Vira sedang berbelanja di pasar bersama teman-temannya, karena haus. Mereka pun memutuskan untuk istirahat sembari meminum jus.
Kebetulan, Angga juga ada di sana sambil duduk manis bersama seorang wanita. Bahkan mereka terlihat sangat dekat. Dia mengusap wajahnya sambil tersenyum.
Melihat hal itu, Bianca, teman Vira menyenggol lengan Vira sambil bertanya, ''Itu bukannya suamimu?"
Vira tersenyum mengangguk. Awalnya dia merasa biasa saja bahkan senang karena melihat suaminya ada di sini. Namun semakin lama, dia menjadi gelisah. Apalagi saat melihat wanita yang ada di samping sang suami. Hatinya hancur melihat kemesraan dua pasangan tersebut. Karena penasaran bercampur sakit hati, Vira pun beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Angga.
"Mas, dia siapa?" tanya Vira dengan suara serak, menahan tangisnya.
Deg
Angga yang tadinya santai kini menjadi kaget melihat kedatangan istrinya. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Kemudian menatap Vira.
"Vira? Apa yang kamu lakukan di sini? Gak nyangka ya kita bisa ketemu di sini.." ujarnya sambil tersenyum. Vira memutar bola matanya malas.
"Gak penting. Aku tanya sama kamu, siapa dia? Mas? Kenapa wanita itu ada bersamamu?"
Jantung Angga berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras membasahi wajahnya. Dia benar-benar gugup.
Angga berusaha menenangkan dirinya dengan mengembuskan napasnya.
"Dia itu sebenarnya---"
"Aku pacarnya, Angga." Belum sempat Angga menjawab pertanyaan Vira, Farah tiba-tiba memotong ucapannya dan membuat semua terkejut. Terutama Vira.
Dia menjambak rambutnya karena shock akibat terkejut mendengar ucapan wanita tersebut.
Angga mendekati Vira dan memegang bahunya. Dia berusaha menjelaskan apa yang terjadi, tapi Vira tidak percaya dan justru pergi meninggalkannya begitu saja dengan rasa sakit dalam hatinya.
Angga hanya diam. Dia merasa bersalah pada istrinya, tapi disisi lain, dia juga ingin menjelaskan tentang kesalahpahaman ini, namun tidak sanggup.
Kini dia hanya bisa diam dan menatap Farah yang ada di depannya ini dengan kesal kemudian pergi.
***
Malam hari, terdengar suara keributan dari balik kamar sepasang suami istri itu yang tak lain adalah Angga dan Vira.
Vira mengambil sebuah vas bunga yang ada di dekat rak buku dan melemparkannya karena kesal bercampurnya amarah.
Prang!
Mendengar pecahan vas tersebut membuat Angga makin tidak nyaman. Dia berjalan menghampiri sang istri dan menamparnya.
Vira hanya diam dan terkejut. Dia memegangi pipinya karena kesakitan sambil menatap Angga melas.
"Mas, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu nampar aku? Kamu sudah gila ya, Mas?!'' tanyanya sambil menatap Angga, laki-laki yang berstatus menjadi suaminya tersebut.
Mendengar pertanyaan Vira, istrinya, Angga tersebut menjadi semakin geram. Dia menatap wanita yang ada didepannya ini dengan marah sambil mencengkram bajunya.
"Kamu yang gila! Udah aku bilang, aku gak selingkuh. Kamu salah paham!"
Vira hanya terkekeh dan menundukkan tatapannya. Matanya menjadi berkaca-kaca. Air mata tumpah membasahi pipinya. Dadanya sesak dan sakit mengingat kejadian tadi pagi.
Angga mengembuskan napasnya. Dia berjalan menghampiri Vira dan duduk di ranjang, berusaha dekat dengan sang istri.
"Sayang ... Kamu salah paham. Wanita itu hanya orang yang ingin memisahkan kita. Tolong dengarkan aku," pinta Angga.
"Setelah semuanya sudah jelas. Kamu baru mau menjelaskannya? Apa yang bisa kamu katakan? Sudah jelas tadi kamu selingkuh. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu dekat sama wanita. Hiks.." ujar Vira sambil menangis.
"Terus mau kamu apa? Apa yang bisa kulakukan supaya kamu mau memaafkan aku?"
Vira menatap Angga.
"Aku mau ... Kita pisah."
Mendengar pernyataan istrinya tersebut membuat Angga yang tadinya berusaha tenang kini menjadi marah besar. Dia kembali menampar sang istri.
"Apa kamu tau apa itu pisah? Kamu yakin? Bagaimana dengan anak kita nantinya? Terutama bayi yang kamu kandung? Dia juga butuh kita."
Angga berusaha membujuk Vira agar membatalkan permintaannya. Namun Vira hanya diam. Dia tetap keras kepala.
Karena tidak tahu harus bagaimana lagi merayu. Angga akhirnya mengalah. Dia pun terdiam sejenak kemudian berkata pada istrinya sambil menunjuk pintu.
