Isabel, ayo keluar dulu, Nak. Kamu kan belum makan dari kemarin, nanti sakit loh.”
Suara Umi Isabel sedari tadi terus terdengar dari luar sana, berbagai cara dilakukan oleh wanita paruh baya tersebut untuk membujuk Isabel keluar dari kamarnya.
Khawatir? Tentu saja. Umi Isabel sangat khawatir dengan putri semata wayangnya. Pasalnya seusai berdebat dengan sang Abi, Isabel tak kunjung keluar dari kamarnya. Bahkan tuk makan sekalipun.
“Umi pergi aja, Isabel tidak lapar!” seru Isabel dari dalam kamar. Wajahnya saat ini benar-benar kacau; kedua matanya sebam, rambutnya berantakan. Belum lagi perutnya yang sedari tadi berbunyi meminta asupan makanan.
“Sudahlah, kau jangan terlalu memikirkan dan memanjakan dia. Ini adalah akibat dari kau yang memanjakannya, akhirnya dia jadi berani menentangku, kan? Kalau dia lapar pasti dia akan keluar sendiri, tidak usah pedulikan dia!”
Suara Abi Isabel terdengar dari luar sana membuat Isabel kian takut dan marah seketika. Ia takut akan amarah sang Abi, tetapi ia juga marah dan ingin memberontak.
Tak lama kemudian, Isabel mendengarkan suara langkah kaki pergi menjauh dari depan kamarnya. Isak tangis Isabel pun kembali terdengar, isak tangis lirih.
Bayangan akan awal pertemuannya yang sangat unik dengan Sean pun kembali terputar di kepalanya. Bagai sebuah film yang terputar di layar kaca.
***
Pagi yang indah membuat Isabel memilih berjalan-jalan di sebuah taman yang berada tak jauh dari perumahan rumahnya. Berbagai jenis bunga terdapat di sana, memanjakan mata siapapun yang menatapnya.
Saat tengah berjalan-jalan, seseorang tak sengaja menabrak Isabel, membuat gadis itu tersungkur jatuh dengan pakaian yang menjadi kotor.
“Kalau jalan pake mata dong!” tegur Isabel kesal, ia berusaha berdiri, tetapi kembali terjatuh karena kakinya yang terkilir.
“Ehh, sorry-sorry. Sini gue bantu berdiri.” Pria itu mengulurkan tangannya tuk membantu Isabel berdiri. Tetapi gadis itu menolaknya mentah-mentah.
“Nggak usah. Maaf, aku gak bisa terima uluran tangan kamu, bukan muhrim,” tolak Isabel halus. Ia masih berusaha tuk berdiri, dan akhirnya berhasil. Walaupun harus menahan sakit di pergelangan kaki kanannya.
Pria itu pun mengajak Isabel tuk duduk di salah satu kursi besi di taman. Ia memberikan sebotol air mineral dingin kepada Isabel. “Minum dulu, eum...”
“Isabel. Nama aku Isabel.”
“Nama yang bagus. Nama gue Sean,” ucap Sean dengan menampilkan senyumannya.
Hanya anggukkan kepalanya yang ia dapatkan dari Isabel, gadis itu kini meneguk hingga habis air yang berada di dalam botol mineral tersebut. Tampak ia juga berusaha memijat pergelangan kakinya yang terkilir.
“Gue antar pulang, ya? Lo pasti gak bisa pulang sendiri kan, apalagi kaki lo sakit kan,” tawar Sean.
Lagi-lagi Sean harus mendapatkan tolakan halus dari gadis itu, Isabel menggelengkan kepalanya kecil. “Nggak usah, aku bisa pulang sendiri.”
“Gih coba berdiri kalau bisa,” tantang Sean, ia tersenyum remeh ke arah Isabel, membuat gadisbitu sangat kesal dibuatnya.
Isabel pun mengumpulkan kekuatannya dan beranjak dari duduknya. Walaupun kakinya sangat sakit ia berusaha berjalan dengan tertatih. Namun, wajahnya tampak sangat kentara bahwa tengah menahan sakit.
