"Maaf saya terlambat, baru selesai meeting di kantor."
Kedua mata Isabel membulat sempurna melihat pria yang baru saja datang tersebut. Wajah yang familiar menbuatnya terkejut.
"Kamu?!" pekik Isabel dan pria tersebut bersamaan.
Mereka memasang wajah terkejut yang mengundang kebingungan di wajah masing-masing orang tua mereka.
"Kalian sudah saling mengenal?" Suara Hasan, Ayah pria itu memecahkan fokus mereka.
Membuat merena menoleh ke arah pria tersebut.
"Iya, Yah. Tadi siang saya ketemu sama dia di taman, lagi menangis lagi. Kayak anak hilang," ucap pria itu polos.
Rasanya Isabel ingin melakban mulut pria itu saat ini juga. Pria itu telah membuatnya malu di depan kedua orang tuanya dan calon mertuanya.
Abi Isabel pun menatap anak gadisnya dengan tatapan intimidasi. "Kamu kenapa menangis tadi?"
"Ah itu, Bi. Teman Isabel mau pindah ke luar negeri, jadi Isabel sedih. Soalnya Isabel sama dia itu udah dekat banget," dusta Isabel. Gadis itu terpaksa berbohong.
Tak mungkin ia memberitahukan kepada Abinya kalau dia menangis karena seorang pria. Abinya saja tak pernah membuatnya sakit hati, bisa-bisanya Sean membuatnya menangis.
Kepala Raif hanya mengangguk paham, ia tak ingin membahas lebih lanjut masalah itu di depan kedua calon besannya.
"Nah, ini anak saya yang mau dijodohkan dengan anak kamu, Raif. Dia pengusaha yang kebetulan meneruskan usaha keluarga, selain itu dia juga punya beberapa usaha lainnya yang dibangun secara mandiri," ucap Hasan menjelaskan kehidupan Anaknya.
Mendengar ucapan Hasan, Isbael sedikit terkagum dengan latar belakang pria yang belum ia ketahui namanya itu. Cukup mapan dan bertanggung jawab.
"Nah, ini Isabel. Dia adalah gadis yang ingin Ayah jodohkan dengan kamu, Med," ucap Hasan memperkenalkan Isabel.
Isabel pun menampilkan seulas senyum di bibirnya ke arah pria utu, seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Isabel."
"Ahmed." Pria dengan wajah timur tengah yang sangat kental itu pun jua melakukan hal yang sama seperti yang Isabel lakukan.
Ia tak berani untuk meminta berjabat tangan dengan Isabel, yang belum sepenuhnya menjadi muhrimnya. Apalagi di hadapan kedua orang tua mereka yang cukup agamamis.
"Ahmed, Isabel, kalian lebih baik berbicara dua mata dahulu. Besok kami akan datang ke rumah Isabel untuk membicarakan perjodohan kalian lebih lanjut," usul Hasan.
Setelah berpikir panjang, Abi Isabel pun menganggukkan kepalanya setuju. "Kamu jaga Isabel dengan baik, ya, Nak. Jangan melakukan hal apapun yang dibenci oleh Allah."
Raif hanya sekadar mengingatkan kedua anak remaja tersebut. Ia hanya tak ingin mereka berdua melakukan dosa yang dilaknat oleh Tuhan. Bukannya tak percaya pada keimanan kedua anak remaja tersebut, tetapi ia tahu bahwa setiap manusia pasti bisa khilaf.
"Siap, Om. Saya bakal jaga Isabel dengan baik, dan memulangkan dia tanpa kekurangan satu apapun," ucap Ahmed mantap.
Mata Ahmed melirik Isabel sejenak, ia pun tersenyum singkat. "Jalan duluan, Bel."
"Kenapa bukan kamu aja yang jalan duluan?" tanya Isabel bingung. Wajah tampan pria di hadapannya ini menbuatnya terpesona, tetapi ia tak sampai mampu untuk mencintainya.
