Share

Bab 3. Kotak Berwarna Merah

Rania memilih untuk meninggalkan Rafka yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu kembali ke dapur untuk membuatkan sarapan suaminya.

"Rania, tunggu aku!" teriak Rafka kemudian.

Rafka menyusul kepergian Rania. Ia berdiri di samping wanita yang sedang sibuk dengan wajan dan spatula.

"Kenapa kamu diam saja dibentak-bentak seperti itu? Lawan Ran, jika kamu memang benar."

Rafka berbicara panjang lebar. Ia ingin Rania menjadi wanita tangguh. Sehingga tidak diinjak-injak oleh suaminya sendiri.

"Kamu apa-apaan sih, Ka! Seharusnya kamu tidak menjadi kompor. Biar dia saja," ungkap Rania sambil melirik ke arah kompor di depannya. Ucapan yang seharusnya lucu, tetapi terdengar garing di telinga adik iparnya.

"Rania, Rania, kamu masih sama saja seperti dulu. Sangat lugu dan polos." Rafka berucap dengan tenang. Menyandarkan tubuhnya di dekat dinding dapur.

"Hm, aku hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada."

"Oh, ya. Apa kamu ingat dulu kamu sangat cupu dan cengeng. Kamu merengek meminta permen yang aku rebut darimu. Sangat lucu sekali wajahmu!" Rafka mengejek Rania sambil mendekatkan wajahnya.

"Rafka hentikan! Aku malu. Jangan ingatkan kembali masa lalu itu."

Dulu Rania dan Rafka memang satu sekolahan. Rafka adalah kakak kelas yang sangat jahil. Selalu mengerjai Rania karena berpenampilan culun.

Rania tidak pernah menyangka jika Rafka akan menjadi adik iparnya. Dan lelaki tersebut masih mengingat kejadian di waktu sekolah saat itu.

Rania terlihat asyik melamun. Hingga ia tak sadar jika Rafka berjalan memutari tubuhnya.

"Seperti ini 'kan, lebih cantik." Tiba-tiba Rafka melepaskan ikat rambut Rania. Entah sejak kapan kakak iparnya itu memakai ikat rambutnya di kepala.

"Rafka, kembalikan!" teriak Rania tidak terima.

"Coba saja kalau bisa. Ayo, kejar aku." Lelaki tampan itu berlari ke kamarnya. Sementara Rania sudah ngos-ngosan mengejarnya.

"Percuma saja aku mengejarnya. Tidak akan bisa."

Rania membiarkan rambutnya terurai kembali. Cepat-cepat ia menyelesaikan masakannya dan menyiapkannya di atas meja makan.

Selesai menyiapkan makanan di atas meja, Rania masih berdiri di sana. Di saat itu ia melihat Amar sudah siap untuk berangkat ke kantor.

Amar menuruni tangga sembari memakai jam tangan baru. Tubuh tegapnya yang telah mengenakan kemeja hitam begitu memikat di mata sang istri. Hingga Rania tampak terpana memandangi suaminya sampai aroma parfum yang dipakai Amar makin terasa dekat.

"Mas makan dulu," lirih Rania mencoba berbicara selembut mungkin.

"Aku buru-buru. Aku harus segera kembali ke kantor."

"I–itu jam tangan baru, ya? Mas kapan belinya?" tanya Rania lagi.

"Kenapa? Bos yang membelikannya untukku."

Rania teringat kata-kata dari Rafka. Begitu perhatian bos dari suaminya tersebut. Apakah itu suatu hal yang wajar? Mungkinkah jika Clayrine itu janda yang berusaha menggoda Amar? Seperti yang dikatakan Rafka kepadanya? Rania kembali terbayang oleh angan-angannya sendiri.

"Dan satu lagi. Aku pulang larut malam lagi hari ini. Kamu sebaiknya tidur terlebih dahulu," ucap Amar tanpa menatap istrinya. Suaranya berat dan dingin. Menunjukkan jika ia tidak ingin mendapatkan sebuah pertanyaan lagi dari istrinya.

Amar kemudian berlalu pergi begitu saja. Sedangkan Rania terduduk lesu di tempat kursinya. Detik berikutnya, sebuah cairan bening keluar dari kedua matanya. Wanita itu tidak mampu lagi untuk menutupi kesedihannya.

"Kamu kenapa, Ran?" tanya Rafka yang sudah berada di sebelah kakak iparnya.

Seketika Rania mengusap air matanya dan menoleh ke arah sumber suara. "Rafka, sejak kapan kamu di sini? Aku tidak apa-apa, kok. Hanya kelilipan saja."

"Rania, Rania."

Rafka geleng-geleng kepala. Ia tahu jika wanita itu berbohong kepadanya. Lelaki tampan itu melihat meja makan penuh dengan makanan baru yang Rania masak untuk Amar.

"Mas Amar tidak mau memakannya?" tanya Rafka memastikan.

"Dia juga tidak pernah mau membawa bekal dari rumah."

"Biar aku makan saja."

Rafka bersemangat duduk di samping Rania. Ia mulai meletakkan piring di depannya.

"Rafka, kamu serius? Kamu sudah makan sangat banyak tadi."

"Saat melihat masakanmu yang lezat, aku selalu merasa lapar lagi. Entah terbuat dari apa perutku. Sebaiknya kamu menemani aku makan. Aku tahu kamu masih lapar."

Rania hanya menjadi pemerhati saat adik iparnya makan dengan lahap. Seolah belum makan sama sekali sejak kemarin.

"Ayolah!" Rafka berusaha menyuapi Rania. Ia memaksa kakak iparnya tersebut untuk membuka mulutnya.

Mau tak mau Rania pun menurut. Ia tidak bisa mengelak lagi karena memang masih lapar.

"Kamu tidak bekerja hari ini?" tanya Rania saat menemani Rafka di dapur yang sibuk mencuci peralatan dapur yang kotor. "Biar aku saja yang membersihkannya."

Rafka melihat jam di tangannya. "Oh, ya. Aku ada janji hari ini. Masih ada waktu. Tidak apa-apa. Aku bisa menyelesaikannya dengan cepat."

"Janji sama siapa? Kamu sudah baikan sama kekasihmu?" Rania mendadak kepo dengan urusan adik iparnya.

"Em ... rahasia. Kamu akan tahu sendiri nanti."

Rafka sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan cepat menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

"Rafka tunggu! Ikat rambut aku!" Rania berteriak namun sudah tidak didengar lagi oleh adik iparnya.

Rania ikut masuk ke dalam kamar. Ia berusaha mencari ikat rambut yang lain. Tidak mungkin wanita itu membiarkan rambutnya terus terurai seperti itu.

Namun saat membuka sebuah laci, Rania menemukan sesuatu. Sebuah kotak berwarna merah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Apa ini?" Karena merasa penasaran, Rania membuka kotak itu.

Rich Mama

Kotak apa itu gaes??? Ada yang tau???? Spill donk :))

| 1
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nila Elok
bagus lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status