Motor belum juga kuhidupkan. Suaranya hanya sunyi, seperti pikiranku yang belum juga mengambil keputusan. Feby baru saja pergi, menyisakan aroma teh dingin di meja, dan kalimat yang masih menggantung:
> “Kalau sempat, mampir ke rumah aku, ya. Aku lagi sendirian.” Suara sistem sempat berbisik, menawarkan dua pilihan. Tapi aku... diam. Diam terlalu lama. Sampai akhirnya, kupilih untuk pulang saja, dan membiarkan malam melarutkan semua euforia yang belum jelas arahnya. --- [Di Dalam Kamar Kos – 22.47 WIB] Kipas angin tua memutar perlahan di langit-langit. Satu-satunya suara selain napasku sendiri. Aku duduk di lantai, bersandar ke dinding, dan membuka laci kecil di bawah meja lipat. Di dalamnya ada buku catatan yang sudah menguning. Kubuka pelan. Halaman pertama berisi nama-nama teman sekelas saat SMA. Di tengah, ada coretan tebal berbentuk lingkaran besar. Dan di ujung halaman belakang, aku menulis ini dulu: > “Kalau suatu hari aku hilang, semoga mereka sadar, mereka kehilangan orang yang sabar.” Aku hampir tertawa. Tapi yang keluar malah dengusan kecil bercampur perih. --- [Sistem Tidak Bersuara, Tapi Tetap Hidup] > 【Pilihannya masih tersedia: Feby / Rita】 【Sisa waktu misi Sugesti Verbal: 66 jam 03 menit】 Kupandangi notifikasi itu lama-lama. Seolah berharap ada pilihan ketiga. Tapi hidup gak pernah seromantis novel cinta. --- Dialog Internal MC: > “Feby cepat, tapi licik.” “Rita lambat, tapi nyata.” “Kalau aku jatuh ke perangkap Feby, aku mungkin gak bakal bisa bangkit. Tapi kalau aku bisa menyentuh hati Rita... mungkin aku bisa menyentuh siapa pun.” Kupeluk lututku, duduk lebih dalam ke lantai. > “Dulu aku dikatain miskin, cupu, gak akan laku.” “Sekarang, mereka minta aku mampir... dan ngajak ciuman.” Aku menunduk, menatap telapak tangan sendiri. Masih kasar. Masih lelaki kurir biasa. Tapi ada sesuatu yang berbeda sekarang. > “Sistem ini... bukan soal cinta.” “Ini soal harga diri.” --- [Sistem Merespons] > 【Target dikunci: RITA】 【Alasan pengguna: Stabilitas emosi & kedalaman relasi】 【Rekomendasi sistem: Pendekatan emosional mendalam selama 24 jam ke depan】 --- Aku menutup buku, menyelipkannya lagi ke bawah meja. Kupandangi langit-langit kos. Membayangkan sembilan wajah yang entah siapa saja. > “Sembilan luka, sembilan misi. Tapi dendamku pada dunia cuma satu: Buktiin kalau aku layak dicintai… walau dulu mereka nggak pernah mau lihat.” --- Sistem tidak memaksaku. Tapi aku tahu waktu terus berjalan. Dan mulai malam ini, aku berhenti jadi lelaki yang dikejar luka. Sekarang aku yang akan mengejar—bukan cinta… Tapi kekuasaan atas luka itu sendiri. --- Pagi harinya, udara kota masih berbau basah sisa hujan semalam. Jalanan belum ramai. Aku menyalakan motor lebih pagi dari biasanya. Bukan karena tugas kantor, tapi karena notifikasi yang sempat menggelitik sebelum tidur: > 【Target dikunci: RITA】 【Efek Sugesti Verbal Lv.1 – Pra-aktif. Percakapan hari ini bisa memicu aktivasi penuh】 【Saran sistem: gunakan empati tulus, bukan taktik manipulasi】 Aku tidak sepenuhnya paham bagaimana empati bisa diukur sistem. Tapi satu hal yang aku tahu—aku ingin bertemu Rita. Bukan karena misi, tapi karena... dia membuatku ingin jadi versi yang lebih jujur dari diriku. --- [Di Rumah Rita – 07.13 WIB] Gerbang rumahnya belum terkunci. Seperti kemarin. Tapi hari ini, ada suara musik dari dalam. Lembut, lagu lawas. Kusapa dari luar, sedikit ragu. > "Bu Rita? Paket lagi, nih." Tidak ada jawaban. Tapi daun pintu bergerak terbuka. Rita muncul, mengenakan gamis rumahan bermotif bunga kecil. Rambutnya masih sedikit basah. Wajahnya tanpa make up, tapi entah kenapa—justru lebih sulit untuk tidak