Share

5. Amarah yang memuncak.

last update Last Updated: 2024-08-05 11:13:34

Pov. Ana

Hari ini cuaca pagi sangat cerah, secerah hatiku yang sedang bahagia. Bahagia karena baru saja mendapatkan jatah uang belanja tambahan dari suami tersayang.

Aku mencuci piring sambil bersenandung riang, memang benar kata orang tua. Jika hati riang semua pekerjaan terasa ringan dikerjakan. Kebetulan sisa rendang semalam masih ada, jadi aku tidak masak lagi hari ini.

"Mbak! Mbak Ana!" Panggil Sri sambil mengetuk pintu rumahku.

Aishhh ... baru saja aku merasakan ketenangan, justru sekarang si pengacau sudah nongol aja pagi-pagi begini! Bikin hilang Mood. Malas rasanya membukakan pintu untuknya.

"Mbak ... Mbak Ana! Buka pintunya Mbak!" teriak wanita itu lagi.

Aku yang masih mencuci piring jadi terpaksa dengan cepat menyelesaikan kegiatan mencuci piringku yang tinggal dua buah lagi. Dengan langkah yang malas aku menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Aku gak mau Sri menyelonong masuk lagi ke dalam rumahku seperti yang sudah-sudah.

"Ada apa? Pagi-pagi udah heboh di rumah orang!" jawabku ketus.

Aku memandang tak suka dengan kehadirannya di hadapanku, orang seperti dia pantang jika dibaik-baikin, pasti ngelunjak.

"Ishhh ... Mbak Ana, masih pagi udah judes banget mukanya," sahutnya lembut, yang kutanggapi dengan memutar bola mataku jengah. Jadi pingin muntah mendengar nada manis yang keluar dari bibirnya.

"Itu apaan yang kamu bawa, Sri? Mau minggat kamu?" Mataku menangkap tas gede yang ada di bawah Sri. Apa lagi yang mau di lakukan perempuan ini di rumahku?

"Ishhh ... Mbak Ana ini, siapa juga yang mau minggat. Ini tu pakaian kotor aku dan Mas Hari sama Biba, rencananya aku mau numpang nyuci di rumah Mbak. Boleh ya, Mbak?" pintanya seraya nyengir. Ya Robby ... Dia pikir rumahku ini tempat laundry, apa?!

"Ngak! Ngak bisa! Aku juga mau nyuci, kamu cuci di rumahmu sendiri saja sana!" tolakku mentah-mentah. Bisa berantakan semua rumahku nanti dia buat.

"Ya ampun, Mbak! Di rumahku kan tidak ada mesin cuci, lagi pula cucianku ini tidak banyaknya. Jangan pelit-pelit sama saudara kenapa mbak, aku juga lagi gak enak badannya Mbak. Lagi pula sekali-sekalinya aku minta tolong sama, Mbak," ujarnya lagi.

Sri memasang wajah mengiba padaku. Bikin aku jadi serba salah, inilah susahnya jadi orang yang mudah tak enakkan.

Aku menghela napas panjang. "Ya sudah, bawa ke belakang sana! Tapi ingat jangan berantakan! Aku gak suka dapurku jadi banjir dan becek!" ucapku memperingatinya.

Sri masuk ke dalam rumahku dengan riang, tangannya membawa tas yang berisi penuh pakaian, entah sudah berapa hari wanita itu tidak mencuci.

"Mbak! Susunan dapur Mbak diubah, ya? Kulkas, Mbak letak di mana?" tanya Sri.

Nah mulai lagi kan, pasti dia mau ngincar isi kulkasku, untung sudah kupindahin kekamar, kalau tidak bisa tekor lagi!

"Memangnya kenapa Sri?" tanyaku menyelidik. Menoleh ke arah wanita berdaster itu yang tengah berdiri di lorong menuju dapur. Matanya tampak liar meneliti setiap sudut dapurku.

