Home / Fantasi / Satu Malam dengan Raja Naga / Bab 2: Undangan dalam Bara

Share

Bab 2: Undangan dalam Bara

Author: Ragil Avelin
last update Last Updated: 2025-06-19 18:50:54

Kabut itu membelah pelan.

Dari balik semak gelap, langkah kaki terdengar menekan tanah basah. Sosok itu kembali muncul, kali ini lebih jelas. Draven, pria dengan mata bara dan aura kuno yang menggetarkan udara di sekelilingnya, berjalan mendekat seolah hutan membuka jalan hanya untuknya.

Kara tak bergerak. Meski segala naluri di tubuhnya berteriak agar ia lari, ada sesuatu yang menahannya. Rasa ingin tahu yang tajam seperti duri mawar. Bahaya yang terasa… memesona.

"Kenapa aku?" tanyanya akhirnya, suara parau oleh dingin dan rasa waspada yang belum juga reda.

Draven berhenti di hadapannya, cukup dekat hingga Kara bisa merasakan hawa hangat dari tubuhnya—hangat yang bukan milik manusia.

"Karena kau menginginkannya," jawabnya tanpa ragu, matanya mengunci pandangan Kara seperti belenggu tak terlihat.

"Aku tidak menginginkan siapa pun. Apalagi kau."

Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, seperti seorang dewa yang sudah bosan dengan kebohongan manusia. "Itu bukan suara penolakan. Itu suara kebingungan. Keinginan yang belum sempat diberi nama."

Kara menghela napas dalam. "Lalu kenapa malam ini? Kenapa muncul saat aku tersesat?"

Draven menunduk sedikit, satu tangan menyentuh batang pohon di sebelahnya. Ujung jari itu meninggalkan jejak abu di kulit kayu. "Karena malam ini kau memilih jalanmu sendiri. Dan malam ini, aku memilih turun dari tempat tinggiku untuk sekali lagi menyentuh bumi."

"Pilihanmu… untuk apa?"

Draven menatapnya, dan mata emasnya menyala pelan.

"Untuk menawarkan padamu sebuah malam yang tidak akan pernah dilupakan dunia."

Kara tertawa kecil, penuh ketegangan. "Itu terdengar seperti ancaman atau rayuan murahan. Mana yang kau maksud?"

"Yang ketiga," gumamnya pelan. "Kebenaran."

Ia kemudian mengulurkan tangannya. Bukan dengan paksaan, tapi seperti seseorang yang yakin bahwa tangan itu akan disambut. Di antara mereka, kabut seolah memutar, menciptakan ruang yang hening… dan berbahaya.

Kara menatap tangan itu. Jari-jarinya panjang, kuat, tapi ada sesuatu yang… halus. Seperti api yang tahu kapan harus membakar, dan kapan hanya memanaskan kulit.

"Aku tidak takut padamu," katanya akhirnya.

"Kau harusnya takut," jawab Draven tenang. "Tapi aku tidak mencarimu untuk ditakuti. Aku mencarimu karena kau… terbuat dari sesuatu yang belum bisa dijinakkan oleh dunia."

Dan saat Kara menolak menyentuh tangannya, Draven menurunkan lengannya perlahan.

"Besok malam," ulangnya pelan, seperti mantra. "Jika kau datang kembali, aku akan membawamu ke tempat di mana para dewa dulu pernah merayu manusia."

Lalu ia memutar tubuhnya, dan perlahan menghilang ke balik pepohonan.

Tapi sebelum sepenuhnya lenyap, ia berkata tanpa menoleh, suaranya berat namun nyaris lembut.

"Aku tidak akan memaksamu. Tapi dunia ini sudah cukup lama membekukanmu, Putri Kara. Mungkin, sudah waktunya kau belajar cara menyala."

Dan Kara tahu…

Ia akan kembali.

---

Istana pada pagi hari adalah tempat paling bising di dunia. Tapi bagi Kara, kebisingan itu tak lebih dari tirai tipis yang tak bisa menyentuh pikirannya.

Ia duduk di ruang sarapan keluarga, diapit dua pelayan yang bersikeras menata rambutnya, sementara seorang penasihat terus membaca laporan tentang kondisi ekonomi kerajaan—hal yang biasanya menarik perhatiannya.

Namun tidak hari ini.