Namun, Isabel percaya bahwa seiring berjalannya waktu mungkin ia bisa melupakan Sean dan mencintai pria yang akan menjadi suamunya ini.
"Karena perempuan adalah makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan. Wanita melalui banyak kesulitan di dunia ini, dari mengandung, melahirkan, hingga menyusui. Maka dari itu saya ingin kamu sebagai calon istri saya yang berjalan di depan, bukan di belakang," ucap Ahmed.
Mereka semua sontak mengulas sebuah senyuman di wajah mereka. Isabel semakin percaya bahwa pria itu adalah jodoh yang diturunkan Tuhan untuknya.
Isabel pun beranjak dan berjalan mendahului Ahmed yang mengikutinya di belakang. Tetapi Isabel menyuruhnya untuk berjalan di sebelahnya.
"Jangan di belakang, kamu bukan pengawal. Imam berada di depan, tetapi karena kamu menyuruhku di depan jadi lebih baik kita berjalan bersama saja. Karena wanita dan pria memoliki derajat yang setara di mata Tuhan," ucap Isabel.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ahmed pun menyetarakan langkahnya dengan Isabel. Tanpa menggandeng atau menyentuhkan kulitnya dengan gadis itu. Bagaimana pun ia belum berhak apapun atas tubuh Isabel.
Sesampainya di area parkiran mobil, Ahmed pun membukakan pintu mobil di jok penumpang untuk Isabel. Gadis itu pun dengan senang hati masuk dan menutup kembali pintu mobilnya.
Ia lalu beranjak dan masuk di jok kemudi, menyalakan mesin mobil lalu menjalankan mobil tersebut membelah jalanan kota yang cukup lenggang malam itu.
Keadaan di mobil cukup hening, membuat Isabel merasa bosan melandanya. Ia hanya menyaksikan riuh piuh kota Jakarta pada malam hari.
"Isabel," panggil Ahmed, memecahkan keheningan di mobil tersebut.
Isabel pun menolehkan kepalanya ke arah Ahmed. "Iya? Kenapa?"
"Kamu berbohong kan sama Abi kamu tadi?" tanya Ahmed. Pria itu awalnya terlihat ragu untuk melayangkan pertanyaan tersebut, tetapi akhirnya pertanyaan itu lolos juga.
Tubuh Isabel mematung seketika dibuatbya. Ia tak tahu harus berkata apa atas kebohongannya yang terungkap.
"Kalau kamu diam artinya kamu bohong," tambah Ahmed.
Kepala Isabel mengangguk kecil, ia tampak sangat bersalah kepada Ahmed. Tetapi wajahnya justru terlihat menggemaskan di mata pria itu.
"Kenapa kamu menangis? Putus cinta?"
Tepat sasaran sekali. Ucapan Ahmed tepat menusuk di hatinya. Luka yang belum mengering itu kini kembali bertambah lebar, mengoyak hati Isabel semakin dalam.
"Jawab Isabel, sebagai calon suamimu aku juga perlu tahu kan tebtang masa lalu kamu? Biar di kemudian hari tidak terjadi salah paham," ucap Ahmed.
Isabel membetulkan ucapan calon suaminya itu. Ia menghela napas panjang terlebih dahulu.
"Aku memang putus cinta. Aku mempunyai kekasih selama berkuliah di Turki dulu, dan kami menjalin hubungan hampir selama dua tahun."
Wajah Ahmed tampak sedikit terkejut, tetapi ia segera menormalkan ekspresi wajahnya seperti biasa. Matanya sesekali melirik ke arah Isabel, tetapi tetap fokus menyetir.
"Kamu tahu kenapa aku tidak pernah memberitahukan tentang pria itu kepada Abi?" tanya Isabel dengan mata yang berkaca-kaca.
Kepala Ahmed terlihat menggeleng kecil, penasaran dengan kelanjutan cerita kehidupan gadis yang duduk di sebelahnya itu.
"Karena aku dan dia berbeda. Keyakinan kami berbeda, Tuhan kami berbeda."
