Hutan malam itu tidak bersuara, seolah bumi sedang menahan napas.
Kara menyusuri jalur sempit di antara pohon-pohon tua yang menjulang seperti penjaga rahasia kuno. Gaun pesta yang tadi dikenakan demi menyenangkan para bangsawan kini belepotan lumpur dan robek di bagian bawah, tapi ia tak peduli. Ia telah cukup menari di antara senyum palsu dan pujian busuk. Malam ini, ia menari dengan sunyi. Kabut tipis menggantung di permukaan tanah, mengelus kakinya yang telanjang, meninggalkan kesan basah dingin seperti ciuman roh hutan. Rambutnya—emas pucat yang biasanya disanggul tinggi—kini terurai bebas di punggung, basah oleh embun. Ia tidak pernah diperbolehkan sejauh ini. Tapi justru larangan itulah yang memanggilnya. Dan malam ini, Kara butuh sesuatu yang lebih liar daripada nasib yang ditentukan istana. “Jika malam ini aku ditelan hutan, paling tidak aku ditelan karena pilihanku sendiri,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri, setengah pada bintang-bintang yang bersembunyi di balik awan. Angin berembus, pelan… membawa aroma asing. Bukan bau tanah, bukan bunga liar. Sesuatu yang lebih dalam. Lebih… tua. Asap. Abu. Dan bara. Ia berhenti. Seluruh indranya menegang. Lehernya dingin, seolah dipandangi dari kejauhan. “Siapa di sana?” suaranya tenang, meski jantungnya berdetak seperti genderang perang. Tidak ada jawaban. Tapi dedaunan di depannya bergerak pelan. Bukan karena angin—tidak ada angin. Lalu ia melihatnya. Dari balik kabut, sosok pria perlahan muncul. Tingginya di luar nalar. Pundaknya lebar, dan tubuhnya dibungkus mantel hitam yang tampak menyatu dengan malam. Tapi yang paling menusuk adalah matanya—menyala emas, seperti bara api yang disembunyikan dalam kelam. Pria itu berdiri diam. Mengamati. Kara mundur setengah langkah, lalu menguatkan diri. “Kau pemburu?” “Sesuatu yang lebih tua,” sahutnya, suaranya dalam dan mengalir seperti sungai lava yang tenang. “Dan lebih berbahaya.” Kara menelan ludah. “Kau tidak terlihat berbahaya.” Ia tersenyum tipis. Bukan senyum yang menenangkan, tapi seperti… tantangan. “Karena kau belum menyentuh sisiku yang membara.” Ia melangkah maju. Tidak tergesa. Tapi tiap langkahnya membuat tanah terasa berat. “Siapa kau sebenarnya?” tanya Kara, suaranya pelan, tapi tidak goyah. Ia berhenti hanya beberapa langkah di depannya. “Aku adalah nama yang tak pernah boleh disebut saat bulan merah. Aku adalah alasan mengapa para leluhurmu membangun menara pengawas di selatan. Aku… adalah legenda yang tak mau mati.” Ia menunduk sedikit, mata emas itu menelanjangi jiwanya. “Aku adalah Draven. Raja dari semua yang terbakar.” --- Kara mematung. Nama itu bukan asing—ia pernah mendengarnya disisipkan dalam dongeng gelap sebelum tidur, di mana naga bukan sekadar binatang bersayap, tapi makhluk yang menyamar dalam tubuh manusia untuk mencuri raja dan membakar istana. Draven. Raja Naga terakhir. “Kau… seharusnya telah mati,” ucapnya tanpa sadar. Draven mendekat selangkah lagi. “Aku hanya mati dalam cerita yang kau dengar. Tapi bumi ini masih mengingat nafasku. Dan malam ini, begitu pula kau.” Udara di sekitarnya berubah. Hangat. Menyesakkan. Tapi bukan seperti panas matahari. Ini seperti dipeluk api yang mengerti di mana tubuh paling rapuh untuk disentuh. “Kau tahu siapa aku?” tanya Kara cepat, mencoba menyembunyikan rasa gemetar yang menjalari jemarinya. “Putri Kara. Darah keturunan