Hari ini, pikirannya masih tertinggal di antara pepohonan, kabut, dan sepasang mata yang menyala seperti arang hidup.

“Putri Kara, apakah kau mendengarkan?”

Ia mendongak. Di depannya, Penasihat Merun menatap dengan alis terangkat dan tangan yang masih menggenggam gulungan laporan.

"Ulangi bagian terakhir," katanya datar.

Merun mendesah pelan. "Saya mengatakan bahwa pihak barat mulai resah. Mereka menginginkan perjodohan segera ditentukan, karena—"

"Karena aku satu-satunya pewaris takhta yang belum dijual seperti permata di lelang," sela Kara dengan suara tajam.

Seluruh ruangan hening.

Ibunya melirik, seolah akan menegur, tapi Kara bangkit sebelum ada yang sempat berbicara. "Maaf, perutku mual. Mungkin karena terlalu banyak mendengar omong kosong pagi ini."

Ia berjalan keluar dari ruang makan, melintasi koridor panjang penuh lukisan para leluhur, hingga akhirnya mencapai balkon tertinggi istana.

Angin pagi menyapu wajahnya, dan matanya menatap hutan di kejauhan—hutan tempat malam tadi ia bertemu dengan sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam dunia manusia.

Atau mungkin… sesuatu yang seharusnya memang ada, tapi telah terlalu lama dilupakan.

Kara menghela napas.

Ia merasa aneh. Bukan karena ketakutan. Tapi karena sejak tadi, tubuhnya… panas.

Panas yang mengendap dalam dada. Di bawah kulit. Di sela-sela pikirannya. Panas seperti bisikan.

Dan tanpa ia sadari, ujung jarinya menggoreskan satu nama di permukaan pagar batu:

Draven.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 72: Dewa yang Terlupakan

    Langit Veydran telah kembali tenang.Tapi kedamaian itu bukan hasil dari kemenangan—melainkan ketundukan semesta terhadap sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Pohon waktu berdiri dengan akar yang kini menyala samar, seperti jantung yang berdenyut pelan dalam tidur panjang.Kaelira memandangi bayinya yang tertidur dalam pelukannya. Tidak ada sinar dari matanya, tidak ada gelombang waktu yang memutar arah angin. Namun seluruh dunia seolah mengatur napasnya mengikuti napas kecil sang bayi.Di kejauhan, para Pemulih diam dalam formasi setengah lingkaran. Mereka tak bergerak, hanya berlutut. Tak ada lagi suara mantra, tak ada lagi upaya intervensi. Mereka tidak diusir… mereka disingkirkan oleh takdir itu sendiri.Lyrian berdiri diam di samping Kaelira, tangannya menggenggam gagang pedang dengan kekuatan yang lebih pada kebiasaan daripada ancaman. Matanya menyapu langit, tapi pandangannya kosong—seperti pria yang tahu bahwa apa pun yang datang setelah ini…

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 71: Mata yang Melihat Awal

    Satu tarikan napas.Itu cukup untuk mengubah arah takdir.Sang bayi—yang belum diberi nama oleh dunia—membuka matanya lebar.Tiga warna di matanya tak lagi berdansa lembut.Kini, mereka bersatu dalam pusaran cahaya yang membentuk pola tak dikenal oleh siapa pun.Pola itu hidup. Bernapas.Dan yang paling mengerikan bagi para Pemulih: pola itu mengingat mereka.Pemulih pertama mundur setapak, sebuah tindakan langka bagi entitas yang tak mengenal takut.“Dia… menyimpan Arus Awal dalam pandangan.”Pemulih kedua menggenggam udara, mencoba menahan aliran waktu yang terdistorsi.Namun waktu di sekitar bayi itu tak lagi patuh.Ia membengkokkan siang menjadi senja.Membalik arah jatuh daun.Mengulang bunyi detak jantung Kaelira—dua kali—sebelum kembali normal.Kaelira menahan napas, pelukan pada anaknya menjadi lebih erat.Bayi itu tak menangis. Tak bicara.Namun dari balik tubuh kecilnya, pancaran sihir mema