Untuk keuda kalinya Ahmed terkejut, dan ia tak bisa mengubah ekspresi wajahnya menormal kembali. Isabel hanya tersenyum maklum melihatnya.
"Hingga, saat aku menemui dia tadi siang aku bertemu dengan dia. Tetapi dengan seorang wanita yang memeluk lengannya erat. Dan wanita itu adalah... calon tunangannya," ucap Isabel dengan suara yang kian menyerak.
Ia tak kuasa menahan rasa ingin menumpahkan tangisnya saat ini. Tetesan cairan bening tersebut terjatuh membasahi kedua pipinya yang putih. Bahkan hijabnya saat ini jua telah basah dibuatnya.
"Jangan menangisi pria yang tidak pantas untuk kamu tangisi. Ingat, satu tetes air matamu jatuh karena seorang pria, maka sama dengan satu langkah pria itu menunu neraka."
***
"Sean?"Mendengar seseorang namanya, Sean pun mendongakkan kepalanya menatap sang pelaku yang memanggil namanya itu.Tubuh keduanya mematung seketika saat pandangan mereka saling bertemu, membuat kerinduan yang mereka kubur bersama dengan susah payah akhirnya terbongkar hanya dalam satu detik saja."Isabel." Nama itu meluncur begitu saja dengan bebas keluar dari bibir Sean dengan bergetar.Entah mengapa kaki Isabel melangkah dengan sendirinya, berjalan mendekati pria yang sangat ia rindukan itu.Jarak keduanya pun semakin terkikis, membuat langkah Isabel terhenti tepat di hadapan pria itu. Ia mengangkat tangannya yang terlihat gemetar, hingga akhirnya tangan itu berakhir di pipi Sean."Aku rindu," bisik Isabel. Ia saat ini sama sekali tak memikirkan akibat dari perbuatannya.Ia kini seolah melupakan apa yang ada di sekitarnya, dan di mana saat ini berada. Semuanya seolah terlupakan begitu saja saat melihat wajah pria yang sangat ia rin
Selama perjalanan menuju Selat Bosporus Isabel hanya terdiam selama perjalanan, membuat Ahmed bingung melihat perilaku istrinya yang tak biasa itu. Biasanya Isabel akan berceloteh sepanjang perjalanan mereka."Kamu kenapa, Bel?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibir Ahmed yang sedari tadi gatal ingin bertanya.Tubuh Isabel sedikit tersentak karena suara Ahmed yang membuyarkan lamunannya. Ia pun membalikkan kepalanya menatap Ahmed seraya memberikan senyuman kecilnya. "Aku ngga apa-apa kok.""Yang benar?" tanya Ahmed memastikan. Ia tak percaya begitu saja pada istrinya, melihat wajah lesu dan tak bersemangat milik wanita itu. "Apa kamu gak suka kalau kita ke Selat Bosporus? Mau ganti tempat aja?"Dengan cepat Isabel menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, aku cuma kelelahan aja makanya jadi lemas."Tak ingin membuat mood istrinya semakin memburuk, Ahmed pun hanya menganggukkan kepalanya seolah percaya pada perkataan wanita itu. Ia memilih me
"Kita mau ke mana lagi, Sayang?" tanya Ahmed seraya menatap Isabel yang tengah sibuk menggulir layar ponselnya, melihat hasil jepretan mereka selama berjalan-jalan tadi.Isabel pun mengalihkan pandangannya menatap Ahmed, ia terlihat berpikir sejenak akan rencana mereka ke depannya. Ia kemudian mengangkat lengan kirinya dan melihat jam tangan yang terpasang manis di sana."Sebentar lagi waktu Dzuhur tiba, bagaimana kalau kita ke Blue Mosque dulu? Kamu harus merasakan bagaimana teduhnya beribadah di sana!" Isabel terlihat sangat antusias mengajak Ahmed.Melihat istrinya sangat bahagia, membuat Ahmed tak ada alasan untuk menolak permintaan wanita itu. Lagipula, tempat yang akan mereka kunjungi juga merupakan rumah Allah kan, pikir Ahmed."Yaudah, ayo. Nanti waktunya gak keburu kalau mau berjamaah," ajak Ahmed. Ia menggandeng tangan istrinya menuju mobil Syam yang sudah terparkir tepat waktu.Syam yang melihat mereka pun tersenyum ramah dan membukakan
