Rania memilih untuk meninggalkan Rafka yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu kembali ke dapur untuk membuatkan sarapan suaminya.
"Rania, tunggu aku!" teriak Rafka kemudian.Rafka menyusul kepergian Rania. Ia berdiri di samping wanita yang sedang sibuk dengan wajan dan spatula."Kenapa kamu diam saja dibentak-bentak seperti itu? Lawan Ran, jika kamu memang benar."Rafka berbicara panjang lebar. Ia ingin Rania menjadi wanita tangguh. Sehingga tidak diinjak-injak oleh suaminya sendiri."Kamu apa-apaan sih, Ka! Seharusnya kamu tidak menjadi kompor. Biar dia saja," ungkap Rania sambil melirik ke arah kompor di depannya. Ucapan yang seharusnya lucu, tetapi terdengar garing di telinga adik iparnya."Rania, Rania, kamu masih sama saja seperti dulu. Sangat lugu dan polos." Rafka berucap dengan tenang. Menyandarkan tubuhnya di dekat dinding dapur."Hm, aku hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada.""Oh, ya. Apa kamu ingat dulu kamu sangat cupu dan cengeng. Kamu merengek meminta permen yang aku rebut darimu. Sangat lucu sekali wajahmu!" Rafka mengejek Rania sambil mendekatkan wajahnya."Rafka hentikan! Aku malu. Jangan ingatkan kembali masa lalu itu."Dulu Rania dan Rafka memang satu sekolahan. Rafka adalah kakak kelas yang sangat jahil. Selalu mengerjai Rania karena berpenampilan culun.Rania tidak pernah menyangka jika Rafka akan menjadi adik iparnya. Dan lelaki tersebut masih mengingat kejadian di waktu sekolah saat itu.Rania terlihat asyik melamun. Hingga ia tak sadar jika Rafka berjalan memutari tubuhnya."Seperti ini 'kan, lebih cantik." Tiba-tiba Rafka melepaskan ikat rambut Rania. Entah sejak kapan kakak iparnya itu memakai ikat rambutnya di kepala."Rafka, kembalikan!" teriak Rania tidak terima."Coba saja kalau bisa. Ayo, kejar aku." Lelaki tampan itu berlari ke kamarnya. Sementara Rania sudah ngos-ngosan mengejarnya."Percuma saja aku mengejarnya. Tidak akan bisa."Rania membiarkan rambutnya terurai kembali. Cepat-cepat ia menyelesaikan masakannya dan menyiapkannya di atas meja makan.Selesai menyiapkan makanan di atas meja, Rania masih berdiri di sana. Di saat itu ia melihat Amar sudah siap untuk berangkat ke kantor.Amar menuruni tangga sembari memakai jam tangan baru. Tubuh tegapnya yang telah mengenakan kemeja hitam begitu memikat di mata sang istri. Hingga Rania tampak terpana memandangi suaminya sampai aroma parfum yang dipakai Amar makin terasa dekat."Mas makan dulu," lirih Rania mencoba berbicara selembut mungkin."Aku buru-buru. Aku harus segera kembali ke kantor.""I–itu jam tangan baru, ya? Mas kapan belinya?" tanya Rania lagi."Kenapa? Bos yang membelikannya untukku."Rania teringat kata-kata dari Rafka. Begitu perhatian bos dari suaminya tersebut. Apakah itu suatu hal yang wajar? Mungkinkah jika Clayrine itu janda yang berusaha menggoda Amar? Seperti yang dikatakan Rafka kepadanya? Rania kembali terbayang oleh angan-angannya sendiri."Dan satu lagi. Aku pulang larut malam lagi hari ini. Kamu sebaiknya tidur terlebih dahulu," ucap Amar tanpa menatap istrinya. Suaranya berat dan dingin. Menunjukkan jika ia tidak ingin mendapatkan sebuah pertanyaan lagi dari istrinya.Amar kemudian berlalu pergi begitu saja. Sedangkan Rania terduduk lesu di tempat kursinya. Detik berikutnya, sebuah cairan bening keluar dari kedua matanya. Wanita itu tidak mampu lagi untuk menutupi kesedihannya."Kamu kenapa, Ran?" tanya Rafka yang sudah berada di sebelah kakak iparnya.Seketika Rania mengusap air matanya dan menoleh ke arah sumber suara. "Rafka, sejak kapan kamu di