Saat ini Isabel dan kedua orang tuanya tengah duduk bersama di ruang keluarga. Ruangan dengan interior bergaya klasik tersebut hanya dipenuhi keheningan, tak ada yang berani mengangkat bicara sedikit pun atau hanya sekadar memecahkan keheningan.
“Isabel, kamu maukan Abi jodohkan dengan anak teman Abi?” Akhirnya suara berat dari Abi Isabel memecahkan keheningan tersebut. Membuat emosi Isabel kembali tersulut.
“Isabel nggak mau, Abi! Isabel sudah punya pilihan sendiri!” tolak Isabel. Kesua mata gadis itu saat ini tampak berkaca-kaca.
Alis Abi Isabel pun saling bertautan, terkejut atas ucapan putrinya. “Siapa? Jangan berdusta Isabel. Abi dan Umi tidak pernah melihat seorang pria pun yang dekat denganmu. Siapa nama pria itu?”
“Sean. Namanya Sean Abi.” Entah keberanian dari mana Isabel menyebut nama pria itu, yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Sean seorang. “Isabel mencintai dia, Abi. Nama dia tersebut di setiap doa Isabel, setelah Abi dan Umi.”
Melihat begitu besar cinta anaknya pada pria bernama Sean, Abi Isabel pun menganggukkan kepalanya.
“Kenalkan dia pada Abi dan Umi! Jika Abi menyetujuinya, kau bisa menikah dan hidup dengannya. Tetapi, jika Abi tidak menyetujuinya, jangan menyanggah lagi. Karena keputusan yang Abi ambil adalah yang terbaik,” putus Abi Isabel.
Kedua mata Isabel membulat sempurna, ia tak menyangka Abinya ingin berkenalan langsung dengan Sean. Senang, tentu saja Isabel sangat senang dibuatnya. Sebentar lagi kisah cintanya bersama Sean akan berlanjut, setidaknya sebelum ia menyadari satu hal.
Abinya pasti tidak akan menyetujuinya hidup bersama Sean jika mengetahui keyakinan yang dianut pria itu berbeda darinya.
“Kamu dengar kan, Isabel?” tanya Abinya, yang membuat lamunan Isabel buyar seketika.
“Iya, Abi. Isabel mendengarkan ucapan Abi kok. Isabel akan mengajak Sean ke sini, bertemu dengan Abi dan Umi,” ucap Isabel asal. Urusan keyakinan biarlah terakhir untuk ia pikirkan, yang ia pikirkan sekarang hanyalah mengiyakan ucapan Abi-nya agar tidak dijodohkan.
“Yasudah kalau begitu Abi mau ke kamar dulu. Mau istirahat,” pamit Abi Isabel, ia pun beranjak dari duduknya dan meninggalkan Isabel diikuti oleh Uminya.
Dengan sangat antusias, Isabel pun jua beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke kamarnya. Ia mengambil ponsel berlogo jeruk digigit tersebut dan menekan tombol telepon pada nama Sean.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.”
“Ih, Sean ke mana sih? Tumben banget ponselnya gak aktif,” ujar Isabel kesal, ia bahkan melempar benda pipih berbentuk pergi panjang tersebut ke atas kasur.
Ia pun segera mengganti pakaiannya dengan gamis berwarna peach dan hijab berwarna senada. Tak lupa meraih tas kecil dan mengisi dompet serta ponselnya di sana. Ia pun berjalan keluar dari kamar dan menghampiri Uminya yang kebetulan baru keluar dari kamar.
“Umi, Isabel mau keluar dulu, ya. Mau ke rumah Sean, ponselnya dia nggak aktif aku takut ada apa-apa sama dia,” pamit Isabel.
Uminya yang paham bahwa putrinya tengah dimabuk asmara pun menganggukkan kepalanya. “Jangan lama-lama, ya. Hati-hati juga jaga diri kamu.”
“Iya, Umi. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Isabel tampak keluar dari rumah dengan langkah sedikit terburu-buru, hatinya menjadi resah. Ia takut jika sesuatu yang tidak-tidak terjadi pada Sean. Seluruh doa ia rapalkan di dalam hatinya, berharap semuanya tak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.
Sebuah taksi yang kebetulan lewat di depan rumahnya pun ia hentikan, segera ia masuk ke dalam taksi dan menyebutkan alamat rumah Sean secara lengkap. Mobil itu pun segera melaju, meninggalkan pelantaran rumah Isabel dan membelah jalanan kota yang cukup pada siang itu.
