Share

Seamin Tak Seiman
Seamin Tak Seiman
Penulis: Queennsa

Prolog

"Isabel, aku ingin meminangmu. Aku ingin menjadikanmu pasangan hidupku, menemaniku hingga tua, saat susah maupun senang, saat kaya maupun miskin." Pria berkulit putih itu memegang erat kedua tangan kekasihnya.

Seolah, jika melepaskan tangan gadis itu barang sebentar saja akan membuat gadis itu menghilang dari hidupnya selamanya. Meninggalkannya dalam curam yang dalam, tak berpenghuni dan tak bercahaya. Karena gadis itu adalah cahayanya.

Kepala gadis bernama Isabel itu pun menggeleng kecil, tetesan demi tetesan air matanya terus berjatuhan. Membuat kedua pipinya menjadi basah akibat cucuran air mata yang berlimpah.

"Tidak bisa, Se. Aku tidak bisa menerima lamaran kamu, menjadi kekasihmu saja sudah merupakan dosa besar yang kuperbuat. Aku takut.... Aku takut jika aku kembali melangkah lebih jauh, maka Tuhanku akan melaknatku dengaan azabnya," ucap Isabel. Gadis berwajah Timur Tengah itu kini sudah berlinang air mata.

Bahkan, hijab berwarna hitam yang membaluti kepala hingga dadanya kini telah basah akibat air matanya. Sakit. Tentu saja. Dadanya merasakan pedih yang sangat menyiksa, membuatnya sesak seketika.

Hembusan napas kasar teedengar dari pria bernama Sean tersebut. Mata birunya memancarkan sorot kesedihan, membuat siapapun yang melihatnya akan ikut terhanyut dalam retisalya sang lelaki.

"Kalau aku meminta izin kepada kedua orang tua kamu bagaimama?" tanya Sean tiba-tiba.

Kedua mata Isabel sontak melotot ke arah Sean, bahkan jantung gadis itu saat ini hampir saja copot seketika dibuatnya. Dadanya berdebar, berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia tak habis pikir dengan pemikiran Sean yang sangat gila itu.

"Jangan gila, Sean!"

"Aku bahkan bisa melakukan apa saja, asal bisa hidup bersamamu. Bahkan jika nyawa saya sebagai taruhannya," ucap Sean. Keadaannya saat ini sangat kacau, rambut pirang alami tersebut tampak sangat berantakan.

Balasan atas ucapannya kembali mendapatkan gelengan kepala dari Isabel. "Jangan Sean! Kamu tahu kan? Kedua orang tuaku adalah keluarga yang sangat agamamis. Mereka menjunung tinggi agamaku, membuatku terkekang dalam sangkar emas tersebut. Jangan konyol."

Isabel menghembuskan napas panjang sejenak, ia menelan salivanya. "Jangan membuang waktumu hanya untuk bertanya tentang hal yang kita sudah tahu pasti jawabannya, Sean."

Kedua tangan Sean terulur untuk menangkul wajab Isabel, menahan hijab gadis itu agar tak berterbangan ke mana-mana.

"Aku bisa berpindah agama sekalipun jika itu adalah syarat untuk mendapatkan kamu, Isabel!" tukas Sean. Ia terlihat sangat mantap atas jawabannya.

Untuk kedua kalinya, Isabel kembali dibuat terkejut atas ucapan kekasihnya tersebut. "Kamu sepertinya sudah gila, Sean! Lebih baik, kita akhiri saja hubungan ini."

Isabel tak ingin membuat dosa lebih lama lagi. Sudah cukup selama satu tahun ini ia menjalin hubungan yang tak halal bersama seorang lelaki yang bukan muhrimnya. Ditambah, lelaki tersebut berbeda keimanan dengan dirinya.

Sungguh, Isabel saat ini merasa menjadi manusia yang paling berdosa di muka buminya.

"Kamu ingin menyelesaikan hubungan ini, Bel? Iya?! Hubungan yang telah kita pertahankan selama hampir satu tahun ini ingin kamu akhiri begitu saja? Jahat kamu, Bel!"

Pria itu sangat kecewa, bagai ada sebilah pedang yang sangat tajam menghunus ke dalam jantungnya. Ia memilih beranjak dari tempatnya dan meninggalkan gadis itu sendirian.

Berteman dengan sepi dan semilir angin yang menerbangkan gamis panjang serta hijab dengan warna senada yang dikenakannnya. Hatinya sakit, sangat sakit. Jika boleh, ia ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sean, tetapi tak bisa. Mereka selamanya tak akan bisa bersatu.

