LOGINTempat janji temu keluarga Tavira dan Darian adalah sebuah restoran kenamaan di tengah kota. Mobil dan sopir dari keluarga Haryodipura menjemput Tavira dan Mama ke sana.
Perjalanan hanya memakan waktu tiga puluh menit, tapi rasa berdebar di dada Tavira tak kunjung reda. Ia duduk gelisah sepanjang jalan, menggenggam ujung gaun merah muda yang sudah rapi sempurna. Tidak lupa hiasan jepit di rambut panjang gelombangnya. Sebenarnya Tavira tidak berniat berdandan, memakai gaun yang indah, ataupun hiasan jepit. Untuk apa mempercantik diri. Darian sudah dipastikan tidak akan tertarik padanya. Jangan lupa, dia tadi menawarnya lima puluh miliar. Namun, ia melakukan itu untuk Mama. Juga orang tua Darian yang tiap menitnya menelepon Mama menanyakan sudah sampai mana. Mereka tak sabar ingin bertemu. Setibanya di restoran, mereka langsung diantar ke meja VIP tempat Darian dan keluarganya sudah menunggu. Darian tengah berbincang dengan ayahnya ketika Tavira dan Mama tiba. “Selamat datang, Tavira dan Yuni!” sambut ibunda Darian ramah. Anna—atau biasa dipanggil Bunda. “Maaf sedikit terlambat, Anna,” balas Mama sambil tersenyum. Setelah basa-basi singkat, Tavira pun duduk di kursi kosong. Hanya kursi di hadapan Darian saja yang kosong. Seolah sudah diatur sedemikian rupa agar kedua insan itu bisa saling tertatapan. Tavira meluruskan tatapan pada lelaki yang barusan saja menawari pernikahan kontrak di hotel padanya. Cara menatap Darian masih sama. Tajam dan menusuk. Seolah membuktikan dia yang memegang kendali pertemuan malam ini. Tidak ada kesempatan bagi Tavira untuk membocorkan masalah pertemuan rahasia tadi. Atau kesepakatan yang belum mendapat jawaban. Segera. Jawaban itu harus diputuskan malam ini. Di depannya. Di depan para orang tua. Malam itu seharusnya jadi momen kedekatan antara dua calon mempelai. Tapi justru para orang tua yang lebih banyak bicara. Tentang persiapan pernikahan, kehidupan sehari-hari, sampai hal-hal remeh yang bahkan tak menarik perhatian Tavira maupun Darian. Darian tak banyak bicara. Berbeda dari pria yang Tavira temui di hotel tadi. Di sini, ia hanya makan ketika waktunya makan, tersenyum sopan saat dirinya disinggung, dan menjawab singkat ketika Mama bertanya mengenai kesibukannya. “Aku hanya sibuk di kantor.” Itu kalimat terpanjangnya malam itu. Tavira sendiri? Sibuk menatap Darian. Masih tak percaya lelaki yang selama ini ia kagumi, kini duduk di hadapannya sebagai calon suami. Dan sekaligus lelaki yang menghancurkan angan-angannya tentang pernikahan. Pernikahan kontrak satu tahun, huh? Baginya, pernikahan adalah ikatan suci. Bukan sekadar formalitas atau alat tawar-menawar. Tahukah dia jika sejak awal saja hubungan ini dimulai sebagai permainan, apakah Tuhan tak akan murka? Dan kenapa harus Tavira yang mengambil keputusan? Kenapa Darian begitu mudah menyerahkan beban itu ke pundaknya? Wajah Tavira sejak tadi murung. Tatapannya lebih banyak tertunduk, terutama ketika seorang pelayan meletakkan gelas berisi air di hadapannya. Biasanya, Tavira dikenal sebagai pribadi ceria, supel, dan banyak bicara. Tapi malam ini, diam. Bahkan tak sekalipun menanggapi obrolan orang tua. Mama tampak menyadari perubahan itu. “Maaf ya, Anna. Tavira biasanya nggak begini. Mungkin dia tegang karena bertemu langsung dengan Darian.” Tebakan Mama tepat, jika saja yang dimaksud adalah pertemuan pertama di hotel tadi siang. Tapi kini, bukan hanya gugup. Ada keruwetan yang jauh lebih dalam. "Darian, bukankah seharusnya kamu juga berbincang dengan Tavira? Atau kamu butuh ruang untuk bicara berdua?" Ayah Darian ikut memanasi. Seolah mengajarkan anak lelakinya untuk duluan bertindak dibanding wanita. "Enggak usah. Kami di sini saja." Halus sekali caranya menolak. Padahal Tavira tahu Darian hanya tidak mau berdua saja dengannya. Seperti Tavira ini sesuatu yang menjijikan