“Udahlah, ngalah aja kalau emang lu gak bisa jalan.” Sean mengangkat tubuh Isabel dan membawanya masuk ke dalam mobil miliknya. Hal itu pun membuat Isabel memekik keras, untung saja keadaan taman tengah sepi.
Jika tidak, mungkin orang-orang akan mengeroyoki Sean karena mengira pria tersebut adalah penculik yang berniat menculik Isabel.
Wajah Isabel saat ini sangat memerah, ia marah dan kesal karena perlakuan Sean yang tiba-tiba seperti itu. Bahkan pria itu melanggar apa yang ia ucapkan.
“Kamu itu ya! Kan aku bilang gak mau dipegang sama orang yang bukan muhrim, ngerti gak sih?!” omel Isabel. Jika dalam film kartun, mungkin kepalanya saat ini sudah dipenuhi asap.
Sean yang tadinya akan beranjak dari tempatnya dan berniat menutup pintu mobil pun mengurungkan niatnya. “Gue gak ngerti. Tapi, yang gue ngerti bahwa menolong orang itu adalah sebuah kebaikan. Dan gue cuma berniat menolong lo! Apa dengan melihat lo yang kesakitan karena kaki terkilir gue bisa tinggalin lo begitu aja? Gak.”
Sontak Isabel bungkam dibuatnya, ia terdiam dan hanya bisa menundukkan kepalanya. Menatap dasar mobil. Hingga ia mendengar suara pintu mobil yang dibuka dari sebelah dan menampakkan sosok Sean.
Pria itu pun mulai menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas, membawanya menjauh dari area parkiran taman tersebut. “Rumah lo di mana?”
“Hah?”
“Rumah lo, jangan bilang lo lupa sama rumah sendiri? Atau lo kabur lagi dari rumah,” tebak Sean asal. Ia sesekali melirik Isabel dari sudut matanya.
“Gila kali. Rumah aku di kompleks perumahan depan. Tapi jangan turunin aku di depan rumah, bisa-bisa aku diamuk Abi,” cicit Isabel di akhir kalimatnya.
Kepala Sean pun mengangguk mengerti, ia membelokkan mobilnya masuk ke dalam kompleks perumahan yang ditunjukkan oleh Isabel. Hingga saat akan berbelok masuk ke dalam blok Isabel menghentikannya.
“Udah-udah, sampai sini aja. Rumah aku udah deket kok,” ucap Isabel. Ia membuka pintu mobil Sean lalu turun dengan perlahan. “Terima kasih ya udah nganterin aku, Sean.”
“Sama-sama.”
***
Cukup lama Isabel melamun, mengenang kembali masa-masa bertemunya dengan Sean. Saat itu belum ada benih cinta sama sekali di hati Isabel. Gadis itu hanya beranggapan bahwa Sean adalah orang baik yang Tuhan kirim untuk menolong dirinya. Tetapi, saat dipertemukan kembali di Turki, Isabel mulai menganggap bahwa Sean adalah takdirnya.
“Isabel, buka pintunya! Abi mau bicara sama kamu.”
Suara Abi Isabel membuat gadis itu sedikit takut, ia bahkan tak berani melangkah sedikit pun dari atas kasurnya.
“Buka Isabel! Atau Abi yang dobrak pintu kamar kamu, dan bawa kamu keluar dengan paksa,” ancam Abi Isabel.
Sontak gadis itu membulatkan kedua matanya terkejut, segera ia beranjak dari kasurnya dan berjalan membuka kunci pintu kamarnya. Membiarkan kedua orang di depan sana melihat wajahnya yang kacau.
“ASTAGA ISABEL!” pekik Umi Isabel. Wanita itu segera menghampiri putrinya dan memeluk tubuh ramping Isabel. “Maafkan Umi dan Abi, Nak. Ayo kita keluar dulu, kamu cuci wajah kamu dan makan dulu. Kamu lapar kan? Jangan sampai magh kamu kambuh.”
