🍁🍁🍁
Clara kembali ke rumah dengan hati hancur lebur, matanya bengkak karena terlalu lama menangis, tubuhnya lemas seperti tidak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Dia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya, David, masuk ke dalam sebuah hotel bersama seorang wanita. Wanita itu adalah Zoya, seseorang yang Clara kenal sebagai rekan kerja David. Tangannya gemetar saat menggenggam ponselnya, sementara dadanya terasa sesak. Ia tak ingin percaya, namun kenyataan terpampang jelas di depan matanya. Malam harinya, David pulang ke rumah, Clara langsung menghadangnya di ruang tamu. Matanya menatap penuh dendam dan emosi, suaranya bergetar saat ia berbicara. “David, aku melihatmu masuk ke sebuah hotel bersama Zoya lagi tadi.” suara Clara dipenuhi kemarahan dan kesedihan. David menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa seolah lelah dengan semua ini. “Clara, aku bisa menjelaskan—” “Jelaskan apa? Aku melihatmu dengan Zoya begitu mesra. Kalian berdua berpelukan, berciuman, seolah tidak ada orang lain disekitar kalian. Jangan coba-coba berdusta!” Clara memotong dengan suara meninggi. Air matanya kembali jatuh, bercampur dengan kemarahannya yang membara. David terdiam sejenak. Wajahnya tampak lelah, tapi tidak ada penyesalan di dalamnya. Akhirnya, dengan suara datar, ia mengaku, “Ya, aku memang punya hubungan dengan Zoya.” Seakan dunia berhenti berputar, Clara menatap suaminya dengan penuh ketidakpercayaan. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri. “Kenapa, David? Kenapa kamu lakukan ini padaku?” Clara terisak, tubuhnya bergetar menahan perasaan yang meluap-luap. David menatapnya dengan sorot mata dingin. “Karena aku lelah, Clara. Aku lelah bertengkar denganmu terus-menerus. Aku bosan dengan hubungan kita yang penuh keributan. Dan…” Ia menarik napas dalam, sebelum melanjutkan dengan suara pelan, “Aku ingin punya anak. Tapi kamu tidak bisa memberikannya padaku.” Pernyataan itu menusuk hati Clara lebih dalam daripada pengakuan perselingkuhan David. Selama bertahun-tahun, ia telah berusaha sekuat tenaga untuk hamil, menjalani berbagai macam pengobatan dan terapi, tapi hasilnya nihil. Dan sekarang, suaminya, orang yang seharusnya mendukungnya, justru mengkhianatinya dengan alasan itu. Clara menggeleng tak percaya. “Jadi karena aku tidak punya anak, kamu memilih mengkhianati pernikahan kita?” David tak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan yang seolah mengatakan ‘Ya, itulah kenyataannya’. Dengan suara bergetar, Clara mencoba meraih tangan suaminya. “David… kumohon, sudahi hubunganmu dengan Zoya. Aku mencintaimu, aku tidak ingin kehilanganmu.” Namun David menarik tangannya kembali. “Aku tidak akan meninggalkan Zoya, Clara. Jika kamu masih ingin menjadi istriku, maka kamu harus menerima bahwa aku juga bersama Zoya.” Kata-kata itu menghantam Clara seperti badai. Tangisnya pecah, dadanya sesak. Ia tak pernah menyangka akan mendengar sesuatu yang begitu kejam dari pria yang dulu ia cintai sepenuh hati. David berdiri, meninggalkannya yang masih terguncang di sofa. Ia tak menoleh lagi, seolah tak peduli dengan air mata istrinya. Clara menatap punggung suaminya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar sendirian. *** Clara membuka matanya saat fajar merekah. Seperti biasa, ia bangkit dari ranjang tanpa menunggu alarm berbunyi. David masih tertidur pulas di sisinya, wajahnya tampak damai, seolah tak pernah ada luka yang ia goreskan dalam hati istrinya. Tapi Clara tak lagi menangis, tak lagi terisak seperti kemarin saat pertama kali mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Zoya. Tidak. Kini ia lebih kuat. Dengan langkah ringan, ia menuju