“Sean, kamu di mana sih!” pekik Isabel frustasi, sedari tadi ia terus mencoba menelepon ponsel Sean berharap ponsel pria itu telah aktif. Tetapi nyatanya nihil, hanya suara operator yang menjawabnya dari seberang sana.
Isabel pun kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, ia akhirnya memilih diam dan menikmati perjalanan. Menatap jalanan lewat jendela transparan di mobil tersebut. Tetapi, pemandangan yang ia dapatkan hanya sekumpulan mobil dan motor yang tengah terjebak dalam kemacetan. Ia pun memutar bola matanya malas.
Hingga, bayangan akan saat Sean menembaknya kembali terputar di kepalanya bagai sebuah film yang sengaja ditayangkan untuknya. Ia pun tenggelam dalam bayangan tersebut.
***
“ISABEL!!” pekikan pemuda itu tampak menarik perhatian beberapa mahasiswa yang berada di taman tersebut. Membuat Isabel malu bukan main.
Isabel sontak melotot ke arah Sean yang berlari tanpa rasa malu ke arahnya. “Sean, kamu bisa tidak jangan berteriak seperti itu? Aku yang malu dibuatnya!’
Omelan gadis itu pun hanya dibalas dengan cengiran kecil dari Sean, menampilkan deretan gigi putih nan rapi miliknya. “Mau kubuat malu lebih lagi?”
“Maksudnya?” tanya Isabel yang tak mengerti atas apa maksud ucapan Sean. Bahkan dahinya saat ini telah mengerut membuat garisan di sana.
"Hello, friend! Can I have your attention for a moment?"
Seruan Sean itu pun berhasil mengumpulkan massa sekitar tiga puluh orang, membuat Isabel bertambah bingung dibuatnya.
Pria itu lalu berlutut di hadapan Isabel, mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah beludru dan membukanya. Isabel cukup terkejut melihat isi kotak tersebut, sebuah kalung berliontin bentuk hati.
“Isabel, aku telah lama menyimpang perasaan ini. Telah lama hati ini direnggut olehmu, namamu kini bertahta di dalam sana. Kini, setelah aku mengumpulkan keberanian, aku ingin menjalanin hubungan denganmu. Bukan lagi sekadar teman, tetapi sebagai sepasang kekasih. Do you want to be my girlfriend?”
Sontak kedua mata Isabel membulat sempurna, tak percaya atas ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di hadapannya itu. Ia tak tahu harus menjawab apa, sorakan untuk menerima Sean terdengar dari mahasiswa lain yang menonton aksi Sean.
Isabel semakin dilanda kebingungan. Hatinya memang telah jauh kepada Sean, tetapi apakah ia harus memberikannya secara utuh kepada pria itu? Melanggar aturan yang diajarkan oleh kedua orang tuanya?
Ia pun membantu Sean berdiri. “Kamu gila ya? Kamu tahu kan, selama ini aku bagaimana? Orang tuaku bagaimana?” Suara pekikanku tertahan di tenggorokan, tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kami.
“Aku sudah memikirkan ini semua matang-matang, Isabel! Dan aku memilih untuk menjadikanmu kekasihku,” ucap Sean santai.
Kepala Isabel menggeleng kecil. “Nggak bisa, Sean! Aku nggak bisa, seumur hidup aku tidak pernah melanggar peraturan dari Abi dan Umiku.”
“Ayolah Isabel, sekali saja. Aku mohon, aku tahu kamu juga mencintaiku kan?”
Isabel pun menghembuskan napas kasar, lalu menganggukkan kepalanya pelan. “Baiklah, aku mau menjadi kekasihmu, Sean.”
Suara tepuk tangan sontak memenuhi taman tersebut, membuat kedua pipi Isabel memerah dan memanas dibuatnya. Sean pun mengambil kalung yang berada di kotak tadi, lalu memakaikannya di leher Isabel yang berbalutkan hijab sedada itu.
