"Isabel, aku ingin meminangmu. Aku ingin menjadikanmu pasangan hidupku, menemaniku hingga tua, saat susah maupun senang, saat kaya maupun miskin." Pria berkulit putih itu memegang erat kedua tangan kekasihnya.
Seolah, jika melepaskan tangan gadis itu barang sebentar saja akan membuat gadis itu menghilang dari hidupnya selamanya. Meninggalkannya dalam curam yang dalam, tak berpenghuni dan tak bercahaya. Karena gadis itu adalah cahayanya.
Kepala gadis bernama Isabel itu pun menggeleng kecil, tetesan demi tetesan air matanya terus berjatuhan. Membuat kedua pipinya menjadi basah akibat cucuran air mata yang berlimpah.
"Tidak bisa, Se. Aku tidak bisa menerima lamaran kamu, menjadi kekasihmu saja sudah merupakan dosa besar yang kuperbuat. Aku takut.... Aku takut jika aku kembali melangkah lebih jauh, maka Tuhanku akan melaknatku dengaan azabnya," ucap Isabel. Gadis berwajah Timur Tengah itu kini sudah berlinang air mata.
Bahkan, hijab berwarna hitam yang membaluti kepala hingga dadanya kini telah basah akibat air matanya. Sakit. Tentu saja. Dadanya merasakan pedih yang sangat menyiksa, membuatnya sesak seketika.
Hembusan napas kasar teedengar dari pria bernama Sean tersebut. Mata birunya memancarkan sorot kesedihan, membuat siapapun yang melihatnya akan ikut terhanyut dalam retisalya sang lelaki.
"Kalau aku meminta izin kepada kedua orang tua kamu bagaimama?" tanya Sean tiba-tiba.
Kedua mata Isabel sontak melotot ke arah Sean, bahkan jantung gadis itu saat ini hampir saja copot seketika dibuatnya. Dadanya berdebar, berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia tak habis pikir dengan pemikiran Sean yang sangat gila itu.
"Jangan gila, Sean!"
"Aku bahkan bisa melakukan apa saja, asal bisa hidup bersamamu. Bahkan jika nyawa saya sebagai taruhannya," ucap Sean. Keadaannya saat ini sangat kacau, rambut pirang alami tersebut tampak sangat berantakan.
Balasan atas ucapannya kembali mendapatkan gelengan kepala dari Isabel. "Jangan Sean! Kamu tahu kan? Kedua orang tuaku adalah keluarga yang sangat agamamis. Mereka menjunung tinggi agamaku, membuatku terkekang dalam sangkar emas tersebut. Jangan konyol."
Isabel menghembuskan napas panjang sejenak, ia menelan salivanya. "Jangan membuang waktumu hanya untuk bertanya tentang hal yang kita sudah tahu pasti jawabannya, Sean."
Kedua tangan Sean terulur untuk menangkul wajab Isabel, menahan hijab gadis itu agar tak berterbangan ke mana-mana.
"Aku bisa berpindah agama sekalipun jika itu adalah syarat untuk mendapatkan kamu, Isabel!" tukas Sean. Ia terlihat sangat mantap atas jawabannya.
Untuk kedua kalinya, Isabel kembali dibuat terkejut atas ucapan kekasihnya tersebut. "Kamu sepertinya sudah gila, Sean! Lebih baik, kita akhiri saja hubungan ini."
Isabel tak ingin membuat dosa lebih lama lagi. Sudah cukup selama satu tahun ini ia menjalin hubungan yang tak halal bersama seorang lelaki yang bukan muhrimnya. Ditambah, lelaki tersebut berbeda keimanan dengan dirinya.
Sungguh, Isabel saat ini merasa menjadi manusia yang paling berdosa di muka buminya.
"Kamu ingin menyelesaikan hubungan ini, Bel? Iya?! Hubungan yang telah kita pertahankan selama hampir satu tahun ini ingin kamu akhiri begitu saja? Jahat kamu, Bel!"
Pria itu sangat kecewa, bagai ada sebilah pedang yang sangat tajam menghunus ke dalam jantungnya. Ia memilih beranjak dari tempatnya dan meninggalkan gadis itu sendirian.
Berteman dengan sepi dan semilir angin yang menerbangkan gamis panjang serta hijab dengan warna senada yang dikenakannnya. Hatinya sakit, sangat sakit. Jika boleh, ia ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sean, tetapi tak bisa. Mereka selamanya tak akan bisa bersatu.
