“Isabel, ayo bangun cepat!”
Suara Umi Isabel bagai alarm yang membangunkan gadis itu dari mimpi indahnya, segera ia beranjak dari kasur dan membersihkan kasur tersebut. Seperti lagu anak-anak yang sering ia dengar saat kecil dulu.
Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong Ibu, membersihkan tempat tidurku~
Seusai membersihkan tempat tidurnya, Isabel pun segera meraih handuk yang tergantung di gantungan baju dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan merasakan dinginnya air tersebut menyentuh kulitnya
Tak membutuhkan waktu lama untuk Isabel membersihkan tubuhnya, ia pun melilitkan handuk pada badannya lalu berjalan keluar dari kamar. Membuka lemari pakaian kayu dengan kaca sebadan di depannya. Ia pun memilah pakaian manakah kiranya yang akan ia pakai.
Hingga, pilihan Isabel jatuh pada pakaian panjang berwarna peach dengan hiasan berbentuk leci di seluruh bagiannya. Tak lupa hijab langsung pakai yang berwarna sedana.
“Isabel, kamu ke mana.” Teriakan Hana kembali terdengar hingga ke dalam kamarnya, membuat Isabel meringis kecil.
Ia pun sedikit berlari kecil membuka pintu kamarnya dan keluar dari kamarnya. Matanya menangkap Uminya yang telah mondar mandir di dalam dapur. Ia pun segera menghampiri Uminya dan berinisiatif untuk membantu.
“Umi, ada apa sih pagi-pagi begini udah sibuk masak?” tanya Isabel bingung, ia mengambil beberapa tangkai sayuran dan memotongnya di talenan.
Hana pun menolehkan kepalanya menatap Isabel sebal. “Kamu lupa atau bagaimana, Isabel? Orang tua Ahmed kan mau datang ke sini untuk makan siang bersama, sekaligus untuk merencanakan perjodohan kalian.”
Sontak Isabel menepuk jidatnya pelan, ia kembali meringis kecil mendengarnya. “Hehehe maaf, Mi. Kayaknya Bela kecapekan deh makanya lupa.”
“Keasikan sama Ahmed sih kamu, makanya lupa sama dunia,” sindir Hana. Membuat Isabel memalingkan wajahnya.
“Apaan sih Umi. Ahmed kan cuma antar aku pulang,” elak Isabel. Kedua pipi gadis itu bahkan memanas dan memerah.
Hana hanya membalasnya dengan kekehan geli seraya melanjutkan kegiatan masaknya. Sama dengan Isabel yang juga turut ikut membantu segala macam kegiatan Uminya. Mulai dari memotong sayuran, hingga merebusnya menjadi sup.
Setelah kurang lebih tiga puluh menit memasak semuanya, kini di atas meja sudah terhidang berbagai jenis makanan rumahan yang tampak lezat untuk disantap. Isabel pun merenggangkan otot tangannya yang tampak terasa tegang karena terus bergerak tanpa henti.
Hingga, suara bel rumah berbunyi membuat Hana segera berlari kecil membukakan pintu untuk oara tamunya. Tentu saja ia sudah tahu siapa gerangan yang datang tersebut. Tetapi rupanya, kenyataan tak sesuai dengan harapannya.
Yang datang bukanlah keluarga Ahmed, melainkan seorang tukang pos yang berniat mengantarkan surat.
“Permisi, Bu. Ada paket untuk Ibu Isabel,” ucap pria yang mengantar surat tersebut. Kaos berwarna jingga dengan logo pos di bagian dada kiri.
“Ada apa, Mi?” tanya Isabel yang tiba-tiba berada di belakang Hana, mengagetkan wanita paruh baya tersebut.
Sontak Hana menepuk pelan bahu putrinya tersebut, sebagai balasan karena telah mengejutkan dirinya. “Kamu itu. Itu ada surat buat kamu.”
Isabel pun melengos keluar dan mengambil surat yang disodorkan oleh pria tersebut, lalu menandatangani kertas yang dibawa olehnya. Hingga, pria itu pun pamit dan meninggalkan Isabel sendirian di depan pintu.
Gadis itu pun membulak balikkan amplop surat tersebut, penasaran akan isi surat dan pengirim surat tersebut. Tak ingin terlalu lama menyelam dalam rasa penasarannya, ia pun membuka amplop tersebut dan membaca isinya.
----------------------------------------------------------
Dear, Isabel.
Hai gadis manis yang telah membuatku jatuh hati, gadis manis yang telah merenggut hati ini dan membawanya pergi.