Isabel tak bisa menolak lagi, pasalnya ia merasakan perutnya mulai sakit bagai ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Ia hanya bisa menuruti ucapan Uminya, mengikuti wanita itu ke meja makan.
Di atas meja tampak berbagai jenis hidangan telah tersedia, dan semua adalah makanan kesukaan Isabel. Perut gadis itu sontak meronta ingin diisi oleh sang pemilik perut. Dengan segera tangan Isabel mengambil nasi dan berbagai lauk ke atas piringnya.
Ia langsung menyantap semuanya dengan terburu-buru, bagai orang yang telah tak makan selama satu bulan. Umi Isabel yang melihatnya pun hanya menggelengkan kepala saja, tetapi ia membiarkan putrinya melanjutkan makannya hingga tandas tak tersisa.
***
"Sean?"Mendengar seseorang namanya, Sean pun mendongakkan kepalanya menatap sang pelaku yang memanggil namanya itu.Tubuh keduanya mematung seketika saat pandangan mereka saling bertemu, membuat kerinduan yang mereka kubur bersama dengan susah payah akhirnya terbongkar hanya dalam satu detik saja."Isabel." Nama itu meluncur begitu saja dengan bebas keluar dari bibir Sean dengan bergetar.Entah mengapa kaki Isabel melangkah dengan sendirinya, berjalan mendekati pria yang sangat ia rindukan itu.Jarak keduanya pun semakin terkikis, membuat langkah Isabel terhenti tepat di hadapan pria itu. Ia mengangkat tangannya yang terlihat gemetar, hingga akhirnya tangan itu berakhir di pipi Sean."Aku rindu," bisik Isabel. Ia saat ini sama sekali tak memikirkan akibat dari perbuatannya.Ia kini seolah melupakan apa yang ada di sekitarnya, dan di mana saat ini berada. Semuanya seolah terlupakan begitu saja saat melihat wajah pria yang sangat ia rin
Selama perjalanan menuju Selat Bosporus Isabel hanya terdiam selama perjalanan, membuat Ahmed bingung melihat perilaku istrinya yang tak biasa itu. Biasanya Isabel akan berceloteh sepanjang perjalanan mereka."Kamu kenapa, Bel?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibir Ahmed yang sedari tadi gatal ingin bertanya.Tubuh Isabel sedikit tersentak karena suara Ahmed yang membuyarkan lamunannya. Ia pun membalikkan kepalanya menatap Ahmed seraya memberikan senyuman kecilnya. "Aku ngga apa-apa kok.""Yang benar?" tanya Ahmed memastikan. Ia tak percaya begitu saja pada istrinya, melihat wajah lesu dan tak bersemangat milik wanita itu. "Apa kamu gak suka kalau kita ke Selat Bosporus? Mau ganti tempat aja?"Dengan cepat Isabel menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, aku cuma kelelahan aja makanya jadi lemas."Tak ingin membuat mood istrinya semakin memburuk, Ahmed pun hanya menganggukkan kepalanya seolah percaya pada perkataan wanita itu. Ia memilih me
"Kita mau ke mana lagi, Sayang?" tanya Ahmed seraya menatap Isabel yang tengah sibuk menggulir layar ponselnya, melihat hasil jepretan mereka selama berjalan-jalan tadi.Isabel pun mengalihkan pandangannya menatap Ahmed, ia terlihat berpikir sejenak akan rencana mereka ke depannya. Ia kemudian mengangkat lengan kirinya dan melihat jam tangan yang terpasang manis di sana."Sebentar lagi waktu Dzuhur tiba, bagaimana kalau kita ke Blue Mosque dulu? Kamu harus merasakan bagaimana teduhnya beribadah di sana!" Isabel terlihat sangat antusias mengajak Ahmed.Melihat istrinya sangat bahagia, membuat Ahmed tak ada alasan untuk menolak permintaan wanita itu. Lagipula, tempat yang akan mereka kunjungi juga merupakan rumah Allah kan, pikir Ahmed."Yaudah, ayo. Nanti waktunya gak keburu kalau mau berjamaah," ajak Ahmed. Ia menggandeng tangan istrinya menuju mobil Syam yang sudah terparkir tepat waktu.Syam yang melihat mereka pun tersenyum ramah dan membukakan
