Angga dan Vira sedang mengadakan pesta kecil untuk ulang tahun anak mereka Aarav yang kini baru saja menginjak usia 4 tahun.
Vira tersenyum menatap Aarav. Dia memotong kue ulang tahun berwarna cokelat tersebut dan menyuapi anaknya dengan kasih sayang.
"Selamat ulang tahun, Sayang!" ucapnya.
Aarav tersenyum senang.
"Makasih Ma!"
Di saat senang menghadapi pesta, tiba-tiba saja kepala Vira menjadi pusing. Badannya yang tadi baik-baik saja kini menjadi lemas tak berdaya. Sehingga tanpa sadar, dia mulai terjatuh dan pingsan.
***
Angga sedang mengobrol bersama teman-temannya di pojokan sambil bercanda dan sesekali meminum segelas air. Di sela-sela obrolan, Angga mengalihkan pandangannya.
Deg!
Sorot matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tergeletak tak sadarkan diri dengan memakai gaun warna jingga sama seperti istrinya. Awalnya Angga hanya diam. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri, bahwa orang itu bukanlah istrinya. Namun, makin dia mengabaikan, perasaan itu justru makin menjadi, membuatnya merasa tidak nyaman.
Angga pun pamit dari teman-temannya dan menghampiri wanita yang tergeletak. Dia berusaha menolong wanita tersebut.
Saat Angga hendak membangunkan wanita tersebut, dia terkejut melihat bahwa yang pingsan tadi adalah Vira--Istrinya. Tangannya menepuk pipi sang istri berusaha untuk membangunkannya dari pingsan.
Angga terdiam. Sudah berulang kali dia berusaha membangunkan istrinya, tapi dia tak kunjung membuka mata sehingga membuatnya gelisah.
"Mas, istrimu kenapa?" tanya seorang wanita pada Angga. Dia menatap Vira sekilas dengan sinis.
Angga menatap wanita itu dengan cemas.
"Istriku, Far, tadi tidak sengaja pingsan. Sampai sekarang belum sadar juga," jawab Angga.
"Tenang lah. Mungkin dia cuma kecapean, mending kamu tidurkan dulu dia di kasur," saran Farah.
Angga mengangguk pelan. Dia pun segera membopong Vira dan membawanya ke kamar.
Di kamar, dia langsung membaringkan tubuh Vira dengan hati-hati di atas kasur. Setelah itu, dia melangkahkan kakinya dan duduk di sofa yang ada di sebelah ranjang.
Di sana, Angga mencari ponselnya dan hendak menelpon dokter dan memintanya untuk datang ke rumah untuk memeriksa keadaan istrinya.
***
Beberapa saat berlalu, Angga masih setia menemani Vira. Dia duduk di samping istrinya itu sambil mengusap wajahnya dengan lembut dan tersenyum cemas.
Tiba-tiba pak dokter datang.
Angga yang melihatnya hanya diam. Dia menghampiri pak dokter.
"Dok, Istri saya pingsan, tolong periksa dia," pintanya.
Pak dokter mengangguk.
"Baiklah, Anda tenang saja." Pak dokter pun berjalan menghampiri Vira dan duduk di sampingnya sambil memeriksa keadaan wanita tersebut.
***
Aarav berdiri di tengah ruangan. Suasana yang tadinya begitu ramai dan terkesan berisik kini mulai menghilang, membuat rumah menjadi sunyi. Meskipun ada banyak teman yang ada di sampingnya, Aarav sama sekali tidak menghiraukan mereka sama sekali.
Aarav menatap sekeliling. Dia berusaha mencari Papa Mamanya. Tapi tak kunjung ketemu.
Aarav menggaruk kepalanya karena kesal. Dia beranjak pergi meninggalkan teman-temannya tanpa sepatah katapun dan pergi ke kamar orang tuanya.
Di sana, dia kebingungan melihat ada seorang dokter sebaya ayahnya sedang duduk di dekat ibunya.
Aarav mendekat pada Angga. Dia menyenggol lengan papanya itu dan bertanya, "Pa? Mama kenapa?"
Angga hanya diam. Dia bingung harus menjawab pertanyaan Aarav bagaimana. Sambil mengembuskan napasnya, dia menatap wajah Aarav dengan tersenyum kecil.
"Mama tadi pingsan," jawab Angga singkat.
Aarav terdiam.
***
Beberapa saat berlalu, pak dokter tersenyum menatapi Angga dan Farah yang sudah mulai sadar.
Angga menghampiri dokter dengan perasaan gelisah.
"Bagaimana keadaan Istri Saya, Dok?''
Pak dokter hanya diam dan tersenyum.
"Tenanglah, istrimu baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir, ngomong selamat ya."
Angga mengerutkan keningnya. Dia merasa bingung dengan ucapan dokter tersebut, begitupula dengan Vira.
"Selamat? Maksud Dokter apa?"
"Selamat, sebentar lagi kau akan menjadi seorang ayah. Istrimu sedang mengandung seorang bayi...," jelas pak dokter.