Aku tahu, terlalu banyak luka yang kutorehkan di dalam hati kamu. Terlalu banyak air mata yang kamu teteskan hanya untuk menangisiku.
Mulai sekarang, jangan menangis lagi, ya, Tuan Putri? Jangan menangisiku kembali. Aku menyayangimu, tetapi kita tak akan pernah bisa bersatu. Tuhan kita berbeda. Tempat ibadah kita berbeda.
Terima kasih atas segala kenangan yang selama ini kamu torehkan dengan begitu indah di hatiku, terima kasih banyak. Aku menyayangimu, Isabel.
- Salam manis, Turki.
----------------------------------------------------------
Sontak seperti ada sesuatu yang menusuk ke dalam hati Isabel, mengoyak kembali hati yang terlalu rapuh tersebut. Bahkan air matanya sudah menetas satu persatu membasahi surat tersebut. Membuat noda di atas kertas putih tersebut.
Kepala Isabel tak perlu berpikir lama untuk mengetahui siapa gerangan sang pengirim surat. Ia mengetahui bahwa orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Sean. Sang pria yang menciptakan kenangan di Turki.
“Isabel, itu surat dari siapa?” tanya Hana yang menghampiri putrinya.
Tetapi, Isabel segera menghapus jejak air matanya lalu menyembunyikan surat tersebut di belakang punggungnya. “Ah, nggak apa-apa, Mi. Cuma surat dari sahabat aku yang pindah itu, dia kirim surat dari Turki.”
Kepala Hana pun hanya mengangguk paham, tak ingin bertanya lebih lanjut kembali. Ia pun segera kembali masuk ke dalam menyiapkan ruang makan hingga benar-benar sempurna.
Saat Isabel ingin melangkahkan kakinya menuju Uminya, suara ketukan pintu kembali terdengar dari luar. Membuat Isabel mengurungkan niatnya dan membuka pintu. Ternyata yang datang adalah keluarga Ahmed, membuat Isabel seketika salah tingkah karena penampilannya yang acak-acakan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, ayo masuk, Tante, Om, Ahmed,” ucap Isabel seraya membuka pintu lebih lebar lagi.
Hingga, Abi Umi Isabel pun keluar dan menyambut mereka dengan senyum merekah. Mempersilahkan mereka langsung masuk ke dalam ruang makan yang sudah terhidang banyak menu makanan.
“Waduh, jadi nggak enak nih datang-datang langsung makan,” celetuk Afifah, Ibu Ahmed. Mengundang gelak tawa mereka.
“Aduh, gak apa-apa kok. Daripada makanannya nanti udah dingin,” ucap Hana.
Mereka pun mengambil posisi sendiri-sendiri di kursi makan yang berada di sana, membuat mereka menatap lapar ke arah makanan yang terhidang di sana.
“Kayaknya enak-enak nih,” celetuk Ahmed yang mulai menyendokkan nasi ke dalam piringnya.
“Nah, iya! Kamu harus makan yang banyak. Ini yang masak Isabel sendiri loh, dan pasti enak-enak semua,” ucap Hana membuat Isabel tersenyum malu-malu.
“Masakan calon mantu nih.” Ucapan Hasan pun kembali mengundang gelak tawa mereka.
Di ruangan makan tersebut pun terasa lebih hangat dari biasanya karena kehadiran keluarga Ahmed. Bahkan Isabel pun turut nyaman berada di tengah-tengah keluarga Ahmed yang terbilang humoris. Bahkan sesekali ia juga turut ikut menimpali obrolan mereka.
Hingga, amplop cokelat berisikan surat dari Sean terjatuh dari kantung gamis Isabel, menarik perhatian Ahmed yang duduk tepat di sebelah gadis itu. Tangannya ingin mengambil amplop tersebut, tetapi lebih dulu diambil oleh Isabel yang gelagapan.
“Surat apa itu, Bel?” bisik Ahmed.
“Nanti aku ceritakan sehabis makan,” balas Isabel dengan sebuah bisikan.
Kali ini ia berusaha untuk tidak menyembunyikan apapun dari Ahmed, calon suaminya. Ia berniat terbuka kepada pria itu, karena menurut Isabel sebuah hubungan dibangun atas dasar komunikasi dan kepercayaan.
