Amar tidak terima.

"Mas, cemburu ya?" balas Rania balik bertanya.

"Jawab pertanyaanku, Rania!" Amar mulai meninggikan nada bicaranya.

"Rafka sudah tidur, Mas. Sebaiknya kita segera masuk. Mas mau minum kopi dulu atau langsung mandi?"

"Rasanya gerah, Ran." Amar melonggarkan dasinya.

"Baiklah, Mas. Biar Rania siapkan air hangat dulu untuk Mas."

Amar menarik tangan istrinya. "Tunggu, Ran!" Tanpa berbicara lagi Amar segera menyatukan bibirnya dengan bibir mungil milik Rania. Lelaki itu mulai terbawa hasrat karena melihat penampilan seksi istrinya dan aroma parfum yang menggoda.

Rania mendorong dada bidang milik Amar. Ia takut jika Rafka ternyata belum tidur dan menyaksikan perbuatan mereka.

"Jangan di sini, Mas!" lirih Rania manja.

"Kenapa? Kamu takut jika Rafka melihat kita?" Amar tersenyum sinis. Ia bisa menyaksikan raut wajah istrinya yang penuh ketegangan.

"Sebaiknya Mas mandi, dulu."

Rania berlari menaiki tangga. Ia segera menyiapkan air hangat untuk mandi suaminya. Entah mengapa wanita itu terlihat serba salah. Ia justru kepikiran dengan kata-kata Amar baru saja.

'Apa aku memang takut jika Rafka tahu? Atau mungkin aku—'

"Sayang ... sudah siap belum airnya?" Tiba-tiba lengan kekar milik Amar sudah memeluk pinggang Rania dari belakang. Bibirnya juga merayap menelusuri tengkuk leher milik istrinya.

Rania memutar tubuhnya. Hembusan nafas Amar menyapu wajahnya. Begitu dekat posisi lelaki itu di hadapannya.

"Rania, Mas minta maaf karena kemarin telah berlaku kasar kepadamu. Mas benar-benar capek." Amar menyelipkan beberapa helai rambut milik sang istri ke telinganya.

"Rania juga minta maaf, Mas." Wanita itu membelai dada bidang milik Amar. "Mas, Rania ingin berbicara sesuatu kepada Mas Amar. Tapi Mas jangan marah ya?"

"Katakan saja, Sayang." Amar mulai menurunkan tali pada bahu istrinya. Kemudian jemarinya membelai kulit mulus dan bersih milik Rania.

"Sebaiknya Mas mandi dulu." Dan lagi Rania tersipu malu. Ia berlalu keluar dari kamar mandi. Menunggu sang suami menyelesaikan mandinya.

Rania memilih duduk di tepi ranjang. Ia merasa resah. Antara ingin mengatakan permintaannya terlebih dahulu atau melayani sang suami.

Ceklek !

Rania masih menimbang-nimbang pilihannya, tetapi Amar telah selesai mandi. Lelaki itu mengenakan handuk kecil yang hanya menutupi bagian aset berharganya.

Amar mulai mendekat ke arah istrinya. Ia mulai melakukan pemanasan terlebih dahulu.

Rania semakin tak kuasa menahan rasa dahaga yang ada. Ia menginginkan lebih dan lebih. Sudah sangat lama Amar tidak menyentuh dan memberikan kenikmatan untuknya.

"Mas, kenapa berhenti?" tanya Rania dengan nafas yang memburu. Ia menunggu Amar melanjutkan aksinya.

"Aku lupa menggunakan pengaman." Amar turun dari ranjang berusaha mencari sesuatu di dalam laci.

Rania berdiri dan menyusul kepergian suaminya. Ia memeluk mesra Amar dari belakang.

"Aku mohon, Mas. Kali ini saja. Aku ingin segera hamil."

Seketika Amar membalikkan tubuhnya. Tatapan matanya kembali dingin dan tidak berhasrat lagi.

"Itu tidak mungkin, Ran. Kita belum memiliki rumah sendiri. Kita sudah berjanji sejak awal. Tidak akan memiliki keturunan sebelum Mas bisa membeli rumah dengan tabungan Mas sendiri."

"Tapi, Mas?" Rania terlihat kecewa.

"Sudahlah. Mas sudah tidak bernafsu lagi. Sebaiknya kamu segera tidur."

Amar menyambar pakaian dari almari. Kemudian berlalu meninggalkan Rania seorang diri.

"Mas Amar mau ke mana? Jangan pergi, Mas!" teriak Rania kesal. Tubuhnya merosot perlahan hingga terduduk di lantai. Kedua matanya basah. Hatinya begitu sakit dan terasa perih.

Namun detik kemudian terdengar pintu kamar dibuka dari luar. Seketika Rania menghapus air matanya. Wanita itu berharap Amar kembali dan berubah pikiran. Ia yakin jika sang suami juga menginginkan hal yang sama sepertinya.

"Mas Amar, itu pasti kamu." Rania segera berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya. Ia menampilkan senyuman di bibirnya.

Rich Mama

Siapa tuh yang membuka pintu, gaesss???? Benarkah Amar kembali untuk menuntaskan hasratnya yang sempat tertunda???? 🤔

| 2
Comments (11)
goodnovel comment avatar
Rich Mama
terima kasih kakak ♡
goodnovel comment avatar
Yenni Widra
nice.. aq suka
goodnovel comment avatar
Rich Mama
bisa dengan nonton iklan, kakak... :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status