Mengucapkan kata itu pun tak mudah jua, pasalnya Sean sudah banyak menorehkan kenangan indah dan pedih bersamaan di relung hatinya.
Ia pun memilih menghapus air matanya dan berjalan meninggalkan tempat tersebut. Tempat yang menjadi pertemuan awal Sean dan Isabel, serta tempat yang mungkin menjadi saksi perpisahan Sean dan Isabel jua.
Ia berjalan ditemani oleh kenangan-kenangan indahnya saat bersama pria itu. Pria yang sangat ia cintai, dan masih bertahta di hatinya sampai detik ini juga.
***
“Assalamu’alaikum.”
Baru saja Isabel menginjakkan kaki memasuki rumahnya, tampak di depan pintu sudah berdiri sepasang suami istri paruh baya. Wajah yang sangat kental akan wajah mayoritas orang timur tengah. Gadis itu bahkan belum melepaskan sepatu tang melekat pada kaki jenjangnya.
“Darimana saja kamu?” Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh sang ayah, menbuat nyali Isabel sedikit menciut.
“Jawab salam dulu, Bi,” tegur wanita yag berdiri di sebelah Ayah Isabel. Bisa ditebak bahwa wanita berhijab panjang itu adalah ibu dari Isabel.
Kepala Isabel hanya bisa menunduk takut, ia takut akan amarah sang ayah. Pasalnya gadis itu keluar rumah tak izin apapun pada Abi dan Umi-nya. Ia mencuri kesempatan untuk keluar rumah saat kedua orang tuanya tengah berperian ke acara pernikahan teman mereka.
“Waalaikumsalam.” Terdengar helaan napas kasar dari pria paruh baya tersebut. “Kamu darimana saja, Isabel?”
“Isabel dari rumah teman, Abi,” cicit Isabel, suaranya bahkan hampir menyerupai sebuah bisikan.
“Angkat kepala kamu, Isabel! Abi tidak mengajari kamu untuk menunduk aaat berbicara dengan orang yang lebih tua. Tatap mata Abi!”
Sontak kepala Isabel naik perlahan, tetapi masih tak berani menatap kedua mata Abinya. Gadis itu malah mengalihkan tatapannya ke arah Uminya. “Maaf, Abi.”
“Sekarang kamu sudah berani, ya, keluar tanpa izin terlebih dahulu kepada Abi dan Umi? Abi tidak pernah mengajari kamu bersikap seperti perempuan brutal seperti itu, Isabel. Kalau kamu begini terus, rencana Abi sudah matang. Kamu akan Abi jodohkan dengan anak dari teman Abi!”
Deg.
Jantung Isabel sontak berdegup sangat kencang, ia tak percaya dengan kalimat terakhir Abinya. Bagaimana tidak, pria itu tak membicarakan apapun padanya tentang rencana perjodohan ini, padahal.semua keputusan itu adalah menyangkut kehidupannya.
“Abi. Kenapa Abi tidak membicarakan hal itu dengan Isabel dulu?” tanya Isabel yang masih tak percaya.
Kedua mata pria paruh baya itu menatap nyalang putrinya, membuat nyali Isabel kembali menciut dibuatnya. “Kamu masih bertanya seperti itu setelah melanggar pertauran Abi?”
“Tapi, ini kan tentang hidup yang akan Isabel jalani ke depannya, Abi! Abi jangan egois sepeti ini!”
Kecewa, tentu saja Isabel sangat kecewa dengan keputusan Abinya. Selama ini ia selalu berusaha menjadi yang terbaik, ia salalu menuruti segala peraturan yang seakan merantainya di rumah ini. Capai dengan segalanya, Isabel memilih berlari meninggalkan kedua orang tuanya.
Ia memasuki sebuah kamar dengan pintu kayu bercat hijau, lalu menutup pintu tersebut sedikit kasar. Tangis Isabel seketika luruh, hatinya bagai dihantam bongkahan batu yang cukup besar. Membuat hatinya terluka sangat besar.
Ini adalah pertama kali dalam hidupnya ia menentang keputusan dari kedua orang tuanya. Kata orang, kadang keputusan orang tua itu adalah yang terbaik. Tetapi pantaskah jika mereka jua harus mencampuri tentang jodoh dan pernikahan anaknya? Itulah yang ada dipikiran Isabel saat ini.
Jika boleh berkata, maka Isabel akan berteriak sekeras-kerasnya bahwa kedua orang tuanya orang yang egois. Orang yang selalu mengekang dirinya dengan seribu persturan ketat bertopeng agama dan dalil.
