Serina menarik lengan sahabatnya, mencoba menariknya menjauh, tapi Hillary mengabaikan usaha itu. Dia tetap bersikeras untuk menghadapi pria bertubuh kekar di hadapan mereka. Bukan hanya satu, di belakang pria itu berdiri beberapa lainnya, seolah membentuk barisan yang mustahil dihadapi oleh tiga wanita.
Ting! Suara bel di meja kasir terdengar, menandakan pesanan sudah siap. Hanya sebuah tangan yang terlihat saat koki dapur memberikan tanda, dan ketika tak kunjung menerima respons, koki tersebut mengintip dari balik kain yang menutup bilik dapur. Mateo menangkap ekspresi ketakutan di wajah adiknya. Dia merasa ada sesuatu yang tak beres di rumah makan mereka. Tanpa ragu, dia mematikan kompor dan melangkah menuju sumber masalah. “Ada apa?” tanya Mateo kepada adiknya. Meera ketakutan setengah mati, segera bersembunyi di belakang tubuh kakaknya. "Kak, pria ini mencoba melakukan hal jahat padaku." Mateo menatap pria di hadapannya, yang tampaknya tak sendiri. "Apa ada masalah?" Pelanggan pria itu gemetar saat bertemu pandang dengan Mateo. Dia mengenali Mateo, pria yang sering disebut-sebut namanya di dalam tahanan. “Sa—saya hanya ingin nasi.” Mateo mengingat Meera yang tadi berada di dapur. Meski tak terlalu memperhatikan, dia tahu adiknya baru saja memasak nasi. "Maaf soal itu. Kami baru saja memasaknya, mungkin sebentar lagi akan siap. Silakan menunggu di meja, kami akan mengantarkannya nanti." "Ba—baik." Pria yang semula memicu ketegangan itu segera mengambil tempat duduk. Perubahan sikap yang mendadak membuat teman-teman pria bertubuh kekar itu heran. "Kenapa kita duduk lagi? Apa Bos takut dengan pemilik rumah makan ini?" tanya salah satu anak buahnya. "Diam, kau! Dia adalah Mateo Paiton, pria terkuat di dalam tahanan. Bahkan jika kita melawannya bersama-sama, itu takkan cukup." Meera kini merasa aman, tak lagi ketakutan seperti tadi. Dia berterima kasih pada kakaknya yang telah menyelamatkannya. Mateo mengernyitkan alis ketika menyadari keberadaan wanita yang pernah berkunjung ke rumah makan sebelumnya, pelanggan yang memberikan pujian palsu. Tadi dia tak menyadarinya karena fokus pada pelanggan pria, tapi kini dia sangat sadar siapa saja yang ada bersama mereka. Hillary juga menyadari pandangan Mateo, disusul oleh Serina yang kini mengerti apa yang mungkin ada dalam pikiran pria itu. Semua karena rencana mereka untuk mendapatkan nomor ponsel Mateo, mereka kembali dengan alasan yang tak jauh berbeda. Serina adalah seorang wartawan yang cerdik melihat peluang. Malam ini, dia bertekad untuk mendekati pemilik rumah makan itu. Jika tidak, semua kerja kerasnya akan sia-sia. “Kakak semua datang untuk mengisi perut?” tanya Meera. “Tidak. Kami datang untuk ini.” Serina menunjuk kertas yang menempel di kaca, yang baru saja dilihatnya. Kata 'lowongan pekerjaan' memberi ide baru secara mendadak, dan dia segera mengubah rencana. Meera tersenyum lebar, lalu menoleh pada kakaknya yang memelototi. Walau begitu, tak menyurutkan niatnya untuk merekrut. "Masih ada orang yang membutuhkan pekerjaan di detik-detik terakhir malam tahun baru," cibirnya pada sang kakak, kemudian menarik dua wanita itu masuk ke rumah makan. Sebelum memulai pekerjaan, Meera memberikan arahan singkat tentang hal yang harus dilakukan untuk melayani pelanggan; mengantarkan makanan, menyediakan minuman, dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Untuk minuman, mereka bisa mengambilnya dari kulkas. Hillary menyikut lengan Serina di sela percakapan, lalu berbicara dengan nada rendah, "Bisakah kau jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Kau ingin kita bekerja di sini?" "Ini adalah kesempatan besar bagiku untuk mendekatinya." "Apakah kau sadar dengan apa yang kau lakukan sekarang? Jika kau ingin mendekatinya, jangan libatkan aku dalam urusan ini. Kau bisa mengotori tanganmu di sini, tapi aku takkan melakukannya." "Kau harus menemaniku. Apa kau tak lihat betapa mengerikannya pria itu?" "Jadi, kau sadar pada siapa kau jatuh cinta?" Meera berdeham kecil, berharap agar pembicaraan itu segera dihentikan. Mereka sangat sibuk hari ini, dan membahas masalah cinta bukanlah hal yang tepat. Dia menyerahkan nampan pada dua anggota baru tersebut dan tersenyum, menandakan bahwa pekerjaan sudah bisa dimulai. Serina yang bertekad besar