"Baiklah. Kalau itu maumu, silahkan kamu pergi. Gak ada yang larang kamu. Ayo keluar sekarang!"
Vira tersenyum kecut. Hati kecilnya benar-benar merasa sedih nan sakit mendengar ucapan sang suami.
Dia berdiri dan menatap Angga.
"Baik." Lalu, dia membuka lemarinya dan berusaha mengemasi barang-barangnya tersebut.
Sedangkan Angga hanya duduk dan diam. Merasa putus asa.
****
Aarav sedang bermain game. Dia yang tidak sengaja mendengar keributan ayah ibunya menjadi tidak nyaman dan menemui mereka di kamar orang tuanya.
Sesampainya di kamar, Aarav terkejut melihat suasana di ruang ini. Vas bunga, gelas, semua barang jatuh berantakan di lantai akibat pertengkaran tadi. Selain itu, dia juga kaget dan sedih melihat orang tuanya tersebut.
Aarav menghampiri Angga dan bertanya, "Pa ... Ini ada apa?" Bukannya menjawab, Angga hanya diam membiarkan anaknya terlarut dalam pertanyaan yang menghantuinya.
Karena tidak ada jawaban dari sang ayah. Aarav pun menghampiri sang ibu, namun jawabannya sama. Dia hanya diam.
Karena tidak ada jawaban. Aarav pun merasa semakin sedih. Dia terdiam.
Selang beberapa saat, Aarav melihat sang ibu beranjak dengan membawa sebuah koper. Dia menghampirinya.
"Ma ... Mama mau kemana? Tolong jangan tinggalin aku, Ma .." pinta Aarav dengan mata yang berkaca-kaca sambil memeluk ibunya tersebut.
Vira hanya diam dan tersenyum kecil. Dia juga merasa iba melihat keadaan anaknya. Tangannya mengelus rambut Aarav dengan penuh kasih sayang kemudian mengusap pipinya.
"Aarav sayang. Mama pamit pergi ya, kamu di sini sama Papa. Jaga diri baik-baik, Mama sayang sama kamu," ucapnya.
"Ma? Mama mau kemana?"
Vira hanya diam. Dia melangkahkan kakinya pergi keluar rumah.
Aarav menghampiri Angga dan berusaha meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. Dia juga meminta sang ayah agar menghentikan kepergian Mamanya. Namun lagi dan lagi Angga hanya diam, tidak menghiraukan anaknya tersebut.
Melihat sikap sang ayah, dan kepergian sang ibu. Serta suasana yang sunyi seperti ini membuat Aarav menjadi sakit hati. Dia berlari ke kamarnya menangis sesenggukan di atas kasur.
-Bersambung-
"Tidak, Mama darimana saja? Aarav habis beli makanan kesukaan mama, tau?" ujar Aarav berusaha mengalihkan pembicaraan.Vira menatap putranya dengan dingin. Dia berjalan mendekat sambil bertanya, "Kamu tadi bilang Mama kenapa?"Aarav tersenyum. "Tadi, Aarav juga pengen disuapi Mama cuma mama tidak ada di sini.. jadi Tante Farah yang menyuapi Aarav," jelasnya.Vira terdiam. Dia menghela napas sambil melirik Farah dengan kesal. Sementara wanita itu justru membalasnya dengan senyuman."Biar aku makan sendiri," ujar Aarav mengambil makanan yang dipegang Farah lalu memakannya sendiri.Farah tersenyum menatap Aarav. "Gimana? Kamu suka?" tanyanya ramah melihat lelaki itu makan dengan lahap.Aarav mengangguk. Dia tersenyum senang. "Makanan Tante memang selalu enak. Aku suka..""Baguslah. Kapan-kapan main ke rumah Tante, biar Tante masakin makanan yang lebih banyak buat kamu.." ujar Farah pada Aarav sambil melirik Vira yang sedang menatapnya dingin."Sepertinya itu lain kali. Karena, Aarav juga
Reina berjalan menghampiri Aarav. Dia tersenyum ramah menatap lelaki yang merupakan kakak kandungnya itu."Hai. Good morning," sapa Reina.Aarav membalas senyuman Reina. "Morning. Bagaimana kabarmu? Kau pasti senang kan bisa tidur di kamar mewah?" tebaknya.Reina menghela napas. Dia mengangguk pelan."Iya, tapi aku juga sedih. Aku rindu Mama. Oh ya, bagaimana harimu dengan beliau? Rasa rindumu sudah berkurang bukan?" Aarav menggeleng. Wajahnya menjadi datar dan hanya tersenyum. "Iya, aku senang bisa sama Mama. Jujur, aku ngga enak dengan keputusan papa buat tukaran posisi seperti ini..." ujar Aarav sambil menunduk.Reina merangkul Aarav. "Kau yang sabar. Kita pasti akan jadi keluarga harmonis.."Aarav hanya diam dan tersenyum kecil. Dia membelai rambut Reina dengan kasih. "Makasih adikku sayang," ucapnya.***"Aarav dan Reina kakak adik? Itu berarti aku bisa menjadi pacarnya?" tanya Tiara pada dirinya sendiri karena senang mengetahui kenyataan hubungan Reina dan Aarav."Mereka sauda