“Ahmed! Ayo cepat. Aku sudah tidak sabar ingin berlibur!”Pekikan Isabel yang cempreng dan nyaring itu memenuhi seisi hotel, membuat Ahmed menggelengkan kepalanya seraya menutup kedua telinganya. Kebiasaan buruk Isabel yang tak bisa dihilangkan hanya satu, berteriak.Wanita itu tak akan segan untuk berteriak sekeras-kerasnya jika ia sudah kama menunggu. Hal yang tidak biasa Isabel lakukan adalah menunggu lebih lama dari lima menit. Jika lebih dari lima menit, niscaya wanita itu akan mengeluarkan suara membahananya, hal itu sudah Ahmed hafal bahkan di luar kepalanya.Tak ingin membuat wanita itu berteriak untuk kedua kalinya, Ahmed memilih bergegas keliar dari kamar dan menghampiri Isabel yang telah berkacak pinggang di depan pintu hotel. Wajahnya tampak terlihat kesal dengan bibir yang mengerucut beberapa centimeter.“Kamu lama banget sih! Aku udah pegal berdiri di sini,” gerutu Isabel.Ahmed pun membalasnya dengan cengiran
Ahmed membukakan pintu mobil untuk Isabel keluar. Cuaca yang sejuk disertai angin yang berembus cukup kencang membuat kain yang menutupi kepala wanita itu seketika beterbangan saat menginjakkan kakinya keluar dari mobil.Tangan Ahmed kini sudah menunggu di hadapan Isabel untuk diraih dan digandeng oleh wanita itu. Banyak mobil maupun orang yang keluar masuk dari bangunan kukuh di hadapan mereka. Sebuah papan besar terpasang di atas, menunjukkan nama tempat tersebut.Old Ottoman Cafe & Restauran. Sebuah rumah makan mewah yang cukup terkenal dan banyak dikunjungi oleh turis di Istanbul.“Ayo masuk,” ajak Ahmed seraya menggandeng Isabel untuk menaiki tangga di hadapan mereka. Berjalan memasuki pintu kayu dengan ukiran di hadapan mereka.Saat pertama kali masuk, indra pendengaran mereka disuguhkan dengan alunan musik klasik yang menyegarkan telinga. Pemandangan yang disajikan pun tak kalah indah dan menarik pandangan semua orang yang hadir.
Mobil yang membawa Ahmed dan Isabel pun telah berhenti di depan lobi Cheers Lightroom. Sebuah penginapan bintang lima yang terkenal di Istanbul.Terkenal bukan tanpa alasan tentunya, beberapa kamar memiliki pemandangan yang indah. Langsung menghadap ke lantai, membuat mata yang memandangnya menjadi segar seketika.Ahmed pun turun dari mobil, lalu menbukakan pintu mobil untun istri tercintanya. Mengulurkan tangannya di hadapan Isabel. "Silakan turun, Tuan Putri."Diperlakukan dengan sangat manis membuat kedua pipi Isabel memanas dibuatnya. Ia pun menundukkan kepalanya agar Ahmed tak mengetahui tentang pipinya yang bersemu merah. Ia pun menerima uluran tangan Ahmed."Teşekkür ederim Syam. Cara mengemudimu sangat bagus, sehingga kami sangat nyaman selama diantar olehmu," ucap Isabel dengan senyum manis.Syam yang mendengar Isbaek berbicara dengan bahasa Turki pun tersentak kecil dibuatnya. Tetapi, dengan segera ia menormalkan ekspresi wajahnya seperti semu