"Nggak ada apa-apa sih, Mbak. Jadi terlihat lapang saja," sahut perempuan itu sambil terkekeh canggung.

"Sudah cepat nyuci sana, awas kalau sampai dapurku berantakan dan becek!"

"Iya, Mbak! Iya. Cerewet banget sih!" Sri mencebikkan bibir padaku.

Tak kupedulikan perkataannya, kumpaskan pantat seksiku ini ke atas sofa. Menghidupkan televisi dan menikmati film sambil mengunyah rempeyek yang ada di toples. Aku ingin bersantai dulu.

Biarkan saja Sri di belakang, terpenting semua bahan makananku sudah aman. Untuk kulkas yang ada di kamar, aku tidak perlu khawatir karena Sri tidak akan berani masuk kedalam kamar orang lain tanpa izin.

Itulah kelebihan yang dimiliki perempuan itu, mungkin didikan orang tuanya. Sekurang ajarnya ia, Sri tidak akan masuk kedalam area kamar. Paling sekedar area dapur dan ruang tamu yang habis dijarah olehnya.

~ ~ ~

"Mbak, aku pulang dulu, ya. Cucianku sudah siap semua, tenang saja. Dapur mbak gak berantakan, kok. Malah bersih!" ucap Sri yang baru keluar dari dapur dan berjalan menuju rumahnya.

Aku tidak menjawab perkataanya, entah kenapa perasaanku tidak enak melihat senyum yang terukir di bibirnya itu. Seperti ada sesuatu yang ... entahlah. Aku juga bingung mengartikannya

Karena asik menonton dan bermain gawai, membuatku tidak sadar jika sudah satu jam waktu berlalu.

Semerbak bau wangi tercium dari dalam tas yang ia bawa. Aroma pewangi pakaian yang begitu aku kenal menyadarkanku. Karena penasaran aku bergegas menuju dapurku. Seketika mataku terbelalak melihat susunan rak yang berada di atas mesin cuci, bersebelahan dengan pintu kamar mandiku.

Sabun cuci yang satu toples penuh tinggal seperempat, pewangi pakaian rentengnya masih satu lusin tinggal lima bungkus. Sabun mandi lima buah tinggal dua. Semua habis diangkut perempuan hantu itu, tapi ... bukan itu yang menjadi titik fokusku, melainkan sebuah kotak kecil yang berada di rak paling atas dari barang-barang yang kusebut tadi.

Ada sesuatu yang hilang di sana dan aku yakin kalau aku meletakkannya di sana tadi, saat aku sedang mandi dan lupa untuk mengambilnya kembali. Aku yakin sekali Sri lah pelakunya.

"Sri ...! Kurang ajar kamu, Sri!" teriakku histeris.

Darahku mendidih, sungguh panas hati ini melihat itu semua. Aku menyingsingkan lengan bajuku sampai ke bahu, lengan pendek baju daster berwarna kuning yang kukenakan. Dengan emosi yang meletup-letup aku melangkah kasar ke rumah tetangga sebelah. Siap tempur!

Door! Door! Door!

Kupukul kasar pintu tetangga sebelah sampai dinding sedikit bergetar karena kuatnya.

"Sri, keluar kamu! Keluar! Dasar manusia tidak tahu diuntung! Sudah dikasih hati minta jantung. Keluar kamu sekarang, Sri! Keluar!" teriakku seperti kesetanan.

Bukannya Sri yang keluar, justru tetangga sebelah rumah yang pada berdatangan untuk mengintip. Selama tinggal di kontrakan ini, aku adalah warga yang tidak pernah membuat gaduh, tapi kali ini, aku sudah tidak tahan lagi. Tak kupedulikan beberapa pasang mata yang mulai menatapku penasaran.

Aku tidak perduli banyaknya pasang mata yang menonton, terpenting hari ini akan kuberi pelajaran saudara dari neraka ini. Berani-beraninya dia mengambil barang-barangku tanpa izin dariku.