sini? Aku tidak apa-apa, kok. Hanya kelilipan saja.""Rania, Rania."Rafka geleng-geleng kepala. Ia tahu jika wanita itu berbohong kepadanya. Lelaki tampan itu melihat meja makan penuh dengan makanan baru yang Rania masak untuk Amar."Mas Amar tidak mau memakannya?" tanya Rafka memastikan."Dia juga tidak pernah mau membawa bekal dari rumah.""Biar aku makan saja."Rafka bersemangat duduk di samping Rania. Ia mulai meletakkan piring di depannya."Rafka, kamu serius? Kamu sudah makan sangat banyak tadi.""Saat melihat masakanmu yang lezat, aku selalu merasa lapar lagi. Entah terbuat dari apa perutku. Sebaiknya kamu menemani aku makan. Aku tahu kamu masih lapar."Rania hanya menjadi pemerhati saat adik iparnya makan dengan lahap. Seolah belum makan sama sekali sejak kemarin."Ayolah!" Rafka berusaha menyuapi Rania. Ia memaksa kakak iparnya tersebut untuk membuka mulutnya.Mau tak mau Rania pun menurut. Ia tidak bisa mengelak lagi karena memang masih lapar."Kamu tidak bekerja hari ini?" tanya Rania saat menemani Rafka di dapur yang sibuk mencuci peralatan dapur yang kotor. "Biar aku saja yang membersihkannya."Rafka melihat jam di tangannya. "Oh, ya. Aku ada janji hari ini. Masih ada waktu. Tidak apa-apa. Aku bisa menyelesaikannya dengan cepat.""Janji sama siapa? Kamu sudah baikan sama kekasihmu?" Rania mendadak kepo dengan urusan adik iparnya."Em ... rahasia. Kamu akan tahu sendiri nanti."Rafka sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan cepat menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya."Rafka tunggu! Ikat rambut aku!" Rania berteriak namun sudah tidak didengar lagi oleh adik iparnya.Rania ikut masuk ke dalam kamar. Ia berusaha mencari ikat rambut yang lain. Tidak mungkin wanita itu membiarkan rambutnya terus terurai seperti itu.Namun saat membuka sebuah laci, Rania menemukan sesuatu. Sebuah kotak berwarna merah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya."Apa ini?" Karena merasa penasaran, Rania membuka kotak itu.Kotak apa itu gaes??? Ada yang tau???? Spill donk :))
Kotak merah dengan sebuah kalung emas yang sangat cantik ada di dalamnya. Rania hingga ternganga melihatnya."Cantik sekali kalung ini. Apakah Mas Amar sengaja ingin memberikan kejutan untukku? Ternyata aku salah menilainya. Mungkin dia menunggu waktu yang tepat."Dengan sangat hati-hati Rania mengembalikan kotak merah itu ke dalam laci. Ia sampai lupa dengan niat awalnya yang ingin mencari ikat rambut.Jantung Rania mendadak berdebar dengan hebat. Ia menantikan sang suami bersikap manis dan lembut kembali seperti dulu di saat awal-awal pernikahan mereka."Sebaiknya aku fokus bersih-bersih dan merapikan rumah saja."Sepanjang hari seperti itulah pekerjaan Rania. Ia harus memastikan agar rumah tempat tinggalnya selalu bersih dan rapi. Apalagi rumah itu adalah rumah tumpangan dari Rafka."Ngomong-ngomong soal, Rafka. Kenapa dia mau kembali ke rumah ini, ya? Apa benar ia sedang putus cinta?"Rania berceloteh seorang diri. Rupanya suasana rumah itu tak lagi sama setelah kemunculan adik ipa
"Ran, kamu kenapa? Tidak suka dengan hadiahnya? Atau—"Rafka hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi Rania segera menyahut ucapan itu."Ikat rambut itu hadiah dari Mas Amar. Tapi kamu malah menghilangkannya," sahut Rania cepat. Wanita itu selalu berusaha merawat barang-barang pemberian suaminya. Meskipun hanya sekedar ikat rambut sekalipun.Rafka terdiam. Ia berusaha meminta maaf kepada Rania berkali-kali sampai wanita itu mau memaafkannya."Aku benar-benar minta maaf, Ran. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih."Setelah memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, Rania menjawab ucapan Rafka dengan cepat."Aku bercanda, Rafka. Kamu tidak perlu meminta maaf." Terpaksa Rania harus berbohong. Ia tidak ingin membesar-besarkan masalah yang ada. Apalagi jika sudah berhadapan dengan Rafka yang tidak jarang bersikap keras kepala.Rafka pun tersenyum smirk. Sebenarnya ia tahu semuanya. Dan ia sengaja membuang ikat rambut Rania yang dibelikan oleh suaminya.Rafka berdiri dar
