Share

Kekecewaan Hati

Pagi itu Alyasha menggeliat perlahan. Kepalanya terasa berat dan berdenyut-denyut nyeri. Kenapa ia bisa sakit kepala? Alyasha tidak ingat.

Tempat tidur yang ia tempati terasa aneh di bawah tubuh. Tidak terasa seperti ranjangnya yang biasa. Tangan halusnya meraba di atas kasur, mencari tubuh hangat Mas Arya yang biasa selalu menemani tidurnya.

Tangannya tidak menemukan apapun. Apa Mas Arya bangun lebih dulu? Perlahan, ia membuka mata, mengamati sekeliling ruangan.

Ini bukan kamar tidurnya.

Mata Alyasha membelalak seketika. Terperanjat, ia cepat-cepat turun dari kasur. Hampir jatuh terjungkal karena selimut yang membelit kaki.

Alyasha meneliti ruangan dengan panik. Tidak ada siapapun di sana kecuali dirinya. Dengan sebelah tangan, ia memijat pelipis untuk mengurangi rasa pening. Bagaimana ia bisa sampai ke mari?

Alyasha berusaha mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Ia ingat ia pergi untuk menghadiri gathering yang diselenggarakan oleh agency. Alyasha ingat mereka mengobrol, dan makan, sambil menikmati segelas wine.

Beberapa gelas wine, lebih tepatnya.

Alyasha mengernyit. Ia mungkin bukan pemabuk, tetapi, Alyasha bukanlah seorang yang mudah mabuk hanya karena beberapa gelas wine yang cukup light seperti semalamLagipula, Alyasha tahu sampai di mana batasnya.

Namun, sekeras apapun ia mencoba, Alyasha tetap tidak bisa mengingat bagaimana ia bisa berakhir di atas tempat tidur yang bukan ranjangnya.

Panik, Alyasha masuk ke dalam bilik toilet. Ia membuka seluruh pakaian, dan mengecek setiap inchi tubuhnya. Setelah ia yakin tidak ada apapun yang terjadi padanya semalam, barulah ia bisa mengembus napas lega.

Alyasha segera membersihkan tubuh. Ia lalu mengambil ponsel, dan lagi-lagi merasa heran karena ponselnya tidak aktif. Alyasha yakin ia men-charge ponselnya sebelum berangkat. Dan ia sama sekali tidak pernah menonaktifkannya, berpikir kalau-kalau ia akan mendapat telepon penting.

Mas Arya.

Teringat pada suaminya, Alyasha menelan ludah. Tangannya berkeringat dingin ketika ia menekan tombol daya untuk menghidupkan ponsel. Apa Mas Arya marah? Mas Arya pasti marah. Alyasha tidak pernah pergi semalaman tanpa kabar sebelumnya.

Suaminya pasti sangat khawatir. Alyasha menggigit bibir menunggu ponselnya aktif.

Segera saja puluhan panggilan tak terjawab, dan bejibun notifikasi pesan masuk si ponselnya. Semua dari Mas Arya.

Hanya satu pesan yang beda pengirim. Dari Juan, 30 menit yang lalu.

'Queenie, kalau sudah bangun, jangan panik, oke? Kamu lumayan mabuk semalam, jadi aku mengantarmu ke hotel. Aku ada di kamar 203 tepat di sebelah kamarmu. Telepon aku kalau kamu sudah liat pesan ini.'

Alyasha langsung menelepon Juan. Ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi semalam. Rasa pusing di kepalanya sudah terasa agak mendingan setelah ia mandi.

"Halo?"

"Juan! Apa yang terjadi semalam? Aku mabuk? Bagaimana bisa! Aku tidak bisa mengingat apapun setelah acara makan malam!"

"Wow, easy there. Nggak terjadi apa-apa, kok. Kamu cuma mabuk agak berat. Jadi, aku antar ke sini. Dari pada ke tempatku, 'kan? Nanti jadi gosip."