***
“Jadi kita akan melakukan acara pertunangan terlebih dahulu atau langsung pernikahan?” tanya Hasan.Kini, kedua keluarga baik dari pihak Isabel maupun Ahmed tengah duduk bersama di ruang keluarga rumah Isabel. Mereka tengah membicarakan pasal rencana pernikahan kedua anak mereka.“Tidak usahlah, lagian itu bukan tradisi dari kita kan? Ada baiknya kita menghalalkan mereka secepatnya saja,” ucap Raif tak sabar. Ia pun diangguki oleh Hasan yang jua nampak setuju oleh idenya.“Baiklah, kita tidak memakai acara pertunangan. Untuk tanggal pernikahan kita tentukan sekarang, ya?” putus Hasan mantap.Mereka pun tampak berpikir, hari apa sekiranya yang baik untuk dijadikan tanggal ijab kabul dan pesta pernikahan Ahmed dan Isabel.“Bagaimana kalau tanggal 28 bulan depan? Tepat hari ulang tahun Isabel,” usul Ahmed. Pria itu menatap sejenak Isabel yang duduk di hadapannya diapit oleh Umi dan Abinya.“
Seusai mengunjungi makam Ivana, Ahmed pun kembali membawa Isabel berkunjung ke suatu tempat. Isabel pun hanya menurut saja, karena ia tahu bahwa Ahmed akan selalu menjaga dan tak akan berbuat tak baik padanya.“Kita mau ke mana lagi, Ahmed?” tanya Isabel seraya menolehkan kepalanya menatap Ahmed yang tengah fokus mengemudi.“Tunggu aja kalau sampai nanti. Aku pastiin kamu bakal senang dengan tempat itu,” ucap Ahmed dengan seulas senyum di wajahnya. Tak ada lagi raut dingin di wajah pria itu. Yang ada hanya senyum hangat dan hormat kepada Isabel.Isabel pun hanya menganggukkan kepalanya mengerti, ia kembali menolehkan kepalanya ke jendela. Menatap jalanan yang sepi dipenuhi pepohonan yang menghiasi jalanan. Membuat mata Isabel menjadi segar menatapnya.Hingga, Ahmed memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang cukup besar, tetapi terlihat sederhana. Pekarangan yang luas dipenuhi anak kecil yang tengah bermain dengan riang. Mem
"Isabel."Suara panggilan dari seorang pria itu terdengar lembut di telinga Isabel.Sontak Isabel membalikkan kepalanya, menatap pria pemilik suara yang familiar di kepalanya tersebut. Ia pun berjalan mendekati pria tersebut.Gaun putihnya yang menjuntai hingga lantai, dan menyapu lantai keramik tersebut. Tetapi, ia tak peduli, ia tetap berjalan cepat ke arah pria tersebut.Pria yang sangat ia rindukan."Sean, ini beneran kamu? Aku merindukanmu, Sean!"Kedua tangan Isabel ingin memeluk tubuh Sean, tetapi pria itu langsung menghilang bagai partikel yang berterbangan.Kedua mata Isabel membulat sempurna, ia menolehkan kepalanya ke sana, kemari. Mencari pria yang tadi berada di hadpaannya."Sean! Kamu di mana!" seru Isabel. Gadis itu berteriak, berlari bagai orang kesetanan."SEAN!"***Isabel memekik keras sebelum ia terbangun dari tidurnya dengan napaa tersengal-sengal. Ia pun sontak
“Jadi, bisa kamu jelaskan ucapan kamu?”Saat ini Isabel tengah duduk di salah satu rumah makan junk food bersama Kakak Sean, yang ia ketahui namanya adalah Sea. Gadis itu tampak menatap kesal dan angkuh ke arah Isabel.“Sean pergi dari rumah karena tak mendapatkan restu dari kedua orang tuaku untuk menikahimu!” sergah Sea, amarahnya tampak sudah di ujung tanduk dan akan meledak sebentar lagi.Tubuh Isabel mematung seketika, ia tak tahu harus berkata apa. Lidahnya terasa kelu seketika dan tenggorokannya seperti tercekat sesuatu. Hatinya seperti tercelos membuat lubang yang cukup besar di sana.“T-ttapi, dia berkata bahwa dia telah bertunangan dengan seorang gadis yang seiman dengannya!” seru Isabel, kedua matanya telah panas dan berkaca-kaca.Terdengar suara tawa meledak dari Sea, gadis itu seakan meledek Isabel dan hal itu membuat Isabel merasa tak nyaman.“Kenapa kamu ketawa?” tanya Isabel yan