***
“Neng, sudah sampai di tujuan.”Lamunan Isabel sontak terbuyar seketika karena ucapan sopir taksi tersebut, ia pun meronggoh tasnya dan mengambil beberapa lembaran uang sesuai harga yang tertera di papan digital.“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Isabel serta menyerahkan uang bayarannya kepada sopir tersebut, lalu keluar dari mobil.Isabel berdiri di depan sebuah rumah bergaya minimalis, dengan pagar besi yang tak terlalu tinggi terbentang di sana. Ia pun menekan tombol bel yang berada di tembok tersebut.“SEAN! INI AKU ISABEL!”Tetapi sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam sana. Sekeras apapun Isabel berteriak atau puluhan kali pun ia memencet bel, tak ada jawaban apapun dari dalam sana.Hati Isabel nyeri, ia merasakan hatinya bagai ditusuk oleh sebilah pisau. Pikirannya menjadi tak tenang, selalu memikirkan hal yang tidak-tidak terjadi pada Sean.“Kamu di mana, Sean?” gumam Isabe
“Isabel terima kalau Abi jodohkan Isabel.”Raut bahagia terpancar dari wajah pria paruh baya tersebut, ia beranjak dari duduknya dan memeluk tubuh putrinya."Keputusan yang sangat bagus, Isabel." Pria itu melepaskan pelukannya dengan putrinya."Tapi, bukannya kamu memiliki pilihan sendiri, ya?" tanya Umi Isabel, kening wanita itu mengerut membuat beberapa garisan di dahinya.Kepala Isabel menggeleng pelan, ia tersenyum masam mendengarnya. "Nggak, Umi. Dia bukan orang terbaik untuk Isabel.""Sudah, tidak usah memikirkan pria itu lagi. Abi akan segera mengabari teman Abi, biar mereka bisa secepatnya datang bersama anak mereka," ucap Abi Isabel girang. Pria itu beranjak dari hadapan Isabel dan istrinya lalu mengambil ponsel miliknya di kamar.Tatapan Umi Isabel tak pernah berpaling dari gadis itu. Ia seolah mengetahui ada yang disembunyikan oleh Isabel, tangannya pun ia rentangkan.Dengan cepat, Isabel menyambutnya dan memeluk
"Maaf saya terlambat, baru selesai meeting di kantor."Kedua mata Isabel membulat sempurna melihat pria yang baru saja datang tersebut. Wajah yang familiar menbuatnya terkejut."Kamu?!" pekik Isabel dan pria tersebut bersamaan.Mereka memasang wajah terkejut yang mengundang kebingungan di wajah masing-masing orang tua mereka."Kalian sudah saling mengenal?" Suara Hasan, Ayah pria itu memecahkan fokus mereka.Membuat merena menoleh ke arah pria tersebut."Iya, Yah. Tadi siang saya ketemu sama dia di taman, lagi menangis lagi. Kayak anak hilang," ucap pria itu polos.Rasanya Isabel ingin melakban mulut pria itu saat ini juga. Pria itu telah membuatnya malu di depan kedua orang tuanya dan calon mertuanya.Abi Isabel pun menatap anak gadisnya dengan tatapan intimidasi. "Kamu kenapa menangis tadi?""Ah itu, Bi. Teman Isabel mau pindah ke luar negeri, jadi Isabel sedih. Soalnya Isabel sama dia itu udah dekat banget," dusta
“Isabel, ayo bangun cepat!”Suara Umi Isabel bagai alarm yang membangunkan gadis itu dari mimpi indahnya, segera ia beranjak dari kasur dan membersihkan kasur tersebut. Seperti lagu anak-anak yang sering ia dengar saat kecil dulu.Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong Ibu, membersihkan tempat tidurku~Seusai membersihkan tempat tidurnya, Isabel pun segera meraih handuk yang tergantung di gantungan baju dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan merasakan dinginnya air tersebut menyentuh kulitnyaTak membutuhkan waktu lama untuk Isabel membersihkan tubuhnya, ia pun melilitkan handuk pada badannya lalu berjalan keluar dari kamar. Membuka lemari pakaian kayu dengan kaca sebadan di depannya. Ia pun memilah pakaian manakah kiranya yang akan ia pakai.Hingga, pilihan Isabel jatuh pada pakaian panjang berwarna peach dengan hiasan berbentuk leci di seluruh bagiannya. Tak lupa hijab langsung p
