Setelah itu pembicaraan berakhir. Di waktu yang terbilang cukup sempit, Levin memutar otak, memikirkan cara untuk menyelamatkan gadis itu dari jebakan seseorang yang bernama Mia, jika telinganya tidak salah dengar.
Pria itu terus melangkah yang ternyata menuju ke area hotel. Wajar, pria itu pasti ingin melakukan aksinya di salah satu kamar, apalagi dia perlu merekam aktivitas yang dilakukannya untuk dilaporkan kepada orang yang menyuruhnya! Kesempatan itu datang tidak lama kemudian karena pria tersebut masuk ke dalam lift hotel, hendak menuju kamar. Kesempatan bagus. Lift diperuntukkan bagi setiap tamu hotel kan? Jadi Levin bisa masuk tanpa dicurigai! Lantai 18. Itulah tujuan sang pria. Levin menekan lantai yang lebih tinggi, berpura-pura hendak ke rooftop garden yang berada di lantai paling atas. Levin mengikuti dengan jantung berdebar. Berharap rencananya tidak gagal atau dirinya yang babak belur! Apalagi tindakannya ini terbilang nekat dan tanpa rencana yang matang, hanya mengikuti hati yang didasarkan atas rasa kemanusiaan, tidak ingin mengabaikan tindak pelecehan yang akan terjadi sebentar lagi. Astaga, pemikiran itu membuat Levin mengerjap. Sejak kapan dirinya jadi pria sebaik ini? Padahal biasanya Levin tidak pernah mempedulikan apapun atau siapapun, yang Levin pedulikan hanyalah dirinya sendiri. Persetan dengan urusan orang lain, Levin tidak mau ambil pusing, tapi kenapa sekarang malah berlagak mau jadi superhero? Kacau! ‘Sudah terlambat untuk mundur, Levin! Gadis ini sudah terlanjur membuatku penasaran!’ batin Levin. Tepat saat pintu lift terbuka di lantai 18, Levin langsung menerjang tubuh pria itu hingga membuatnya limbung karena serangan yang tak terduga. Levin menghajarnya tanpa jeda hingga pria itu tidak memiliki kesempatan sedikitpun untuk melawan. Sebagai sentuhan terakhir, Levin melontarkan tinjunya sekuat tenaga, tepat ke wajah pria tersebut membuatnya pingsan seketika! Levin melempar pria tersebut keluar lift dengan nafas terengah, lelah. Biarkan saja ditemukan orang lain nanti. Sekarang ada dua hal yang harus Levin lakukan segera. Pertama, menghapus rekaman CCTV di dalam lift dan di area lorong lantai 18 agar dirinya tidak dicurigai. Levin tidak ingin dipersulit. Kedua, mencari kunci kamar milik gadis yang masih bergerak gelisah karena pengaruh obat serta alkohol hingga tidak menyadari akan apa yang baru saja terjadi. Itupun jika gadis tersebut menginap di hotel ini, jika tidak, terpaksa dirinya harus turun ke receptionist untuk membuka kamar baru. Peringatan suara lift yang sudah terlalu lama terbuka membuat Levin bergegas masuk sebelum pintu lift tertutup otomatis. Levin tidak mungkin membiarkan gadis itu berada di lift sendirian, jika melakukan hal itu, maka bisa saja ada pria lain yang ingin memanfaatkannya dan itu artinya Levin telah membuang tenaganya dengan sia-sia! Nafasnya masih memburu karena acara tinju dadakan yang membuat tenaganya terkuras. Serius, baru kali ini Levin menyia-nyiakan tenaganya hanya untuk berkelahi, padahal biasanya di tengah malam seperti ini Levin lebih sering menghabiskan tenaganya di atas ranjang dengan meniduri wanita pilihannya! Tapi nyatanya malam ini adalah pengecualian. Beruntung malam ini Levin hanya minum sedikit alkohol, tidak sebanyak biasanya. Jika tidak, dirinya tidak mungkin bisa menumbangkan pria mesum itu! Di dalam lift, Levin meraih slingbag sang gadis dengan tergesa. Membukanya dan menemukan kunci kamar yang dicarinya tanpa kesulitan. ‘Hmm.. ternyata gadis ini memang menginap di hotel ini. Baguslah!’ batin Levin. Levin baru ingin menutup slingbag tersebut saat matanya menangkap sebuah dompet. Rasa penasaran membuat tangannya terulur membuka dompet tersebut. ‘Claire. Nama yang cantik. Seperti wajahnya,’ batin Levin, menatap KTP di tangannya. Levin menggeleng. Sekarang bukan waktunya untuk terpesona. Sebelum lift ini turun hingga lobby, lebih baik segera perbaiki posisi Claire agar orang lain tidak curiga. Levin memapah tubuh mungil Claire dengan mudah. Beruntung tidak ada tamu lain. Mungkin karena malam sudah larut. Levin menempelkan kartu akses, menunggu dengan sabar hingga lift membawanya ke lantai yang dituju. “Lantai 25, nomor kamar 2512,” gumam Levin membaca tulisan yang ada, menyadari kalau gadis yang berada di pelukannya tidaklah miskin karena sanggup menginap di hotel mewah dan memilih tipe kamar presidential suite. Kamar terluas dan termahal di hotel ini. Setau Levin, tipe kamar seperti ini terbatas. Hanya ada 4 kamar. Lift berhenti di lantai 25. Awalnya Levin berniat memapah Claire, tapi ternyata gadis itu sulit diatur. Bukannya jalan lurus, tapi malah berjalan ke samping seperti kepiting! Terpaksa, Levin menggendongnya ala bridal style, tapi itupun salah karena Claire bergerak semakin gelisah dan liar! Suara pintu kamar yang terbuka membuat Levin mendesah lega. Bagaimana tidak lega kalau sejak tadi Claire berusaha menerkamnya seolah dirinya adalah santapan lezat? Oh, God! Rasanya baru kali ini Levin merasa kewalahan saat harus menghadapi seorang wanita! Padahal biasanya para wanita lah yang kewalahan menghadapi keganasannya di atas ranjang!“Aku cinta kamu, Claire. Dulu, sekarang dan seterusnya, aku akan tetap mencintaimu. Meski kamu telah menyakitiku dengan tindakan dan ucapan kejammu, tapi aku tidak bisa membencimu!”Pengakuan cinta Levin meruntuhkan segala macam benteng pertahanan Claire. Runtuh tak berbekas! Langkah yang awalnya diisi dengan keraguan, kini melangkah kian pasti. Yakin kalau dirinya tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah tepat berdiri di hadapan Levin, yang hanya menyisakan sedikit jarak, Claire mengalungkan kedua lengannya ke leher Levin dan berjinjit agar dapat menyatukan kedua bibir mereka. Claire mencium bibir pria itu dengan lembut selama beberapa saat. Ciuman kasih sayang, bukan ciuman yang dipenuhi nafsu. “Maafkan aku karena telah berulang kali melukai perasaan kamu, Levin,” sesal Claire lirih setelah melepaskan tautan bibir di antara mereka. Claire mengucapkan kalimat itu dengan mata berkaca-kaca, terlihat penuh penyesalan, tangannya pun membelai wajah Levin per
“Rumah siapa?”Saking kagetnya, Claire tidak sadar kalau dirinya telah melontarkan pertanyaan bodoh. Ralat, Claire sebenarnya sadar tapi sudah tidak mungkin meralatnya lagi. “Tentu saja pintu rumahmu, Claire. Memangnya kamu pikir rumah siapa lagi?” jawab Levin gemas.“Tapi ini sudah…”“Ada yang ingin aku bicarakan. Penting!” sela Levin, tidak memberi kesempatan bagi Claire untuk menolak permintaannya. “Baiklah,” lirih Claire, hanya bisa mendesah pasrah saat mendengar nada perintah yang keluar dari bibir Levin. Claire turun dan membuka pintu. Detik itu juga wajah Levin muncul di hadapannya. Claire terjajar mundur saat Levin langsung masuk ke dalam rumahnya sebelum dipersilahkan dan menutup pintu di belakangnya. Bersikap seolah pria itulah yang menjadi tuan rumah! “Ada apa lagi?”“Apa yang kalian lakukan berdua tadi, Claire? Kenapa kamu bisa bersandar dengan begitu nyamannya pada pria brengsek itu?!” tanya Levin, nada suaranya terdengar datar,