pemburu naga. Lahir dari istana emas, tapi jiwamu—jiwamu milik malam.” Ia mengangkat tangan, dan sebelum Kara sempat mundur, jari-jarinya menyentuh dagunya. Sentuhan itu ringan, tapi seperti loncatan listrik. Kara terkejut, tapi tidak menjauh. Ia membenci dirinya sendiri karena tidak ingin menjauh. “Kau seharusnya takut,” bisik Draven, nadanya seperti nyanyian dari masa lampau. “Tapi justru itu yang membuatku tertarik. Keberanian yang muncul bukan karena keberanian sejati, tapi karena hati yang terlalu lelah untuk takut.” Kara memejamkan mata sejenak, lalu menatapnya lurus. “Apa yang kau inginkan dariku?” Senyum itu kembali. “Aku tidak butuh apapun darimu, Putri. Tapi kau—kau butuh malam ini. Dan mungkin, satu malam tidak akan cukup untuk membakar semua beku dalam dirimu.” Kara menggeleng. “Aku tidak butuh siapa pun untuk membakarku.” Draven menunduk, dan suaranya turun menjadi desahan. “Oh, kau salah. Semua yang hidup… ingin dibakar. Kau hanya belum mengakuinya.” Ia menjauh, mendadak, seperti angin yang berubah arah. “Besok malam,” katanya sebelum berbalik. “Kembali ke tempat ini, jika kau ingin tahu bagaimana rasanya… satu malam dengan Raja Naga.” Dan sebelum Kara sempat berkata apa pun, sosoknya telah menghilang dalam kabut. Tapi hawa panas tetap tinggal. Membakar dada. Dan Kara sadar, bahkan sebelum ia memilihnya… Ia akan kembali.Langit Veydran telah kembali tenang.Tapi kedamaian itu bukan hasil dari kemenangan—melainkan ketundukan semesta terhadap sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Pohon waktu berdiri dengan akar yang kini menyala samar, seperti jantung yang berdenyut pelan dalam tidur panjang.Kaelira memandangi bayinya yang tertidur dalam pelukannya. Tidak ada sinar dari matanya, tidak ada gelombang waktu yang memutar arah angin. Namun seluruh dunia seolah mengatur napasnya mengikuti napas kecil sang bayi.Di kejauhan, para Pemulih diam dalam formasi setengah lingkaran. Mereka tak bergerak, hanya berlutut. Tak ada lagi suara mantra, tak ada lagi upaya intervensi. Mereka tidak diusir… mereka disingkirkan oleh takdir itu sendiri.Lyrian berdiri diam di samping Kaelira, tangannya menggenggam gagang pedang dengan kekuatan yang lebih pada kebiasaan daripada ancaman. Matanya menyapu langit, tapi pandangannya kosong—seperti pria yang tahu bahwa apa pun yang datang setelah ini…
Satu tarikan napas.Itu cukup untuk mengubah arah takdir.Sang bayi—yang belum diberi nama oleh dunia—membuka matanya lebar.Tiga warna di matanya tak lagi berdansa lembut.Kini, mereka bersatu dalam pusaran cahaya yang membentuk pola tak dikenal oleh siapa pun.Pola itu hidup. Bernapas.Dan yang paling mengerikan bagi para Pemulih: pola itu mengingat mereka.Pemulih pertama mundur setapak, sebuah tindakan langka bagi entitas yang tak mengenal takut.“Dia… menyimpan Arus Awal dalam pandangan.”Pemulih kedua menggenggam udara, mencoba menahan aliran waktu yang terdistorsi.Namun waktu di sekitar bayi itu tak lagi patuh.Ia membengkokkan siang menjadi senja.Membalik arah jatuh daun.Mengulang bunyi detak jantung Kaelira—dua kali—sebelum kembali normal.Kaelira menahan napas, pelukan pada anaknya menjadi lebih erat.Bayi itu tak menangis. Tak bicara.Namun dari balik tubuh kecilnya, pancaran sihir mema
