Share

Pertemuan

 “Isabel terima kalau Abi jodohkan Isabel.”

Raut bahagia terpancar dari wajah pria paruh baya tersebut, ia beranjak dari duduknya dan memeluk tubuh putrinya.

"Keputusan yang sangat bagus, Isabel." Pria itu melepaskan pelukannya dengan putrinya. 

"Tapi, bukannya kamu memiliki pilihan sendiri, ya?" tanya Umi Isabel, kening wanita itu mengerut membuat beberapa garisan di dahinya.

Kepala Isabel menggeleng pelan, ia tersenyum masam mendengarnya. "Nggak, Umi. Dia bukan orang terbaik untuk Isabel."

"Sudah, tidak usah memikirkan pria itu lagi. Abi akan segera mengabari teman Abi, biar mereka bisa secepatnya datang bersama anak mereka," ucap Abi Isabel girang. Pria itu beranjak dari hadapan Isabel dan istrinya lalu mengambil ponsel miliknya di kamar.

Tatapan Umi Isabel tak pernah berpaling dari gadis itu. Ia seolah mengetahui ada yang disembunyikan oleh Isabel, tangannya pun ia rentangkan. 

Dengan cepat, Isabel menyambutnya dan memeluk tubuh Uminya dengan erat. Tangisnya seketika pecah di pelukan Uminya. 

"Menangislah, Nak. Menangislah jika memang kamu butuh," bisik Umi Isabel. Tangannya mengelus punggung Isabel lembut. 

Membuat tangis gadis itu semakin keras, hingga akhirnya ia merasakan lega yang nenjalar di hatinya. Uminya memang selalu mengetahui apa isi hatinya saat ini. Apa yang sedang ingin ia lakukan saat ini.

"Sudah?" tanya Umi Isabel, ia melepaskan pelukan mereka dan menghapus jejak air mata putrinya di kedua pipi Isabel. 

Bahkan hijab yang menutupi bagian atas gadis itu kini telah basah akibat air matanya yang mengakir deras. 

"Makasih, Umi. Umi selalu mengerti apa yang Isabel inginkan," cicit Isabel.

Kepala wanita paruh baya itu mengangguk perlahan. "Iya. Umi bakal lakuin apapun asal kamu bahagia, Nak. Karena kesedihan kamu adalah kesedihan Umi."

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka menampilkan wajah Abi Isabel yang nampak berseri-seri. Ia pun berjalan sedikit cepat ke arah istri dan anaknya. 

"Kalian siap-siap, ya. Kita akan membicarakan perjodohan Isabel malam ini, di rumah makan," pinta Abi Isabel.

***

Malam ini, Isabel tampak cantik dengan gamis berwarna hitam dengan corak bunga-bunga yang di bordir, dipadukan dengan hijan pashmina berwarna senada. 

Ia sedari tadi berusaha memantapkan hatinya. Meyakinkan bahwa ia benar-benar akan menjalani perjodohan ini dengan lapang dada ke depannya. Menjadi istri dari pria yang baru saja dikenalnya. 

"Sudah siap, Isabel?" 

Suara Umi Isabel terdengar dari luar kamar, membuat gadis itu cepat -cepat meraih tasnya yang berada di atas kasur keluar dari kamar. Mengikuti Uminya berjalan ke mobil.

Semuanya tampak telah siap, bahkan jika dilihat Abi Isabel lah yang paling girang saat ini. Sampai-sampai Isabel berpikir yang akan menikah nanti sebenarnya dirinya atau Abinya.

Tangan Isabel membuka pintu mobil di bagian belakang, masuk ke dalam dan menutupnya kembali. Tak lama kemudian, Uminya menyusul dan duduk di depan menemani Abinya.

Abi Isabel pun menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas, membawa mobil tersebut membelah jalanan yang lumayan lenggang malam itu.

Kedua orang tua Isabel adalah pasangan paling serasi di matanya. Ia selalu ingin seperti Abi dan Uminya, bersama hingga akhir hayat.

Maka dari itu Isabel tak ingin salah memilah jodoh, ia tak ingin pernikahannya akan hancur dan impiannya pupus seketika. Nauzubillah.

Selama perjalanan, Isabel memilih menatap jalanan kota yang dihiasi lampu-lampu dari gedung-gedung tinggi yang masih beraktifitas hingga malam. Kepalanya terus memikirkan akan seperti apa pria yang dijodohkan dengannya itu.