menatap. > "Mas Raksa. Wah, cepet banget. Masuk aja, ya. Aku lagi nyeduh teh." Aku ragu, tapi akhirnya melangkah pelan ke dalam. --- Di ruang tamu, aromanya khas sekali. Campuran teh melati dan parfum feminin yang samar, seperti kenangan yang belum sepenuhnya pergi. > "Mau duduk di mana? Di sini aja ya, lebih adem." Dia menunjuk sofa tua dekat jendela. Aku duduk. Tanganku masih menggenggam kotak kecil dari supplier kosmetik luar. Tapi pikiranku jauh lebih sibuk dari itu. Rita datang membawa dua cangkir teh. > "Aku suka teh, bukan kopi. Tapi katanya teh itu bisa bikin orang lebih tenang." > "Saya cocok. Kayaknya saya lagi butuh tenang." Dia tertawa kecil, lalu duduk di seberangku. Untuk sesaat, tidak ada suara selain denting sendok kecil di pinggir gelas. > "Kamu tahu, Raksa... aku itu sebenarnya nggak gampang nerima orang ke rumah." Aku menatapnya. “Tapi saya dua kali datang dan dua kali disuruh masuk?” > "Itu dia. Makanya aku heran sendiri." --- Dia mulai bercerita pelan. Tentang masa lalu. Tentang pernikahan yang retak. Tentang lelaki yang meninggalkannya demi wanita yang lebih muda—lebih cantik, lebih... “hidup”. > "Aku waktu itu kayak tisu. Dipakai, dibuang. Gak sempat bilang apa-apa." Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku tidak ingin menghibur dengan klise. > "Kadang luka gak butuh diobatin, Bu. Cuma butuh dimengerti." Dia mendongak perlahan. Matanya berkaca-kaca, tapi dia menahan. > "Kamu tahu cara ngomong yang bikin orang pengen nangis, ya?" Aku hanya tersenyum tipis. Dalam hatiku, sistem berbunyi pelan: --- [SISTEM: SKILL “SUGESTI VERBAL” DIAKTIFKAN] > 【Level: 1】 【Efek: Peningkatan resonansi emosional. Ucapan pengguna dapat memicu respon afektif mendalam.】 【Status: Aktif – Efek berlangsung selama 24 jam ke depan pada target RITA】 --- Tapi aku tidak bangga. Justru... aku makin merasa ini bukan cuma soal skill. Ini tentang keberanian mendengar, bukan hanya memikat. > "Bu..." > "Iya?" > "Kalau suatu hari saya... berani bilang, saya pengen kenal lebih dalam... ibu bakal marah nggak?" Dia menatapku dalam-dalam. > "Aku gak janji bakal percaya, Raksa. Tapi... aku janji gak akan lari." --- Sistem diam. Tidak ada pujian. Tidak ada reward. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa… bukan sistem yang membuatku bergerak. Rita yang membuatku ingin tetap tinggal. --- Aku berjalan keluar dari rumah Rita dengan langkah pelan. Udara masih sejuk, tapi hatiku terasa hangat. Bukan karena teh. Bukan karena percakapan kami. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku merasa... aku didengar. > "Aku gak janji bakal percaya, Raksa. Tapi... aku janji gak akan lari." Kalimat itu terus terputar di kepalaku. Sistem diam sejak tadi. Tapi langkahku seperti dipandu—oleh keyakinan baru, bukan notifikasi. --- [Di Atas Motor – Siang Hari] Kupasang helm, tapi tak langsung menyalakan mesin. Hari ini terasa berbeda. Lebih tenang. Tapi juga lebih… berat. > “Rita bukan sekadar target. Dia manusia. Luka hidup. Dan aku bukan dewa penyembuh.” Aku membuka layar sistem, dan di sanalah bar baru muncul—memanjang dari sisi kanan: “Progress MC: 35% tahap awal.” --- [NOTIFIKASI SISTEM: PENGUNCIAN ARAH MISI] > 【SKILL AKTIF SAAT INI:】 V Tatapan Halus V Sentuhan Halus V Sugesti Verbal > 【SKILL TERKUNCI:】 X Dominasi Lembut X Harmoni Harem X . Stamina > 【SISA WAKTU: 64 JAM 52 MENIT】 > Misi utama akan naik ke fase 2 setelah 4 skill aktif. > ! Jika pengguna gagal mengaktifkan skill ke-4 sebelum tenggat, maka efek sistem akan melemah secara permanen selama 30 hari. -- Aku mengerutkan kening. Jadi ini bukan sekadar permainan rasa lagi. > “Kalau aku terlalu lambat, sistem