Tanah Veydran mereda, seolah seluruh lautan sihir menarik diri demi menyimak satu detak jantung yang baru saja tercipta. Pohon Waktu, sebelumnya bagaikan menara luka, kini menyimpan rona lembut di bagian cabang termudanya. Tunas menyala di sana, berpendar dalam tiga warna yang berdansa satu sama lain: emas yang hangat, perak yang tenang, dan ungu pucat yang memantulkan duka masa lampau.Kaelira berdiri di bawah naungan akar bercahaya, napasnya belum kembali stabil. Matanya terasa kering setelah terlalu lama menangis, namun di balik letihnya ia merasakan sesuatu yang nyaris hilang sejak Lyrian pertama kali hilang: rasa lega yang tipis, tipis sekali, seperti embun menetes di ujung daun. Lyrian menahan bahunya, bukan hanya untuk menenangkan, melainkan juga sebagai cara memastikan bahwa tubuh isterinya benar-benar ada di sini, masih hangat, masih nyata. Mereka berdua mengalihkan pandang ke Anara, yang saat itu sedang menjaga jarak, menatap pohon dengan mata setajam bilah pedang
Hening.Tak ada angin.Tak ada suara.Bahkan sihir pun berhenti bergerak,seolah dunia menahan napasnya.Di tengah kehampaan itu,sang anak berdiri sendiri.Tubuh mungilnya tampak ringkih,namun cahaya di sekelilingnya berpendar perlahan,seperti matahari yang sedang memilihapakah ia akan terbit… atau padam.Di kejauhan,Kaelira dan Lyrian membeku dalam waktu yang beku,terbentur batas realitas yang tidak lagi tunduk pada hukum biasa.Mereka bisa melihat sang anak,namun tak bisa bergerak ke arahnya.Tak bisa menyentuh,bahkan tak bisa memanggil.Sang anak menatap ke langit abu-abu,di mana simbol tak dikenal—bentuk rumit dari bahasa semesta—melayang dan berdenyut pelan.“Semuanya menunggu,”bisiknya,suara yang kecil…tapi menggema ke seluruh penjuru ruang.“Menunggu aku memilih.”Dari bayang-bayang waktu,tiga sosok bertudung itu kembali
Langkah kecil itu bergema di tengah sunyi.Tanpa suara angin,tanpa detak jantung dunia yang biasanya hidup,sehingga setiap injakan terdengar seperti lonceng kecilyang membangunkan sesuatu yang lama tertidur.Sang Raja menoleh pertama kali.Di antara akar pohon cahaya yang masih berdenyut samar,muncul sosok mungil—seorang anak lelaki,dengan rambut putih keperakandan mata berwarna perunggu,seolah matahari sore terperangkap di dalamnya.Anara langsung bersiaga,tapi Nerevan mengangkat tangan menghentikannya.“Lihat matanya,” bisiknya.“Dia bukan musuh.”Anak itu melangkah perlahan,pakaiannya terbuat dari jalinan kabut dan cahaya,tapi jejak kakinya nyata.Ia tidak menatap mereka—melainkan langsung pada dua sosok bercahayayang kini berdiri diam di pusat lingkaran sihir:Kaelira dan Lyrian.“Mama…”Suaranya nyaring,jernih,tapi membawa kesedihan yang ter
Langkah Lyrian terdengar nyaris tanpa gema.Namun setiap gerakannya membuat akar-akar cahayabergetar lembut,seolah semesta di sekelilingnya ikut menahan napas.Kaelira berdiri membeku.Matanya menatap wajah itu—wajah yang ia hafal bahkan dalam mimpi terburuknya.Wajah yang seharusnya sudah hancur,luruh bersama menara yang runtuh malam itu.Namun kini…Lyrian berdiri hidup di hadapannya,dan tak satu pun dari cahaya dalam matanyamengenali dirinya.Sang Raja bergerak pelan ke sisi Kaelira,tapi tak menyentuhnya.“Dia… itu benar-benar Lyrian?”Kaelira mengangguk.Patah.Tapi teguh.“Itu tubuh Lyrian,” gumamnya pelan,“tapi jiwanya… terikat.”Lyrian berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka.Jubahnya berkibar pelan,dan dari balik punggungnyatampak ukiran bercahaya yang terus berdenyut.Simbol Veydran,berpadu dengan sihir paling purba—bu