"Apa maksudmu dengan nggak mau pulang?"
Darian tidak menatap Tavira. Pandangannya lurus ke depan, seolah tahu suaranya akan sampai ke telinga perempuan itu tanpa perlu melihat wajahnya.
"Kupikir kamu ke pesta atau semacamnya. Tapi ternyata kamu cuma duduk sendirian di sini. Kamu berniat tidur di kursi taman?" imbuh Darian lagi.
Tavira menggeleng pelan. Ia bahkan belum tahu kenapa Darian bisa menemukannya begitu cepat. Ia tidak mengirim pesan atau meninggalkan petunjuk apa pun.
Rencananya tadi hanya ingin melamun di tempat itu sampai pikirannya reda. Sampai benang kusutnya terurai. Sampai akhirnya dia lelah sendiri dan pulang.
Tapi sebelum sempat melakukan itu semua, Darian sudah datang.
Kata-kata “nggak mau pulang” itu jadi terdengar seperti keluhan. Kalimat dari seseorang yang marah.
Ya. Tavira memang sedang marah. Maka sekalian saja Tavira tunjukkan itu sekarang.
"Aku hanya bosan di rumah. Di sana terlalu sepi," u
Esok paginya, Lila datang ke ruang baca untuk memberitahu bahwa ada seseorang di depan rumah yang ingin bertemu dengan Tavira. Katanya, salah satu teman dekat Tavira.Tavira meminta Lila mempersilakan tamunya masuk ke ruang tamu. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui siapa yang datang. Orang itu adalah Dhiya.Begitu melihat Tavira, Dhiya segera memeluknya erat, seperti memeluk seseorang yang hampir saja hilang.“Maafkan aku, Tavira... Aku baru tahu tentang kejadian itu. Aku benar-benar menyesal. Aku nggak tahu Rian merancang proyek seaneh itu untuk pemotretan.”Suara Dhiya bergetar, kalimatnya keluar seperti tumpahan rasa bersalah yang selama ini tertahan.Tavira mengajak Dhiya duduk. Ia tak pernah berniat marah. Meski Dhiya yang mengenalkan Rian, keputusan ikut pemotretan tetap datang dari dirinya sendiri.“Kalau aku tahu proyeknya seperti itu, aku nggak akan pernah ngajak kamu, Vir. Aku tahu kamu nggak suka baju terbuka, apalagi pemotretan
Sudah tiga hari Tavira mengabaikan Darian di rumah. Ia enggan bertatap muka, bahkan sebentar saja. Marah semarah-marahnya.Meski begitu, Tavira tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Monoton. Tak menyenangkan.Belakangan, ruang baca menjadi markasnya. Ia menghabiskan banyak waktu di sana. Bukan hanya untuk membaca, tapi juga untuk bersembunyi dari lelaki yang pikirannya tak kunjung bisa ia buang.Seperti saat ini, Tavira duduk menyendiri di sofa. Satu per satu ia menggarisbawahi kalimat dalam buku, meski tak satu pun benar-benar ia pahami. Stabilo kuning di tangannya menari hanya demi menciptakan kesan sibuk.Lima baris ditandai. Tak satu pun masuk ke kepala.Ia menyandarkan tubuh ke sofa, menarik napas pendek, lalu memutar-mutar stabilo di jemarinya. Sudah tiga hari seperti ini. Tubuhnya bergerak, pikirannya kosong.Langkah pelan terdengar dari lorong. Tavira tidak menoleh. Ia tahu suara itu. Selalu tenang. Tak terburu. Tapi malam ini,