“Isabel! Ayo cepat, Ahmed sudah nungguin kamu dari tadi. Lama banget sih,” omel Hana dengan suara yang lebih mirip seperti teriakan.Bagaimana tidak, Isabel sudah tiga puluh menit berdandan dan tak kunjung keluar dari kamarnya. Membuat Ahmed yang sudah datang sedari tadi menunggunya sangat lama di ruang tamu.Akhirnya, Isabel pun keluar dari pintu kamarnya. Tampak cantik dengan gamis berwarna cokelat muda dipadukan dengan hijab berwarna putih yang licin. Terlihat sempurna dan sangat menutupi tubuh Isabel.Gadis itu pun segera menghampiri Ahmed yang telah beranjak dari duduknya. Ia hanya menatap Uminya dengan tatapan polos dan cengiran kecil.“Maaf, ya, nunggu lama,” ucap Isabel merasa bersalah.“Nggak apa-apa kok. Ayo kita pergi sekarang, sebelum jam makan siang. Nanti menunggunya lama lagi,” ajak Ahmed.Kepala Isabel pun mengangguk mantap, ia mengambil telapak tangan Hana dan menciuminya. Diikuti oleh Ahm
Jam masih menunjukkan pukul lima subuh, Isabel dan keluarganya baru saja menyelesaikan ibadah salat subuh, berdoa agar apa yang akan mereka lakukan hari ini dilancarkan oleh Allah SWT, sebagai sang pencipta.Bahkan saat ini jantung Isabel tak bisa berdetak dengan normal, terus berdegup kencang membuat Isabel bertambah gugup. Ia merasa hatinya tak karuan saat ini. Senang, sedih, dan gugup dalam waktu bersamaan.Isabel senang bisa menikah dengan pria yang baik dan selalu menghormati dirinya. Ia sedih karena harus melepaskan cintanya yang telah ia ukir bersama Sean. Dan ia gugup karena ini merupakan pernikahan pertamanya dan berharap menjadi pernikahan terakhir dalam hidupnya.Bunyi decitan pintu yang dibuka membuat lamunan Isabel buyar, ia pun menolehkan kepalanya menatap seseorang yang ternyata Hana berdiri di depan pintu.“Isabel, penata riasnya udah sampai nih. Dia bakal rias kamu, menjadi ratu yang paling cantik hari ini,” ucap Hana seraya d
“Kalian siapin diri buat nanti malam dulu. Nanti sorean ada tukang rias yang datang lagi ke kamar ini,” ucap Hana sesaat sebelum ia menutup pintu kamar Isabel.Kini Isabel dan Ahmed tengah terduduk kaku di atas ranjang Isabel yang berseprai murah muda. Bahkan kedua pasangan tersebut tak berani tuk saling menatap.Setelah bersalaman dengan beberapa kerabat dekat mereka, Isabel dan Ahmed pun masuk ke kamar tuk beristirahat agar nanti malam saat resepsi bisa bugar dan tak tumbang di tengah-tengah acara.“Bel,” panggil Ahmed memecahkan keheningan di kamar tersebut.Isabel pun menolehkan kepalanya menatap Ahmed malu-malu. “Ada apa?”“Kita kan sekarang sudah menjadi suami istri yang halal di mata agama dan hukum, masa panggilannya nama doang. Gak mau gitu punya panggilan sayang kayak pasangan lain?” goda Ahmed seraya menaik turunkan sebelah alisnya.Sontak Isabel mencubit kecil pinggang Ahmed, membua
“TUNGGU!”Wanita berambut cokelat tersebut berjalan mendekati panggung, tampak perut buncitnya menjadi sorot utama semua orang.Isabel yang tak tahu apa-apa pun menatapnya bingung dengan kening yang mengerut, kedua alisnya saling bertautan. Seolah bertanya ada apa dengan wanita tersebut.Tanpa aba-aba, wanita itu menampar pipi Ahmed dengan keras, membuat suara yang cukup menggema dan mengagetkan para tamu yang hadir di sana. Kedua mata Isabel pun melotot ke arah wanita tersebut.“Apa-apaan sih kamu?!” bentak Isabel. “Sinting atau gila?! Datang-datang ke nikahan orang malah nampar. Gak waras, ya?”Sisi sarkas dan julid Isabel akhirnya keluar juga, gadis itu tak segan tuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. Walaupun akan menyakiti hati orang yang mendengarnya.“Lo tau? Cowok yang lo nikahin ini adalah pacar gue! Dan sekarang gue lagi hamil anak dia! Kalau lu gak percaya, tanya dia aja. Apa dia kenal sama gue atau gak!” ucap wanit