MasukMereka kembali ke rumah besar itu. Suasananya tidak lagi sekelam sebelumnya. Udara rumah terasa lebih hangat, lebih tenang, seperti mengikuti keadaan hati Tavira yang pelan-pelan membaik. Namun Darian tetap tidak mau mengambil risiko. Dia menghubungi Bunda agar datang menginap, menemaninya menjaga Tavira.
Bunda datang sore itu, membawa tas kecil dan selimut rajut kesayangannya. Begitu melihat Tavira di ruang keluarga, Bunda langsung merentangkan tangan.
“Tavira. Sini, Nak!”
Tavira ragu sepersekian detik. Bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak menahan rindu akan sosok ibu.
Saat ia mendekat, Bunda memeluknya erat, hangat, penuh kasih sayang yang begitu menenangkan sampai-sampai lutut Tavira terasa mau goyah.
Hal itu menenangkan. Dan membuat Tavira merindukan mamanya yang sudah tiada.
Malam itu, Bunda memilih tidur di kamar Tavira. Ia membenarkan selimut Tavira, merapikan anak rambut di pelipisnya, lalu masuk ke dalam selimut, memeluk T
Tiga hari setelah kondisi Darian benar-benar stabil, dokter akhirnya mengizinkannya pulang.Tavira hampir tidak bisa berhenti tersenyum sejak mendengar kabar itu. Setelah semua bulan yang mereka lewati. Trauma, penculikan, kecelakaan. Mimpi bisa membawa Darian pulang terasa seperti hadiah besar dari Tuhan.Pagi itu, Tavira sibuk menyiapkan rumah. Ia menyusun ulang bantal-bantal di kamar utama, memastikan suhu AC tidak terlalu dingin, memilih piyama lembut untuk Darian, sampai mengecek pantry apakah ada teh herbal favorit Darian.Semua itu ia lakukan sambil menahan mual yang masih sering datang. Tubuhnya mudah lemas tapi wajahnya memancarkan sesuatu yang belum pernah muncul sebelumnya. Cahaya kecil seorang calon ibu yang baru menemukan harapan.Bunda Darian datang pagi-pagi sekali, seperti sudah tahu Tavira tidak boleh terlalu banyak kerja. Bunda membawa sekantung besar buah, roti hangat, serta sup ayam yang aromanya menyebar ke seluruh dapur.“Tavi
Hari–hari setelah Darian sadar berjalan penuh lalu-lalang. Kamar VIP itu tak pernah benar-benar sepi. Para direktur, rekan bisnis, sahabat lama, bahkan beberapa keluarga jauh datang bergantian. Semuanya menanyakan keadaan Darian, memberikan bunga, buah, dan ucapan syukur.Tavira selalu berada di sisi ranjang, menerima mereka dengan senyum ramah meskipun tubuhnya kelelahan dan mualnya sering kambuh.Darian, meski belum bisa bicara banyak, selalu menggenggam tangan Tavira seakan ia ingin mengingatkan semua orang bahwa istrinya adalah jangkar hidupnya.Suatu sore yang tenang, setelah kunjungan terakhir dari kolega kantor selesai. Tavira berdiri di samping jendela sambil merapikan rangkaian bunga yang mulai memenuhi ruangan.Eshan baru saja pergi untuk makan sebentar. Leisa ke apotek rumah sakit. Darian tertidur, lega dan damai.Pintu kamar diketuk.Tavira menoleh, tersenyum kecil. “Silakan masuk.”Pintu terbuka pelan. Dan seseorang yang
