Aarav berjalan sempoyongan. Dia tidak bisa mengontrol tubuhnya sendiri akibat kehilangan kesadaran setelah meminum banyak alkohol.
Di tengah jalan, Aarav terkejut melihat sebuah mobil datang melaju cepat ke arahnya. Sebisa mungkin, dia segera berlari menghindari mobil tersebut, tapi tidak bisa. Mobil itu justru berhenti saat Aarav hendak melarikan diri.
Sesaat Aarav terdiam. Dia melihat plat mobil yang tak asing di depannya ini.
_Ceklek_
Seorang pria turun dari mobil. Dia membuka kaca mata hitam yang dipakai dan meletakkannya di saku, kemudian berjalan menghampiri Aarav.
Aarav mengedipkan matanya. Dia berusaha menyadarkan dirinya sendiri dari mabuknya itu sembari melihat pria yang sekarang ada di dekatnya.
Sebelum kesadaran Aarav terkumpul. Tiba-tiba saja pria itu menjewer telinga Aarav sehingga membuatnya kesakitan.
"Auch, apa yang kau lakukan?! Sakit tau," katanya marah. Dia menatap pria yang ada di hadapannya dengan kesal.
"Sudah. Papa muak lihat kamu seperti ini, ayo ikut Papa pulang," titah Angga sambil mencekeram tangan Aarav dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Sedangkan Aarav hanya diam, dia menjadi gugup dan gelisah takut ayahnya akan membentaknya karena perbuatan yang dia lakukan ini.
Setibanya di rumah, Angga memegang tangan Aarav dan membantunya masuk ke rumah meski dengan cara yang sedikit kasar. Dia membawa putranya itu ke kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur.
Di tatapnya dengan sendu wajah sang anak. Matanya berkaca-kaca. Hatinya sedih melihat kondisi anaknya tersebut, ingin dia berkata tentang apa yang terjadi, namun tidak sanggup. Sekarang dia hanya bisa menerima kenyataan pahit dan tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.
Di saat sedang merenung, tiba-tiba Tobi, salah satu karyawan Angga datang menghampirinya dan menepuk bahunya sambil menatap Aarav yang sedang tertidur.
Angga tersendiri kecil. Dia menghapus air matanya dan berbalik melihat Tobi.
"Pak ... Bapak baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Tobi cemas.
"Gak ada masalah apa-apa. Saya baik kok, tenang saja," jawab Angga berbohong.
"Pak ... Kalau saya boleh tahu, bapak kenapa ya seperti ini? Suka nangis sendiri? Dan akhir-akhir ini anda juga terlihat sedih. Ada masalah apa?"
Angga tersenyum menggelengkan kepalanya pelan.
"Sudahlah. Saya bilang tidak ada masalah apapun."
Tobi menunduk.
"Sekarang, mending kau pergi saja! Aku sedang ingin sendiri," pinta Angga.
Tobi mengangguk pelan. Dia pergi berlalu meninggalkan Angga yang sedang merenung sendirian di kamar Aarav.
***
Keesokan paginya, Aarav terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit.
"Aduh,'' rintihnya sambil memegangi kepalanya. Dia berusaha untuk bangkit dan mengingat apa yang terjadi tadi malam, namun tidak bisa.
Aarav menoleh. Dia melihat jam dinding yang sekarang menunjukkan pukul 06.40 WIB. Dia tahu bahwa ia akan terlambat bergegas beranjak dari ranjangnya dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelah itu, pergi ke luar rumah.
Saat Aarav hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba Angga datang dan mencegahnya dengan berkata, "Tunggu. Kau mau ke mana? Ayo sarapan."
Aarav menggeleng pelan.
''Tidak, Pa. Aarav lagi buru-buru," tolaknya. Kemudian berbalik pergi meninggalkan Angga dengan berlari menuju ke depan dan segera berangkat ke sekolah menggunakan motornya.
***
Malam hari, Aarav sedang duduk makan malam bersama ayahnya. Mereka terlihat acuh tak acuh dan saling mendiamkan. Tidak seperti keluarga lainnya yang menghabiskan waktu makan bersama sambil bersenda gurau dan bercerita. Angga dan dan sang anak ini justru bersikap dingin sehingga membuat suasana begitu suram dan gelap.
Hanya bunyi dentingan sendok dan suara cicak yang menempel di dinding membuat keheningan ini menjadi sedikit tenang.
Aarav mengembuskan napasnya berat. Dia memakan nasinya sambil menatap Angga tidak senang.