"Rania, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rafka yang khawatir kepada kakak iparnya. Ia sempat mendengar pintu kamar Rania ditutup secara kasar oleh Amar.Tentu saja Rafka tidak ingin terjadi perkalihan lagi di antara mereka. Ia juga takut jika Amar berbuat kekerasan dalam rumah tangga."Rafka?" lirih Rania lemah. Ia begitu kecewa karena yang datang adalah adik iparnya. "Aku pikir Mas Amar yang kembali. Kenapa kamu ke sini?" Sungguh, selain kesal Rania juga merasa malu. Ia menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan saling menyilang. Wanita itu memang hanya mengenakan pakaian yang sangat tipis dan tanpa penghalang di dalamnya.Rafka tersadar akan sikap Rania. Ia menjadi tidak enak hati dan segera memalingkan wajahnya. Bukan niat Rafka untuk mencuri-curi kesempatan kepada kakak iparnya."Oh, maaf, Ran. Aku pikir—" Belum sempat Rafka melanjutkan kalimatnya, Rania sudah menyahut ucapan lelaki itu."Sudahlah, Raf. Sebaiknya kamu tidak usah memikirkan aku." Rania sudah hafal betul
Rania tersenyum tipis. "Terima kasih, ya? Kamu sangat baik."Rafka menghembuskan nafas panjangnya. Kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali."Tidak adakah hal lagi selain kata terima kasih?" goda Rafka kemudian."Memangnya kamu mau apa? Mau dimasakin lagi?" tanya Rania penasaran."Sebuah ciuman mungkin." Rafka menjawab dengan entengnya."Rafkaaa!!!!!" teriak Rania kesal. Ia segera mencubit pinggang Rafka tanpa permisi lagi."Ampun, Ran! Aku bercanda. Sakit!" rintih Rafka. Ia kesakitan karena cubitan Rania terlalu kuat.Lelaki tampan itu bergerak-gerak berusaha melepaskan diri dari cubitan Rania. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Tubuhnya menimpa tubuh mungil milik Rania hingga bibir mereka saling bertemu.Kedua mata Rania melotot seketika. Namun Rafka justru menikmati dan memasukkan lidahnya saat wanita itu membuka mulut hendak berteriak."Kamu apa-apaan, Raf!" Rania mendorong tubuh Rafka ke samping. Dadanya naik turun membayangkan apa yang baru saja ia lak
Rafka terlihat gelagapan. Ia menelan salivanya dengan susah payah."A—aku melakukan itu ... karena ... aku—" Lelaki tampan itu sangat kesulitan menjelaskan semuanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.Dering ponsel Rania mengejutkan keduanya. Wanita itu segera mengecek siapa yang telah menghubunginya.Diam-diam Rafka merasa lega. Ia terbebas dari jebakan pertanyaan yang dibuat oleh kakak iparnya."Ada apa, Sa?" Rania mengangkat telepon dari sahabatnya. Dia adalah Tisa yang waktu itu merekomendasikan pakaian seksi kepada Rania."Aku mau ketemu sama kamu hari ini? Bisa?" tanya Tisa dari balik teleponnya."Em ... nanti aku kabari lewat chat, ya? Aku belum tahu soalnya."Rania memutuskan sambungan teleponnya. Padahal sahabatnya tersebut masih rindu kepadanya.Sebenarnya Rania takut jika Tisa menanyakan tentang yang terjadi malam itu. Bukannya Amar yang tidur bersamanya, tetapi justru Rafka sang adik ipar.Seketika Rania teringat akan Rafka. Ia mencoba mencari kembali keberadaan lelaki itu.