Angga menatap Reina tak percaya. Dia memangku pipi putrinya itu sambil menatap dengan mata yang berkaca-kaca. "Putriku.." ucapnya senang lalu memeluk Reina.Reina membalas pelukannya. "Papa? Selama ini, papa ada dimana? Kenapa mama tidak pernah bercerita bahwa--""Sudahlah. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Sekarang, yang penting kita bisa bertemu dan berkumpul kembali. Aku senang sekali," ucap Aarav sambil berjalan menghampiri Reina.Reina menatap Aarav tak percaya. Dia masih ling lung. Pikirannya butuh waktu untuk mencerna keadaan. Angga menatap Vira dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca. Namun, sang istri justru membalasnya dengan tatapan dingin."Ini sudah malam. Kau harus istirahat. Reina, kau di sini, temani mama. Dan kau Aarav, ayo pulang. Kita akan menyiapkan sesuatu untuk mama nanti.." jelas Angga.Reina mengerutkan kening. "Sesuatu apa?"Aarav hendak menjawab pertanyaan Reina, namun saat melihat ekspresi Angga yang melarangnya memberi tahu rencana surprise mereka pu
Saat sedang terpaku akan keadaan, tiba-tiba ponsel Aarav berbunyi. Segera, diapun pamit keluar untuk menjawab telepon tersebut."Halo, iya ada apa, Pa?" tanya Aarav dengan suara serak seperti ingin menangis, namun juga tersenyum senang."Kau dimana? kenapa belum pulang sore begini?" Angga juga terdengar khawatir.Mengetahui ayahnya yang sedang mencemaskan keadaan dia, Aarav pun merencanakan sesuatu untuk kedua orang tuanya tersebut. Dia tersenyum."Papa, Aarav lagi di rumah sakit, kepala Aarav sangat sakit," jelas Aarav sembari memegang kepalanya, membuat Angga terkejut."Apa?! Kenapa tidak menghubungi papa? sebentar, papa ke sana sekarang juga!" Telepon terputus. Terlihat raut panik Angga, dia segera mengeluarkan mobil dan bergegas ke rumah sakit. Berbeda dengan sang ayah yang panik setengah mati, Aarav justru tersenyum kesenangan. Saking senangnya, dia hampir melempar ponselnya. Namun, Reina datang dan menangkapnya sehingga ponsel lelaki itu tidak jadi menyentuh lantai."Kau ini, p
"Mama, aku pulang," ucap Reina setelah membuka pintu dan berjalan menghampiri ibunya, sedangkan Aarav hanya terdiam. Dia masih memikirkan perasaanya yang gelisah tanpa sebab setiap saat. Reina yang melihatnya langsung menegur Aarav."Hei, kau kenapa diam di situ? Ayo masuk," ajaknya.Aarav mengedipkan matanya. Dia tersenyum kecil kemudian berjalan menghampiri Reina yang sedang duduk di samping ibunya.Vira yang tadinya tertidur kini menjadi bangun saat mendengar percakapan Aarav dan Reina di ruangannya. Pelan-pelan dia membuka kedua matanya sambil menyandarkan tubuhnya di pojok ranjang. Dia memandangi sekelilingnya sekilas lalu kembali menatap Reina. Dia tersenyum kecil."Kamu sudah pulang? Kapan?" tanya Vira ramah.Reina tersenyum mengangguk. "Baru saja kok, Ma," jawabnya.Saat mendengar suara ibu Reina, perasaan Aarav menjadi makin gelisah. Suara itu sangat tidak asing di telinganya bahkan itu adalah suara yang biasa dia dengar sewaktu masih kecil saat ibunya masih bersamanya. Aara
Aarav mencoba untuk mengontrol tubuhnya dan berjalan dengan benar seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, itu selalu gagal sebab dia sering terjatuh akibat tidak sengaja kesenggol batu yang ada di jalan.Tiba-tiba, sorot mata Aarav tertuju pada sosok wanita yang sedang berjalan di pojokan jalan. Dia menyipitkan kedua matanya berusaha untuk melihat wanita itu untuk mengenali wajahnya. Aarav terdiam, saat sedang sibuk berpikir sambil menatap, tiba-tiba wanita itu sudah ada di dekatnya. "Ada apa?" tanya wanita itu yang penasaran sekaligus tidak nyaman karena ditatap oleh Aarav.Mendengar suara yang menurutnya tidak asing, Aarav menoleh ke arah sumber suara tersebut. Lagi dan lagi, kini dia malah melihat wajah ibunya. Aarav mengerutkan keningnya. 'Sebenarnya ada apa ini? Apa aku halusinasi?' "M---ma---ma. Ini Mama?" tanya Aarav terbata-bata dan sedikit gugup.Vira mengerutkan keningnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan."Mama? Dengar, kau pasti salah. Aku bukan ibumu, sudah ya, aku