Angga yang merasa tidak nyaman karena lama ditatap oleh sang anak pun menegurnya, "Ada apa Aarav? Kenapa kau melihat Papa seperti ini?''
Spontan Aarav menggelengkan kepalanya.
"Gak ... gak ada apa-apa kok. Lagian kalau ada, apa Papa peduli?" tanya Aarav dengan nada dingin. Dia menundukkan kepalanya dan menatap lantai.
Angga menggeleng. Dia kesal dengan sikap Aarav apalagi ucapannya tadi.
_Plak_
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aarav. Dia kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Terlebih dia juga merasa sedih melihat Angga yang sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan marah bercampur kecewa.
"Papa bilang, kalau Aarav ada masalah. Aku bisa curhat ke Papa, tapi saat ini Papa telah memukulku. Tidak hanya itu, dulu Papa juga tidak peduli padaku, kenapa sekarang berubah? Apa Papa sudah ingat kalau Papa itu punya anak?"
Mendengar ucapan Aarav. Angga kembali menamparnya. Sedangkan Aarav hanya diam memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan sang ayah tadi.
"Dengar Aarav. Kau salah paham Papa tidak seperti---"
"Aku memang salah. Aku bahkan tidak mengenal Papa sama sekali. Papa hanyalah status, tapi anda tidak pernah bersikap layaknya seorang ayah. Aarav benci Papa!" ucap Aarav kemudian berlari meninggalkan ruangan.
Melihat kepergian Aarav. Angga hanya diam. Dia merasa kecewa dan sakit hati karena ucapan anaknya barusan.
"Andai kau tahu, Papa sayang sama kamu," ucapnya dalam hati sambil tersenyum kecil dan meneteskan air matanya.
"Tidak, Mama darimana saja? Aarav habis beli makanan kesukaan mama, tau?" ujar Aarav berusaha mengalihkan pembicaraan.Vira menatap putranya dengan dingin. Dia berjalan mendekat sambil bertanya, "Kamu tadi bilang Mama kenapa?"Aarav tersenyum. "Tadi, Aarav juga pengen disuapi Mama cuma mama tidak ada di sini.. jadi Tante Farah yang menyuapi Aarav," jelasnya.Vira terdiam. Dia menghela napas sambil melirik Farah dengan kesal. Sementara wanita itu justru membalasnya dengan senyuman."Biar aku makan sendiri," ujar Aarav mengambil makanan yang dipegang Farah lalu memakannya sendiri.Farah tersenyum menatap Aarav. "Gimana? Kamu suka?" tanyanya ramah melihat lelaki itu makan dengan lahap.Aarav mengangguk. Dia tersenyum senang. "Makanan Tante memang selalu enak. Aku suka..""Baguslah. Kapan-kapan main ke rumah Tante, biar Tante masakin makanan yang lebih banyak buat kamu.." ujar Farah pada Aarav sambil melirik Vira yang sedang menatapnya dingin."Sepertinya itu lain kali. Karena, Aarav juga
Reina berjalan menghampiri Aarav. Dia tersenyum ramah menatap lelaki yang merupakan kakak kandungnya itu."Hai. Good morning," sapa Reina.Aarav membalas senyuman Reina. "Morning. Bagaimana kabarmu? Kau pasti senang kan bisa tidur di kamar mewah?" tebaknya.Reina menghela napas. Dia mengangguk pelan."Iya, tapi aku juga sedih. Aku rindu Mama. Oh ya, bagaimana harimu dengan beliau? Rasa rindumu sudah berkurang bukan?" Aarav menggeleng. Wajahnya menjadi datar dan hanya tersenyum. "Iya, aku senang bisa sama Mama. Jujur, aku ngga enak dengan keputusan papa buat tukaran posisi seperti ini..." ujar Aarav sambil menunduk.Reina merangkul Aarav. "Kau yang sabar. Kita pasti akan jadi keluarga harmonis.."Aarav hanya diam dan tersenyum kecil. Dia membelai rambut Reina dengan kasih. "Makasih adikku sayang," ucapnya.***"Aarav dan Reina kakak adik? Itu berarti aku bisa menjadi pacarnya?" tanya Tiara pada dirinya sendiri karena senang mengetahui kenyataan hubungan Reina dan Aarav."Mereka sauda