baginya. Darian menoleh pada Tavira. "Kamu mau minum, Tavira?” Tavira langsung paham. Itu kode. Jika ia meneguk air dari gelas, artinya setuju. Jika tidak, dan justru meletakkan sendok di sisi piring, artinya menolak. Tatapan Darian tak berpaling dari Tavira. Menunggu jawaban yang sudah saatnya Tavira putuskan. Pernikahan satu tahun, minum di gelas. Tidak ada pernikahan, sendok di sisi piring. Yang mana? Sekilas Darian membuat kerlingan di mata seperti bicara dengan isyarat.'Pikirkan baik-baik. Apa kau benar-benar mau mengacaukan wajah bahagia keluarga kita malam ini?' Huf! Baiklah. Tavira tahu harus memilih apa. Ia meraih gelas. Diteguknya perlahan sampai habis. Suara tegukan kecil itu terdengar cukup jelas di tengah sunyi sejenak. Darian melihatnya. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya sedikit menyipit, menyadari pilihan Tavira sudah dibuat. Gelas ditaruh kembali. Tavira mengangkat wajah, menatap Darian. Lalu menatap Mama, Bunda dan Ayah Darian secara bergantian. “Mama, Bunda... bolehkah kita percepat pernikahannya jadi bulan ini?” tanyanya mantap. Semua orang di ruangan itu menoleh. Terkejut. Tapi Tavira tahu, ucapan itu bukan hanya untuk mereka. Itu juga ditujukan untuk lelaki dingin di hadapannya. Tantangan sekaligus pernyataan: Kalau ini permainanmu, aku akan ikut bermain. Tapi dengan caraku. Dia tahu Darian mungkin tidak menyukainya. Dan tahu juga, kelak mereka akan bercerai. Tapi selama satu tahun ini, Tavira akan menjadi istri Darian. Itu cukup. Dia tidak ingin patah hati malam ini. Setelah menunggu selama dua puluh lima tahun, ini bukan waktunya menyerah. Juga, demi Mama. Agar ia tidak kecewa. Nanti, setelah semuanya berakhir, Tavira yang akan menanggung semuanya. Termasuk menjelaskan dan memulai hidup baru dengan uang lima puluh miliar dari Darian. Darian memerhatikan Tavira cukup lama. Lalu, perlahan, ia melipat tangan di atas meja. Salah satu ujung bibirnya terangkat. Dia... tersenyum? BERSAMBUNGUdara malam di gang itu terasa dingin, tapi dada Darian panas seperti disulut dari dalam.Ia tidak tahu harus melakukan apa. Tas di tangannya menjadi alasan semu untuk tetap berdiri di tempat. Sementara Tavira menatapnya tak berkedip, seolah tak yakin sosok di depannya benar-benar nyata.“Tavira.”Hanya satu kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya, pelan, nyaris serak.Tavira masih diam. Matanya menatap Darian lama, sangat lama, seakan mencoba memastikan bahwa semua ini bukan permainan cahaya atau ilusi kenangan yang sering menghantuinya di malam sepi.Begitu Darian melangkah setengah langkah mendekat, Tavira mundur spontan. Gerakannya refleks, tapi cukup untuk membuat sesuatu di dada Darian retak pelan.Darian berhenti di tempat. Menunduk sedikit, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku hanya mau mengembalikan ini.”Darian mengulurkan tas yang tadi direbut dari pencopet, nada suaranya terkendali tapi bergetar d
Sudah tiga hari berlalu sejak Darian menemukan Bloomia.Namun setiap kali pikirannya mencoba fokus pada laporan proyek, nama toko itu selalu muncul kembali di sudut benaknya, seperti aroma bunga yang samar tapi tidak pernah benar-benar hilang.Ia masih di Malang.Alasan resminya, meninjau progres proyek tahap dua Green Arcadia.Alasan sebenarnya, ia belum siap pergi. Belum siap meninggalkan kota yang diam-diam menyimpan seseorang yang selama ini hanya hadir dalam mimpi.Pagi itu, setelah rapat dengan tim arsitek, Darian duduk sendirian di kafe kecil di seberang jalan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin. Ia menatap ke seberang, ke arah toko yang jendelanya dihiasi bunga mawar dan lily beraneka warna. Bloomia.Tirai putih di jendela terbuka setengah. Di dalam, Tavira tampak sibuk melayani pelanggan. Gerak tubuhnya ringan dan cekatan, senyumnya tulus, matanya tenang.Darian tidak bisa menahan senyum samar yang muncul di bib
