Home / Romansa / Satu Wanita Satu Skill / Hati Rita yang mulai goyah

Share

Hati Rita yang mulai goyah

Author: Anaraksa
last update Last Updated: 2025-06-28 10:53:49

Keesokan harinya aku muali kegiatanku seperti biasa bekerja sebagai kurir, tak kusangka ada paket untuk Rita.

Aku berdiri di depan pagar rumahnya sambil memegang paket kecil berisi kosmetik impor. Nama pengirimnya tertulis "Rita Kosmetik", tapi penerimanya… jelas tertulis: hatinya yang belum sembuh.

Belum sempat kuketuk pintu, suara Rita terdengar dari dalam rumah.

> "Raksa?"

> "Iya, saya. Paket buat Bu Rita, kayak biasa."

> "Buka aja, saya lagi masak."

Aku masuk dengan hati yang tak seberani kemarin. Jujur saja, efek dari sentuhan singkatnya masih menempel—bukan di kulit, tapi di dada. Ada sesuatu yang belum selesai dari momen itu. Dan sekarang, aku takut—takut berharap lebih dari sekadar tugas sistem.

Rita muncul dari dapur, rambut diikat asal, kaus longgar, dan aroma bawang putih bercampur wangi tubuhnya sendiri. Natural. Tidak dibuat-buat. Dan justru itu yang bikin bahaya.

> "Taruh aja di meja," katanya sambil menyeka tangan dengan handuk kecil.

Aku menurut. Tapi saat aku menoleh untuk pamit, dia berkata:

> "Eh... kamu sempat mikir yang aku bilang kemarin?"

Aku berhenti.

> "Yang mana ya?"

> "Yang tentang... menyentuh orang."

Aku menatapnya. Kali ini bukan dengan skill, tapi dengan naluri seorang lelaki yang mulai tak yakin batas antara misi dan perasaan.

> "Saya nggak bisa lupa."

Rita tertawa pelan, lalu menunduk.

> "Saya juga gak biasa ngomong kayak gitu ke orang baru. Tapi entah kenapa, kamu…"

> "Saya bukan orang baru, Bu. Saya cuma orang yang belum sempat kamu kenal."

Rita menoleh. Ada secercah senyum di sana. Tapi cepat menghilang.

> "Kamu pintar, ya. Tapi hati-hati."

> "Hati-hati?"

> "Kamu tahu gimana rasanya kalau terlalu banyak wanita nyaman sama kamu?"

"Mereka bukan saling menyayangi, Raksa. Mereka saling membunuh secara halus."

---

Kalimat itu menghantam lebih keras daripada notifikasi sistem manapun.

Aku diam. Tak ingin membantah, tak ingin menyangkal. Karena mungkin, itu peringatan… atau ancaman lembut dari masa lalunya.

> "Makasih paketnya," katanya pelan. "Besok tolong ambilin yang dari supplier Cina ya. Harusnya datang malam ini."

> "Siap, Bu."

Aku keluar rumah dengan langkah pelan. Kali ini, aku tidak dikejar sistem. Tapi... dikejar rasa bersalah yang belum jelas bentuknya.

---

[SISTEM: TARGET DALAM MODE DEFENSIF]

> Kemungkinan pujian emosional: Rendah

Rekomendasi: Alihkan fokus ke target alternatif

---

> "Dina…" gumamku.

Belum sempat melangkah jauh, suara sistem kembali masuk:

[SISA WAKTU UNTUK MISI SUGESTI VERBAL: 68 JAM]

---

 dengan target baru, strategi baru dimulai

---

Warung tempat biasa aku ngopi di sore hari itu nggak ramai. Hanya ada dua bapak-bapak yang sedang main gaple dan satu penjual gorengan yang sibuk mengipasi tahu isi.

Aku duduk di bangku kayu dekat dinding, menuang kopi sachet ke gelas plastik, dan mulai menenangkan pikiran. Rita terlalu rumit untuk disentuh, dan sistem memberiku tenggat waktu yang semakin sempit.

> "Kok sendirian aja, Mas Kurir?"

Aku menoleh pelan.

Dan di sanalah dia.

Feby.

Tanpa seragam sekolah, tanpa sorot tajam penuh hinaan. Hari ini dia pakai kaus putih ketat dan celana jeans robek-robek, rambutnya dikuncir ke samping. Tapi yang paling mengejutkan… dia tersenyum.

> "Kamu… nongkrong juga di sini?"

> "Dari dulu," jawabku datar.

> "Dari dulu aku nggak pernah lihat."

> "Dulu kamu ngelihatnya ke arah lain."