dapur, mempersiapkan sarapan untuk David. Tangannya terlatih, mengiris sayuran, menggoreng telur, dan menyeduh kopi seperti yang biasa suaminya minum. Semua dilakukan tanpa emosi, tanpa perasaan yang dulu selalu hadir saat ia menyiapkan makanan dengan cinta. Kali ini, hanya sekadar kewajiban. Saat David turun ke ruang makan, Clara hanya menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan piring-piring di wastafel. Tidak ada senyum yang menyambut, tidak ada ucapan selamat pagi. Hanya keheningan yang memisahkan mereka, jurang tak kasat mata yang semakin melebar seiring waktu. "Terima kasih, sarapannya enak," ujar David pelan. Namun Clara hanya mengangguk tanpa membalas sepatah kata pun. DIa tidak akan pernah protes lagi. Tidak akan pernah bertanya ke mana suaminya pergi malam-malam, tidak akan pernah meminta penjelasan mengapa ada parfum wanita lain yang melekat di kemejanya. Dia hanya akan diam, tapi bukan berarti ia menyerah. Ia hanya sedang menunggu waktu yang tepat. Saat David berangkat ke kantor, Clara mengantar suaminya sampai ke pintu, seperti biasa. Ia menyerahkan kotak bekal yang telah ia siapkan dengan rapi. Ada masakan kesukaan David di dalamnya, makanan yang selama ini selalu membuat suaminya pulang lebih cepat karena rindu pada masakan istrinya. "Hati-hati di jalan," ucap Clara tanpa ekspresi. David mengangguk dan pergi tanpa menoleh lagi. Di dalam mobilnya, ia termenung. Clara masih melakukan semua tugasnya sebagai istri, tetapi ada sesuatu yang hilang. Ia merasa seakan ada bayangan dingin yang perlahan menjauhkannya dari rumah yang dulu penuh kehangatan. Sementara itu, Clara berdiri di balik jendela, menatap mobil suaminya yang semakin menjauh. Dalam diam, ia merancang rencananya. Ia tidak akan membiarkan Zoya mengambil apa yang telah menjadi miliknya selama bertahun-tahun. Ia tak akan membiarkan wanita itu menang begitu saja. Lewat orang kepercayaannya, diam-diam Clara telah mengumpulkan banyak informasi tentang Zoya. Dia tahu kelemahan Zoya, tahu kebohongan kecil yang wanita itu sembunyikan dari David lewat. Dan ia akan menggunakannya dengan cermat. Tidak dengan cara yang kasar, tidak dengan amarah yang membabi buta. Ia akan bermain dengan tenang, dengan cerdas. Malamnya, saat David kembali, Clara tetap melayaninya seperti biasa. Ia menyajikan makan malam, menghidangkan teh, meskipun tanpa sapaan ramah. Keheningan di rumah mereka semakin pekat, tetapi David tak bisa menyangkal bahwa ia merindukan sesuatu dari Clara. Ia merindukan senyumnya, tatapan hangatnya, dan cara Clara selalu membuatnya merasa berarti. Clara tahu itu. Dia melihat perubahan kecil dalam diri suaminya. Rasa bersalah yang mulai mengusik, kebimbangan yang mulai merayapi hati David. Dan itu hanyalah permulaan. Sambil menatap wajah suaminya di seberang meja makan, Clara tersenyum kecil dalam hati. Permainan baru saja dimulai. Ia akan merebut kembali haknya, dengan caranya sendiri. Sanggupkah Clara bersaing dengan wanita licik seperti Zoya? Bersambung....Tangis bayi menggema di ruang bersalin, disusul suara tangis bahagia dari Clara yang terbaring lemah namun tersenyum lega. Di sampingnya, Erick menggenggam erat tangan sang istri sambil menatap dokter yang membawa seorang bayi mungil dalam selimut biru."Selamat ya, Pak Erick, Bu Clara. Bayi laki-lakinya sehat dan kuat," ucap sang dokter.Erick nyaris tak bisa menahan air matanya saat sang perawat menyerahkan bayi itu ke pelukannya. Jantungnya berdegup cepat, takjub, dan penuh syukur saat menatap wajah kecil yang masih merah namun begitu sempurna.“Dia... luar biasa,” bisik Erick lirih, air mata menetes perlahan dari sudut matanya. “Terima kasih, Clara. Terima kasih banget...”Clara tersenyum lemah namun bahagia. “Akhirnya... dia datang juga ya.”Erick menunduk, menyentuhkan keningnya ke kening sang bayi. “Selamat datang, pangeran kecilku... Radja Pratama.”Clara menoleh pelan. “Kamu sudah siapkan nama?”Erick mengangguk. “Iya. Radja, karena dia pewaris kita. Pratama, karena dia yang