“Jadi kita akan melakukan acara pertunangan terlebih dahulu atau langsung pernikahan?” tanya Hasan.Kini, kedua keluarga baik dari pihak Isabel maupun Ahmed tengah duduk bersama di ruang keluarga rumah Isabel. Mereka tengah membicarakan pasal rencana pernikahan kedua anak mereka.“Tidak usahlah, lagian itu bukan tradisi dari kita kan? Ada baiknya kita menghalalkan mereka secepatnya saja,” ucap Raif tak sabar. Ia pun diangguki oleh Hasan yang jua nampak setuju oleh idenya.“Baiklah, kita tidak memakai acara pertunangan. Untuk tanggal pernikahan kita tentukan sekarang, ya?” putus Hasan mantap.Mereka pun tampak berpikir, hari apa sekiranya yang baik untuk dijadikan tanggal ijab kabul dan pesta pernikahan Ahmed dan Isabel.“Bagaimana kalau tanggal 28 bulan depan? Tepat hari ulang tahun Isabel,” usul Ahmed. Pria itu menatap sejenak Isabel yang duduk di hadapannya diapit oleh Umi dan Abinya.“
Seusai mengunjungi makam Ivana, Ahmed pun kembali membawa Isabel berkunjung ke suatu tempat. Isabel pun hanya menurut saja, karena ia tahu bahwa Ahmed akan selalu menjaga dan tak akan berbuat tak baik padanya.“Kita mau ke mana lagi, Ahmed?” tanya Isabel seraya menolehkan kepalanya menatap Ahmed yang tengah fokus mengemudi.“Tunggu aja kalau sampai nanti. Aku pastiin kamu bakal senang dengan tempat itu,” ucap Ahmed dengan seulas senyum di wajahnya. Tak ada lagi raut dingin di wajah pria itu. Yang ada hanya senyum hangat dan hormat kepada Isabel.Isabel pun hanya menganggukkan kepalanya mengerti, ia kembali menolehkan kepalanya ke jendela. Menatap jalanan yang sepi dipenuhi pepohonan yang menghiasi jalanan. Membuat mata Isabel menjadi segar menatapnya.Hingga, Ahmed memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang cukup besar, tetapi terlihat sederhana. Pekarangan yang luas dipenuhi anak kecil yang tengah bermain dengan riang. Mem
"Isabel."Suara panggilan dari seorang pria itu terdengar lembut di telinga Isabel.Sontak Isabel membalikkan kepalanya, menatap pria pemilik suara yang familiar di kepalanya tersebut. Ia pun berjalan mendekati pria tersebut.Gaun putihnya yang menjuntai hingga lantai, dan menyapu lantai keramik tersebut. Tetapi, ia tak peduli, ia tetap berjalan cepat ke arah pria tersebut.Pria yang sangat ia rindukan."Sean, ini beneran kamu? Aku merindukanmu, Sean!"Kedua tangan Isabel ingin memeluk tubuh Sean, tetapi pria itu langsung menghilang bagai partikel yang berterbangan.Kedua mata Isabel membulat sempurna, ia menolehkan kepalanya ke sana, kemari. Mencari pria yang tadi berada di hadpaannya."Sean! Kamu di mana!" seru Isabel. Gadis itu berteriak, berlari bagai orang kesetanan."SEAN!"***Isabel memekik keras sebelum ia terbangun dari tidurnya dengan napaa tersengal-sengal. Ia pun sontak
“Jadi, bisa kamu jelaskan ucapan kamu?”Saat ini Isabel tengah duduk di salah satu rumah makan junk food bersama Kakak Sean, yang ia ketahui namanya adalah Sea. Gadis itu tampak menatap kesal dan angkuh ke arah Isabel.“Sean pergi dari rumah karena tak mendapatkan restu dari kedua orang tuaku untuk menikahimu!” sergah Sea, amarahnya tampak sudah di ujung tanduk dan akan meledak sebentar lagi.Tubuh Isabel mematung seketika, ia tak tahu harus berkata apa. Lidahnya terasa kelu seketika dan tenggorokannya seperti tercekat sesuatu. Hatinya seperti tercelos membuat lubang yang cukup besar di sana.“T-ttapi, dia berkata bahwa dia telah bertunangan dengan seorang gadis yang seiman dengannya!” seru Isabel, kedua matanya telah panas dan berkaca-kaca.Terdengar suara tawa meledak dari Sea, gadis itu seakan meledek Isabel dan hal itu membuat Isabel merasa tak nyaman.“Kenapa kamu ketawa?” tanya Isabel yan