Rafka berbicara seolah cemburu dengan Rania yang masih saja mencari suaminya. Padahal ia hanya seorang adik ipar yang tidak penting sama sekali.Akhirnya Rania pun mengangguk. "Iya, aku ingin cepat sembuh dan segera pergi dari sini."Rafka pun merasa lega. Diam-diam ia ingin mencari tahu tentang perselingkuhan kakaknya. Apakah benar selama ini Amar menjalin hubungan dengan janda itu atau tidak. Lelaki tampan itu tidak segan-segan untuk mengusir Amar dari rumahnya jika memang kakak kandungnya tersebut telah mengkhianati Rania.Rafka menyuapi Rania dengan sabar. "Walau makanan ini tidak selezat masakanmu, kamu wajib menghabiskannya.""Kamu curang, Raf! Aku belum bilang apa-apa, tetapi kamu sudah mengatakan kalimat itu.""Aku benar 'kan?" Rafka tergelak. Ia berusaha menghibur kakak iparnya meski tahu jika hati Rania sedang tidak baik-baik saja.Batin Rania terlihat resah. Entah mengapa ia tidak bisa membenci adik iparnya. Padahal wanita itu sempat kecewa dengan sifat Rafka yang berani men
Di malam yang cukup sepi, Rafka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah apartemen. Ya, dia ingin menemui Nina yang sampai saat itu masih berani menempati apartemen milik Rafka."Kamu tidak akan selamat, Nina. Lihat saja. Apa yang akan aku lakukan kepadamu!"Rafka sudah tidak sabar untuk mempermalukan mantan kekasihnya. Ia berharap wanita itu mendapatkan sangsi sosial.Setelah sampai di tempat yang dituju, lelaki tampan itu menutup pintu mobilnya dengan sangat keras. Ia melangkah cepat menuju lift dan memencet angka 20.Rafka memang memilih sebuah apartemen yang berada di lantai atas. Ia menyukai suasana yang terpampang nyata di depannya. Sebuah pemandangan ibu kota yang tampak indah meski tidak ramah lingkungan karena asap maupun kotoran dari banyaknya gedung tinggi di sana.Ting !Tidak butuh waktu lama, pintu lift telah terbuka. Rafka semakin mempercepat langkahnya. Ia membuka pintu apartemennya menggunakan password. Sedangkan card lock masih berada di tangan Nina.R
"Iya, Mas. Kalung. Kemarin aku menemukan kotak berwarna merah dengan sebuah kalung di dalamnya. Pasti itu untuk aku 'kan, Mas?" tanya Rania mencoba meyakinkan.Amar terdiam sejenak. Ia mencari alasan yang tepat agar Rania percaya kepadanya."Aku minta maaf, Ran. Kalung itu untuk Mama. Sudah lama aku tidak memberikan hadiah untuknya. Kamu tidak marah 'kan?" Amar membelai pipi istrinya.Raut wajah Rania berubah datar. "Oh, jadi untuk Mama." Wanita itu berusaha percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amar.Rania kembali memasang wajah bahagia. "Tentu saja aku tidak marah. Aku senang Mas Amar begitu peduli kepada Mama.""Terima kasih, Sayang. Aku capek banget hari ini. Mas tidur dulu, ya? Sebaiknya kamu juga tidur."Amar mengecup kening Rania. Kemudian membaringkan tubuh dan menarik selimut hingga sebatas dada.Rania menatap tubuh Amar dengan penuh rasa kekecewaan. Lagi-lagi ia harus terabaikan oleh suaminya sendiri.'Sampai kapan Mas akan terus seperti ini?' Rania berlalu pergi keluar dari