Aarav sedang duduk di kelas sambil membaca buku IPA, mata pelajaran kesukaannya apalagi tentang materi biologi.
Di saat sedang santai belajar, tiba-tiba Dennis datang dan memukulnya tanpa alasan, membuat Aarav merasa kesakitan. Dia memegangi bahunya yang terasa perih itu dan menatap Dennis dengan ketakutan. Jantungnya berdetak kencang merasa gugup dan kakinya gemetar. Keringat dingin mengucur membasahi rambut hingga tubuhnya.
Aarav menjadi sangat gugup. Apalagi saat Dennis melempar sebuah buku ke arahnya sambil tersenyum licik.
"Hei culun, tolong kerjain tugasku!" pinta Dennis dengan kasar pada Aarav.
Aarav hanya diam. Dia berusaha menolak permintaannya itu dengan menggelengkan kepalanya.
"Maaf, aku tidak bisa. Aku lagi sibuk soalnya, lebih baik kamu belajar mengerjakan soalnya sendiri," tolaknya halus.
Dennis memandang Aarav tak suka.
"Alasan kamu. Sudah sana cepat kerjakan! Atau aku akan memukulmu sekali lagi," ancam Dennis.
"Ta--tapi?"
_Plak_
Tiba-tiba saat Aarav ingin mengatakan sesuatu, Dennis justru kembali menamparnya dan membuat Aarav semakin kesakitan. Tanpa disadari, air matanya mulai menetes dan mengalir membasahi wajahnya. Hatinya benar-benar marah akan perlakuan temannya itu, ingin sekali dia memberikannya pelajaran, tapi tak mampu.
Akhirnya, Aarav pun terpaksa mengerjakan tugas Dennis tersebut, sedangkan Dennis hanya diam dan tersenyum licik melihat Aarav yang tidak berdaya itu.
***
Seorang gadis sedang berada di perpustakaan untuk membaca buku sembari bergurau bersama teman-temannya.
Rambutnya yang lurus sebahu, matanya yang hitam. Senyumnya yang manis. Gadis itu terlihat sangat cantik.
Beberapa saat berlalu, teman gadis itu perlahan mulai menghilang dari pandangan. Sementara dia masih tetap berada di perpustakaan ini sambil memegang bukunya.
Karena merasa kesepian dan sedikit takut akibat sendirian, gadis itu pun memutuskan untuk kembali ke kelas.
Di tengah jalan menuju ke kelasnya. Tanpa disengaja dia melihat Aarav sedang duduk termenung di taman sambil terus menundukkan tatapannya. Pandangannya kosong seperti tidak ada semangat bahkan harapan.
Gadis yang melihatnya seperti itu hanya diam dan tersenyum kecil. Dia lalu berjalan menghampiri Aarav.
"Hai," sapanya sambil menepuk bahu Aarav.
Aarav mengedipkan matanya dan mulai tersadar dari lamunannya. Dia memandang gadis yang ada di depannya itu dengan heran.
"Iya? Ada apa?"
"Kau baik-baik saja 'kan? ku lihat tadi wajahmu terlihat cemas, ada masalah apa? Sini cerita," ucap gadis tersebut. Dia tersenyum kecil, berusaha untuk menenangkan Aarav yang tegang akibat kejadian tadi pagi.
Aarav menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak ada. Aku baik-baik saja, kau salah paham. Tadi aku hanya kelelahan," bantah Aarav.
"Serius?"
Aarav menatap gadis yang ada di depannya itu dengan kesal membuatnya merasa gugup. Dia pun berusaha meminta maaf padanya, tapi saat bibirnya ingin mengucapkan sesuatu, Aarav justru memotong ucapannya itu dengan tertawa pelan.
"Hahaha. Kau pikir aku bohong? Aku jujur kok, lihat aku bahagia. Gak ada masalah apa-apa."
"Emm, ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, kau mau tidak jajan bersama aku? Di kantin?" ajak gadis itu. Aarav hanya diam dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku pergi dulu," tolaknya dengan nada halus tapi dingin. Dia lalu bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan gadis itu sendirian di taman.
Melihat kepergian Aarav, gadis itu menggeleng dan tersenyum kecil. Memang sudah jadi kebiasaan pemuda itu berbohong tentang perasaannya, dan ini bukanlah masalah baru bagi gadis itu. Dia hanya heran, kenapa Aarav selalu memanipulasi orang-orang di sekitarnya dengan tersenyum dan berbohong, terutama padanya. Bahkan dia juga tidak pernah menghargainya. Sehingga membuatnya merasa sedih.
