Suara lonceng itu masih terpantul di dinding kota ketika tanah di sekitar lingkaran batu mulai bergetar perlahan.
Retakan kecil merambat seperti akar tua,membelah lantai yang sebelumnya tampak padat.Udara jadi lebih pekat—tidak berdebu,tapi penuh bisikan yang tidak diucapkan oleh mulut siapa pun.Renai memegang pedangnya erat,meskipun ia tahu senjata itu tak akan banyak berguna.Firen menatap ke sekeliling,siaga.Elma justru berdiri paling tenang—karena ia tahu ini bukan tentang kekuatan fisik,melainkan tentang keberanian menatap luka yang sudah membatu.Arven berdiri paling dekat dengan Theoran.Ia tidak bergerak,tidak bicara.Tapi dalam diamnya,semua rasa bersalah,semua penyesalan,semua kehormatan yang telah dicabik waktu…tampak seperti berkumpul di sorot matanya.Dari dalam retakan,muncul kabut tipis.Kabut itu tidak dingin.Justru hangat.Seolah berasaLangit di atas mereka terbelah.Tidak seperti retakan biasa.Tapi seperti kulit dimensiyang dikoyak dari dalam—menganga dan meneteskan cahaya gelapyang tidak seharusnya ada di dunia mana pun.Saira mendongak,matanya refleks menyipit.Apa yang ia lihat…tidak bisa dijelaskan dengan bahasa biasa.Bukan makhluk.Bukan energi.Tapi kesadaranyang jatuh dalam bentuk berjuta-juta pecahan bercahaya,turun dari langit tanpa suara,namun menekan dada seperti beban seribu tahun.Elma menekan tombol darurat pada gelangnya.“Lapisan ketujuh dimensi telah pecah…ini seharusnya tidak mungkin.”Firen bersandar pada pilar ilusi,mengatur napas dengan susah payah.“Entitas itu memanggil mereka dari luar sistem alam ini.Mereka bukan sekadar pasukan—mereka fragmen dari kehendak kolektif…dari sesuatu yang lebih besar dari Tuhan.”Arven berdiri di depan mereka semua.Tubuhny
Retakan di tabung silinder membesar.Cairan ungu memercik ke lantai logam,mengeluarkan suara mendesis seperti darahyang jatuh di atas bara panas.Arven berbalik,menatap makhluk yang perlahan mengangkat kepalanya dari cairan itu.Kulitnya pucat transparan,urat-urat sihir menyala biru kehijauan di bawah permukaannya.Tak mengenakan pakaian,tapi tubuhnya tidak terlihat telanjang—karena setiap inci dari dirinya seperti dilapisi lapisan simbol kunoyang terus bergerak sendiri.Makhluk itu membuka matanya.Tak ada pupil.Hanya cahaya.Dan dalam sekejap,semua lampu di ruangan padam total.Kegelapan penuh.“Jangan diam!” seru Firen dari sisi kanan.“Apa pun itu, jangan biarkan dia—”Sebuah kilatan ungu terang menyambar ke arah Firen.Tubuhnya terpental menghantam pilar baja,lalu terjatuh dengan suara dentuman berat.“Firen!” Elma berteriak, setengah menyeret Rive
Lorong bawah tanah itu bukan sekadar jalur.Ia seperti rahim kuno yang menelan siapa pun yang berani melangkah masuk.Langkah-langkah mereka menggema,dan suara kecil dari kerikil yang terinjakterdengar seperti ledakan di antara kesunyian pekat.Arven berjalan paling depan,di belakangnya Saira dan Riven yang mulai melemah,dibantu Elma.Renai dan Firen menjaga barisan belakangdengan tangan tetap di senjata masing-masing.Dinding-dinding batu menyempit semakin dalam.Lampu senter dari gelang taktis merekamemantulkan cahaya ke arah simbol-simbol anehyang terukir setengah terhapus oleh waktu.Simbol itu…bukan bahasa manusia.Bukan pula milik kaum naga.Terlalu rumit.Terlalu hidup.Seolah lambang itu terus berubah setiap kali mereka menatapnya terlalu lama.“Simbol ini bukan bagian dari struktur lama Unit Ketujuh,”kata Saira,jari-jarinya menyentuh ukiran yang terasa hanga
Angin di timur terasa lebih kering,mengandung bau logam dan pasir terbakar.Tak ada yang benar-benar hidup di wilayah itu—selain waktu yang berjalan terlalu lambatdan kenangan yang terlalu cepat membusuk.Perbatasan Timur.Tempat di mana reruntuhan kota berganti menjadi gurun bekas ladang tempur.Tempat yang disebut para penyintas sebagai "Neraka Diam"karena tak pernah ada jawaban…hanya gema dari langkah sendiri.Arven berdiri di tepi medan itu,matanya menyapu dataran yang retak dan terbakar cahaya jingga senja.Di belakangnya, Saira sedang mengecek tab petayang terhubung dengan sisa jaringan bawah tanah.Renai diam-diam menancapkan pisau di pasir,mengukurnya seperti membaca tanda dari tanah.Firen dan Elma bertukar pandang,diam-diam mempersiapkan strategi jika keadaan memburuk.“Kau yakin mereka akan muncul?” tanya Firen.“Kael bisa saja menjebak kita.”Arven tak menoleh.
Kota Tanpa Warna tak lagi senyap.Bukan karena suara langkah atau denting senjata.Tapi karena sesuatu yang jauh lebih penting mulai hidup kembali:niat.Di tengah reruntuhan pusat kendali,di mana suara Saira mengguncang lebih dalam daripada teriakan perang,Theoran berdiri di atas batu besar—seperti seorang penjaga waktu yang siap menyerahkan jam pasirnyapada generasi yang cukup gila untuk berharap lagi.“Kau ingin membangun ulang kota ini, Arven,” ucapnya.“Lalu apa yang akan kau jadikan pondasinya?Rasa bersalah?Janji lama?Atau hanya semangat yang mudah padam saat terhempas?”Arven melangkah ke tengah lingkaran.Tak lagi sendiri.Saira berdiri di sisinya,Renai dan Elma sedikit di belakang,sementara Firen memegang peta tua dengan titik-titik merah yang telah pudar.Semua mata tertuju padanya.Tapi tak ada yang lebih berat dari tatapan masa depan—karena itu tak bisa ditawar.
Suara lonceng itu masih terpantul di dinding kota ketika tanah di sekitar lingkaran batu mulai bergetar perlahan.Retakan kecil merambat seperti akar tua,membelah lantai yang sebelumnya tampak padat.Udara jadi lebih pekat—tidak berdebu,tapi penuh bisikan yang tidak diucapkan oleh mulut siapa pun.Renai memegang pedangnya erat,meskipun ia tahu senjata itu tak akan banyak berguna.Firen menatap ke sekeliling,siaga.Elma justru berdiri paling tenang—karena ia tahu ini bukan tentang kekuatan fisik,melainkan tentang keberanian menatap luka yang sudah membatu.Arven berdiri paling dekat dengan Theoran.Ia tidak bergerak,tidak bicara.Tapi dalam diamnya,semua rasa bersalah,semua penyesalan,semua kehormatan yang telah dicabik waktu…tampak seperti berkumpul di sorot matanya.Dari dalam retakan,muncul kabut tipis.Kabut itu tidak dingin.Justru hangat.Seolah berasa