“Kamu kekurangan uang?! Hah?!”Tavira mengangkat kepalanya. Turut emosi karena kalimat Darian seolah menggambarkan kalau dirinya wanita murahan.“Apa belum cukup semua yang aku berikan padamu, sampai kamu sengaja melakukan pemotretan gak senonoh itu?”“Aku gak melakukan pemotretan untuk uang,” Tavira membalasnya dengan nada ingin menangis.Belum pernah ada yang menghinanya seperti ini. Harga dirinya seperti tercabik-cabik oleh ucapan tidak mengenakan dari Darian.“Lalu apa?” Darian membalas tidak kalah keras.Suasana di dalam rumah menjadi panas. Kalau saja rumah mereka bersebelahan dengan tetangga, mungkin teriakan mereka bisa kedengaran menembus dinding.Para pelayan yang mengintip dari ruangan lain saja nampak tegang dengan pertengkaran suami istri yang pertama kali mereka lihat itu.“Kamu melakukan ini untuk balas dendam, karena aku sudah membuat kamu marah malam itu?”Darian membicarakan tentang malam dimana dirinya
Tavira menggelung lutut di sudut ruangan, tangisnya tertahan di balik tangan yang menutupi wajah. Isakannya pecah berulang, menggema di kamar ganti sempit yang kini seolah jadi tempat perlindungan sekaligus penjara baginya.Pintu dikunci dari dalam oleh Tavira. Tak seorang pun boleh masuk.Ketukan datang silih berganti. Suara panik, marah, bahkan umpatan terdengar dari luar. Salah satunya adalah suara Rian yang kini tanpa ragu menyebutnya tidak profesional, bersumpah takkan pernah bekerja sama lagi.Bagus. Tavira juga tidak mau bertemu atau bahkan berhubungan dengannya lagi.Pemotretan ini adalah jebakan. Alih-alih seni, yang terjadi lebih mirip pelecehan terselubung.Tavira menunggu di sana, membatu. Menolak mendengar suara-suara di luar, menolak menyadari kenyataan yang baru saja terjadi.Lalu... ketukan baru menggema. Lebih keras. Lebih tegas. Seperti gemuruh badai yang datang menyapu.“Tavira, ini aku. Buka pintunya!”Suara
Tavira tidak mau melanjutkan pemotretan ini. Tidak dengan tema malam pertama yang diusung hari ini. Bukan dengan lingerie tipis yang hampir tak menutupi apa-apa. Bukan di atas ranjang hotel, bersama model pria nyaris telanjang yang bahkan tidak ia kenal namanya.Namun tubuhnya ditarik paksa oleh Rian, si fotografer yang juga kepala proyek hari itu.Make-up telah selesai. Busana pun telah dikenakan. Tak ada alasan untuk menunda, katanya.Langkah kaki Tavira terasa berat, namun semua mata tertuju padanya. Para kru sibuk di sekeliling set. Kamera siap. Lampu menyala terang.Dan di tengahnya, ada sebuah ranjang putih yang menunggu seperti panggung untuk sebuah pertunjukan murahan.Tavira duduk di tepi ranjang. Tubuhnya kaku. Matanya berlari ke sekeliling ruangan, tapi tak ada tempat untuk lari.Rian melangkah ke depan, dengan clipboard di tangan dan suara tegas yang mengiris telinga."Temanya jelas, malam pertama. Foto pasangan. Penuh gai
Seharusnya Tavira mendengarkan nalurinya dan pulang saja sejak masih berdiri di luar hotel.Tapi saat Rian berbalik tanpa berkata apa-apa, tubuhnya justru bergerak mengikuti pria itu. Entah karena rasa tak enak, atau karena bayang-bayang profesionalitas yang ia tanamkan sejak kemarin.Dalam benaknya, Tavira sedang bertempur. Ia bisa saja berhenti sekarang, menelepon Dhiya dan bilang kalau dirinya tidak nyaman dengan proyek ini. Bukankah ia tidak benar-benar mengenal Rian? Tapi langkah kakinya tak kunjung berhenti.Rian berjalan cepat menuju lift, dan Tavira mengekor dalam diam. Mereka masuk ke dalam, dan Rian menekan tombol 11. Katanya, kamar yang digunakan sebagai studio berada di lantai sebelas.Suasana lift hening. Tavira berdiri di pojok, kedua tangan menyilang di depan dada, mencoba meredakan gelisah yang terus mendera.TING!Pintu terbuka di lantai lima. Seorang wanita masuk. Dan betapa kagetnya Tavira saat menyadari siapa yang berdiri