Udara pagi di ruang VIP rumah sakit masih mengandung aroma steril yang menusuk. Namun bagi Tavira, semuanya terasa berbeda hari itu. Lebih hangat, lebih berwarna, seolah dunia tiba-tiba mengembalikan denyutnya.Darian sudah bangun. Ia masih lemah, masih terbaring dengan infus menempel dan napas yang sesekali tersengal kecil, tetapi suaminya hidup. Mata itu terbuka. Menatapnya. Memanggil namanya.Sejak pelukan panjang dan isakan kegembiraan mereka, Tavira duduk hampir tanpa bergerak di kursi samping ranjang. Jemarinya masih menggenggam tangan Darian, seakan ia takut melepaskan akan membuat semua ini terbukti sekadar mimpi.Darian sesekali memejam, lelah karena tubuhnya baru melewati badai panjang. Tapi setiap kali ia membuka mata, hal pertama yang dicari adalah wajah Tavira.“Duduk saja, Sayang. Kamu pasti capek,” Darian berbisik pelan, suaranya serak, nyaris tak terdengar.Tavira menggeleng keras. “Aku di sini. Aku nggak ke mana-mana,” katanya deng
Udara malam begitu lembab ketika Tavira berlari keluar rumah. Napasnya putus-putus, matanya buram oleh air mata yang belum sempat dikeringkannya.Hatinya seperti diremas keras. Antara takut, cemas, dan harapan samar yang menusuk bagai cahaya kecil di tengah gelap panjang.Leisa tergopoh di belakangnya, berusaha mengejar sambil menghubungi sopir agar mobil segera dikeluarkan.“Ibu! Pelan sedikit, Bu!”Namun Tavira tidak bisa berhenti. Tidak hari ini. Tidak setelah mendengar kalimat setengah patah Leisa barusan.“Bu… Pak Darian… Dia…”Tidak ada hal lain yang bisa menggerakkan Tavira selain dorongan itu. Dorongan untuk menemukan jawaban, untuk memastikan sesuatu, untuk membuktikan kalau dunia tidak sedang kembali meregut kebahagiaannya.Mobil menunggu dengan pintu terbuka. Tavira langsung masuk, hampir tersandung. Napasnya terengah. Tangan gemetarnya menggenggam ujung gaun yang kusut.Leisa masuk dari pintu berlawanan, masih
Kamar itu dingin dan sepi. Tempat tidur besar yang biasanya terasa nyaman kini seolah terlalu luas.Tavira menatap bantal Darian yang masih tertekan bekas kepala suaminya. Selimutnya pun masih berbau shampoo Darian. Tavira menggenggam bantal itu, lalu jatuh terduduk sambil memeluknya erat-erat.“Darian,” suaranya pecah.Air mata menetes tanpa bisa dihentikan.“Bangunlah,” bisiknya. “Aku nggak bisa sendiri. Aku nggak bisa tanpamu.”Ia menunduk, bahunya bergetar. Perutnya kembali mual.Tavira bergegas ke kamar mandi dan muntah sampai lututnya gemetar. Bu Ayu yang mendengar suara itu langsung datang, menepuk punggung Tavira dengan hati-hati.“Nyonya harus makan sedikit saja. Tolong dengarkan saya.”Tavira hanya menangis sambil menggeleng.“Aku nggak butuh itu. Aku baik-baik saja.”“Tapi Nyonya—“Bu Ayu tidak bisa apa-apa melawan majikannya yang rapuh. Tanpa Darian, Tavira berubah jadi orang yang tidak bisa ber
Berhari-hari itu seperti kabur menjadi satu warna kusam bagi Tavira.Siang dan malam tidak lagi punya batas.Waktu hanya bergerak antara bunyi mesin monitor jantung Darian dan napasnya sendiri yang tak pernah stabil.Setiap pagi, ia mengelap tubuh Darian pelan dengan air hangat. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melakukannya. Kadang ia berhenti, mencium punggung tangan Darian sambil berbisik, “Bangunlah, Darian. Kumohon!”Setiap sore, ia mengganti handuk di dahinya, memastikan kulit Darian tidak iritasi.Setiap malam, ia duduk di kursi yang sama, memegang tangan Darian sampai bahunya nyeri.Eshan berkali-kali mencoba membujuk.“Tavira, kau butuh tidur,” katanya suatu malam, wajahnya sudah selelah miliknya.“Aku tidur di sini.”“Tapi kau hanya tertidur lima menit, itu pun sambil menggenggam tangannya.”Tavira tetap menggeleng, mata sembab.“Aku mau tetap di sini sampai Darian bangun.”Eshan ingin berad