Langkah kaki David terasa berat saat keluar dari lobi hotel, ditemani Agnes yang masih berusaha menyembunyikan wajahnya dengan kacamata hitam dan masker. Mereka berjalan cepat, seolah dikejar waktu dan rasa malu yang masih menggantung di udara.Namun, nasib berkata lain."David?" suara yang sangat dikenalnya membuat David langsung berhenti melangkah. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Clara bersama Erick—mantan istrinya dan sahabat lama yang kini jadi rekan bisnis.Agnes spontan membeku di sampingnya.Clara tersenyum tipis, pandangannya tajam menyapu dari atas ke bawah. "Kalian berdua... dari dalam hotel?"David segera bersikap tenang. "Kami tidak bersama. Kebetulan saja kami masing-masing ada urusan di hotel ini."Agnes mengangguk cepat, seperti ayam disemprot air. “Iya, benar. Aku... aku ada meeting juga tadi pagi. Sendiri. Bukan sama dia.”Clara mengangkat alis, menyilangkan tangan. “Oh, ya? Tapi kenapa kalian keluar bareng... dan pakai baju yang sama kayak kemarin malam?”David meli
Lampu neon berkedip cepat saat musik berdentum dari segala penjuru ruangan. Aroma alkohol dan parfum mahal bercampur menjadi satu di udara. David duduk di salah satu sofa VIP bersama Deren, asistennya yang paling setia. Gelas demi gelas ditenggak, masing-masing mencoba melupakan kekacauan yang baru saja terjadi dalam hidup David—perceraian dengan Clara, wanita yang dulu ia cintai, dan pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan.“Minum lagi, Pak. Lupakan semuanya malam ini,” ujar Deren sambil menyodorkan segelas tequila.David menerima tanpa protes. Wajahnya sudah memerah, pandangannya mulai kabur. Namun rasa kosong di dadanya terasa lebih kuat dari efek alkohol mana pun. Ia tertawa keras tanpa alasan, berusaha mengubur rasa bersalah dan penyesalan yang terus menghantui.Beberapa jam berlalu, mereka berdua benar-benar mabuk. Deren bahkan tak mampu berdiri tegak, sementara David berjalan terhuyung-huyung menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar. Kepalanya berdenyut, dan setiap langkah sepe
Hujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Zoya berdiri di depan jendela apartemennya, memandang rintik hujan yang membasahi jalanan. Di belakangnya, Danis duduk di sofa dengan ekspresi muram, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi permintaan Zoya. "Aku sudah memutuskan, Danis," suara Zoya terdengar tegas namun lirih. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu." Danis menatapnya lekat, hatinya terasa diremas. "Aku hanya ingin bersamamu dan anak kita, Zoya. Aku merasa lebih dihargai saat bersamamu dibandingkan dengan…" Ia menghentikan kalimatnya, enggan menyebut nama istrinya. Zoya menarik napas dalam. "Danis, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang hubungan yang tidak jelas. Aku tidak mau anak kita tumbuh dalam situasi yang penuh kebohongan dan ketidakpastian. Jika kau ingin berada di sisi kami, selesaikan dulu semuanya. Aku tidak akan menerima separuh hatimu." Danis men