melakukannya dengan senang hati, berbeda dengan Hillary yang tampak begitu enggan. Semua bau menyatu di satu ruangan dan membuat perut Hillary mual. Dia tak tahan dan segera berlari keluar untuk menghirup udara segar. Setiap kali kembali ke dalam ruangan, rasanya seperti siksaan tak berujung bagi Hillary. Bagaimana tidak? Dia biasanya hanya disibukkan dengan urusan kantor, tak pernah turun langsung melakukan pekerjaan fisik. Biasanya hanya ada perintah yang keluar dari mulutnya, lalu orang-orang akan mengerjakan hal itu untuknya. Lingkungan kerja di gedung perkantoran berkelas jelas berbeda dengan rumah makan yang dipenuhi hiruk pikuk permintaan pelanggan. Untuk keluhan, biasanya ada bagian lain yang bertugas. Jauh berbeda dengan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan multitasking seperti sekarang. Di rumah makan ini dia harus mengantarkan pesanan, merapikan meja, bahkan membantu membuka botol minuman. Tak ada hal yang lebih buruk daripada ini. Saat berjalan tergesa-gesa, Hillary tak sengaja menyenggol seorang pelanggan. Kuah dalam mangkuk terguncang dan tumpah, membuat pelanggan itu marah. Berada dalam situasi tertekan, Hillary merasakan amarah yang lebih besar. Tapi sebelum dia meledak, Serina segera datang mencegah. Mengetahui bahwa Hillary basah kuyup akibat kuah, ada kemarahan tersendiri dalam hati Serina karena pelanggan yang marah itu tak mengalami kerugian apa-apa. Kemarahan itu terpaksa diredam karena mereka berteduh di bawah bisnis orang lain dan tindakan mereka bisa menyebabkan kerugian. Jadi, Serina yang mewakili sahabatnya untuk meminta maaf, karena dia tahu Hillary bukanlah tipe wanita yang mudah mengatakan maaf, terlebih dalam keadaan tak bersalah. Setelah pelanggan yang mengomel itu pergi, Serina mengambil alih nampan yang dipegang Hillary. “Sebaiknya kau bersihkan dirimu di kamar kecil. Aku akan meminta Meera meminjamkan pakaian untukmu. Maafkan aku karena telah memaksamu. Sebentar lagi kita akan pulang, tolong tahan sebentar saja.” Hillary tak berkata apa-apa, lalu bergegas menuju area belakang. Dia mencari-cari di mana letak kamar kecil. Setelah mendengar suara air dari arah kanan, barulah dia yakin itu tujuannya. Tanpa pikir panjang, dia langsung mendorong pintu. Tanpa diduga, di dalam kamar kecil itu, seorang pria sedang berada di sana. Hillary hanya bisa bergidik saat melihat punggung lebar pria itu bergetar. "Ada pria mesum!" teriaknya, sambil menutup wajah dengan kedua tangan.Selamat pagi, siang, sore, malam. Kapan pun kamu membaca cerita ini :)
Serina mematikan televisi tidak lama setelah siaran wawancara singkat usai. Dia tidak bisa memikirkan cara apa pun untuk mengorek informasi dari Lemuel, bahkan pria itu dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik.Stuart juga ada di sana, menyaksikan hal yang sama tadinya. Setelah selesai menonton, dia pun berkata, "Sekarang kau membuat orang-orang bersimpatik padanya. Apa sebelum mewawancarai, kau tidak memikirkan soal dia yang akan menjawab dengan sangat baik?"Ponsel Serina berdering. Dia mengangkat panggilan telepon begitu saja. "Halo?""Halo, Wartawan Serina."Serina seketika menjadi tegang saat mendengar suara di seberang sana. Dia melihat kembali sejumlah nomor tidak tersimpan yang ada dalam layar, tidak menduga kalau dia akan dihubungi oleh Lemuel."Anda pasti terkejut, karena saya menghubungi begitu tiba-tiba.""Ah, ya ... saya tidak pernah menduganya."Serina keluar dari ruangan, meninggalkan raut kebingungan di wajah Stuart. Dia mencari sudut yang aman untuk mereka bicara,
Serina mencebik, tidak suka dengan Stuart yang memberikannya pekerjaan secara tiba-tiba, bahkan dia tidak jadi ditraktir oleh Mateo, karena harus singgah ke Meteor Media untuk menyelesaikan beberapa hal."Aku sedang sibuk menyelesaikan proyek besar dan kau selalu menambah pekerjaanku. Bukankah gajiku yang sekarang tidak akan sepadan dengan kesetiaanku terhadap perusahaan ini?""Sibuk bagaimana? Kau belum memperlihatkan kemajuan apa-apa selama satu minggu ini," ucap Stuart.Serina mengernyitkan alis. "Itu karena kau terus-menerus memberikan pekerjaan yang begitu banyak padaku!""Kau yakin bukan karena Mateo yang harus melindungi sahabatmu? Mungkin kau perlu diingatkan pada tugasmu yang sesungguhnya yaitu mencari informasi mengenai pembunuhan yang melibatkan tuan Conor. Jangan sampai tujuanmu berubah arah menjadi yang lain."Stuart melemparkan dokumen yang dibacanya sejak tadi ke atas meja. "Kita tidak punya waktu untuk bermain-main, Serina," ucapnya, kemudian keluar dari ruangan.Serin