Hari di Malang cerah. Udara sejuk, langit biru muda dengan awan berarak lambat di atas deretan bukit jauh di sana. Mobil hitam yang ditumpangi Darian berhenti di depan area proyek Green Arcadia, kawasan perumahan ramah lingkungan yang sedang dibangun di pinggiran kota.Darian turun dari mobil, mengenakan kemeja abu muda dan jas ringan. Sikapnya tetap tenang, formal, seperti biasa. Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Perasaan asing yang muncul setiap kali ia menjejak tanah Malang.Ia menyusuri area proyek, meninjau pembangunan perumahan tahap awal. Para pekerja menyapa hormat, dan ia membalas dengan anggukan pendek. Satu per satu laporan ia baca, revisi ia berikan, dan instruksi keluar dari mulutnya dengan nada tegas tapi tidak berlebihan.Semuanya tampak biasa. Profesional.Namun setiap kali ia menatap langit biru di atas sana, pikirannya melayang. Ada nama yang berkali-kali muncul tanpa izin.Sore mulai turun. M
Malam itu, jalan tol menuju Jakarta basah oleh embun. Mobil yang mereka tumpangi meluncur stabil di jalur kanan, meninggalkan kota Malang yang perlahan tenggelam di belakang.Eshan duduk di kursi depan, sementara Darian bersandar di kursi belakang, matanya terpejam setengah. Pria itu sudah tertidur ringan, napasnya pelan, bahunya bergerak tenang seiring ritme mobil.Kelelahan setelah serangkaian rapat dan inspeksi proyek membuat tubuhnya terasa berat, tapi pikirannya belum sepenuhnya tenang. Lampu-lampu kendaraan yang berpapasan memantul di wajahnya sesekali, menciptakan bayangan bergerak di permukaan kulitnya.Mobil berguncang ringan, dan di tengah keheningan itulah suara berdering pelan terdengar dari kursi depan. Nada dering lembut, milik Eshan. Pria itu menoleh cepat, menurunkan volumenya sebelum menjawab dengan suara pelan.“Hallo?”Darian masih setengah sadar, tapi tidak sepenuhnya tertidur. Suara lembut Eshan di depan sana tentu bisa kedenga
Langit Malang sore itu berwarna lembut, perpaduan biru muda dan jingga pucat.Udara di kota itu terasa berbeda. Tidak sepadat kota besar, tapi juga tidak terlalu sunyi. Ada ritme yang tenang, seolah setiap hembus angin membawa jeda untuk berpikir.Mobil perusahaan berhenti di depan gerbang proyek. Plang bertuliskan Green Arcadia - Malang Site Development berdiri tegak di pinggir jalan, diapit dua pohon flamboyan yang mulai berbunga.Darian turun, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu tua. Ia menatap sekeliling lahan luas yang akan dikembangkan menjadi kompleks hunian ramah lingkungan.Tim lokal sudah menunggu di bawah tenda kecil, lengkap dengan peta lokasi dan rencana gambar 3D yang terpampang di layar.“Selamat datang di Malang, Pak Darian,” sambut kepala proyek, Pak Anwar, sambil menyalami tangannya dengan sopan.“Kami sudah siapkan laporan survei dan beberapa rekomendasi arsitektur.”Darian mengangguk kecil. “Baik, mari kit
Ruang rapat lantai dua puluh terasa berbeda pagi itu. Bukan hanya karena kehadiran seluruh kepala divisi, tapi juga karena suasana yang lebih hidup dari biasanya.Slide demi slide di layar menampilkan visi proyek Green Arcadia. Hunian ramah lingkungan yang menggabungkan teknologi, arsitektur hijau, dan keseimbangan hidup urban.Darian duduk di ujung meja, memperhatikan dengan tenang. Kemejanya putih polos, tanpa dasi, dan lengan digulung sampai siku.Wajahnya tetap serius seperti biasa, tapi Eshan yang duduk di sebelahnya tahu. Ini adalah versi Darian yang paling fokus setelah sekian lama.“Target pasar kita adalah keluarga muda dan profesional yang mencari keseimbangan antara kota dan alam,” jelas seorang manajer proyek dengan penuh semangat.“Kami sudah menyiapkan tiga konsep desain berbeda, tergantung lokasi dan kontur tanah di tiap kota.”Darian menautkan jemarinya di atas meja.“Baik. Tapi pastikan konsep itu nggak hanya menarik







