Tavira tetap diam saat resepsionis menutup pintu, meninggalkan mereka berdua di ruangan yang terasa lebih sunyi daripada seharusnya.
Lelaki yang selama ini hanya ia lihat lewat layar berita, kini berdiri tepat di hadapannya. Jauh lebih nyata, lebih dingin, dan lebih tak terjangkau daripada semua fantasinya. “Silakan duduk,” ujar Darian, datar. Tavira menurut. Duduk tegak, menjaga sikap meski pikirannya masih liar. Sempat ia berpikir aneh. Mereka di hotel, hanya berdua. Mungkinkah…? Tidak. Wajah Darian terlalu datar untuk menyimpan hasrat padanya. Ia menatap pria itu penuh tanya. “Kenapa aku dipanggil ke sini?” Tanpa menjawab, Darian mengambil map hitam dari meja, mengeluarkan selembar kertas, dan mendorongnya ke arah Tavira. “Bacalah.” Tavira menunduk. Matanya menyusuri baris-baris tulisan itu. Napasnya tercekat saat sampai di paragraf kedua. PERJANJIAN PERNIKAHAN KONTRAK — DURASI: SATU TAHUN. Ia menatap Darian, butuh penjelasan. “Apa ini?” “Pernikahan kontrak. Selama satu tahun. Setelah itu kita berpisah. Tanpa keterikatan, tanpa drama.” Tavira mengernyit. Itu bukan yang ia dengar dari sang mama. “Maaf… aku gak mengerti.” Darian menyandarkan tubuhnya ke sofa. Mengintimidasi Tavira dengan tatapan tajamnya. “Aku gak setuju dengan perjodohan ini. Aku gak mau hidupku diatur seperti masa lalu. Aku yang menentukan kapan dan dengan siapa aku menikah.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti palu menghantam jantung Tavira. “Jadi... kamu gak setuju dengan perjodohan ini?” suaranya melemah, nyaris tak terdengar. “Sudah pasti tidak.” Darian tak ragu. “Konyol saja. Ini abad ke-21.” Dan saat itu, Tavira sadar. Rupanya selama ini hanya dia yang antusias tentang perjodohan. Selama ini cintanya pada Darian bertepuk sebelah tangan. Ia menatap Darian dengan mata yang berusaha tetap kuat. “Kalau begitu, kenapa gak membatalkan saja semuanya?” “Aku gak mau membuat orang tuaku malu. Mereka sudah menyiapkan segalanya. Kita akan tetap menikah, tapi hanya setahun. Setelah itu, aku yang akan mengurus perceraiannya. Aku akan beri alasan yang bisa diterima semua pihak.” Tenangnya Darian menyampaikan rencana itu membuat Tavira merasa dirinya hanya angka dalam persamaan bisnis. Jika Tavira jadi dia, tentu tidak akan setenang itu. “Bercerai?” gumam Tavira, getir. “Bagimu mungkin gak masalah. Tapi aku seorang wanita. Setelah bercerai, akan ada komentar negatif orang-orang tentangku." Darian membuka lembar berikutnya, lalu mengetukkan jarinya pada bagian dengan cetakan tebal.Kompensasi: Rp5.000.000.000. “Aku sudah memikirkan itu. Kamu akan mendapat kompensasi setelah bercerai. Lima miliar. Gunakan sesukamu. Termasuk, kalau kamu ingin membungkam mulut orang-orang yang suka berkomentar negatif.” Tavira menatap angka itu lama. Angka yang membuat perutnya mual, bukan karena nilainya, tapi karena cara ia dinilai. “Aku gak butuh uangmu,” gumam Tavira dingin. Alih-alih terkejut, Darian justru terlihat semakin tertarik. Nada bicaranya naik setengah oktaf. “Lima miliar terlalu kecil? Oke. Bagaimana dengan sepuluh miliar?” Tavira mengepalkan jemari. Matanya mulai bergetar. Penghinaan yang dibungkus uang terasa lebih menyakitkan. “Lima puluh miliar,” kata Darian akhirnya. “Setelah kita bercerai, kamu bisa menerimanya. Penawaran terakhir.” Tavira tak menjawab. Ia menatap pria itu dengan tatapan kosong. Ingin marah, tapi lebih ingin menangis. Ia bahkan belum pernah menyentuh ratusan juta. Dan kini, ia ditawari harga dirinya seharga lima puluh miliar. Darian berdiri. “Kamu gak perlu jawab sekarang. Kamu punya waktu sampai pertemuan malam nanti.” Ia menatap Tavira sekali lagi, lalu menambahkan, “Beri aku tanda. Kalau kamu setuju, minum dari gelasmu. Kalau menolak, letakkan sendok di sebelah kanan piringmu.” Tavira masih terpaku di tempat. Ingin ia bangkit dan pergi, tapi satu pertanyaan terlepas begitu saja dari bibirnya. “Kalau