"Cepat keluar, Sri! Keluar kamu, sebelum kudobrak pintu rumahmu, ini! KELUAR KAMU SRI!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saudara celamitan dari Neraka!   68. Wanita bercadar.

    Hari ini Mas Wahyu mengambil cuti, dia pergi ke rumah keluarga Hadi dari jam sembilan tadi. Aku yang kesepian memutuskan untuk main ke rumah Mbak Clara.Kami duduk di bawah batang jambu citra yang berdaun rimbun di halaman rumahnya. Di atas meja tersedia teh hangat dengan sekotak donat dari toko kue kesukaanku. "Ada apa, wajahmu tampak sedang cemas begitu?" tanya Mbak Clara seraya mencomot sebuah donat bertoping stoberry."Gak ada ada apa-apa, Mbak," jawabku bohong. Aku ingin bercerita banyak hal padanya, hanya saja takut akan sampai ke telinga orang tuaku nantinya. "Banyak bohong. Pasti kamu pusing dengan masalah saudara suamimu itu kan?" "Nggak kok, Mbak sok tahu aja. Lagian itu kan urusan mereka, kenapa juga aku harus mikirinnya," dalihku karena masih bingung mau cerita dari mana. Aku menghindari tatapan mata Mbak Clara yang menatapku menyelidik. "Jangan bohong. Kamu tidak berbakat bohong sama Mbak. Kamu lagi mikirin sepupu Wahyu itu kan," balas Mbak Clara seakan tahu isi hati

  • Saudara celamitan dari Neraka!   67. Teror hutang.

    "Astagfirullah, Bu. Ayo berdiri!" Kutarik dengan susah payah tubuhnya untuk kembali duduk di sofa bersamaku. "Tidak. Saya tidak akan berdiri sebelum Mbak Anna mau emnolong saya. Saya bahkan tidak akan pulang ke rumah bila perlu," ujarnya terdengar seperti mengancam.Aku tercengang dengan sikapnya yang begitu keras. Tapi masalahnya bukan aku yang menggunakan uang itu, lalu kenapa aku yang ditekan di sini?"Percuma Mama Rafka mau berkeras di sini. Lebih baik Mama Rafka pulang saja dulu ke rumah, nanti saya sama suami saya akan ke rumah orang tua Sri untuk mendiskusikan masalah uang-uang yang tidak dikembalikannya," saranku padanya. Jemari kurusku pun memijit pelipis karena kepalaku mulai berdenyut. Masalah yang sudah dibuat Sri seakan tiada habisnya dan aku yang tak tahu apa-apa jadi getahnya. "Mbak Ann. Jangan zholim sama saya Mbak.""Loh, saya zholim apa sama Bu Handoyo?" Aku yang terkejut tanpa sadar mulai meninggikan nada suaraku. Dengab perut yang membuncit aku berusaha bangkit

  • Saudara celamitan dari Neraka!   66. Kena getahnya.

    "Di mana Hadi, Bulek? Kenapa dia tidak ke rumah sakit menemui istrinya?" Aku tak menyangka suamiku itu akan langsung bertanya tentang sepupunya itu. Bulek Darsih tersenyum masam. Dia seperti enggan untuk menjawab pertanyaan kami, tapi karena Mas Wahyu terus mengulang pertanyaan yang sama akhirnya Bulek pun menjawab dengan ketus. "Untuk apa dia ke rumah sakit? Biarkan saja wanita itu mengurus dirinya sendiri di sana. Kamu tahu dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu pada saudaramu Wahyu. Dan kamu hanya diam saja tanpa membantu." "Aku harus membantu apa? Hadi sebagai suami yang selama ini terlalu memanjakan istrinya. Sekarang saja karena sudah dapat wanita lain makanya berubah," jawab Mas Wahyu dingin. Sorot mata Bulek Darsih tak lagi bersahabat. Aku menyuruh Habibah untuk masuk ke dalam kamar, tak baik untuk anak kecil sepertinya mendengarkan keributan orang tua. Di tambah yang sedang di bahas saat ini adalah ibu kandungnya. "Kamu juga memanjakan istrimu tapi buktinya h

  • Saudara celamitan dari Neraka!   65. Jatuh tertimpa tangga.