Mendengar penjelasan pak dokter, Angga dan Vira terkejut. Mereka tersenyum bahagia.
Angga berjalan menghampiri istrinya itu dan mencium tangannya.
"Syukurlah Sayang, kau baik-baik saja. Dan malahan kita sekarang mendapat kabar baik!" ucap Angga senang. Vira tersenyum mengangguk.
"Iya, Mas."
Pak dokter berdiri. Dia menatap Angga.
"Oh ya, Pak, ini obat untuk istri Anda. Semoga rasa sakitnya segera mereda. Dan Saya ingin mengingatkan bahwa selama masih mengandung, dia tidak boleh melakukan aktivitas yang berat-berat dan harus istirahat teratur, syukur juga olahraga yang ringan seperti jalan kaki atau dengan yoga agar kandungannya sehat," nasehat pak dokter sambil memberikan sebuah obat pil pada Angga.
Angga tersenyum mengangguk.
"Baik, Dok. Terimakasih," ucapnya.
Pak dokter mengangguk pelan.
"Sama-sama, baiklah kalau begitu Saya pergi dulu," pamit pak dokter.
"Sini biar Saya antar Anda dulu."
Angga pun beranjak dari duduknya dan pergi untuk mengantarkan pak dokter keluar.
Sedangkan Vira hanya diam dan tersenyum. Tanpa disengaja sorot matanya tertuju pada Aarav yang sedang memperhatikannya. Dia pun mengajak putranya untuk duduk di dekatnya.
Aarav mengerutkan keningnya. Dia merasa heran melihat Vira yang selalu tersenyum.
"Ma ... Mama kenapa senyum-senyum sendiri?" tanyanya penasaran.
Vira memegang tangan Aarav. Dia tersenyum menatap wajah sang anak.
"Aarav sayang, kamu pasti akan senang sekali. Sebentar lagi, kamu akan punya adik," jawab Vira. Mendengar ucapan sang ibu, Aarav tersenyum. Dia merasa sangat bahagia.
"Apa?! Akhirnya aku punya teman main!"
Vira hanya diam dan tersenyum kecil menggelengkan kepalanya melihat sikap Aarav tersebut.
Semenjak kehamilan sang istri, membuat Angga menjadi sering merawatnya dengan penuh perhatian. Dia tidak pernah memintanya untuk bekerja karena cemas akan bayi yang sedang dikandung Vira. Sikap Angga yang perhatian tersebut membuat Vira menjadi makin mencintainya.
"Tidak, Mama darimana saja? Aarav habis beli makanan kesukaan mama, tau?" ujar Aarav berusaha mengalihkan pembicaraan.Vira menatap putranya dengan dingin. Dia berjalan mendekat sambil bertanya, "Kamu tadi bilang Mama kenapa?"Aarav tersenyum. "Tadi, Aarav juga pengen disuapi Mama cuma mama tidak ada di sini.. jadi Tante Farah yang menyuapi Aarav," jelasnya.Vira terdiam. Dia menghela napas sambil melirik Farah dengan kesal. Sementara wanita itu justru membalasnya dengan senyuman."Biar aku makan sendiri," ujar Aarav mengambil makanan yang dipegang Farah lalu memakannya sendiri.Farah tersenyum menatap Aarav. "Gimana? Kamu suka?" tanyanya ramah melihat lelaki itu makan dengan lahap.Aarav mengangguk. Dia tersenyum senang. "Makanan Tante memang selalu enak. Aku suka..""Baguslah. Kapan-kapan main ke rumah Tante, biar Tante masakin makanan yang lebih banyak buat kamu.." ujar Farah pada Aarav sambil melirik Vira yang sedang menatapnya dingin."Sepertinya itu lain kali. Karena, Aarav juga
Reina berjalan menghampiri Aarav. Dia tersenyum ramah menatap lelaki yang merupakan kakak kandungnya itu."Hai. Good morning," sapa Reina.Aarav membalas senyuman Reina. "Morning. Bagaimana kabarmu? Kau pasti senang kan bisa tidur di kamar mewah?" tebaknya.Reina menghela napas. Dia mengangguk pelan."Iya, tapi aku juga sedih. Aku rindu Mama. Oh ya, bagaimana harimu dengan beliau? Rasa rindumu sudah berkurang bukan?" Aarav menggeleng. Wajahnya menjadi datar dan hanya tersenyum. "Iya, aku senang bisa sama Mama. Jujur, aku ngga enak dengan keputusan papa buat tukaran posisi seperti ini..." ujar Aarav sambil menunduk.Reina merangkul Aarav. "Kau yang sabar. Kita pasti akan jadi keluarga harmonis.."Aarav hanya diam dan tersenyum kecil. Dia membelai rambut Reina dengan kasih. "Makasih adikku sayang," ucapnya.***"Aarav dan Reina kakak adik? Itu berarti aku bisa menjadi pacarnya?" tanya Tiara pada dirinya sendiri karena senang mengetahui kenyataan hubungan Reina dan Aarav."Mereka sauda