Meskipun Aarav sering bersikap dingin pada orang-orang terutama pada perempuan tidak membuat gadis itu putus asa. Dia justru semakin menyukai Aarav dan mulai tulus mencintainya tanpa sepengetahuan Aarav sendiri.
_kring kring kring_
Lamunan gadis itu seketika buyar saat mendengar suara bel sekolah. Dia segera bergegas masuk ke kelas untuk mengikuti pembelajaran.
***
Di kelas, Annisa, teman gadis itu bertanya pada padanya, "Ada apa? Kenapa kau terlambat?"
Gadis itu tersenyum kecil menatap Annisa.
"Dengar ... tadi aku baru saja bertemu Aarav dan dia--"
"Aarav lagi Aarav lagi. Sampai kapan kau akan mengagumi dia seperti ini? Sudah cukup Ra. Kau tidak harus memaksa dirimu untuk tetap mencintai Aarav. Kau juga berhak bahagia, jangan siksa dirimu sendiri dengan melakukan hal ini. Mencintai seseorang yang bahkan tidak menghargai mu," tegur Annisa.
Gadis bernama Tiara itu hanya diam dan tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa Nis. Kalau aku diam dan berusaha melupakannya, hati aku justru semakin tersiksa. Apalagi kalau aku hanya diam.."
Annisa memegang dahinya dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia benar-benar tak habis pikir dengan temannya itu. Sedangkan Tiara hanya tersenyum.
-Bersambung-
"Tidak, Mama darimana saja? Aarav habis beli makanan kesukaan mama, tau?" ujar Aarav berusaha mengalihkan pembicaraan.Vira menatap putranya dengan dingin. Dia berjalan mendekat sambil bertanya, "Kamu tadi bilang Mama kenapa?"Aarav tersenyum. "Tadi, Aarav juga pengen disuapi Mama cuma mama tidak ada di sini.. jadi Tante Farah yang menyuapi Aarav," jelasnya.Vira terdiam. Dia menghela napas sambil melirik Farah dengan kesal. Sementara wanita itu justru membalasnya dengan senyuman."Biar aku makan sendiri," ujar Aarav mengambil makanan yang dipegang Farah lalu memakannya sendiri.Farah tersenyum menatap Aarav. "Gimana? Kamu suka?" tanyanya ramah melihat lelaki itu makan dengan lahap.Aarav mengangguk. Dia tersenyum senang. "Makanan Tante memang selalu enak. Aku suka..""Baguslah. Kapan-kapan main ke rumah Tante, biar Tante masakin makanan yang lebih banyak buat kamu.." ujar Farah pada Aarav sambil melirik Vira yang sedang menatapnya dingin."Sepertinya itu lain kali. Karena, Aarav juga
Reina berjalan menghampiri Aarav. Dia tersenyum ramah menatap lelaki yang merupakan kakak kandungnya itu."Hai. Good morning," sapa Reina.Aarav membalas senyuman Reina. "Morning. Bagaimana kabarmu? Kau pasti senang kan bisa tidur di kamar mewah?" tebaknya.Reina menghela napas. Dia mengangguk pelan."Iya, tapi aku juga sedih. Aku rindu Mama. Oh ya, bagaimana harimu dengan beliau? Rasa rindumu sudah berkurang bukan?" Aarav menggeleng. Wajahnya menjadi datar dan hanya tersenyum. "Iya, aku senang bisa sama Mama. Jujur, aku ngga enak dengan keputusan papa buat tukaran posisi seperti ini..." ujar Aarav sambil menunduk.Reina merangkul Aarav. "Kau yang sabar. Kita pasti akan jadi keluarga harmonis.."Aarav hanya diam dan tersenyum kecil. Dia membelai rambut Reina dengan kasih. "Makasih adikku sayang," ucapnya.***"Aarav dan Reina kakak adik? Itu berarti aku bisa menjadi pacarnya?" tanya Tiara pada dirinya sendiri karena senang mengetahui kenyataan hubungan Reina dan Aarav."Mereka sauda