    Pov. Anna"Mas, kasihan Sri, ya."Aku menoleh menatap suamiku yang tengah menyetir mobil, pandangan matanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus menatap jalan. "Kasihan kenapa?" "Apa kamu gak merasa Mas. Tatapan mata Sri beda dari biasanya, dia nampak banyak berubah," ujarku bingung menjelaskan sudut pandangku padanya. "Berubah bagaimana? Mungkin karena lagi terkena musibah makanya dia tampak lebih tenang, tidak pecicilan seperti dulu," balas Mas Wahyu santai. Matanya masih fokus menatap jalan raya yang tengah ramai. Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mas Wahyu ada benarnya juga. Masalah yang datang padanya bertubi-tubi, ibarat jatuh tertimpa tangga. "Hadi tidak datang. Apa benar dia ada di rumah menjaga anaknya?" "Entahlah, Mas," jawabku singkat. Aku malas melanjut pembahasan tentangnya. Pertanyaan Mas Hadi membuatku teringat atas apa yang dikatakan Ibu Sri padaku. Wanita tua modis itu tampak tak ikhlas merawat anaknya sendiri. Aku jadi mengerti alasan kenapa S

  • Saudara celamitan dari Neraka!   64. Mendung di pagi hari.

    Aku tersentak bangun dengan dada yang naik turun secara cepat. Jantungku seakan tengah melompat-lompat. Rasa nyeri di kepala kembali mendera. Langit-langit plafon berwarna putih serta bau obat serta antiseptik begitu menusuk hidung. Tanpa bertanya tentu aku sudah tahu dimana aku berada saat ini. Aku menoleh ke samping, kudapati wajah wanita yang masih kencang walau usianya telah menua itu menatapku sinis. "Kamu benar-benar bikin malu. Bisa-bisanya diamuk warga," ketusnya mengomeliku, bukannya bertanya lebih dulu tentang kondisiku."Ibu, sakit," ringisku mengadu. Aku juga ingin merasakan dikhawatirkan dan diperlakukan secara lembut seperti yang lain. "Syukurin, rasakan sendiri. Itu akibatnya punya otak tapi tak dipakai.""Bu, aku ini sakit. Bukannya ditanya bagaimana kabarku, Ibu justru memgomel dan menyumpahiku," rutukku. Hati ini terasa sedih. "Kalau kamu bisa menjawabku dan mengajakku berdebat itu artinya kamu sudah baik-baik saja. Bahkan tampak lebih sehat dari yang seharusnya

  • Saudara celamitan dari Neraka!   63. Inner child

    Pov. Sri"Kamu dari mana Mas? Kenapa wajahmu memar seperti ini?" tanyaku setelah melihat Mas Hadi masuk dengan pakaian yang berantakan. Aku tak tahu dia pergi kemana. Seharian tadi dia menghilang tak ada kabar bahkan mertuaku itu pun tak tahu anaknya kemana.Sore hari setelah mengantar Ibu dan adiknya pulang, Mas Hadi pulang dan duduk sebentar di ruang tamu bersama Bibah, lalu kembali pulang dengan keadaan yang kini aku lihat. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Tanganku yang hendak menyentuh wajahnya dia tepis kasar. Hubunganku dengan suamiku ini semakin renggang seakan ada jurang yang mengikis tiap sudut hingga menjadi semakin lebar. Mas Hadi berjalan menuju kamar Bibah dan mengabaikanku. Dia seakan tak perduli denganku, aku seperti tak kasat mata saja baginya. Hubungan pernikahan kami kini hanya sebatas selembar kertas. Aku tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini. Aku terduduk di ruang tamu seraya memikirkan nasibku selanjutnya. Terkadang aku berpikir, kenapa