Clara menghela napas panjang saat duduk di teras rumahnya, menikmati semilir angin sore yang menerpa wajahnya. Hidupnya terasa lebih damai akhir-akhir ini. Tidak ada lagi gangguan dari Agnes yang selama ini selalu berusaha mengusik ketenangannya. Bahkan, David pun sudah jarang muncul di hadapannya. Semua terasa begitu tenang, begitu sempurna, apalagi dengan kehadiran Erick, suami yang selalu setia di sisinya.Erick muncul dari dalam rumah, membawa segelas jus jeruk dan menyerahkannya kepada Clara. Ia tersenyum hangat, lalu duduk di sampingnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sambil mengelus perut Clara yang semakin membesar."Tidak ada," jawab Clara, tersenyum kecil. "Aku hanya menikmati momen ini. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasa tenang seperti ini."Erick tersenyum, lalu mencium kening istrinya dengan lembut. "Kalau begitu, mari kita buat hari ini lebih menyenangkan. Bagaimana kalau kita pergi ke kedai jus favoritmu?"Mata Clara berbinar. "Itu ide y
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
"Hatchii!" Zoya buru-buru menutup mulutnya dengan tisu. Ia mengerutkan kening. Katanya kalau bersin tiba-tiba, itu tandanya ada seseorang yang sedang membicarakannya. Entah siapa, tapi dia malas memikirkannya lebih jauh. Yang jelas, hari ini dia hanya ingin menikmati waktunya tanpa gangguan. Duduk di sofa ruang tamunya yang luas, Zoya melirik ke arah putranya yang tengah bermain dengan Sus Juni. Bocah kecil itu tertawa riang, membuat hati Zoya sedikit tenang meski tubuhnya masih terasa lelah. Lelah bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu tampak menggoda dan siap memanjakan para pria hidung belang. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil libur beberapa hari. Dia butuh istirahat, butuh waktu hanya untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak ada pria yang menjamahnya, tidak ada tuntutan untuk bersikap manis atau mengobral senyum palsu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tok! Tok! Tok!Zoya mengernyit. Siapa yang dat
Clara duduk di salah satu sudut ruang tamu, memperhatikan dengan sedikit canggung interaksi antara dua pria yang pernah dan masih mengisi hidupnya—David, mantan suaminya, dan Erick, suami keduanya. Tidak ada ketegangan di antara mereka, justru sebaliknya. Mereka terlihat terlalu akrab untuk ukuran dua pria yang pernah berada dalam hidup wanita yang sama. Dan semua ini gara-gara Agnes. Wanita itu telah membuat hidup Clara seperti roller coaster dalam beberapa minggu terakhir. Dari percobaan mencelakainya hingga berbagai intrik yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya. Namun yang membuatnya lebih bingung adalah kenyataan bahwa kini David dan Erick justru mendiskusikan Agnes dengan nada yang begitu santai, seakan mereka sedang membicarakan cuaca. Samar-samar, Clara menangkap percakapan mereka. "Agnes itu cantik, kaya... Kenapa dia tidak mencari pria single saja untuk diganggu?" ucap David dengan nada heran. Clara menajamkan pendengarannya. Agnes memang punya segalanya—kec
Agnes duduk di depan cermin riasnya, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Wajahnya tanpa cela, dengan hidung mancung, bibir penuh, dan mata tajam yang selalu berhasil menundukkan pria mana pun. Tubuhnya langsing dengan lekukan yang didambakan banyak wanita. Ia adalah model papan atas, seorang pengusaha sukses di industri kecantikan, wanita yang memiliki segalanya—harta, kecantikan, dan status sosial. Tapi kenapa… kenapa seorang Clara, wanita biasa yang hanya seorang ibu rumah tangga, bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa Agnes miliki? Cinta. Bukan sekadar cinta biasa, tetapi cinta yang ugal-ugalan, menggebu-gebu, liar. Dua pria sekaligus menggilai Clara seperti hidup mereka bergantung padanya. Erick, pria berkarisma dengan latar belakang bisnis kuat, dan David, lelaki dengan aura bad boy yang liar namun memikat. Mereka berdua rela berseteru demi seorang Clara. Clara yang bukan siapa-siapa. Agnes mengepalkan jemarinya. Ia mengenal Dion, bahkan pernah mendekatinya. Namun