Dia terkekeh kecil, duduk di depanku tanpa izin.

Membeli es teh, lalu menyeruputnya dengan gaya santai, seolah kita sahabat lama yang tak pernah bertengkar.

---

[SISTEM: EMOSI TARGET FLUKTUATIF]

> Motivasi Feby: 43% penasaran, 27% dendam, 30% tak terdeteksi

Status: Bahaya tersembunyi. Waspadai manipulasi balik.

---

> "Dulu kamu kurus. Sekarang… lumayan," katanya sambil memiringkan kepala.

> "Lumayan apa?"

> "Lumayan bikin penasaran."

Aku tak menjawab. Mataku menatap matanya. Ingin kutembus permainan ini, tapi dia terlalu lihai menyamarkannya.

> "Kamu nunggu siapa?" tanyanya.

> "Nunggu jam kerja selesai."

> "Aku pikir kamu nunggu aku nyesel."

Aku menahan napas sesaat.

Feby menatapku lama, lalu mengerucutkan bibir, pura-pura ngambek.

> "Diem amat. Dulu kamu cerewet banget, ingat gak waktu kamu ngajak aku ke taman dan bilang aku kayak bulan?"

Aku tersenyum tipis.

> "Dulu aku polos. Sekarang aku mikir dua kali sebelum nyebut cewek kayak bulan… karena bulan pun bisa menghilang."

---

[SISTEM: EMOSI FEBY TERSENTIL – RASA HORMAT +5%]

> Status: Masuk ke fase tarik-ulur. Potensi pujian: 42% jika diberi dorongan emosional

---

Feby mendekat sedikit.

> "Tapi serius, Raksa… kamu udah berubah. Mungkin aku yang salah liat waktu itu."

> "Atau kamu gak pernah mau lihat."

Dia tidak membalas. Hanya menatap ke meja, menggambar-gambar pakai sedotan plastik di atas embun.

> "Eh…" katanya pelan, "kamu nggak marah aku ngajak kamu ciuman waktu itu?"

> "Aku masih nyari tahu, itu karena kamu pengen… atau karena kamu pengen permalukan aku."

Feby tertawa, tapi… nervous.

> "Kamu pintar juga, ya. Dulu kamu bodoh banget."

> "Dulu aku gak punya sistem," batinku dalam hati.

---

Dia berdiri tiba-tiba.

> "Aku cabut dulu. Kalau sempat, mampir ke rumah aku, ya. Aku lagi sendirian."

Dia menyeringai sebentar, lalu melangkah pergi.

---

[SISTEM: TARGET MEMBERI UNDANGAN TIDAK LANGSUNG]

> Mode: "Tes dan Umpan"

Peluang Pujian Emosional: 58% jika MC hadir dan mengendalikan percakapan

---

Aku menghela napas panjang.

Feby bukan lagi cewek populer yang dingin. Tapi bukan juga wanita yang siap menyerah. Dia bermain. Dan aku harus lebih pintar... atau jatuh ke dalam permainannya sendiri.

---

Aku duduk sendirian di atas motor yang belum kunyalakan. Sore mulai menguning, dan udara membawa aroma gorengan dari warung. Tapi pikiranku tidak bisa ikut tenang.

---

[SISTEM: PEMBARUAN MISI UTAMA – "SUGESTI VERBAL"]

> Sisa waktu: 67 jam 12 menit

Dua Target Terdaftar:

Rita: Peluang pujian emosional 32%

Feby: Peluang pujian emosional 58% (Namun potensi manipulasi tinggi)

> Rekomendasi:

Lanjutkan interaksi dengan Feby untuk aktivasi skill dengan risiko emosi tidak stabil

atau

Perkuat pendekatan terhadap Rita meskipun lambat dan menuntut kesabaran

---

Aku mendesah.

> "Feby lebih cepat. Tapi dia licin.

Rita lebih dalam. Tapi dia pelan."

Keduanya punya luka. Keduanya punya dinding yang belum kutembus. Tapi sistem tidak peduli luka mereka, hanya peduli statistik dan waktu.

> "Ini baru dua. Dan aku harus menaklukkan sembilan."

Tiba-tiba sistem menampilkan grafik bar biru di udara.

---

[PROGRES MC]

V Skill "Tatapan Halus"

V Skill "Sentuhan"

= Target Skill: "Sugesti Verbal"

X Skill "Harmoni Harem"

X Skill "Stamina"

X Skill "Dominasi Lembut"

---

> "Baru dua. Tapi rasanya kayak lima."