aku gak setuju?” Keheningan mengendap sesaat. Darian menyipitkan mata. “Maka aku akan membatalkan pernikahan ini dengan cara yang bahkan gak bisa kamu bayangkan. Yang jelas, bukan hanya keluargaku yang akan malu, tapi juga mamamu.” Sebuah ancaman. Dingin. Tegas. Seolah-olah bukan hati Tavira yang sedang ia hancurkan, tapi hanya dokumen yang bisa ia robek kapan saja. “Pikirkan baik-baik. Kamu gak kehilangan apa pun. Kamu tetap menikah. Kamu bebas setelahnya. Dan kamu dapat uang.” Cukup. Tavira muak mendengarkan kata uang dan uang yang sedari tadi ditekankan Darian. Tavira berdiri. Menghentakkan kaki. Dia hendak pergi sebelum Darian yang mengusirnya. “Sampai bertemu nanti malam, Darian!” Langkah Tavira mantap, tapi dadanya terasa pecah. Sepanjang lorong hotel, ia menahan napas, menahan air mata yang tak ingin jatuh. Dulu ia menyukai Darian bahkan sebelum mengenalnya. Ia menolak banyak pria demi menjaga perasaannya hanya untuk Darian. Ia membatasi diri. Menyiapkan diri. Menjadi calon istri yang baik. Tapi ternyata, cintanya hanya dianggap lelucon mahal. Lucu. Tavira berharap perjuangannya memantaskan diri berujung dibalas mencintai oleh Darian. Tidak banyak, cukup menerimanya saja. Bukannya diterima, Tavira malah ditawar oleh angka. Mungkin mudah baginya membuang bermiliar-miliar. Termasuk membuang hubungan yang sudah Tavira nanti-nantikan sejak lama. Darian, kamu jahat. Sesampainya di rumah, Tavira membuka pintu kamar dan melihat gaun merah muda yang ditaruh sembarangan di atas kasur. Beberapa waktu lalu ia bahagia hanya dengan menatapnya saja, kini euforia itu telah hancur. Tavira mengingat lagi percakapan dengan Darian. Pernikahan satu tahun? Atau tidak menikah sama sekali? Ia melirik ke luar kamar, melihat sang mama yang masih duduk dengan wajah bahagia mengenakan gaun merah marun. Tak tahu bahwa harapan putrinya baru saja dicabik-cabik. Ma... aku harus apa? BERSAMBUNGRumah kecil peninggalan Mama hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berdenting pelan seolah menegaskan kesepian yang meringkuk di setiap sudut ruangan.Tavira duduk di kursi rotan di ruang tengah, menatap foto Mama yang tergantung di dinding. Senyum teduh Mama membalas tatapannya, tapi justru membuat sesak di dada.Sudah berhari-hari ia merasa begini. Bangun tidur tanpa sapaan Mama, tanpa aroma masakan sederhana yang dulu selalu menyambutnya. Sekarang, yang ada hanya keheningan menusuk dan kenangan yang terus datang tanpa diundang.Tavira menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi mobile banking. Angka di layar membuatnya terdiam. Lima puluh miliar.Nominal yang sangat besar, bahkan terlalu besar untuk perempuan yang dulu hanya terbiasa hidup pas-pasan bersama Mama.Di awal, Tavira menyetujui perjanjian absurd itu dengan Darian, adalah untuk bisa hidup bersama Mama dengan kompensasi yang mereka se
Kafe kecil di sudut Jakarta itu sore ini ramai pengunjung, tapi di sudut paling tenang, sebuah meja bundar dipenuhi wajah-wajah yang sudah sangat akrab bagi Tavira.Ada Eshan dengan kemeja kerjanya yang masih rapi, Dhiya yang tampak berusaha ceria meski matanya sedikit bengkak, Hasana yang duduk dengan sikap anggun, serta Laya yang sedari tadi tak bisa berhenti berkomentar.Tavira duduk di antara mereka, menyandarkan punggung pada kursi kayu, kedua tangannya memeluk gelas kopi dingin yang bahkan belum ia sentuh.Sejak kabar perceraiannya dengan Darian tersebar, ia tak punya pilihan selain menghadapi tatapan penuh tanya dari orang-orang terdekatnya. Dan hari ini, waktunya tiba.“Gila kamu, Tavira,” suara Laya langsung meledak, tak bisa menahan diri.“Aku kira kabar di forum gosip itu bohong. Mana mungkin kalian cerai? Baru juga setahun! Aku masih berharap kalian bakal punya anak terus buat keluarga impian semua orang.”“Laya.” Has