sendiri akan menghukumku?” Aku kembali membuka halaman lain dari sistem. Di sana muncul layar baru: --- [MISI BARU DIBUKA – TINGKAT EMOSIONAL B] > Judul: Dua Luka, Satu Rencana Deskripsi: “Dekati target Feby kembali untuk memicu konflik emosional yang dibutuhkan dalam pembukaan skill berikutnya. Perlu menciptakan friksi emosional yang nyata.” Reward: Skill "Dominasi Lembut" aktif Resiko: Jika Rita dan Feby mengetahui keterlibatan ganda sebelum skill Harmoni terbuka, maka keduanya bisa keluar dari sistem. --- Aku mengusap wajah. Nafasku berat. Kini semuanya jadi lebih rumit. Aku harus memilih: Fokus memperdalam hubungan dengan Rita, perlahan tapi aman, Atau kembali ke Feby untuk mempercepat progress... tapi risiko tinggi. > “Rasanya aku sedang bermain api di dua sisi. Satu sisi hangat. Satu sisi... bisa membakar.” Kupandangi layar sistem yang masih terbuka. Di bagian paling bawah, satu tulisan kecil mulai berkedip. --- Aku mematikan sistem. Menatap jauh ke depan. Jalanan sepi. Tapi pikiranku bising. > “Kalau sembilan wanita menungguku... berapa luka yang harus kupahami lebih dulu?” --- Langkah pertamaku bukan tentang mencintai mereka. Tapi memahami bahwa di balik senyum, ada perang. Dan aku harus menang… bukan atas mereka, tapi atas diriku sendiri. ---Lokasi: Rumah Rita – Pagi HariLangit masih lembut saat aku membuka mata. Suara burung kecil menyapa dari balik tirai, diselingi aroma samar dari roti panggang dan kopi hitam. Sejenak aku bingung—bukan di kamarku. Oh iya... aku masih di rumah Rita.Tanganku menyentuh sisi kasur yang kini kosong.Dia sudah bangun duluan.Aku bangkit perlahan, duduk di tepi tempat tidur sambil mengumpulkan sisa-sisa momen semalam. Ciumannya masih hangat di ujung bibirku. Sentuhannya, suaranya, bahkan tatapannya… semua terlalu nyata untuk disebut sekadar "interaksi target".Terlalu… dalam.> [SISTEM: Kondisi tubuh stabil. Skill “Stamina” aktif ][Rekomendasi: Jaga ritme interaksi. Sistem menganalisis pola emosional target.]Sudah aktif ya?" gumamku. Aku berjalan ke jendela. Dari sela-sela tirai, kulihat dia di halaman depan. Memakai hoodie tipis warna krem, Rita sedang menyiram tanaman. Rambutnya dikuncir ke atas, wajahnya terlihat tenang—dan... bahagia?Seolah-olah tak ada sistem. Tak ada misi. Tak ada
Hujan belum berhenti sejak sore. Rintiknya seperti tak mau kalah bersaing dengan debar di dadaku. Aku duduk di tepi kasur, mengenakan kaus pinjaman dari Rita dan celana pendek yang sudah sedikit kebasahan tadi. Badanku masih hangat seusai mandi. Tapi ada yang lebih hangat dari itu—suara langkahnya yang mendekat perlahan dari dapur.Rita muncul dengan rambut basah, mengenakan daster tipis warna lavender yang hampir menyatu dengan kulitnya. Ia membawa dua cangkir cokelat panas, lalu meletakkan salah satunya di meja kecil di samping tempat tidurku.> “Kopi malam-malam itu bikin dada deg-degan. Jadi aku buatin cokelat, ya,” ucapnya.Aku hanya mengangguk. Tenggorokanku terasa kering, padahal baru saja mandi. Bukan karena cokelatnya, tapi karena tatapannya… hangat tapi menyelidik. Dia tidak banyak bicara malam ini. Tapi setiap geraknya terasa seperti percakapan panjang yang tidak diucapkan.Ia duduk di sisi ranjang, sedikit membelakangi aku, mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Aku b