Sistem kembali menampilkan notifikasi:

---

[NOTIFIKASI INTERNAL]

> "Aktivasi ketiga skill dasar akan membuka level misi utama berikutnya."

"Setelah skill Sugesti aktif, target selanjutnya: menciptakan konflik antar dua wanita dan menyatukan mereka tanpa kehilangan keduanya."

---

Aku menunduk, memandangi bayangan sendiri di tangki motor.

> "Jadi setelah ini, mereka berdua akan... bersinggungan?"

Mataku menatap jauh ke arah tikungan. Di sanalah rumah Rita. Tapi di belakangku, jalur kecil ke arah perumahan Feby juga menunggu.

> "Satu jalan menuju perlahan, satu jalan menuju bahaya."

Kupasang helm. Tapi belum kuputar kunci mot

or.

> "Apa aku bisa... membuat mereka sama-sama percaya padaku? Atau ini semua akan meledak di mukaku sendiri?"

---

[SISTEM: PILIHAN TERBUKA]

1. Pergi ke rumah Rita – butuh ketulusan, tidak ada kepastian

2. Pergi ke rumah Feby – penuh peluang, tapi ada jebakan psikologis

---

Kupencet gas, tapi motor tetap diam.

Karena bukan tangan yang ragu. Tapi hatiku yang belum memilih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Wanita Satu Skill   "Kenapa Kamu Selalu Tahu Sebelum Aku?"

    Lokasi: Rumah Rita – Pagi HariLangit masih lembut saat aku membuka mata. Suara burung kecil menyapa dari balik tirai, diselingi aroma samar dari roti panggang dan kopi hitam. Sejenak aku bingung—bukan di kamarku. Oh iya... aku masih di rumah Rita.Tanganku menyentuh sisi kasur yang kini kosong.Dia sudah bangun duluan.Aku bangkit perlahan, duduk di tepi tempat tidur sambil mengumpulkan sisa-sisa momen semalam. Ciumannya masih hangat di ujung bibirku. Sentuhannya, suaranya, bahkan tatapannya… semua terlalu nyata untuk disebut sekadar "interaksi target".Terlalu… dalam.> [SISTEM: Kondisi tubuh stabil. Skill “Stamina” aktif ][Rekomendasi: Jaga ritme interaksi. Sistem menganalisis pola emosional target.]Sudah aktif ya?" gumamku. Aku berjalan ke jendela. Dari sela-sela tirai, kulihat dia di halaman depan. Memakai hoodie tipis warna krem, Rita sedang menyiram tanaman. Rambutnya dikuncir ke atas, wajahnya terlihat tenang—dan... bahagia?Seolah-olah tak ada sistem. Tak ada misi. Tak ada

  • Satu Wanita Satu Skill   setelah Hujan, Sebelum Rindu 18+

    Hujan belum berhenti sejak sore. Rintiknya seperti tak mau kalah bersaing dengan debar di dadaku. Aku duduk di tepi kasur, mengenakan kaus pinjaman dari Rita dan celana pendek yang sudah sedikit kebasahan tadi. Badanku masih hangat seusai mandi. Tapi ada yang lebih hangat dari itu—suara langkahnya yang mendekat perlahan dari dapur.Rita muncul dengan rambut basah, mengenakan daster tipis warna lavender yang hampir menyatu dengan kulitnya. Ia membawa dua cangkir cokelat panas, lalu meletakkan salah satunya di meja kecil di samping tempat tidurku.> “Kopi malam-malam itu bikin dada deg-degan. Jadi aku buatin cokelat, ya,” ucapnya.Aku hanya mengangguk. Tenggorokanku terasa kering, padahal baru saja mandi. Bukan karena cokelatnya, tapi karena tatapannya… hangat tapi menyelidik. Dia tidak banyak bicara malam ini. Tapi setiap geraknya terasa seperti percakapan panjang yang tidak diucapkan.Ia duduk di sisi ranjang, sedikit membelakangi aku, mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Aku b

  • Satu Wanita Satu Skill   sarapan yang Berbeda

    Pagi ini, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah gorden ruang tamu rumah Rita. Aromanya sudah berbeda. Bukan karena sabun cuci piring, atau kopi sachet yang biasa kubawa sendiri, tapi… karena ini rumah orang yang membuat detak jantungku tidak berjalan wajar sejak kemarin.Aku duduk di kursi makan, mengenakan kaus hitam dan celana training pinjaman Rita. Di depanku, ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang digoreng setengah matang—bau bawangnya kuat, tapi menggoda. Di hadapanku, Rita—dengan kaus putih longgar dan celana pendek kain—terlihat seperti bukan janda… tapi wanita yang nyaman dengan rumahnya sendiri. Dan denganku, pagi ini.> "Kalau kamu bisa tahu isi hati cewek," katanya tiba-tiba, "kamu bakal pakai buat apa?"Aku berhenti mengunyah. Tanganku menggenggam sendok yang masih penuh nasi goreng. Aku menatapnya, mencoba menebak: pertanyaan iseng? Atau ujian?> "Tergantung," jawabku hati-hati. "Kalau buat nyakitin, nggak akan aku pakai. Tapi kalau bisa buat mereka te