Angga menatap Reina tak percaya. Dia memangku pipi putrinya itu sambil menatap dengan mata yang berkaca-kaca. "Putriku.." ucapnya senang lalu memeluk Reina.Reina membalas pelukannya. "Papa? Selama ini, papa ada dimana? Kenapa mama tidak pernah bercerita bahwa--""Sudahlah. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Sekarang, yang penting kita bisa bertemu dan berkumpul kembali. Aku senang sekali," ucap Aarav sambil berjalan menghampiri Reina.Reina menatap Aarav tak percaya. Dia masih ling lung. Pikirannya butuh waktu untuk mencerna keadaan. Angga menatap Vira dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca. Namun, sang istri justru membalasnya dengan tatapan dingin."Ini sudah malam. Kau harus istirahat. Reina, kau di sini, temani mama. Dan kau Aarav, ayo pulang. Kita akan menyiapkan sesuatu untuk mama nanti.." jelas Angga.Reina mengerutkan kening. "Sesuatu apa?"Aarav hendak menjawab pertanyaan Reina, namun saat melihat ekspresi Angga yang melarangnya memberi tahu rencana surprise mereka pu
Saat sedang terpaku akan keadaan, tiba-tiba ponsel Aarav berbunyi. Segera, diapun pamit keluar untuk menjawab telepon tersebut."Halo, iya ada apa, Pa?" tanya Aarav dengan suara serak seperti ingin menangis, namun juga tersenyum senang."Kau dimana? kenapa belum pulang sore begini?" Angga juga terdengar khawatir.Mengetahui ayahnya yang sedang mencemaskan keadaan dia, Aarav pun merencanakan sesuatu untuk kedua orang tuanya tersebut. Dia tersenyum."Papa, Aarav lagi di rumah sakit, kepala Aarav sangat sakit," jelas Aarav sembari memegang kepalanya, membuat Angga terkejut."Apa?! Kenapa tidak menghubungi papa? sebentar, papa ke sana sekarang juga!" Telepon terputus. Terlihat raut panik Angga, dia segera mengeluarkan mobil dan bergegas ke rumah sakit. Berbeda dengan sang ayah yang panik setengah mati, Aarav justru tersenyum kesenangan. Saking senangnya, dia hampir melempar ponselnya. Namun, Reina datang dan menangkapnya sehingga ponsel lelaki itu tidak jadi menyentuh lantai."Kau ini, p
"Mama, aku pulang," ucap Reina setelah membuka pintu dan berjalan menghampiri ibunya, sedangkan Aarav hanya terdiam. Dia masih memikirkan perasaanya yang gelisah tanpa sebab setiap saat. Reina yang melihatnya langsung menegur Aarav."Hei, kau kenapa diam di situ? Ayo masuk," ajaknya.Aarav mengedipkan matanya. Dia tersenyum kecil kemudian berjalan menghampiri Reina yang sedang duduk di samping ibunya.Vira yang tadinya tertidur kini menjadi bangun saat mendengar percakapan Aarav dan Reina di ruangannya. Pelan-pelan dia membuka kedua matanya sambil menyandarkan tubuhnya di pojok ranjang. Dia memandangi sekelilingnya sekilas lalu kembali menatap Reina. Dia tersenyum kecil."Kamu sudah pulang? Kapan?" tanya Vira ramah.Reina tersenyum mengangguk. "Baru saja kok, Ma," jawabnya.Saat mendengar suara ibu Reina, perasaan Aarav menjadi makin gelisah. Suara itu sangat tidak asing di telinganya bahkan itu adalah suara yang biasa dia dengar sewaktu masih kecil saat ibunya masih bersamanya. Aara
Aarav mencoba untuk mengontrol tubuhnya dan berjalan dengan benar seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, itu selalu gagal sebab dia sering terjatuh akibat tidak sengaja kesenggol batu yang ada di jalan.Tiba-tiba, sorot mata Aarav tertuju pada sosok wanita yang sedang berjalan di pojokan jalan. Dia menyipitkan kedua matanya berusaha untuk melihat wanita itu untuk mengenali wajahnya. Aarav terdiam, saat sedang sibuk berpikir sambil menatap, tiba-tiba wanita itu sudah ada di dekatnya. "Ada apa?" tanya wanita itu yang penasaran sekaligus tidak nyaman karena ditatap oleh Aarav.Mendengar suara yang menurutnya tidak asing, Aarav menoleh ke arah sumber suara tersebut. Lagi dan lagi, kini dia malah melihat wajah ibunya. Aarav mengerutkan keningnya. 'Sebenarnya ada apa ini? Apa aku halusinasi?' "M---ma---ma. Ini Mama?" tanya Aarav terbata-bata dan sedikit gugup.Vira mengerutkan keningnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan."Mama? Dengar, kau pasti salah. Aku bukan ibumu, sudah ya, aku