"Terus kenapa kamu juga nginep di hotel?"

"Aku khawatir sama kamu."

Alyasha terdiam beberapa saat. "Beneran nggak terjadi apa-apa? Aku nggak melakukan sesuatu yang memalukan, 'kan, kemarin?"

"Nggak, kok. Kamu mabuknya langsung tepar, haha...."

Alyasha mengembus napas lega. Kalau sampai ia melakukan sesuatu yang memalukan di gathering semalam, entah di mana akan ia menaruh muka saat bertemu teman-teman kerja.

Masih ada satu hal lagi, ia harus bilang apa pada Mas Arya? Tidak mungkin ia bisa dengan mudah mengatakan ia mabuk dan Juan mengantarnya ke hotel, 'kan?

Alyasha menggigit bibir, berpikir. Lalu, sebuah ide muncul di kepalanya. Ia menekan nomor Sashya, sahabatnya di Agency. Ia akan menjelaskan masalahnya dan meminta pada Sashya agar mau menolongnya untuk menjelaskan pada Mas Arya kalau-kalau nanti ia ingin menghubungi sahabat Alyasha itu.

Meskipun rencananya sempurna tanpa celah, rasa bersalah karena harus membohongi Mas Arya menggerogoti hatinya.

***

Di dalam kamar bernomor 203 tempat, Juan tengah menatap ponsel dengan tatapan yang sulit diartikan. 

Rencananya untuk membuat Alyasha tidak sadarkan diri dengan menaruh pil tidur di minumannya kemarin malam memang berhasil. Seperti yang ia prediksi, begitu Alyasha meneguk habis minumannya, beberapa menit kemudian, tubuh wanita itu lemas dan jatuh menelungkup di atas meja.

Juan segera mengangkat tubuh Alyasha dan meminta ijin pada teman-teman mereka yang lain untuk mengantar pulang. Mereka semua mengira Alyasha mabuk karena terlalu banyak minum. Tidak ada yang curiga.

Bahkan Alyasha pun tidak.

Begitu tiba di hotel, Juan berniat melancarkan niatnya. Ia mencintai Alyasha. Sejak dulu selalu menyukainya. Namun, Alyasha hanya menganggapnya sebagai teman. Akhirnya, ia akan memiliki Alyasha seutuhnya untuk malam ini. Hanya malam ini, Juan tidak meminta lebih. Jika Alyasha marah padanya besok pagi, ia memiliki alasan bahwa ia juga terlalu mabuk dan tidak ingat apa yang terjadi. 

Namun, ketika ia menindih tubuh Alyasha dan menatap wajah polos yang tengah terlelap tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun itu, Juan tidak bisa melakukannya. Juan terlalu mencintai Alyasha untuk memaksakan kehendak terhadap wanita itu.

Pada akhirnya, Ia hanya bisa tersenyum pahit dan menarik diri. 

Di sinilah ia kini, di atas ranjang yang terpisah dinding dengan Alyasha alih-alih terbangun di sisinya. Juan mendengkus sembari mengacak rambutnya. 

***

Alyasha duduk lebih tegak ketika melihat Mas Arya sudah tiba di rumah. Ia meremas kedua tangan gugup. Meski tidak ada apapun yang terjadi semalam, Alyasha tetap merasa bersalah karena tidak kembali ke rumah sebelum larut seperti janjinya.

Mas Arya meliriknya. Hanya sebentar, kemudian ia duduk di seberang meja di depan Alyasha. Tidak lagi melihat ke arahnya. Alyasha menjilat bibir yang tiba-tiba terasa kering. Mas Arya benar-benar marah.

"Mas, aku minta maaf," kata Alyasha. "Kemarin nggak enak sama temen kalo harus pamit duluan. Makanya, aku di sana sampai larut."