“Ahmed! Ayo cepat. Aku sudah tidak sabar ingin berlibur!”Pekikan Isabel yang cempreng dan nyaring itu memenuhi seisi hotel, membuat Ahmed menggelengkan kepalanya seraya menutup kedua telinganya. Kebiasaan buruk Isabel yang tak bisa dihilangkan hanya satu, berteriak.Wanita itu tak akan segan untuk berteriak sekeras-kerasnya jika ia sudah kama menunggu. Hal yang tidak biasa Isabel lakukan adalah menunggu lebih lama dari lima menit. Jika lebih dari lima menit, niscaya wanita itu akan mengeluarkan suara membahananya, hal itu sudah Ahmed hafal bahkan di luar kepalanya.Tak ingin membuat wanita itu berteriak untuk kedua kalinya, Ahmed memilih bergegas keliar dari kamar dan menghampiri Isabel yang telah berkacak pinggang di depan pintu hotel. Wajahnya tampak terlihat kesal dengan bibir yang mengerucut beberapa centimeter.“Kamu lama banget sih! Aku udah pegal berdiri di sini,” gerutu Isabel.Ahmed pun membalasnya dengan cengiran
Ahmed membukakan pintu mobil untuk Isabel keluar. Cuaca yang sejuk disertai angin yang berembus cukup kencang membuat kain yang menutupi kepala wanita itu seketika beterbangan saat menginjakkan kakinya keluar dari mobil.Tangan Ahmed kini sudah menunggu di hadapan Isabel untuk diraih dan digandeng oleh wanita itu. Banyak mobil maupun orang yang keluar masuk dari bangunan kukuh di hadapan mereka. Sebuah papan besar terpasang di atas, menunjukkan nama tempat tersebut.Old Ottoman Cafe & Restauran. Sebuah rumah makan mewah yang cukup terkenal dan banyak dikunjungi oleh turis di Istanbul.“Ayo masuk,” ajak Ahmed seraya menggandeng Isabel untuk menaiki tangga di hadapan mereka. Berjalan memasuki pintu kayu dengan ukiran di hadapan mereka.Saat pertama kali masuk, indra pendengaran mereka disuguhkan dengan alunan musik klasik yang menyegarkan telinga. Pemandangan yang disajikan pun tak kalah indah dan menarik pandangan semua orang yang hadir.
Mobil yang membawa Ahmed dan Isabel pun telah berhenti di depan lobi Cheers Lightroom. Sebuah penginapan bintang lima yang terkenal di Istanbul.Terkenal bukan tanpa alasan tentunya, beberapa kamar memiliki pemandangan yang indah. Langsung menghadap ke lantai, membuat mata yang memandangnya menjadi segar seketika.Ahmed pun turun dari mobil, lalu menbukakan pintu mobil untun istri tercintanya. Mengulurkan tangannya di hadapan Isabel. "Silakan turun, Tuan Putri."Diperlakukan dengan sangat manis membuat kedua pipi Isabel memanas dibuatnya. Ia pun menundukkan kepalanya agar Ahmed tak mengetahui tentang pipinya yang bersemu merah. Ia pun menerima uluran tangan Ahmed."Teşekkür ederim Syam. Cara mengemudimu sangat bagus, sehingga kami sangat nyaman selama diantar olehmu," ucap Isabel dengan senyum manis.Syam yang mendengar Isbaek berbicara dengan bahasa Turki pun tersentak kecil dibuatnya. Tetapi, dengan segera ia menormalkan ekspresi wajahnya seperti semu