Angga menatap Reina tak percaya. Dia memangku pipi putrinya itu sambil menatap dengan mata yang berkaca-kaca. "Putriku.." ucapnya senang lalu memeluk Reina.Reina membalas pelukannya. "Papa? Selama ini, papa ada dimana? Kenapa mama tidak pernah bercerita bahwa--""Sudahlah. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Sekarang, yang penting kita bisa bertemu dan berkumpul kembali. Aku senang sekali," ucap Aarav sambil berjalan menghampiri Reina.Reina menatap Aarav tak percaya. Dia masih ling lung. Pikirannya butuh waktu untuk mencerna keadaan. Angga menatap Vira dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca. Namun, sang istri justru membalasnya dengan tatapan dingin."Ini sudah malam. Kau harus istirahat. Reina, kau di sini, temani mama. Dan kau Aarav, ayo pulang. Kita akan menyiapkan sesuatu untuk mama nanti.." jelas Angga.Reina mengerutkan kening. "Sesuatu apa?"Aarav hendak menjawab pertanyaan Reina, namun saat melihat ekspresi Angga yang melarangnya memberi tahu rencana surprise mereka pu
Saat sedang terpaku akan keadaan, tiba-tiba ponsel Aarav berbunyi. Segera, diapun pamit keluar untuk menjawab telepon tersebut."Halo, iya ada apa, Pa?" tanya Aarav dengan suara serak seperti ingin menangis, namun juga tersenyum senang."Kau dimana? kenapa belum pulang sore begini?" Angga juga terdengar khawatir.Mengetahui ayahnya yang sedang mencemaskan keadaan dia, Aarav pun merencanakan sesuatu untuk kedua orang tuanya tersebut. Dia tersenyum."Papa, Aarav lagi di rumah sakit, kepala Aarav sangat sakit," jelas Aarav sembari memegang kepalanya, membuat Angga terkejut."Apa?! Kenapa tidak menghubungi papa? sebentar, papa ke sana sekarang juga!" Telepon terputus. Terlihat raut panik Angga, dia segera mengeluarkan mobil dan bergegas ke rumah sakit. Berbeda dengan sang ayah yang panik setengah mati, Aarav justru tersenyum kesenangan. Saking senangnya, dia hampir melempar ponselnya. Namun, Reina datang dan menangkapnya sehingga ponsel lelaki itu tidak jadi menyentuh lantai."Kau ini, p
"Mama, aku pulang," ucap Reina setelah membuka pintu dan berjalan menghampiri ibunya, sedangkan Aarav hanya terdiam. Dia masih memikirkan perasaanya yang gelisah tanpa sebab setiap saat. Reina yang melihatnya langsung menegur Aarav."Hei, kau kenapa diam di situ? Ayo masuk," ajaknya.Aarav mengedipkan matanya. Dia tersenyum kecil kemudian berjalan menghampiri Reina yang sedang duduk di samping ibunya.Vira yang tadinya tertidur kini menjadi bangun saat mendengar percakapan Aarav dan Reina di ruangannya. Pelan-pelan dia membuka kedua matanya sambil menyandarkan tubuhnya di pojok ranjang. Dia memandangi sekelilingnya sekilas lalu kembali menatap Reina. Dia tersenyum kecil."Kamu sudah pulang? Kapan?" tanya Vira ramah.Reina tersenyum mengangguk. "Baru saja kok, Ma," jawabnya.Saat mendengar suara ibu Reina, perasaan Aarav menjadi makin gelisah. Suara itu sangat tidak asing di telinganya bahkan itu adalah suara yang biasa dia dengar sewaktu masih kecil saat ibunya masih bersamanya. Aara
Aarav mencoba untuk mengontrol tubuhnya dan berjalan dengan benar seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, itu selalu gagal sebab dia sering terjatuh akibat tidak sengaja kesenggol batu yang ada di jalan.Tiba-tiba, sorot mata Aarav tertuju pada sosok wanita yang sedang berjalan di pojokan jalan. Dia menyipitkan kedua matanya berusaha untuk melihat wanita itu untuk mengenali wajahnya. Aarav terdiam, saat sedang sibuk berpikir sambil menatap, tiba-tiba wanita itu sudah ada di dekatnya. "Ada apa?" tanya wanita itu yang penasaran sekaligus tidak nyaman karena ditatap oleh Aarav.Mendengar suara yang menurutnya tidak asing, Aarav menoleh ke arah sumber suara tersebut. Lagi dan lagi, kini dia malah melihat wajah ibunya. Aarav mengerutkan keningnya. 'Sebenarnya ada apa ini? Apa aku halusinasi?' "M---ma---ma. Ini Mama?" tanya Aarav terbata-bata dan sedikit gugup.Vira mengerutkan keningnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan."Mama? Dengar, kau pasti salah. Aku bukan ibumu, sudah ya, aku