Rumah besar keluarga Haryodipura sore itu dipenuhi cahaya keemasan dari matahari yang perlahan tenggelam. Aroma kopi hangat yang baru diseduh memenuhi ruang tamu, namun suasana hati Bunda sama sekali tidak hangat. Ia duduk di kursi panjang berbalut kain biru muda, wajahnya tegang, bibirnya terkatup rapat.Ayah duduk di sebelahnya, menatap koran yang tak lagi terbaca. Tatapannya beberapa kali berpindah ke jam dinding, lalu ke arah pintu. Darian sudah bilang akan datang, dan mereka tahu ia membawa kabar besar.Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar di halaman. Langkah berat memasuki rumah, dan Darian muncul. Jas hitamnya masih melekat, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tampak letih. Tak ada aura berwibawa yang biasanya menyelimutinya. Yang ada hanya sisa-sisa lelah, kesedihan, dan semacam kekalahan yang jarang terlihat dari sosok Darian Alastra Haryodipura.“Darian,” panggil Bunda, nadanya rendah tapi jelas mengandung kecemasan. “Apa yang kudengar ben
Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu. Awan bergelayut rendah, seolah ikut menanggung beban berat yang sedang dipikul oleh dua hati yang pernah disatukan dalam janji rapuh.Di depan gedung pengadilan negeri, deretan mobil mewah dan sederhana bercampur menjadi saksi bisu dari berbagai kisah rumah tangga yang retak.Tavira melangkah dengan mantap. Wajahnya dingin, tatapannya lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh. Rambut hitamnya disanggul sederhana, busana putih gading yang ia kenakan memancarkan kesan berjarak. Bersih, tegas, dan tak tergoyahkan.Di sampingnya, pengacara yang ia sewa berjalan mengikuti, menenteng map berisi dokumen. Semua formal, semua prosedural. Tidak ada lagi nuansa hangat seperti ketika ia dulu menandatangani perjanjian pernikahan di rumah Darian. Kini semuanya hanya hitam di atas putih.Sementara itu, Darian berdiri beberapa langkah di belakang. Jas hitamnya rapi, dasi terikat sempurna, tapi wajahnya pucat. Sorot matanya tak perna
Sejak pagi, Darian duduk di balik meja kerjanya, tapi pikirannya tidak pernah benar-benar berada di ruangan itu. Tumpukan berkas menunggu, layar laptop menyala, pena tergenggam erat di tangan, namun semua itu hanya benda mati yang tak sanggup menarik fokusnya.Yang terus berputar di kepalanya hanyalah wajah Tavira. Wajah perempuan itu ketika menangis di pemakaman, saat berkata ia membenci Darian, saat matanya dipenuhi kekecewaan yang lebih pedih dari apa pun yang pernah Darian rasakan.Ia menyesap kopi dingin yang sudah lama dibiarkan, rasanya pahit menempel di lidah. Tubuhnya ada di kantor, tapi jiwanya tercerabut.Pintu tiba-tiba berderit. Darian mengangkat kepala, dan saat itu jantungnya serasa berhenti.Tavira.Berdiri di ambang pintu dengan rambut tergerai seadanya, mata masih sembab, wajah pucat. Perempuan itu bagai bayangan yang selalu ia rindukan, sekaligus ketakutan terbesarnya.“Tavira…” Darian refleks menyebut namanya. Ada campura
Rumah peninggalan Mama kini terasa asing. Sejak pemakaman selesai, Tavira lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tamu yang sunyi. Foto Mama berdiri tegak di atas meja kecil, dihiasi bunga lili putih yang mulai layu. Senyum lembut dalam foto itu membuat dada Tavira seakan diremas.Ia duduk lama di kursi kayu, memandangi potret itu tanpa berkedip. Ada detik-detik di mana ia berharap semua ini hanya mimpi buruk, dan Mama akan muncul dari dapur sambil membawa teh hangat. Tapi kenyataan menamparnya tiap kali ia sadar, rumah ini benar-benar sepi.Air mata menggenang, namun Tavira buru-buru menghapusnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Tidak boleh lagi terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Mama tidak akan suka melihatnya terpuruk.Tapi ada hal lain yang terus menghantui pikirannya. Perjanjian itu. Pernikahan kontrak yang kini tersisa dua bulan lagi.Selama ini, Tavira membiarkan waktu mengalir, seolah akhir itu masih jauh. Namun setelah Mama tiada, s