Mengucapkan kata itu pun tak mudah jua, pasalnya Sean sudah banyak menorehkan kenangan indah dan pedih bersamaan di relung hatinya.

Ia pun memilih menghapus air matanya dan berjalan meninggalkan tempat tersebut. Tempat yang menjadi pertemuan awal Sean dan Isabel, serta tempat yang mungkin menjadi saksi perpisahan Sean dan Isabel jua.

Ia berjalan ditemani oleh kenangan-kenangan indahnya saat bersama pria itu. Pria yang sangat ia cintai, dan masih bertahta di hatinya sampai detik ini juga.

***

“Assalamu’alaikum.”

Baru saja Isabel menginjakkan kaki memasuki rumahnya, tampak di depan pintu sudah berdiri sepasang suami istri paruh baya. Wajah yang sangat kental akan wajah mayoritas orang timur tengah. Gadis itu bahkan belum melepaskan sepatu tang melekat pada kaki jenjangnya.

“Darimana saja kamu?” Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh sang ayah, menbuat nyali Isabel sedikit menciut.

“Jawab salam dulu, Bi,” tegur wanita yag berdiri di sebelah Ayah Isabel. Bisa ditebak bahwa wanita berhijab panjang itu adalah ibu dari Isabel.

Kepala Isabel hanya bisa menunduk takut, ia takut akan amarah sang ayah. Pasalnya gadis itu keluar rumah tak izin apapun pada Abi dan Umi-nya. Ia mencuri kesempatan untuk keluar rumah saat kedua orang tuanya tengah berperian ke acara pernikahan teman mereka.

“Waalaikumsalam.” Terdengar helaan napas kasar dari pria paruh baya tersebut. “Kamu darimana saja, Isabel?”

“Isabel dari rumah teman, Abi,” cicit Isabel, suaranya bahkan hampir menyerupai sebuah bisikan.

“Angkat kepala kamu, Isabel! Abi tidak mengajari kamu untuk menunduk aaat berbicara dengan orang yang lebih tua. Tatap mata Abi!”

Sontak kepala Isabel naik perlahan, tetapi masih tak berani menatap kedua mata Abinya. Gadis itu malah mengalihkan tatapannya ke arah Uminya. “Maaf, Abi.”

“Sekarang kamu sudah berani, ya, keluar tanpa izin terlebih dahulu kepada Abi dan Umi? Abi tidak pernah mengajari kamu bersikap seperti perempuan brutal seperti itu, Isabel. Kalau kamu begini terus, rencana Abi sudah matang. Kamu akan Abi jodohkan dengan anak dari teman Abi!”

Deg.

Jantung Isabel sontak berdegup sangat kencang, ia tak percaya dengan kalimat terakhir Abinya. Bagaimana tidak, pria itu tak membicarakan apapun padanya tentang rencana perjodohan ini, padahal.semua keputusan itu adalah menyangkut kehidupannya.

“Abi. Kenapa Abi tidak membicarakan hal itu dengan Isabel dulu?” tanya Isabel yang masih tak percaya.

Kedua mata pria paruh baya itu menatap nyalang putrinya, membuat nyali Isabel kembali menciut dibuatnya. “Kamu masih bertanya seperti itu setelah melanggar pertauran Abi?”

“Tapi, ini kan tentang hidup yang akan Isabel jalani ke depannya, Abi! Abi jangan egois sepeti ini!”

Kecewa, tentu saja Isabel sangat kecewa dengan keputusan Abinya. Selama ini ia selalu berusaha menjadi yang terbaik, ia salalu menuruti segala peraturan yang seakan merantainya di rumah ini. Capai dengan segalanya, Isabel memilih berlari meninggalkan kedua orang tuanya.

Ia memasuki sebuah kamar dengan pintu kayu bercat hijau, lalu menutup pintu tersebut sedikit kasar. Tangis Isabel seketika luruh, hatinya bagai dihantam bongkahan batu yang cukup besar. Membuat hatinya terluka sangat besar.

Ini adalah pertama kali dalam hidupnya ia menentang keputusan dari kedua orang tuanya. Kata orang, kadang keputusan orang tua itu adalah yang terbaik. Tetapi pantaskah jika mereka jua harus mencampuri tentang jodoh dan pernikahan anaknya? Itulah yang ada dipikiran Isabel saat ini.

Jika boleh berkata, maka Isabel akan berteriak sekeras-kerasnya bahwa kedua orang tuanya orang yang egois. Orang yang selalu mengekang dirinya dengan seribu persturan ketat bertopeng agama dan dalil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status