Apakah pria itu tampan, putih, yinggi, berhidung mancung, dan humoris? Ah, Isabel segera menggelengkan kepalanya. 

"Kenapa aku jadi memikirkan wajah Sean? Bagaimana tidak, pria itu sangat memenuhi kriteria jodohku, kecuali satu. Seiman," batin Isabel.

Isabel adalah gadis sederhana yang memimpikan suami setampan Nabi Yusuf, dengan akhlak semulia Rasullullah. Tentu saja mustahil, tetapi setidaknya gadis itu ingin separuh saja keinginannya ada di jodohnya kelak.

Tanpa Isabel sadari, mobil yang dibawa oleh sang Abi pun memasuki area parkiran sebuah rumah makan mewah. 

"Ayo Isabel, kita sudah sampai."

Suara Uminya segera membuat lamunan Isabel terbuyar seketika. Ia pun membuka pintu mobil dan memperbaiki model hijabnya yang sedikit berantakan.

Tak mungkin kan dia bertemu dengan calon suami dan keluarga barunya dengan penampilan yang acak-acakan. 

Senyum ia hiaskan di wajahnya, walaupun sedikit terpaksa tetapi gadis itu tak ingin dinilai sombong pada pertemuan pertamanya dengan calon suaminua nanti.

Tangan Isabel pun digandeng oleh Uminya, merrka bertiga berjalan bersamaan memasuki rumah makan dengan gaya Eropa tersebut. Sementara Abi Isabel, ia mencari-cari di mana gerangan temannya tersebut.

Hingga, Abi Isabel melihat sebuah tangan yang seperti memanggilnya. Ia pun menggiring keluarga kecilnya ke sana. 

Tampak sepasang suami istri paruh baya tengah duduk berdampingan di sana. Pakaian yang mereka gunakan terbilang mewah dan cukup modis jika diamati.

"Assalamu'alaikum," salam Abi Isabel.

"Waalaikumsalam, ayo duduk dulu, Raif, Hana," ucap pria yang tampak seumuran dengan Abi Isabel.

Mereka pun duduk berhadapan dengan kedua pasangan tersebut. Sedari tadi mata Isabel mengelilingi ruangan tersebut mencari di mana gerangan pria yang akan dijodohkan dengan dirinya.

"Jadi ini toh yang namanya Isabel. Cantik banget anaknya," ucap wanita tersebut. Aku pun membalas ucapannya dengan senyum manis.

"Terima kasih, Tante," ucapku.

Sepertinya Abi juga sama sepertiku, ia terlihat mencari seseorang tabg kurang di sana. "Di mana anak kalian?"

"Sebentar lagi mungkin datang, maaf ya. Dia baru pulang dari luar kota dan sangat sibuk di kantornya. Itulah kenapa saya mau menjodohkan dia dengan putri kamu, Raif. Umurnya sudah matang, tapi dia hanya terus fokus pada pekerjaan saja," ucap pria tersebut yang mirip seperti sebuab curhatan.

Abi Isabel tampak menganggukkan kepalanya mengerti. "Artinya dia itu mau mapan dulu kali supaya bisa membiayai hidup istri dan anak-anaknya nanti, San. Kamu jangan berpikir buruk dulu dengan anakmu."

"Ah, sudahlah. Lebih baik sekarang kalian pesan saja dulu, daripada menunggu Ahmed. Dia sepertinya akan datang lama lagi," ucap pria bernama Hasan tersebut. Ia pun memanggil salah seorang pelayan dan menyuruhnya untuk menghidangkan mkanan.

Isabel terlihat dongkol dibuatnya, bahkan sedari tadi ia mengumpati pria tersebut di salan hatinya. "Baru pertemuan gini aja udah gak bisa hadir, gimana kalau udah nikah? Aku mungkin bakal dicuekin habis-habisan kali, ya."

Tentu saja Isabel mengucapkan kata-kata tersebut di dalam hatinya, ia tak mungkin mengumpat di depan Umi dan Abinya. Bisa-bisa tamat riwayatnya.

Tak lama kemudian, para pelayan pun menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja panjang mereka. Makanan yang membuat hati Isabel berhenti mengumpat dan memilih menyantap makanan tersebut. Mengisi perutnya yang telah memberontak diberi asupan.

Tak lama setelah mereka menghabiskan makanan mereka hingga tandas, seorang pria berlari ke arah mereka. 

"Maaf saya telat."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status