Pintu rumah Rita tidak dikunci. Saat aku mengetuk pelan, ia hanya menjawab dari dalam:
> “Masuk aja. Saya lagi di belakang.” Langkahku masuk ke rumah yang… terlalu rapi untuk orang yang katanya hidup sendiri. Ada wangi semacam bunga melati, bercampur dengan aroma softener dari sprei. Rumah ini tidak besar, tapi tiap sudutnya seperti memeluk dengan hangat. Aku menyusuri lorong pendek, mengikuti suara sendal Rita yang sesekali berbenturan dengan lantai keramik. Di ruangan belakang, Rita sedang membuka beberapa kotak karton. Botol-botol kaca berisi cairan bening dan warna-warni tergeletak rapi di meja kecil. Beberapa sudah dibuka dan menyebarkan aroma berbeda. > “Kamu tepat waktu juga. Sini, bantu ciumin, mana yang kira-kira paling cocok buat perempuan usia 30-an tapi belum kepikiran nikah lagi.” Aku nyengir. > “Deskripsinya tajam banget, Bu.” > “Fakta. Udah, cepet bantu.” Aku duduk di kursi kecil di seberangnya. Dia menyodorkan kapas aromaterapi dengan wewangian pertama. Manis, agak tajam di ujung hidung. > “Yang ini terlalu girly. Lebih cocok buat remaja yang baru kenal cinta.” > “Oke. Lanjut.” Dia sodorkan yang kedua. Lebih lembut, tapi punya sentuhan tanah dan kayu. > “Ini... baunya kayak seseorang yang pura-pura kuat. Tapi sebenernya rapuh.” Rita melirik cepat ke arahku. > “Kenapa kamu ngomong kayak gitu?” > “Karena saya pernah tinggal sama nenek saya yang baunya mirip ini. Dia selalu kuat... kecuali kalau malam.” Rita diam sejenak. Tangannya menahan tutup botol ketiga, tidak langsung dibuka. --- [NOTIFIKASI SISTEM] > MISI UTAMA DIMULAI – “AKTIFKAN SEMUA SKILL DASAR DALAM 30 HARI” Batas waktu: 30 Hari (dunia nyata) Sentuhan Halus Lv.1 (X) Sugesti Verbal Lv.1 (X) Harmoni Harem Lv.1 (X) Jika misi gagal: > Penurunan kepercayaan semua target: -30% Semua skill dikunci selama 14 hari Sistem akan memasuki fase pasif (tidak memberi misi baru) [CATATAN: Untuk memulai, aktifkan Skill Sentuhan dalam waktu 24 jam] --- Keringat dingin mengalir di punggungku. > “Sial. Ini bukan soal nyentuh perempuan sembarangan. Ini harus muncul dari refleks... dari momen emosional. Tapi gimana?” --- > “Kamu diem aja kenapa?” Suara Rita memotong lamunanku. Dia sudah membuka botol ketiga. > “Maaf, saya tadi... keinget sesuatu.” > “Cobain yang ini. Katanya best seller. Tapi saya ragu.” Aku mencium aromanya. Ada sesuatu yang mengingatkan pada malam, pada hujan, pada... pelukan yang ditahan. Aku menatap Rita, dan berkata pelan: > “Yang ini... baunya kayak seseorang yang pernah dicintai dengan sangat, tapi ditinggal tanpa penjelasan. Dia nggak nangis, tapi hatinya basah terus tiap malam.” --- Dia mematung. Tangannya menutup botol pelan, lalu memandangku. > “Kamu... puitis juga ternyata.” > “Saya cuma kebanyakan diem.” Dia duduk. Diam. Lalu berkata: > “Kamu tahu, saya... saya paling benci dikasihani. Tapi barusan, kata-kata kamu bikin saya diem.” > “Saya nggak kasihan, Bu. Saya hanya... ngerti.” --- Rita menarik napas, lalu pelan-pelan... menyentuh lenganku. Tidak lama, tidak juga mengelus. Tapi cukup untuk sistem bereaksi. --- [MISI AKTIF: “SENTUHAN REFLEKS” – BERHASIL ✅] > SKILL “SENTUHAN HALUS Lv.1” DIUNLOCK > Efek keintiman meningkat saat kontak fisik Emosi target lebih mudah naik saat bersentuhan Aktivasi pasif setiap kali disentuh wanita --- Aku tidak bergerak. Biarkan momen itu lewat. --- > “Udah sore. Kamu pulang gih,” katanya pelan. > “Kopinya belum saya balas, Bu.” > “Nanti aja. Besok mungkin. Kalau saya masih kepikiran kamu.” --- Aku berdiri dan melangkah ke depan pintu. Tapi sebelum membuka, aku menoleh. > “Bu.” > “Hmm?” > “Aroma terbaik hari ini... bukan dari parfum. Tapi dari caramu nyentuh lengan saya.” --- Dia tidak menjawab. Tapi aku tahu — sentuhan itu bukan cuma di kulit, tapi di pikirannya. --- Langkahku meninggalkan rumah Rita terasa aneh. Bukan canggung, bukan malu, tapi... seperti ada energi yang belum tuntas. Aku melewati gang kecil, menyusuri trotoar penuh pot bunga milik warga, sampai akhirnya