Claire menatap Revel yang masih asyik dengan chocolate fondue di hadapannya, dessert yang hanya tersisa beberapa suap lagi. Tanpa menyadari kegalauan hati sang mommy. Setelah Revel menghabiskan dessertnya, mereka memutuskan pulang. Lebih tepatnya Nick mengantar mereka pulang karena dirinya memutuskan untuk menginap di hotel dibandingkan di rumah Claire. Tidak ingin Levin salah paham lagi. “Uncle kenapa tidak menginap di rumah mommy? Bukankah tadi siang uncle bilang akan menginap disini?” tanya Revel, terlihat sedih. Nick berjongkok, sengaja mensejajarkan tubuhnya dengan Revel. “Uncle sebenarnya ingin menginap disini, tapi sayangnya ada alasan penting yang membuat uncle harus berubah pikiran. Tapi kamu jangan khawatir, uncle pasti menepati janji uncle untuk menemani kamu bermain setiap hari.”“Janji?”“Janji!” tegas Nick, mengulurkan jari kelingkingnya yang langsung disambut oleh Revel disertai dengan senyum lebar.Senyum yang menampilkan gigi susu boc
Claire tiba di rumah dengan lunglai namun dirinya tetap memaksakan senyum saat melihat putranya. Nick, yang menyadari betapa tertekannya Claire akhirnya mengajak wanita itu keluar rumah untuk bersantai, hanya sekedar jalan kaki sambil menghirup udara segar. Lagipula sudah lama Nick tidak menikmati waktu bersama Claire dan Revel dengan bersantai seperti ini. Revel, tentu saja langsung menyambut ajakan Nick dengan gembira. Bocah itu bersorak riang, dengan semangat mengiyakan ajakannya. Mereka bertiga berkeliling mencari makanan kecil. Sepanjang perjalanan, Claire merasa cukup terhibur dengan tingkah laku Revel, apalagi sekarang, saat Revel sedang asyik menikmati chocolate fondue hingga mengabaikan sekitarnya, fokusnya sekarang hanya tertuju pada chocolate kesukaannya. Ya, setelah lelah berjalan, akhirnya mereka memutuskan untuk mampir ke salah satu café yang menyediakan dessert kesukaan Revel. “Ada apa, Claire? Kenapa kamu terlihat suntuk? Apakah Levin mengganggumu lagi?”Claire me
“Aku boleh jalan-jalan dengan uncle Nick kan, Mom?”“Boleh, asalkan kamu janji tidak merepotkan uncle Nick, okay?”“Okay, Mom!” “Sekarang habiskan dulu makan siang kamu, sebentar lagi mommy harus kembali ke kantor,” pinta Claire, perintah yang langsung dipatuhi oleh putranya. Usai makan siang, Claire menggandeng tangan mungil Revel, wanita itu berjongkok sambil menyentuh pipi tembam putranya. “Mommy kembali ke kantor dulu ya? Kamu jangan nakal di rumah. Turuti setiap perkataan Nana dan uncle Nick, okay?”“Okay, Mom.”Claire mengecup pipi Revel dan tatapannya beralih pada Nick. “Nick, aku titip Revel ya. Kamu masih ingat kan apa saja yang harus dilakukan?”“Of course. Tenang saja, aku akan membantu Revel mengerjakan PR, menyiapkan cemilannya, menyiapkan pakaiannya untuk mandi, dan hal lainnya. Jadi kamu bisa bekerja dengan tenang. Kami akan menunggumu di rumah.”Kalimat ‘kami akan menunggumu di rumah’ menyadarkan Levin kalau dirinya harus s
Nick menurunkan Revel dari gendongannya, saat itulah Revel melihat kehadiran Levin di dekatnya. Tadi, saking asyiknya bercanda, Revel sampai tidak menyadari sekeliling.“Oh, ada uncle Levin juga? Halo, Uncle,” sapa Revel saat menoleh.Pria itu mencoba memaksakan senyum walau hatinya masih diliputi oleh rasa geram.“Hi, Boy,” balas Levin sambil mengusap rambut Revel dengan sayang. “So, hari ini apa menu makan siang kita?” “Aku mau steak, Mom!” Claire menghela nafas saat mendengar keinginan putranya. Selera Revel memang terbilang cukup tinggi. Tidak heran kalau Claire harus bekerja keras untuk menghidupi kebutuhan dan keinginan Revel yang terbilang tidak murah. Meski daddy Alex berulang kali menyatakan kesediaannya untuk membantunya dari segi finansial, tapi Claire selalu menolak. Tidak ingin menjadi beban. Malu. Nick melirik ke arah Claire, memahami apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu tanpa perlu diucapkan. Pria itu berjongkok di hadapan Re