Share

Bab 5. Keretakan

   Aarav berjalan sempoyongan. Dia tidak bisa mengontrol tubuhnya sendiri akibat kehilangan kesadaran setelah meminum banyak alkohol.

Di tengah jalan, Aarav terkejut melihat sebuah mobil datang melaju cepat ke arahnya. Sebisa mungkin, dia segera berlari menghindari mobil tersebut, tapi tidak bisa. Mobil itu justru berhenti saat Aarav hendak melarikan diri. 

Sesaat Aarav terdiam. Dia melihat plat mobil yang tak asing di depannya ini. 

_Ceklek_

Seorang pria turun dari mobil. Dia membuka kaca mata hitam yang dipakai dan meletakkannya di saku, kemudian berjalan menghampiri Aarav.

Aarav mengedipkan matanya. Dia berusaha menyadarkan dirinya sendiri dari mabuknya itu sembari melihat pria yang sekarang ada di dekatnya.

Sebelum kesadaran Aarav terkumpul. Tiba-tiba saja pria itu menjewer telinga Aarav sehingga membuatnya kesakitan.

"Auch, apa yang kau lakukan?! Sakit tau," katanya marah. Dia menatap pria yang ada di hadapannya dengan kesal.

"Sudah. Papa muak lihat kamu seperti ini, ayo ikut Papa pulang," titah Angga sambil mencekeram tangan Aarav dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Sedangkan Aarav hanya diam, dia menjadi gugup dan gelisah takut ayahnya akan membentaknya karena perbuatan yang dia lakukan ini.

Setibanya di rumah, Angga memegang tangan Aarav dan membantunya masuk ke rumah meski dengan cara yang sedikit kasar. Dia membawa putranya itu ke kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur. 

Di tatapnya dengan sendu wajah sang anak. Matanya berkaca-kaca. Hatinya sedih melihat kondisi anaknya tersebut, ingin dia berkata tentang apa yang terjadi, namun tidak sanggup. Sekarang dia hanya bisa menerima kenyataan pahit dan tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.

Di saat sedang merenung, tiba-tiba Tobi, salah satu karyawan Angga datang menghampirinya dan menepuk bahunya sambil menatap Aarav yang sedang tertidur.

Angga tersendiri kecil. Dia menghapus air matanya dan berbalik melihat Tobi.

"Pak ... Bapak baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Tobi cemas. 

"Gak ada masalah apa-apa. Saya baik kok, tenang saja," jawab Angga berbohong.

"Pak ... Kalau saya boleh tahu, bapak kenapa ya seperti ini? Suka nangis sendiri? Dan akhir-akhir ini anda juga terlihat sedih. Ada masalah apa?"

Angga tersenyum menggelengkan kepalanya pelan.

"Sudahlah. Saya bilang tidak ada masalah apapun."

Tobi menunduk.

"Sekarang, mending kau pergi saja! Aku sedang ingin sendiri," pinta Angga. 

Tobi mengangguk pelan. Dia pergi berlalu meninggalkan Angga yang sedang merenung sendirian di kamar Aarav.

***

Keesokan paginya, Aarav terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. 

"Aduh,'' rintihnya sambil memegangi kepalanya. Dia berusaha untuk bangkit dan mengingat apa yang terjadi tadi malam, namun tidak bisa.

Aarav menoleh. Dia melihat jam dinding yang sekarang menunjukkan pukul 06.40 WIB. Dia tahu bahwa ia akan terlambat bergegas beranjak dari ranjangnya dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelah itu, pergi ke luar rumah.

Saat Aarav hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba Angga datang dan mencegahnya dengan berkata, "Tunggu. Kau mau ke mana? Ayo sarapan."

Aarav menggeleng pelan.

''Tidak, Pa. Aarav lagi buru-buru," tolaknya. Kemudian berbalik pergi meninggalkan Angga dengan berlari menuju ke depan dan segera berangkat ke sekolah menggunakan motornya.

***

Malam hari, Aarav sedang duduk makan malam bersama ayahnya. Mereka terlihat acuh tak acuh dan saling mendiamkan. Tidak seperti keluarga lainnya yang menghabiskan waktu makan bersama sambil bersenda gurau dan bercerita. Angga dan dan sang anak ini justru bersikap dingin sehingga membuat suasana begitu suram dan gelap.

Hanya bunyi dentingan sendok dan suara cicak yang menempel di dinding membuat keheningan ini menjadi sedikit tenang.

Aarav mengembuskan napasnya berat. Dia memakan nasinya sambil menatap Angga tidak senang.

Angga yang merasa tidak nyaman karena lama ditatap oleh sang anak pun menegurnya, "Ada apa Aarav? Kenapa kau melihat Papa seperti ini?''

Spontan Aarav menggelengkan kepalanya.

"Gak ... gak ada apa-apa kok. Lagian kalau ada, apa Papa peduli?" tanya Aarav dengan nada dingin. Dia menundukkan kepalanya dan menatap lantai. 

Angga menggeleng. Dia kesal dengan sikap Aarav apalagi ucapannya tadi.

_Plak_

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aarav. Dia kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Terlebih dia juga merasa sedih melihat Angga yang sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan marah bercampur kecewa.

"Papa bilang, kalau Aarav ada masalah. Aku bisa curhat ke Papa, tapi saat ini Papa telah memukulku. Tidak hanya itu, dulu Papa juga tidak peduli padaku, kenapa sekarang berubah? Apa Papa sudah ingat kalau Papa itu punya anak?" 

Mendengar ucapan Aarav. Angga kembali menamparnya. Sedangkan Aarav hanya diam memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan sang ayah tadi.

"Dengar Aarav. Kau salah paham Papa tidak seperti---"

"Aku memang salah. Aku bahkan tidak mengenal Papa sama sekali. Papa hanyalah status, tapi anda tidak pernah bersikap layaknya seorang ayah. Aarav benci Papa!" ucap Aarav kemudian berlari meninggalkan ruangan.

Melihat kepergian Aarav. Angga hanya diam. Dia merasa kecewa dan sakit hati karena ucapan anaknya barusan. 

"Andai kau tahu, Papa sayang sama kamu," ucapnya dalam hati sambil tersenyum kecil dan meneteskan air matanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status