duduk di bangku panjang depan warung seberang. Mataku memandangi langit yang mulai kemerahan. > “Kenapa jantung gue masih deg-degan?” Kupandangi telapak tangan sendiri. Entah kenapa, aku bisa merasakan bekas sentuhan Rita tadi. Bukan seperti bekas listrik statis, tapi lebih seperti... bekas getar emosi. --- [SISTEM AKTIF – STATUS UPDATE] > SKILL “SENTUHAN HALUS Lv.1” – AKTIF > Intensitas emosi meningkat saat bersentuhan Reaksi spontan target +30% terhadap kontak fisik ringan Efek bertahan hingga 12 jam --- > “Jadi sekarang… sentuhan bisa jadi senjata?” Aku mendesah pelan. Tapi sebelum bisa berpikir lebih jauh... --- [SISTEM: Misi Baru Diaktifkan] > MISI WAJIB: AKTIFKAN SKILL “SUGESTI VERBAL” Lv.1 DALAM 72 JAM Syarat: Mendapatkan pujian tulus dan emosional dari wanita dewasa Target utama: RITA Alternatif: WANITA LAIN (belum terdaftar dalam sistem) Jika gagal: > Efek karisma verbal dikurangi 50% Potensi manipulasi sosial tidak bisa digunakan selama 7 hari --- > “Pujian emosional, ya? Bukan sekadar ‘kamu keren’, tapi sesuatu yang keluar dari hati…” Aku bangkit dari duduk. Kepalaku masih penuh strategi. > “Kalau Rita terlalu defensif, aku harus cari opsi cadangan.” --- Sementara itu... Seorang wanita muda baru saja melewati ujung gang. Rambut panjang, wajah bersih tanpa makeup, bawa tas kain bertuliskan nama kampus. > “Mahasiswi magang?” Dia melirik ke arahku, lalu buru-buru menunduk. [SISTEM: TARGET POTENSIAL TERDETEKSI] > Nama: Dina Status: Mudah gugup, mudah percaya Lokasi: Ruko kosmetik sebelah toko Rita Status: Layak dieksplorasi --- Aku tersenyum tipis. > “Waktuku cuma 72 jam. Tapi siapa bilang satu target harus diselesaikan duluan?” --- Aku kembali melangkah, sambil berpikir bagaimana aku menyelesaikan misi ini, sedangkan kedua wanita ini saja masih dalam proses penaklukan ku, ataw aku mendekati dina saja.,.,? Haduuuhhh, wanita itu rumit sekali ternyata.,.,.,. Ataw aku yang terlalu bodohhhLokasi: Rumah Rita – Pagi HariLangit masih lembut saat aku membuka mata. Suara burung kecil menyapa dari balik tirai, diselingi aroma samar dari roti panggang dan kopi hitam. Sejenak aku bingung—bukan di kamarku. Oh iya... aku masih di rumah Rita.Tanganku menyentuh sisi kasur yang kini kosong.Dia sudah bangun duluan.Aku bangkit perlahan, duduk di tepi tempat tidur sambil mengumpulkan sisa-sisa momen semalam. Ciumannya masih hangat di ujung bibirku. Sentuhannya, suaranya, bahkan tatapannya… semua terlalu nyata untuk disebut sekadar "interaksi target".Terlalu… dalam.> [SISTEM: Kondisi tubuh stabil. Skill “Stamina” aktif ][Rekomendasi: Jaga ritme interaksi. Sistem menganalisis pola emosional target.]Sudah aktif ya?" gumamku. Aku berjalan ke jendela. Dari sela-sela tirai, kulihat dia di halaman depan. Memakai hoodie tipis warna krem, Rita sedang menyiram tanaman. Rambutnya dikuncir ke atas, wajahnya terlihat tenang—dan... bahagia?Seolah-olah tak ada sistem. Tak ada misi. Tak ada
Hujan belum berhenti sejak sore. Rintiknya seperti tak mau kalah bersaing dengan debar di dadaku. Aku duduk di tepi kasur, mengenakan kaus pinjaman dari Rita dan celana pendek yang sudah sedikit kebasahan tadi. Badanku masih hangat seusai mandi. Tapi ada yang lebih hangat dari itu—suara langkahnya yang mendekat perlahan dari dapur.Rita muncul dengan rambut basah, mengenakan daster tipis warna lavender yang hampir menyatu dengan kulitnya. Ia membawa dua cangkir cokelat panas, lalu meletakkan salah satunya di meja kecil di samping tempat tidurku.> “Kopi malam-malam itu bikin dada deg-degan. Jadi aku buatin cokelat, ya,” ucapnya.Aku hanya mengangguk. Tenggorokanku terasa kering, padahal baru saja mandi. Bukan karena cokelatnya, tapi karena tatapannya… hangat tapi menyelidik. Dia tidak banyak bicara malam ini. Tapi setiap geraknya terasa seperti percakapan panjang yang tidak diucapkan.Ia duduk di sisi ranjang, sedikit membelakangi aku, mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Aku b