  • Satu Wanita Satu Skill   Pelarian Sementara

    Lokasi: Rumah Rita -- keesokan harinya.Udara malam tak terlalu dingin, tapi suasana hatiku terasa beku.Motor kuparkir pelan di depan rumah Rita. Lampu terasnya menyala lembut, warna kuning remang-remang seperti mengundang, tapi juga menenangkan. > "Raksa? Udah selesai kerja?"Suara Rita.> "Iya, Bu.."> "Masuk,, udah malam. Aku lagi bikin wedang jahe"Nada suara itu ringan… tapi dalam. Seperti tahu apa yang terjadi, dan tahu persis bagaimana aku merasa.Aku masuk pelan, melepas sepatu di teras. Rumahnya hangat—bukan karena suhu, tapi karena aroma rempah dari dapur, cahaya kuning yang menenangkan, dan… cara Rita menatapku.Dia mengenakan daster batik sederhana, rambut digelung asal. Tapi aura dewasanya tetap terpancar, tak bisa disembunyikan.> "Duduk. Aku ambilin wedang dulu."Aku duduk di sofa kecil ruang tengah. Tak banyak hiasan di rumah ini, tapi semuanya terasa tertata, bersih, dan berkarakter.Rita datang dengan dua gelas. Tangannya hangat saat menyerahkan gelas padaku.> "Te

  • Satu Wanita Satu Skill   Makan sunyi, Rasa Nyata

    Lalu kami pun makan bersama, Kami duduk di pojok sebuah kedai makan sederhana, tak jauh dari café tempat drama tadi terjadi. Meja kayu berlapis kaca buram, penerangan seadanya dari lampu bohlam yang digantung rendah, membuat suasana terasa... tenang, hampir hangat.Rita duduk di depanku, tangannya memutar-mutar sendok di atas es jeruk. Ia belum banyak bicara sejak kami keluar dari café.Aku juga. Karena jujur... aku masih memproses semuanya.> “Maaf,” kata Rita tiba-tiba.Aku menatapnya. “Kenapa minta maaf?”> “Karena menciptakan badai di hadapan orang-orang. Karena menyentuhmu tanpa... izin penuh.”Aku menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku gak bisa ngelindungi diriku sendiri. Malah kamu yang turun tangan.”Rita tersenyum tipis.> “Kamu tahu, Raksa. Hidup ini kadang gak adil. Tapi aku benci kalau ada yang diam saja saat keadilan diinjak.”Aku diam.Lalu, dengan sedikit ragu, aku buka suara.> “Feby itu... dulu teman sekolahku. Waktu aku masih kurus, jelek, gak punya siapa-sia

  • Satu Wanita Satu Skill   Senyuman yang Penuh Rencana

    POV: FebyKamar berantakan. Lampu bohlam kekuningan memantul dari cermin bundar yang menempel di dinding. Aku duduk di depan meja rias, membenarkan lipstik merah muda di bibir yang sejak tadi kupoles ulang, berkali-kali.> "Kurir sok cool itu… berani banget sok jual mahal, ya."Kupetik ponsel dari pangkuan, membuka grup WhatsApp bernama "Geng Cakar Macan" — isi anggotanya cewek-cewek sosialita kampus dan beberapa cowok yang pernah ngelamar jadi pacarku tapi kutolak karena kurang ganteng atau kurang duit.Kutulis satu kalimat dan menyisipkan emot ketawa:> "Bentar lagi kalian bakal liat cowok kurir yang dulu ngarep banget sama aku. Sekarang makin ngarep 🤣""Malam ini, bakal aku bawa ke SKYHIGH. Siapin popcorn ya 😂"Kukirim.Notifikasi balasan langsung masuk:> Gisel: “Astaga Feb, kamu tega banget 😭” Intan: “Gue gasabar liat mukanya! Hahaha”Aku tersenyum. Bukan karena mereka tertawa, tapi karena aku mengendalikan panggung.Raksa. Dulu kamu tukang rayu murahan. Sekarang... kamu pikir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status