Pagi ini, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah gorden ruang tamu rumah Rita. Aromanya sudah berbeda. Bukan karena sabun cuci piring, atau kopi sachet yang biasa kubawa sendiri, tapi… karena ini rumah orang yang membuat detak jantungku tidak berjalan wajar sejak kemarin.Aku duduk di kursi makan, mengenakan kaus hitam dan celana training pinjaman Rita. Di depanku, ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang digoreng setengah matang—bau bawangnya kuat, tapi menggoda. Di hadapanku, Rita—dengan kaus putih longgar dan celana pendek kain—terlihat seperti bukan janda… tapi wanita yang nyaman dengan rumahnya sendiri. Dan denganku, pagi ini.> "Kalau kamu bisa tahu isi hati cewek," katanya tiba-tiba, "kamu bakal pakai buat apa?"Aku berhenti mengunyah. Tanganku menggenggam sendok yang masih penuh nasi goreng. Aku menatapnya, mencoba menebak: pertanyaan iseng? Atau ujian?> "Tergantung," jawabku hati-hati. "Kalau buat nyakitin, nggak akan aku pakai. Tapi kalau bisa buat mereka te
Lokasi: Rumah Rita -- keesokan harinya.Udara malam tak terlalu dingin, tapi suasana hatiku terasa beku.Motor kuparkir pelan di depan rumah Rita. Lampu terasnya menyala lembut, warna kuning remang-remang seperti mengundang, tapi juga menenangkan. > "Raksa? Udah selesai kerja?"Suara Rita.> "Iya, Bu.."> "Masuk,, udah malam. Aku lagi bikin wedang jahe"Nada suara itu ringan… tapi dalam. Seperti tahu apa yang terjadi, dan tahu persis bagaimana aku merasa.Aku masuk pelan, melepas sepatu di teras. Rumahnya hangat—bukan karena suhu, tapi karena aroma rempah dari dapur, cahaya kuning yang menenangkan, dan… cara Rita menatapku.Dia mengenakan daster batik sederhana, rambut digelung asal. Tapi aura dewasanya tetap terpancar, tak bisa disembunyikan.> "Duduk. Aku ambilin wedang dulu."Aku duduk di sofa kecil ruang tengah. Tak banyak hiasan di rumah ini, tapi semuanya terasa tertata, bersih, dan berkarakter.Rita datang dengan dua gelas. Tangannya hangat saat menyerahkan gelas padaku.> "Te
Lalu kami pun makan bersama, Kami duduk di pojok sebuah kedai makan sederhana, tak jauh dari café tempat drama tadi terjadi. Meja kayu berlapis kaca buram, penerangan seadanya dari lampu bohlam yang digantung rendah, membuat suasana terasa... tenang, hampir hangat.Rita duduk di depanku, tangannya memutar-mutar sendok di atas es jeruk. Ia belum banyak bicara sejak kami keluar dari café.Aku juga. Karena jujur... aku masih memproses semuanya.> “Maaf,” kata Rita tiba-tiba.Aku menatapnya. “Kenapa minta maaf?”> “Karena menciptakan badai di hadapan orang-orang. Karena menyentuhmu tanpa... izin penuh.”Aku menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku gak bisa ngelindungi diriku sendiri. Malah kamu yang turun tangan.”Rita tersenyum tipis.> “Kamu tahu, Raksa. Hidup ini kadang gak adil. Tapi aku benci kalau ada yang diam saja saat keadilan diinjak.”Aku diam.Lalu, dengan sedikit ragu, aku buka suara.> “Feby itu... dulu teman sekolahku. Waktu aku masih kurus, jelek, gak punya siapa-sia
POV: FebyKamar berantakan. Lampu bohlam kekuningan memantul dari cermin bundar yang menempel di dinding. Aku duduk di depan meja rias, membenarkan lipstik merah muda di bibir yang sejak tadi kupoles ulang, berkali-kali.> "Kurir sok cool itu… berani banget sok jual mahal, ya."Kupetik ponsel dari pangkuan, membuka grup WhatsApp bernama "Geng Cakar Macan" — isi anggotanya cewek-cewek sosialita kampus dan beberapa cowok yang pernah ngelamar jadi pacarku tapi kutolak karena kurang ganteng atau kurang duit.Kutulis satu kalimat dan menyisipkan emot ketawa:> "Bentar lagi kalian bakal liat cowok kurir yang dulu ngarep banget sama aku. Sekarang makin ngarep 🤣""Malam ini, bakal aku bawa ke SKYHIGH. Siapin popcorn ya 😂"Kukirim.Notifikasi balasan langsung masuk:> Gisel: “Astaga Feb, kamu tega banget 😭” Intan: “Gue gasabar liat mukanya! Hahaha”Aku tersenyum. Bukan karena mereka tertawa, tapi karena aku mengendalikan panggung.Raksa. Dulu kamu tukang rayu murahan. Sekarang... kamu pikir