Pagi ini, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah gorden ruang tamu rumah Rita. Aromanya sudah berbeda. Bukan karena sabun cuci piring, atau kopi sachet yang biasa kubawa sendiri, tapi… karena ini rumah orang yang membuat detak jantungku tidak berjalan wajar sejak kemarin.Aku duduk di kursi makan, mengenakan kaus hitam dan celana training pinjaman Rita. Di depanku, ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang digoreng setengah matang—bau bawangnya kuat, tapi menggoda. Di hadapanku, Rita—dengan kaus putih longgar dan celana pendek kain—terlihat seperti bukan janda… tapi wanita yang nyaman dengan rumahnya sendiri. Dan denganku, pagi ini.> "Kalau kamu bisa tahu isi hati cewek," katanya tiba-tiba, "kamu bakal pakai buat apa?"Aku berhenti mengunyah. Tanganku menggenggam sendok yang masih penuh nasi goreng. Aku menatapnya, mencoba menebak: pertanyaan iseng? Atau ujian?> "Tergantung," jawabku hati-hati. "Kalau buat nyakitin, nggak akan aku pakai. Tapi kalau bisa buat mereka te
Lokasi: Rumah Rita -- keesokan harinya.Udara malam tak terlalu dingin, tapi suasana hatiku terasa beku.Motor kuparkir pelan di depan rumah Rita. Lampu terasnya menyala lembut, warna kuning remang-remang seperti mengundang, tapi juga menenangkan. > "Raksa? Udah selesai kerja?"Suara Rita.> "Iya, Bu.."> "Masuk,, udah malam. Aku lagi bikin wedang jahe"Nada suara itu ringan… tapi dalam. Seperti tahu apa yang terjadi, dan tahu persis bagaimana aku merasa.Aku masuk pelan, melepas sepatu di teras. Rumahnya hangat—bukan karena suhu, tapi karena aroma rempah dari dapur, cahaya kuning yang menenangkan, dan… cara Rita menatapku.Dia mengenakan daster batik sederhana, rambut digelung asal. Tapi aura dewasanya tetap terpancar, tak bisa disembunyikan.> "Duduk. Aku ambilin wedang dulu."Aku duduk di sofa kecil ruang tengah. Tak banyak hiasan di rumah ini, tapi semuanya terasa tertata, bersih, dan berkarakter.Rita datang dengan dua gelas. Tangannya hangat saat menyerahkan gelas padaku.> "Te
Lalu kami pun makan bersama, Kami duduk di pojok sebuah kedai makan sederhana, tak jauh dari café tempat drama tadi terjadi. Meja kayu berlapis kaca buram, penerangan seadanya dari lampu bohlam yang digantung rendah, membuat suasana terasa... tenang, hampir hangat.Rita duduk di depanku, tangannya memutar-mutar sendok di atas es jeruk. Ia belum banyak bicara sejak kami keluar dari café.Aku juga. Karena jujur... aku masih memproses semuanya.> “Maaf,” kata Rita tiba-tiba.Aku menatapnya. “Kenapa minta maaf?”> “Karena menciptakan badai di hadapan orang-orang. Karena menyentuhmu tanpa... izin penuh.”Aku menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku gak bisa ngelindungi diriku sendiri. Malah kamu yang turun tangan.”Rita tersenyum tipis.> “Kamu tahu, Raksa. Hidup ini kadang gak adil. Tapi aku benci kalau ada yang diam saja saat keadilan diinjak.”Aku diam.Lalu, dengan sedikit ragu, aku buka suara.> “Feby itu... dulu teman sekolahku. Waktu aku masih kurus, jelek, gak punya siapa-sia
POV: FebyKamar berantakan. Lampu bohlam kekuningan memantul dari cermin bundar yang menempel di dinding. Aku duduk di depan meja rias, membenarkan lipstik merah muda di bibir yang sejak tadi kupoles ulang, berkali-kali.> "Kurir sok cool itu… berani banget sok jual mahal, ya."Kupetik ponsel dari pangkuan, membuka grup WhatsApp bernama "Geng Cakar Macan" — isi anggotanya cewek-cewek sosialita kampus dan beberapa cowok yang pernah ngelamar jadi pacarku tapi kutolak karena kurang ganteng atau kurang duit.Kutulis satu kalimat dan menyisipkan emot ketawa:> "Bentar lagi kalian bakal liat cowok kurir yang dulu ngarep banget sama aku. Sekarang makin ngarep 🤣""Malam ini, bakal aku bawa ke SKYHIGH. Siapin popcorn ya 😂"Kukirim.Notifikasi balasan langsung masuk:> Gisel: “Astaga Feb, kamu tega banget 😭” Intan: “Gue gasabar liat mukanya! Hahaha”Aku tersenyum. Bukan karena mereka tertawa, tapi karena aku mengendalikan panggung.Raksa. Dulu kamu tukang rayu murahan. Sekarang... kamu pikir