Isabel, ayo keluar dulu, Nak. Kamu kan belum makan dari kemarin, nanti sakit loh.”Suara Umi Isabel sedari tadi terus terdengar dari luar sana, berbagai cara dilakukan oleh wanita paruh baya tersebut untuk membujuk Isabel keluar dari kamarnya.Khawatir? Tentu saja. Umi Isabel sangat khawatir dengan putri semata wayangnya. Pasalnya seusai berdebat dengan sang Abi, Isabel tak kunjung keluar dari kamarnya. Bahkan tuk makan sekalipun.“Umi pergi aja, Isabel tidak lapar!” seru Isabel dari dalam kamar. Wajahnya saat ini benar-benar kacau; kedua matanya sebam, rambutnya berantakan. Belum lagi perutnya yang sedari tadi berbunyi meminta asupan makanan.“Sudahlah, kau jangan terlalu memikirkan dan memanjakan dia. Ini adalah akibat dari kau yang memanjakannya, akhirnya dia jadi berani menentangku, kan? Kalau dia lapar pasti dia akan keluar sendiri, tidak usah pedulikan dia!”Suara Abi Isabel terdengar dari luar sana membuat
Saat ini Isabel dan kedua orang tuanya tengah duduk bersama di ruang keluarga. Ruangan dengan interior bergaya klasik tersebut hanya dipenuhi keheningan, tak ada yang berani mengangkat bicara sedikit pun atau hanya sekadar memecahkan keheningan.“Isabel, kamu maukan Abi jodohkan dengan anak teman Abi?” Akhirnya suara berat dari Abi Isabel memecahkan keheningan tersebut. Membuat emosi Isabel kembali tersulut.“Isabel nggak mau, Abi! Isabel sudah punya pilihan sendiri!” tolak Isabel. Kesua mata gadis itu saat ini tampak berkaca-kaca.Alis Abi Isabel pun saling bertautan, terkejut atas ucapan putrinya. “Siapa? Jangan berdusta Isabel. Abi dan Umi tidak pernah melihat seorang pria pun yang dekat denganmu. Siapa nama pria itu?”“Sean. Namanya Sean Abi.” Entah keberanian dari mana Isabel menyebut nama pria itu, yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Sean seorang. “Isabel mencintai dia, Abi. Nama dia t
“Neng, sudah sampai di tujuan.”Lamunan Isabel sontak terbuyar seketika karena ucapan sopir taksi tersebut, ia pun meronggoh tasnya dan mengambil beberapa lembaran uang sesuai harga yang tertera di papan digital.“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Isabel serta menyerahkan uang bayarannya kepada sopir tersebut, lalu keluar dari mobil.Isabel berdiri di depan sebuah rumah bergaya minimalis, dengan pagar besi yang tak terlalu tinggi terbentang di sana. Ia pun menekan tombol bel yang berada di tembok tersebut.“SEAN! INI AKU ISABEL!”Tetapi sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam sana. Sekeras apapun Isabel berteriak atau puluhan kali pun ia memencet bel, tak ada jawaban apapun dari dalam sana.Hati Isabel nyeri, ia merasakan hatinya bagai ditusuk oleh sebilah pisau. Pikirannya menjadi tak tenang, selalu memikirkan hal yang tidak-tidak terjadi pada Sean.“Kamu di mana, Sean?” gumam Isabe
“Isabel terima kalau Abi jodohkan Isabel.”Raut bahagia terpancar dari wajah pria paruh baya tersebut, ia beranjak dari duduknya dan memeluk tubuh putrinya."Keputusan yang sangat bagus, Isabel." Pria itu melepaskan pelukannya dengan putrinya."Tapi, bukannya kamu memiliki pilihan sendiri, ya?" tanya Umi Isabel, kening wanita itu mengerut membuat beberapa garisan di dahinya.Kepala Isabel menggeleng pelan, ia tersenyum masam mendengarnya. "Nggak, Umi. Dia bukan orang terbaik untuk Isabel.""Sudah, tidak usah memikirkan pria itu lagi. Abi akan segera mengabari teman Abi, biar mereka bisa secepatnya datang bersama anak mereka," ucap Abi Isabel girang. Pria itu beranjak dari hadapan Isabel dan istrinya lalu mengambil ponsel miliknya di kamar.Tatapan Umi Isabel tak pernah berpaling dari gadis itu. Ia seolah mengetahui ada yang disembunyikan oleh Isabel, tangannya pun ia rentangkan.Dengan cepat, Isabel menyambutnya dan memeluk