Angga menatap Reina tak percaya. Dia memangku pipi putrinya itu sambil menatap dengan mata yang berkaca-kaca. "Putriku.." ucapnya senang lalu memeluk Reina.Reina membalas pelukannya. "Papa? Selama ini, papa ada dimana? Kenapa mama tidak pernah bercerita bahwa--""Sudahlah. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Sekarang, yang penting kita bisa bertemu dan berkumpul kembali. Aku senang sekali," ucap Aarav sambil berjalan menghampiri Reina.Reina menatap Aarav tak percaya. Dia masih ling lung. Pikirannya butuh waktu untuk mencerna keadaan. Angga menatap Vira dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca. Namun, sang istri justru membalasnya dengan tatapan dingin."Ini sudah malam. Kau harus istirahat. Reina, kau di sini, temani mama. Dan kau Aarav, ayo pulang. Kita akan menyiapkan sesuatu untuk mama nanti.." jelas Angga.Reina mengerutkan kening. "Sesuatu apa?"Aarav hendak menjawab pertanyaan Reina, namun saat melihat ekspresi Angga yang melarangnya memberi tahu rencana surprise mereka pu
Saat sedang terpaku akan keadaan, tiba-tiba ponsel Aarav berbunyi. Segera, diapun pamit keluar untuk menjawab telepon tersebut."Halo, iya ada apa, Pa?" tanya Aarav dengan suara serak seperti ingin menangis, namun juga tersenyum senang."Kau dimana? kenapa belum pulang sore begini?" Angga juga terdengar khawatir.Mengetahui ayahnya yang sedang mencemaskan keadaan dia, Aarav pun merencanakan sesuatu untuk kedua orang tuanya tersebut. Dia tersenyum."Papa, Aarav lagi di rumah sakit, kepala Aarav sangat sakit," jelas Aarav sembari memegang kepalanya, membuat Angga terkejut."Apa?! Kenapa tidak menghubungi papa? sebentar, papa ke sana sekarang juga!" Telepon terputus. Terlihat raut panik Angga, dia segera mengeluarkan mobil dan bergegas ke rumah sakit. Berbeda dengan sang ayah yang panik setengah mati, Aarav justru tersenyum kesenangan. Saking senangnya, dia hampir melempar ponselnya. Namun, Reina datang dan menangkapnya sehingga ponsel lelaki itu tidak jadi menyentuh lantai."Kau ini, p
"Mama, aku pulang," ucap Reina setelah membuka pintu dan berjalan menghampiri ibunya, sedangkan Aarav hanya terdiam. Dia masih memikirkan perasaanya yang gelisah tanpa sebab setiap saat. Reina yang melihatnya langsung menegur Aarav."Hei, kau kenapa diam di situ? Ayo masuk," ajaknya.Aarav mengedipkan matanya. Dia tersenyum kecil kemudian berjalan menghampiri Reina yang sedang duduk di samping ibunya.Vira yang tadinya tertidur kini menjadi bangun saat mendengar percakapan Aarav dan Reina di ruangannya. Pelan-pelan dia membuka kedua matanya sambil menyandarkan tubuhnya di pojok ranjang. Dia memandangi sekelilingnya sekilas lalu kembali menatap Reina. Dia tersenyum kecil."Kamu sudah pulang? Kapan?" tanya Vira ramah.Reina tersenyum mengangguk. "Baru saja kok, Ma," jawabnya.Saat mendengar suara ibu Reina, perasaan Aarav menjadi makin gelisah. Suara itu sangat tidak asing di telinganya bahkan itu adalah suara yang biasa dia dengar sewaktu masih kecil saat ibunya masih bersamanya. Aara
Aarav mencoba untuk mengontrol tubuhnya dan berjalan dengan benar seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, itu selalu gagal sebab dia sering terjatuh akibat tidak sengaja kesenggol batu yang ada di jalan.Tiba-tiba, sorot mata Aarav tertuju pada sosok wanita yang sedang berjalan di pojokan jalan. Dia menyipitkan kedua matanya berusaha untuk melihat wanita itu untuk mengenali wajahnya. Aarav terdiam, saat sedang sibuk berpikir sambil menatap, tiba-tiba wanita itu sudah ada di dekatnya. "Ada apa?" tanya wanita itu yang penasaran sekaligus tidak nyaman karena ditatap oleh Aarav.Mendengar suara yang menurutnya tidak asing, Aarav menoleh ke arah sumber suara tersebut. Lagi dan lagi, kini dia malah melihat wajah ibunya. Aarav mengerutkan keningnya. 'Sebenarnya ada apa ini? Apa aku halusinasi?' "M---ma---ma. Ini Mama?" tanya Aarav terbata-bata dan sedikit gugup.Vira mengerutkan keningnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan."Mama? Dengar, kau pasti salah. Aku bukan ibumu, sudah ya, aku