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 70: Tunas yang Bernapas

    Tanah Veydran mereda, seolah seluruh lautan sihir menarik diri demi menyimak satu detak jantung yang baru saja tercipta. Pohon Waktu, sebelumnya bagaikan menara luka, kini menyimpan rona lembut di bagian cabang termudanya. Tunas menyala di sana, berpendar dalam tiga warna yang berdansa satu sama lain: emas yang hangat, perak yang tenang, dan ungu pucat yang memantulkan duka masa lampau.Kaelira berdiri di bawah naungan akar bercahaya, napasnya belum kembali stabil. Matanya terasa kering setelah terlalu lama menangis, namun di balik letihnya ia merasakan sesuatu yang nyaris hilang sejak Lyrian pertama kali hilang: rasa lega yang tipis, tipis sekali, seperti embun menetes di ujung daun. Lyrian menahan bahunya, bukan hanya untuk menenangkan, melainkan juga sebagai cara memastikan bahwa tubuh isterinya benar-benar ada di sini, masih hangat, masih nyata. Mereka berdua mengalihkan pandang ke Anara, yang saat itu sedang menjaga jarak, menatap pohon dengan mata setajam bilah pedang

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 69: Anak yang Memutus Waktu

    Hening.Tak ada angin.Tak ada suara.Bahkan sihir pun berhenti bergerak,seolah dunia menahan napasnya.Di tengah kehampaan itu,sang anak berdiri sendiri.Tubuh mungilnya tampak ringkih,namun cahaya di sekelilingnya berpendar perlahan,seperti matahari yang sedang memilihapakah ia akan terbit… atau padam.Di kejauhan,Kaelira dan Lyrian membeku dalam waktu yang beku,terbentur batas realitas yang tidak lagi tunduk pada hukum biasa.Mereka bisa melihat sang anak,namun tak bisa bergerak ke arahnya.Tak bisa menyentuh,bahkan tak bisa memanggil.Sang anak menatap ke langit abu-abu,di mana simbol tak dikenal—bentuk rumit dari bahasa semesta—melayang dan berdenyut pelan.“Semuanya menunggu,”bisiknya,suara yang kecil…tapi menggema ke seluruh penjuru ruang.“Menunggu aku memilih.”Dari bayang-bayang waktu,tiga sosok bertudung itu kembali

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 68: Warisan Cahaya yang Tersembunyi

    Langkah kecil itu bergema di tengah sunyi.Tanpa suara angin,tanpa detak jantung dunia yang biasanya hidup,sehingga setiap injakan terdengar seperti lonceng kecilyang membangunkan sesuatu yang lama tertidur.Sang Raja menoleh pertama kali.Di antara akar pohon cahaya yang masih berdenyut samar,muncul sosok mungil—seorang anak lelaki,dengan rambut putih keperakandan mata berwarna perunggu,seolah matahari sore terperangkap di dalamnya.Anara langsung bersiaga,tapi Nerevan mengangkat tangan menghentikannya.“Lihat matanya,” bisiknya.“Dia bukan musuh.”Anak itu melangkah perlahan,pakaiannya terbuat dari jalinan kabut dan cahaya,tapi jejak kakinya nyata.Ia tidak menatap mereka—melainkan langsung pada dua sosok bercahayayang kini berdiri diam di pusat lingkaran sihir:Kaelira dan Lyrian.“Mama…”Suaranya nyaring,jernih,tapi membawa kesedihan yang ter

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 67: Yang Tersisa dari Cinta

    Langkah Lyrian terdengar nyaris tanpa gema.Namun setiap gerakannya membuat akar-akar cahayabergetar lembut,seolah semesta di sekelilingnya ikut menahan napas.Kaelira berdiri membeku.Matanya menatap wajah itu—wajah yang ia hafal bahkan dalam mimpi terburuknya.Wajah yang seharusnya sudah hancur,luruh bersama menara yang runtuh malam itu.Namun kini…Lyrian berdiri hidup di hadapannya,dan tak satu pun dari cahaya dalam matanyamengenali dirinya.Sang Raja bergerak pelan ke sisi Kaelira,tapi tak menyentuhnya.“Dia… itu benar-benar Lyrian?”Kaelira mengangguk.Patah.Tapi teguh.“Itu tubuh Lyrian,” gumamnya pelan,“tapi jiwanya… terikat.”Lyrian berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka.Jubahnya berkibar pelan,dan dari balik punggungnyatampak ukiran bercahaya yang terus berdenyut.Simbol Veydran,berpadu dengan sihir paling purba—bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status