"Maaf saya terlambat, baru selesai meeting di kantor."Kedua mata Isabel membulat sempurna melihat pria yang baru saja datang tersebut. Wajah yang familiar menbuatnya terkejut."Kamu?!" pekik Isabel dan pria tersebut bersamaan.Mereka memasang wajah terkejut yang mengundang kebingungan di wajah masing-masing orang tua mereka."Kalian sudah saling mengenal?" Suara Hasan, Ayah pria itu memecahkan fokus mereka.Membuat merena menoleh ke arah pria tersebut."Iya, Yah. Tadi siang saya ketemu sama dia di taman, lagi menangis lagi. Kayak anak hilang," ucap pria itu polos.Rasanya Isabel ingin melakban mulut pria itu saat ini juga. Pria itu telah membuatnya malu di depan kedua orang tuanya dan calon mertuanya.Abi Isabel pun menatap anak gadisnya dengan tatapan intimidasi. "Kamu kenapa menangis tadi?""Ah itu, Bi. Teman Isabel mau pindah ke luar negeri, jadi Isabel sedih. Soalnya Isabel sama dia itu udah dekat banget," dusta
“Isabel, ayo bangun cepat!”Suara Umi Isabel bagai alarm yang membangunkan gadis itu dari mimpi indahnya, segera ia beranjak dari kasur dan membersihkan kasur tersebut. Seperti lagu anak-anak yang sering ia dengar saat kecil dulu.Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong Ibu, membersihkan tempat tidurku~Seusai membersihkan tempat tidurnya, Isabel pun segera meraih handuk yang tergantung di gantungan baju dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan merasakan dinginnya air tersebut menyentuh kulitnyaTak membutuhkan waktu lama untuk Isabel membersihkan tubuhnya, ia pun melilitkan handuk pada badannya lalu berjalan keluar dari kamar. Membuka lemari pakaian kayu dengan kaca sebadan di depannya. Ia pun memilah pakaian manakah kiranya yang akan ia pakai.Hingga, pilihan Isabel jatuh pada pakaian panjang berwarna peach dengan hiasan berbentuk leci di seluruh bagiannya. Tak lupa hijab langsung p
“Jadi kita akan melakukan acara pertunangan terlebih dahulu atau langsung pernikahan?” tanya Hasan.Kini, kedua keluarga baik dari pihak Isabel maupun Ahmed tengah duduk bersama di ruang keluarga rumah Isabel. Mereka tengah membicarakan pasal rencana pernikahan kedua anak mereka.“Tidak usahlah, lagian itu bukan tradisi dari kita kan? Ada baiknya kita menghalalkan mereka secepatnya saja,” ucap Raif tak sabar. Ia pun diangguki oleh Hasan yang jua nampak setuju oleh idenya.“Baiklah, kita tidak memakai acara pertunangan. Untuk tanggal pernikahan kita tentukan sekarang, ya?” putus Hasan mantap.Mereka pun tampak berpikir, hari apa sekiranya yang baik untuk dijadikan tanggal ijab kabul dan pesta pernikahan Ahmed dan Isabel.“Bagaimana kalau tanggal 28 bulan depan? Tepat hari ulang tahun Isabel,” usul Ahmed. Pria itu menatap sejenak Isabel yang duduk di hadapannya diapit oleh Umi dan Abinya.“
Seusai mengunjungi makam Ivana, Ahmed pun kembali membawa Isabel berkunjung ke suatu tempat. Isabel pun hanya menurut saja, karena ia tahu bahwa Ahmed akan selalu menjaga dan tak akan berbuat tak baik padanya.“Kita mau ke mana lagi, Ahmed?” tanya Isabel seraya menolehkan kepalanya menatap Ahmed yang tengah fokus mengemudi.“Tunggu aja kalau sampai nanti. Aku pastiin kamu bakal senang dengan tempat itu,” ucap Ahmed dengan seulas senyum di wajahnya. Tak ada lagi raut dingin di wajah pria itu. Yang ada hanya senyum hangat dan hormat kepada Isabel.Isabel pun hanya menganggukkan kepalanya mengerti, ia kembali menolehkan kepalanya ke jendela. Menatap jalanan yang sepi dipenuhi pepohonan yang menghiasi jalanan. Membuat mata Isabel menjadi segar menatapnya.Hingga, Ahmed memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang cukup besar, tetapi terlihat sederhana. Pekarangan yang luas dipenuhi anak kecil yang tengah bermain dengan riang. Mem