Serina meletakkan kedua belah tangan di pinggang, menatap sepeda motor yang akhirnya menjadi pilihan. Dia sudah menghubungi sang sahabat untuk persoalan biaya dan sekarang sedang menunggu respons Hillary."Kau yakin dengan pilihanmu? Hillary tidak akan senang mendengarnya.""Yang aku perlukan hanyalah sepeda motor, mahal atau tidak bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Selama mesinnya bisa berfungsi dengan baik, maka itu sudah cukup.""Tapi sekarang bukan mahal atau tidak mahal sebagai pilihanmu, tapi baru dan tidak baru. Bagaimana jika keputusanmu diubah? Kita akan membeli yang baru, bukan yang bekas."Tepat pada kalimat terakhir, Mateo menerima telepon. Dia melihat ke arah Serina yang menatap bingung padanya, lantas dia mengangkat panggilan tersebut."Halo?" Mateo berkata."Kau ingin agar aku berutang budi padamu sampai mati?"Serina mendengar suara sang sahabat dari ponsel Mateo. Dia melipatkan tangan di dada sambil berekspresi tidak peduli, sudah tahu kalau hal seperti ini akan
Dua hari tersisa, Mateo hanya berjaga di sekitar The Pearl Villa. Hillary tidak mengerjakan aktivitas apa pun di luar kediaman selama memulihkan diri, mungkin benar-benar sudah memutuskan hidup dengan baik.Bahkan, akibat kondisinya yang buruk di pertengahan pesta kemarin, Hillary sampai memanggil dokter keluarga ke vila, hal yang sudah lama tidak dilakukan karena sebelumnya dia yang menghampiri sang dokter supaya meresepkan obat untuknya ketika usus buntu meradang.Mateo menoleh ke lantai dua, mendapati Hillary sedang berbicara dengan sang dokter. Saat ini dia mengambil waktu untuk merokok sebentar, tiba-tiba jadi terpikirkan mengenai hal apa yang akan dilakukannya setelah masa kerja menjadi pengawal selama satu minggu usai.Beberapa batang rokok habis bertepatan saat sang dokter muncul di lantai bawah, tampak sudah akan pergi. Mateo menoleh lagi ke arah jendela besar yang diketahuinya merupakan milik kamar Hillary. Wanita itu sedang melihat pula ke arahnya, langsung berpaling dan pe
Perkataan Mateo membuat mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Nick agaknya merasa dipermalukan, citranya telah berubah menjadi orang yang sangat menjengkelkan.Hillary berpikir bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk berurusan dengan Nick. Dia segera menarik Mateo untuk pergi dari sana, selanjutnya sambil terhuyung-huyung berjalan ke sisi dinding.Hillary berusaha tetap berdiri tegak, berhenti sebentar untuk mengambil napas. Beberapa menit berlalu hanyalah waktu tanpa kata."Maaf, karena membawa urusan pribadi Anda ke tengah acara. Saya melihat bahwa Anda merasa tidak nyaman sejak tadi dan membutuhkan cara untuk pergi dari aula.""Kau tahu dari mana kalau Nick mengirimkan buket padaku setiap hari?""Sekretaris Anda berbicara mengenai buket yang dikirim setiap pagi oleh orang yang sama dan katanya Anda sering kali merasa jengkel. Saya melihat siapa pengirimnya untuk berhati-hati dengan orang itu suatu saat nanti. Ternyata pertemuan ditakdirkan begitu cepat. Saya berharap dia tidak
Sampai esok hari, Bellmira tetap mengeluhkan kesalahan sang kakak di matanya. Dia terus membuat pilihan antara Serina atau Hillary. Padahal, Mateo tidak memiliki hubungan istimewa apa-apa terhadap dua wanita itu."Mereka berdua adalah sahabat dekat yang aku dengar dari cerita kak Serina. Kakak seharusnya tidak memecah belah persahabatan mereka dengan mendekati keduanya sekaligus.""Aku tidak melakukan pekerjaan seperti itu. Berhentilah mengatakan yang tidak-tidak sebelum aku terlambat.""Memangnya Kakak akan ke mana?" Bellmira baru sadar akan setelan pakaian formal yang dikenakan kakaknya. "Dari mana Kakak mendapatkan pakaian itu?"Mateo sudah lama sekali tidak menatap dirinya dari atas sampai ke bawah. Ternyata rasanya tetap sama, tidak pernah terbiasa. Dia lebih menyukai baju kaos dengan jaket hoodie ketimbang kemeja dengan jas."Apa aku sudah terlihat rapi?" tanya Mateo.Bellmira menganggukkan kepala. "Pilihan yang sangat bagus. Itu cocok sekali dengan Kakak. Memangnya akan ke mana