Hal itu bukan sepenuhnya bohong. Awalnya, Alyasha memang berniat untuk pulang terlebih dahulu, namun, teman-temannya meminta ia untuk tinggal sedikit lebih lama. Bahkan Lars juga ikut mengompori. Mau tidak mau, Alyasha tetap berada di sana.

Ia tidak mengira beberapa gelas wine akan membuatnya mabuk dan tidak pulang ke rumah sama sekali.

Mas Arya masih memalingkan wajahnya. Kedua tangan terlipat di depan dada. Alyasha tidak bisa membaca ekspresi wajahnya yang tanpa emosi.

"Mas? Mas jangan marah lagi. Aku benar-benar minta maaf."

Mas Arya tampak menarik napas beberapa kali sebelum akhirnya memandang Alyasha tepat di mata.

"Alya, kamu tahu aku sangat memercayaimu, 'kan? Aku sangat mencintaimu."

Jeda di antara mereka terasa berat dan menyesakkan. Alyasha merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Rasa bersalah semakin menyiksa hati. Untuk sesaat, Alyasha terdorong untuk mengatakan semuanya dengan jujur tanpa menyembunyikan apapun. Namun, ia takut akan konsekuensinya. Takut Mas Arya akan mencurigainya, atau malah membencinya.

Sungguh, Alyasha tidak akan sanggup jika sampai lelaki ini membencinya.

Ia mendengar Mas Arya menghela napas. Alyasha mengangkat kepala untuk menatapnya. Ada senyum kecil di wajah Mas Arya. Senyum itu senyum yang tidak pernah Alyasha lihat sebelumnya. Senyum seperti ia sedang menahan kesedihan yang mendalam.

"Mas...."

Mas Arya menggeleng. "Aku sangat mencintaimu, Alya. Kamu tahu itu."

Alyasha meraih tangan Mas Arya di atas meja. Menggenggamnya. Entah kenapa ia ingin menangis. Ia tidak suka Mas Arya memasang ekspresi merana seperti ini. Jika tahu akan jadi begini, Alyasha sungguh lebih memilih untuk tetap di rumah dan tidak menghadiri gathering.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi, tidak bisa ia ubah lagi. Kini, ia hanya bisa berjanji dalam hati. Berjanji untuk tidak akan pernah lagi melakukan hal-hal yang membuat Mas Arya seperti ini.

"Aku juga sangat mencintaimu, Mas," ujar Alyasha sambil tercekat.

***

"Aku juga sangat mencintaimu, Mas."

Kata-kata Alyasha bak garam yang ditabur diatas lukanya. Aryadi menatap tangan kecil Alyasha yang menggenggamnya.

Jika kamu memang sangat mencintaiku, Alya, mengapa kamu harus berbohong? Apa yang kamu tutupi? Hubunganmu dengan lelaki itu? Harus sejelas apa bukti yang aku lihat sebelum kamu mau mengatakan yang sebenarnya? Haruskah aku melihat kalian berdua telanjang di kamar hotel dulu, baru kamu akan mengakuinya?! Alyasha!

Hati Aryadi sakit. Seumur hidup ia tidak pernah jatuh cinta sedalam ini pada seseorang. Sampai-sampai dikhianati seperti ini pun, rasanya ia tetap tidak sanggup jika harus menyakiti Alyasha untuk melampiaskan rasa sakitnya.

Ia menelan ludah. Merasakan jantungnya seperti ditikam berkali-kali. Perlahan, ia melepas tangan Alyasha.

Ia bangkit berdiri tanpa melihat pada Alyasha lagi. Takut jika kelemahannya akan terlihat sejelas siang hari.

"Aku harus pergi ke kantor. Kamu sebaiknya istirahat."

Alyasha tetap duduk di sana, menatap punggung Aryadi hingga menghilang di balik pintu.

Malam itu, Aryadi tidak tidur di kamar mereka. Ia mengambil bantal dan selimut ekstra dari lemari, dan merebahkan tubuhnya di kamar cadangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status