  • Saudara celamitan dari Neraka!   62. Demo warga +62

    Acara makan siang kami yang harusnya santai menjadi tak mengenakkan. Mas Wahyu tampak kesal dengan apa yang di lihatnya barusan. Sementara Hadi tampak canggung di seberang sana dengan posisi yang telah kembali seperti semula. "Mas, kita pulang saja yuk. Makanannya juga sudah habis," ajakku. Niat hati masih ingin berlama-lama sambil menikmati view kolam ikan dan teratai kini pupus sudah. Mas Wahyu mengangguk. Kami keluar dari pondok kemudian menapaki jembatan anyaman bambu selangkah demi selangkah. Setelah membayar makanan di kasir, aku dan Mas Wahyu pun masuk ke dalam mobil. Suamiku tampak tengah memandangi ponselnya sejenak, raut wajah itu pun berubah semakin masam. "Ada apa Mas?" tanyaku yang tengah menarik sabun pengaman untuk melingkar ke badanku. "Kamu lihat sendiri, Dek."Mas Wahyu menunjukkan layar ponselnya padaku. Terlihat sebuah pesan chat masuk dari lelaki yang membuat kami kaget di pondok tadi. Pesannya berisi tentang permintaan untuk mengabaikan apa yang baru saja ka

  • Saudara celamitan dari Neraka!   61. Ketangkap basah.

    Pov. AnnaPagi ini aku melihat Mertuanya Sri datang ke rumah mereka setelah Mas Wahyu memberi kabar tentang pertengkaran Sri dan Hadi. Sebenarnya aku kasihan melihat Sri dalam kondisi wajah bengkak seperti tadi malam. Tapi balik lagi semua ini karena ulahnya sendiri. "Sebenarnya semalam gara-gara apa mereka ribut, Mas?" tanyaku pada suamiku untuk memulai obrolan kami di pagi hari ini. Hari ini Mas Wahyu ambil cuti kerja. Dia menemaniku duduk santai di ruang tamu sambil sesekali mataku mengintip ke arah rumah Sri dari balik hordeng jendela. "Katanya Hadi ketahuan selingkuh, kepergok Sri mereka keluar dari hotel.""Astaghfirullah," ucapku istighfar seraya menutup mulut karena tak percaya. Hadi memang sifatnya tak dapat dipercaya dan curang tapi tak kepikiran juga kalau dia sanggup untuk selingkuh. Secara selama ini dia terlihat begitu menuruti segala keinginan Sri."Terus Mas?" tanyaku meminta Mas Wahyu melanjutkan lagi ceritanya. Aku begitu penasaran dan kalau bisa jangan sampai me

  • Saudara celamitan dari Neraka!   60. Bikin naik darah.

    Pertengkaran diantara kami semakin memanas hingga tak ditemukan kata tenang. Mas Hadi dan Tika terus menyalahkanku, sementara aku tentu saja tak terima di salahkan. Bukannya memang tugas seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Jika pada akhirnya si istri berhutang di luaran sana itu berarti si suami yang tak bisa memenuhi kebutuhan istrinya. "Sudah! Sudah! Mama tambah pusing mendengar kalian semua. Tak ada satupun yang mau mengalah. Jika terus saja saling jawab menjawab, kapan masalah ini berakhir," sentak Mertua yang tak lagi tahan dengan kebisingan ini. Kini dia menatap mataku intenst. Ada pancaran tak suka dari tatapan matanya. Ya ... sebaik apa pun mertua tetap saja saat terjadi pertengkaran dia pasti akan membela anaknya. Entah itu secara halus atau terang-terangan. "Kamu juga, Sri. Tugas suami memang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri, tapi kamu sebagai istri juga harus tahu diri. Jangan mengikuti ukuran sepatu orang lain dan inilah hasilnya," lanjutn

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status